Membangkitkan dan Memusatkan Bodhicita

Akhir pekan ini, kita akan membahas sumpah-sumpah bodhisattwa. Tentu saja, untuk memahami sumpah-sumpah bodhisattwa, kita perlu memahami apa itu bodhisattwa, dan dasarnya: bodhicita. Ada begitu banyak kutipan dan naskah sumber yang menunjukkan betapa pentingnya kita mengambil sumpah-sumpah bodhisattwa, mengembangkan bodhicita – mengambil sumpah bodhisattwa dan menepatinya – untuk mencapai pencerahan.

Jadi, apa itu bodhicita? Bodhicita adalah suatu tataran cita yang terdiri dari banyak unsur. Saat kita membangkitkannya, ada dua tahap. Pertama, kita memusatkan perhatian pada semua makhluk yang belum tercerahkan, dengan kasih dan welas asih. Kasih adalah keinginan agar setiap insan bahagia dan memiliki sebab-sebab kebahagiaan, dan welas asih adalah keinginan agar mereka bebas dari duka dan sebab-sebab duka. Keinginan ini kita arahkan dengan setara kepada setiap insan.

Mengenai duka yang kita inginkan sirna dari setiap insan, kita memahaminya di tingkat yang terdalam. Bukan hanya duka ketakbahagiaan dan rasa sakit. Bukan hanya duka yang ada pada kebahagiaan biasa kita, kebahagiaan yang tidak langgeng, tidak memuaskan, dan yang berubah menjadi ketakbahagiaan dan rasa tidak nyaman; misalnya, terlalu banyak makan makanan kesukaan hingga mual. Duka yang kita inginkan sirna dari setiap insan, selain dua di atas, adalah duka serba-merasuk (yang menjadi dasar mengalami dua jenis duka yang pertama tadi), yaitu kelahiran kembali yang berulang tanpa terkendali, yang disebut “samsara”. Samsara adalah keadaan terlahir kembali, berkali-kali, di bawah pengaruh ketaksadaran, perasaan gelisah, dan tindakan-tindakan karma yang bertumpu padanya. Di bawah pengaruh anasir-anasir ini, kita memiliki jenis tubuh dan cita yang rentan terhadap duka ketakbahagiaan dan kebahagiaan kita yang biasa dan tidak memuaskan, yang dialami semua makhluk sebagai akibat dari perilaku karmawi mereka (perilaku yang dipengaruhi ketaksadaran atas sebab dan akibat serta ketaksadaran atas kenyataan). Jadi, kita ingin setiap insan terbebas dari duka yang lebih dalam ini dan sebab-sebabnya. Dan sebab terdalamnya adalah ketaksadaran atas kenyataan.

Dengan kasih, kita ingin mereka bahagia. Bukan kebahagiaan yang biasa, yang tak pernah memuaskan, walau itu masih lebih baik daripada mengalami rasa sakit dan ketakbahagiaan. Namun, di tingkat yang lebih dalam, kita ingin mereka beroleh kebahagiaan kebebasan dan pencerahan, yang muncul karena terbebas dari hal yang dikenal dengan sebutan “pengaburan cita”. Ada dua jenis pengaburan. Yang pertama adalah pengaburan yang disebabkan oleh perasaan gelisah – inilah pengaburan yang menghalangi kebebasan. Yang kedua adalah pengaburan yang menghalangi tataran mahatahu seorang Buddha, yang menghalangi pemahaman atas kesalinghubungan segala sesuatu, serta sebab dan akibat, sepenuhnya, yang perlu diketahui agar mampu memberikan pertolongan terbaik bagi sesama.

Bila kita terbebas dari keterbatasan ini, dari dua jenis pengaburan ini (baik salah satu ataupun keduanya), kita mengalami sukacita luar biasa yang tidak berkesudahan. Bukan seperti rasa nikmat saat memakan makanan kesukaan: makin banyak kita makan, lama-lama rasa nikmat berubah menjadi rasa sebah. Sama sekali tidak seperti kebahagiaan yang biasa. Dan kita ingin setiap insan memiliki sebab-sebab kebahagiaan yang tak berkesudahan, yaitu kebebasan dan pencerahan.

Kasih dan welas asih ini juga berdasar pada pemahaman dan keyakinan kuat bahwa setiap insan dapat bebas dari duka dan memeroleh kebahagiaan yang tak berkesudahan ini. Jadi, bukan sekadar angan-angan yang kita tahu tidak akan pernah terpenuhi. Kita yakin betul bahwa hal ini mungkin terjadi. Dan kita mengemban tanggung jawab untuk mampu bebas dari duka dan memeroleh kebahagiaan. Kita mengemban tanggung jawab tersebut dan kita mengembangkan keputusan istimewa untuk melakukannya, biarpun sendiri.

Inilah tahap pertama. Welas asih, kasih, dan keputusan istimewa yang ada di tahap pertama ini nanti akan tetap ada, tetap berjalan sebagai latarnya. Lalu ada tahap kedua, tahap utama Bodhicita: kita mengalihkan pusat perhatian dari semua makhluk terbatas (dengan kata lain, setiap insan yang belum menjadi Buddha) ke pencerahan kita sendiri, yang belum lagi terjadi. Belum lagi terjadi, tetapi kita yakin bisa terjadi. Bisa terjadi atas dasar “sifat Buddha” yang kita miliki. Sifat Buddha adalah anasir-anasir yang akan memampukan kita menjadi seorang Buddha, membangkitkan aneka Raga-Raga Buddha – istilah teknisnya Raga Rupa, cita seorang Buddha, dll.

Sifat Buddha ini adalah kemurnian mendasar dari cita. Pada dasarnya, cita tidak ternodai keterbatasan atau pengaburan. Pada dasarnya, noda-noda ini dangkal saja dan bisa dilunturkan sehingga tidak kembali lagi. Kalau kita mampu mengaktifkan dan selamanya berada pada tingkat cita terdalam, yang tidak ternoda itu – karena noda atau keterbatasan atau kebingungan ini muncul pada tingkat cita yang lebih dangkal dan kasar – dan cita tidak ternodai cara-cara mengada yang mustahil, dan kita bisa memahami serta tetap terpusat padanya, yang disebut “sunyata cita”, serta dengan pemahaman atas sunyata cita, kita akan mampu tetap berada pada tingkat dasar yang tidak ternoda, tingkat yang tidak dinodai kebingungan-kebingungan sementara ini.

Atas dasar tenaga terhalus yang berkaitan dengan tingkat cita terdalam tersebut, dan atas dasar jaringan-jaringan daya positif serta kesadaran mendalam yang terbawa oleh kesinambungan tingkat terdalam ini, kita akan mampu membangkitkan dan muncul dalam aneka Raga Rupa seorang Buddha. Raga-Raga Rupa seorang Buddha, kenampakan seorang Buddha, yang kasar ataupun halus, terbuat dari tenaga murni terhalus ini. Raga-raga ini dapat digabungkan dengan unsur-unsur kasar (tanah, air, dll.), tetapi unsur-unsur kasar itu sendiri bukan Raga Rupa sang Buddha. Raga Rupa sang Buddha adalah tenaga halus yang tergabung dengan unsur-unsur kasar tersebut sebagai dasarnya. Baik, itu tadi penjelasan singkat dan padat mengenai sifat Buddha. Maaf kalau keterangan yang saya sampaikan agak bergeser sedikit dari pokok bahasan utama kita.

Tetapi, bagaimanapun juga, kita memusatkan perhatian pada segi yang ini dari kesinambungan batin kita, segi-segi sifat Buddha: sunyata cita, kemurnian dasar cita, tenaga halus terdalam cita, jaringan-jaringan daya positif dan kesadaran mendalam. Dan atas dasar itu, kita dapat menyematkan pencerahan yang belum lagi terjadi, yang kita tahu bisa kita capai, sehingga kita akan memiliki pencerahan yang terjadi sekarang ini, jika kita menguatkan dan menggenapi jaringan daya positif dan kesadaran mendalam. Pada itulah perhatian kita pusatkan dengan bodhicita. Dan bagaimana kita melakukannya? Kita melakukannya dengan mewakilkan pencerahan kita yang belum lagi terjadi ini, bukan pencerahan Buddha Shakyamuni atau pencerahan yang masih mengawang-awang. Kita bisa mewakilkannya dengan membayangkan seorang Buddha (yang paling lazim dilakukan) atau kita bisa mewakilkannya dengan guru rohani kita sendiri, atau guru silsilah ajaran kita, yang mewakili pencerahan ini bagi kita, atau kita bisa (dalam cara-cara mahamudra atau dzogchen) memusatkan perhatian pada kemurnian dasar cita itu sendiri, tetapi ini agak sulit dilakukan.

Pencerahan yang belum lagi terjadi inilah sasaran pemusatan bodhicita, dan ada dua niat yang menyertainya. Niat yang pertama adalah benar-benar memeroleh pencerahan yang belum lagi terjadi, dan yang kedua adalah, bertumpu pada pencerahan tersebut, memberi manfaat bagi semua makhluk. Jadi, dengan kata lain, ini bersandar pada kasih, welas asih, dan keputusan istimewa yang kita tumbuhkan di tahap pertama. Dan tentu saja di sepanjang jalan untuk mencapai pencerahan, kita akan berupaya menolong sesama sebaik-baiknya. Dan sumpah-sumpah bodhisattwa akan memberikan kita pedoman cara melakukannya, cara memberi manfaat bagi sesama sebaik-baiknya, dan hal yang harus dihindari agar kemampuan kita menolong sesama tidak rusak. Malah, kata-kata untuk semua sumpah ini selalu dirangkai untuk menunjukkan hal yang patut dihindari karena merugikan perkembangan bodhicita dan kemampuan kita menolong sesama.

Untuk mengembangkan tataran cita bodhicita dan mengambil sumpah-sumpah bodhisattwa, kita tentu perlu terlebih dahulu berupaya memiliki tataran cita bodhicita tersebut. Dan tentunya ini berdasar pada proses pengembangan panjang, pengembangan kerohanian, yang kita gunakan untuk mengenali kelahiran kembali kita yang berharga sebagai manusia, mengenali bahwa hal itu tidak akan berlangsung selamanya, sehingga kita memahami kematian dan ketaktetapan; dan kita betul-betul meyakini kelahiran kembali, dan menyadari bahwa kalau tidak mengambil langkah-langkah pencegahan (makna dari kata “Dharma”) untuk menghindari kelahiran kembali yang lebih buruk kelak, maka, sebagai akibat dari perilaku merusak, kita akan terlahir kembali dalam keadaan tanpa kesempatan untuk melanjutkan perkembangan kerohanian. Kalau kita memahami semua ini, kita akan bersungguh-sungguh. Dengan demikian, untuk terhindar dari kelahiran kembali yang lebih buruk dan membantu kita melanjutkan jalan kerohanian, kita tempatkan haluan aman dalam hidup kita; yang diistilahkan dengan “berlindung”. Haluan tersebut ditunjukkan oleh sang Buddha, pencapaian-pencapaian seorang Buddha dan ajaran-ajarannya, dan mereka yang telah meraih hal yang diraih sang Buddha, setidaknya sampai ke tataran tertentu; ketiganya disebut Buddha, Dharma, dan Sangha. Itulah haluan yang kita tuju dalam kehidupan kita. Kita mengikuti haluan tersebut karena ingin menghindari kelahiran kembali yang lebih buruk dan karena yakin bahwa haluan ini akan membantu kita terhindar dari kelahiran kembali yang seperti itu dan meraih tujuan-tujuan kerohanian kita: kebebasan dan pencerahan. Menghindari kelahiran kembali yang lebih buruk, mencapai kebebasan, dan meraih pencerahan: ketiganya adalah tujuan dari “lam-rim”, tingkat-tingkat bertahap sang jalan.

Hal pertama yang perlu kita perbuat, agar terhindar dari keadaan yang memburuk, adalah menahan diri dari perilaku merusak. Itulah sila. Dan kita melakukannya karena paham bahwa kalau kita bertindak secara merusak, akibatnya adalah ketakbahagiaan dan masalah; dan kalau kita menahan diri dari perilaku merusak, setidaknya hal itu akan membawa kita pada kebahagiaan yang biasa. Walaupun pada akhirnya kita ingin mengatasinya, kebahagiaan yang biasa ini merupakan unsur-sebab yang lebih mendukung laku kerohanian kita ketimbang rasa sakit dan ketakbahagiaan.

Lalu, kita renungkan semua masalah kelahiran kembali yang berulang tanpa terkendali. Saat mengalami ketakbahagiaan yang berat atau keadaan bahagia biasa yang hebat, kedua-duanya punya kekurangan. Dan kita mengerti seperti apa tataran-tataran yang disesaki duka rasa sakit yang hebat dan tataran-tataran kelahiran kembali yang sarat akan kebahagiaan yang biasa dibangkitkan oleh perilaku karma, yang berdasar pada ketaksadaran atas sebab-akibat dan atas kenyataan, dan kita yang mengejar-ngejar kebahagiaan yang biasa, mendamba lepas dari rasa sakit dan ketakbahagiaan yang biasa, atau sekadar memiliki kebahagiaan yang biasa. Kita mengembangkan tekad untuk sepenuhnya bebas dari semua itu. Itulah “penyerahan”. Dengan begitu, kita memiliki tekad kuat untuk bebas.

Kemudian, atas dasar itu, dengan daya pemusatan yang telah kita kembangkan, kita beranjak ke Mahayana. Walau demikian, kita tetap bisa menyertakan gagasan-gagasan Mahayana mengenai welas asih dan seterusnya sejak awal sekali: aku ingin terus memiliki kelahiran kembali sebagai manusia yang berharga sehingga mampu menolong semua insan lainnya. Jadi, welas asih dapat ditambahkan sedari awal. Tetapi yang menjadikan laku kita Mahayana adalah bahwa kita mengarahkan laku tersebut ke seluruh insan, tanpa terkecuali. Kita tidak memusatkan perhatian pada diri sendiri dan masalah kita sendiri serta kebebasan kita darinya. Tidak pula pada segelintir orang yang kebetulan kita sukai. Bahkan tidak pula hanya pada semua makhluk yang saat ini, di masa hidup yang ini, berupa manusia. Mahayana adalah tataran cita yang seluas-luasnya, memusat pada setiap insan, dalam semua tataran kelahiran kembali, di seluruh alam semesta.

Kita tahu bahwa setiap insan memiliki kesinambungan batin yang tiada bermula, kelahiran kembali yang tiada bermula, dan setiap orang pernah menjadi semua rupa kehidupan yang berbeda-beda itu di satu titik masa hidupnya, termasuk pernah menjadi ibu kita. Dan hati kita seimbang terhadap setiap insan – kita tidak tertarik pada sebagian, jengah pada sebagian, dan masa bodoh dengan sebagian. Kita mengingat kebaikan hati setiap insan, bukan hanya saat mereka menjadi ibu kita, tetapi juga di saat-saat lainnya: ketika mereka menyediakan bahan pangan untuk kita, membangun jalan untuk kita, atau membuat madu yang kita makan. Kita menghargai kebaikan hati tersebut, ingin berupaya membalasnya, dan hal ini membangkitkan rasa kasih yang begitu hangat kepada setiap insan, sehingga hanya dengan memikirkan mereka saja pun kita merasa hangat dan gembira, dan merasa sayang sekali jika hal buruk menimpa mereka. Ini semua diperkuat dengan pemahaman atas kesetaraan setiap insan. Persis seperti diriku yang ingin bahagia dan tidak ingin tidak bahagia, demikian pula semua insan lainnya. Dan aku cuma seorang saja, sementara semua insan lain tidak terhitung jumlahnya; sehingga, daripada berpikir tentang diri sendiri semata dan berusaha mengatasi masalahku saja – aku, sebagai anggota dari golongan semua makhluk ini – alangkah baiknya jika aku berupaya untuk setiap insan lainnya karena aku bagian dari mereka. Dan kita semua, setara, punya masalah yang sama – dalam satu kata: samsara. Keberadaan samsarawi. Maka, pada inilah kita mendasarkan kasih, welas asih, dan keputusan istimewa, serta bodhicita yang saya jelaskan tadi.

Pertama, kita perlu mendengarkan ajaran bodhicita, sehingga setelah mendengarkannya dengan benar, kita tahu apa maksudnya. Kita tidak merancukan bodhicita dengan kasih dan welas asih, seperti yang banyak orang lakukan. Bodhicita itu jauh lebih dari kasih dan welas asih. Ia berdasar pada kasih dan welas asih, tetapi jauh lebih dari keduanya, seperti saya jelaskan tadi. Lalu, kita mendalami bodhicita, merenungkannya sehingga paham apa artinya. Kita memahami cara untuk memusatkan perhatian padanya dan tataran cita apa yang kita bangkitkan. Kita yakin betul bahwa kita bisa mencapainya. Kita yakin betul bahwa setiap orang bisa tercerahkan dan bahwa kita dapat menolong mereka dengan menunjukkan jalannya. Kita menyadari bahwa kita bukan tuhan, yang bisa mencerahkan seseorang dengan menjamahnya saja. Kita bersikap makul (realistis) dengan cara orang mencapai pencerahan. Pada dasarnya, mereka harus mengupayakannya sendiri. Atas dasar itu, memahami cara-cara untuk mengupayakan diri sehingga mampu membangkitkan tataran cita ini, kita mampu membangkitkan bodhicita pada tingkat yang sangat awal ini.

Sekarang kita sudah tahu dengan tepat tataran cita apa bodhicita ini. Kita memahaminya, kuat meyakini bahwa kita mampu mencapainya, kemudian kita melalui tahap-tahap setiap insan pernah menjadi ibu kita, setiap insan pernah baik kepada kita, dll., dan kita mampu membangkitkan tataran cita bodhicita yang tulus. Dan yang sangat sulit di sini adalah agar bodhicita dapat melingkupi setiap insan, keinginan untuk menolong setiap insan dengan setara.

Berdasarkan ini, yang terlebih dahulu kita dapatkan adalah “bodhicita berharapan”. Bodhicita berharapan adalah keinginan untuk mencapai pencerahan yang belum lagi terjadi agar mampu memberi manfaat bagi sesama. Dan ada dua tahapnya. Yang pertama adalah tahap berharap semata; dan yang kedua adalah “tataran yang diikrarkan”, dalam arti kita berikrar bahwa kita tidak akan menyerah hingga mencapai pencerahan. Lalu kita lanjut mengembangkan “tataran pelibatan” bodhicita, yang melengkapi tataran berharapan tadi. Di tataran pelibatan kita memutuskan untuk terjun sepenuhnya ke dalam semua laku yang akan membawa kita ke pencerahan.

Di tingkat itulah kita mengambil sumpah-sumpah bodhisattwa. Sumpah-sumpah ini akan membentuk tatanan perilaku kita karena kita bersumpah untuk menghindari hal-hal tertentu yang akan merusak perkembangan bodhicita kita secara umum – itulah akar dari sumpah-sumpah bodhisattwa. Sumpah-sumpah bodhisattwa kedua adalah untuk menghindari hal-hal yang secara khusus merugikan perkembangan enam sikap menjangkau-jauh (atau kesempurnaan), serta secara umum merongrong upaya kita untuk memberi manfaat bagi sesama. Yang dimaksud dengan enam sikap menjangkau-jauh adalah kebaikan hati, sila, kesabaran, kegigihan bersukacita, kemantapan batin – yang bukan hanya berupa semedi, tetapi tataran cita yang mantap dan tidak terusik perasaan gelisah – dan kesadaran pembeda, biasanya mengenai kenyataan (membedakan kenyataan dari khayalan).

Tentu saja kita boleh mengembangkan dan mengamalkan enam sikap menjangkau-jauh ini sebelum mengembangkan bodhicita, tetapi laku Mahayana yang sebenarnya teramalkan bila keenam sikap tersebut digabung dengan bodhicita. Jadi, pada dasarnya kita menjalankan perilaku bodhisattwa, atas dasar sumpah-sumpah bodhisattwa ini, untuk makin mengembangkan enam sikap menjangkau-jauh. Enam sikap ini sebetulnya bagian dari sepuluh sikap – empat butir tambahannya merupakan pembagian dari butir kesadaran pembeda yang menjangkau-jauh. Tidak perlu saya sajikan semua perinciannya. Melalui ini semua, kita makin meluaskan dan menguatkan jaringan daya positif dan kesadaran mendalam.

Di tingkat ini, kita masih membangkitkan tataran bodhicita secara susah-payah. Dengan kata lain, perlu diupayakan terlebih dahulu – kita masih harus menalarnya agar mampu menyegarkan kembali tataran cita bodhicita tersebut. Dalam arti, kita masih harus mengingat kembali tahap-tahap keseimbangan batin, setiap insan pernah menjadi ibuku, dll., dan secara sadar berupaya untuk sampai pada tataran cita ini. Lambat-laun, karena sudah begitu terbiasa dan disokong daya positif yang kita terima dari perbuatan baik membantu sesama, kita akan mampu mengembangkan bodhicita tanpa susah-payah. Artinya, kita tidak perlu menalarnya lagi untuk bisa membangkitkannya. Tataran cita itu sudah ada dengan sendirinya, selalu bersama kita. Tidak jadi pasal apakah kita menyadarinya atau tidak. Tataran cita bodhicita tersebut, baik disadari (dengan kata lain, menjadi sasaran pemusatan utama kita di saat itu) atau berada di arus bawah (dengan kata lain, tidak disadari), sama saja. Artinya, bodhicita adalah arah utama kehidupan kita, apa pun yang terjadi. Ia tertanam begitu dalam. Dan hanya di tingkat inilah kita benar-benar bisa menjadi seorang bodhisattwa. Itulah arti bodhisattwa, orang yang memiliki bodhicita sebagai bagian alami dari dirinya. Semua manfaat dan puja-puji bagi bodhicita yang disebutkan, misalnya di dalam bab pertama naskah Memasuki Perilaku Bodhisattwa karya Shantidewa, mengacu pada tingkat bodhicita ini: tingkat tanpa susah-payah, saat seseorang menjadi bodhisattwa.

Kita perlu memahami bahwa saat kita berbicara soal bodhicita yang masih perlu diupayakan ataupun yang tanpa susah-payah, pemahaman itu masih ada di tataran bercitra karena hanya seorang Buddha yang bisa mengetahui secara nircitra seperti apa pencerahan itu. Bagi kita yang belum menjadi Buddha, memusatkan perhatian pada pencerahan, sekalipun itu pencerahan yang belum terjadi, hanya bisa dilakukan melalui suatu citra (konsep) atas pencerahan. Jadi, ketika Shantidewa berkata bahwa begitu kita mengembangkan bodhicita – mau itu saat kita terjaga atau tertidur atau bahkan saat mabuk – sejumlah besar daya positif masih tetap terbina, bodhicita yang ia maksud di sana adalah tataran bodhicita yang tanpa susah-payah.

Juga, bila kita telah mengembangkan tataran bodhicita yang tanpa susah-payah, di titik itu kita memeroleh “jalan pembinaan” atau “jalan pengumpulan”. Itu jalan yang pertama dari lima jalan cita. Jalan ini adalah tingkat cita yang akan berlaku sebagai jalan menuju jalan utama yang akan akan membimbing kita ke pencerahan. Istilah lima jalan ini maksudnya adalah lima tingkat cita; bukan jalan seperti jalan raya, tetapi tingkat cita yang akan membawa kita lebih lanjut, ibarat jalan. Dan kita bisa melakukannya secara Mahayana; dalam arti, aliran perkembangan ini akan membimbing kita ke pencerahan. Kita mencapai permulaan tingkat pertama dari lima tingkat cita ini ketika kita telah memiliki bodhicita yang tanpa susah payah.

Nah, sebagian besar kita saat ini berada beberapa tingkat di bawah tingkat cita tersebut. Sekalipun kita mengamalkan laku kasih, welas asih, dan bodhicita, kemungkinan itu semata karena kita telah mendengarkan ajaran-ajaran bodhicita. Mungkin kita telah sedikit memahaminya, tetapi saya rasa kebanyakan kita belum sepenuhnya yakin secara nalariah bahwa kita sungguh bisa tercerahkan dan bahwa segenap insan lainnya bisa tercerahkan. Cukup sulit memang untuk meyakini hal itu sepenuhnya karena, untuk itu, kita harus memahami apa itu pencerahan. Tidak mudah. Yang kita miliki sekarang hanyalah “pemahaman atas dasar dugaan”. Kita menduga bahwa ia benar, tetapi kita belum betul-betul meyakini kebenarannya. Dan kalau kita mau jujur, cakupan pikiran Mahayana kita juga sebetulnya agak terbatas. Kita sebetulnya tidak memikirkan semua insan lainnya. Kita bahkan sulit untuk mulai membayangkan setiap insan. Setiap insan, termasuk serangga, di titik ini yang tampil dalam rupa kehidupan apa pun, di mana pun di seluruh jagad raya. Kita berupaya. Namun, jangan kita berpura-pura, “Oh, aku pelaku rohani Mahayana yang hebat,” apalagi mendaku diri sebagai bodhisattwa, padahal tidak. Itu sikap yang keliru. Akan tetapi, apa pun tingkat perkembangan kita yang menuju ke arah bodhicita, itu saja sudah baik dan bermanfaat.

Top