Mengembangkan Sila

31:21

Petang ini kita akan berbicara tentang tertib-diri yang berbudi pekerti dan pandangan Buddha tentang itu. Ini adalah hal yang sangat mendasar, dan ini merupakan hal yang kita dapati dalam semua aliran rohani, dan tidak hanya aliran-aliran rohani saja; dalam semua tata sosial kita mendapati budi pekerti. Jika kita bertanya apa yang menjadikan budi pekerti Buddha bersifat "Buddha," kita harus melihatnya dalam lingkung empat kebenaran mulia, ajaran dasar yang Buddha berikan.

Tanpa memasuki rincian yang sangat luas di sini, kebenaran pertama dalam kehidupan adalah bahwa kita semua menghadapi duka-duka sejati. Ada duka biasa kita berupa kepedihan dan ketidakbahagiaan; ada masalah-masalah yang dikaitkan dengan jenis kebahagiaan biasa kita, yang tidak pernah bertahan, tidak pernah memuaskan, kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi nanti, dan semakin kita memiliki itu, biasanya itu berubah menjadi ketidakbahagiaan: seperti jika kita makan es krim terlalu banyak, itu akan membuat kita sakit perut. Lalu ada duka yang menjalar, yang merupakan dasar untuk ini, yaitu kelahiran kembali kita yang berulang tak terkendali, yang disebabkan oleh tindakan-tindakan karma kita, yang didorong oleh perasaan-perasaan yang gelisah. Dan hal-hal tersebut muncul karena ketidakwaspadaan, atau kebodohan, tentang sebab dan akibat dan tentang bagaimana hal-hal ada. Itu menyebabkan kita terus-menerus mendapatkan jenis kelahiran kembali yang akan menjadi dasar untuk mengalami dua jenis duka yang pertama ini.

Kebenaran mulia yang kedua adalah sebab-sebab sejati dari ini, dan kita sudah menyebutkan itu. Ini adalah ketidakwaspadaan kita – ketidakwaspadaan tentang sebab dan akibat, ketidakwaspadaan tentang kenyataan – dan perasaan-perasaan yang gelisah – keserakahan, berahi, kemarahan, keluguan – disebabkan oleh itu, dan tindakan-tindakan karma yang didorong oleh itu.

Kebenaran mulia yang ketiga adalah bahwa mungkin bagi kita untuk mencapai penghentian sejati dari itu, sehingga duka itu tak pernah berulang kembali. Dan kebenaran mulia yang keempat adalah jalan-rintis cita sejati atau cara pemahaman yang akan menghasilkan ini, yaitu pemahaman yang tepat tentang sebab dan akibat perilaku dan kenyataan. Dan jika kita mengembangkan pemahaman yang tepat ini, dengan tekad kuat untuk bebas dari kelahiran kembali yang berulang tak terkendali ini – dalam bahasa Sanskerta disebut "samsara" – maka kita bebas dari dua kebenaran mulia yang pertama ini – duka sejati dan sebabnya – kita mencapai apa yang disebut kebebasan. Dan agar dapat menjadi bantuan terbaik bagi orang lain kita harus masuk lebih dalam, kita harus mengatasi penghalang-penghalang yang mencegah cita kita dari memahami kesalingterkaitan segala sesuatu. Maka jika kita memahami bagaimana segala sesuatunya terhubung, kita akan memahami sebab dan akibat secara utuh, yang berarti kita akan tahu bagaimana membantu orang lain: apa yang akan menjadi akibat dari tindakan kita. Jadi, berdasar pada kasih, keinginan agar orang lain bahagia dan memiliki sebab-sebab kebahagiaan; dan welas asih, keinginan agar orang lain bebas dari duka dan sebab-sebabnya; dan keteguhan hati yang luar biasa bahwa aku mengambil tanggung jawab untuk melakukannya sendiri, untuk membawa kebahagiaan bagi mereka dan menyingkirkan duka mereka; dan kemudian dengan bodhicita, kita bertujuan untuk menjadi seorang Buddha, agar dapat benar-benar mencapai ini – jika kita menggabungkan pemahaman kita tentang kenyataan dengan semua jenis dorongan ini, maka kita meraih pencerahan, kita menjadi seorang Buddha.

Jadi, dalam beberapa kalimat, itulah jalan Buddha. Dan tata tertib yang berbudi pekerti menjadi tata tertib berbudi pekerti yang bersifat Buddha jika ia dijalankan sebagai cara untuk mencapai kebebasan atau pencerahan. Banyak aliran rohani lain mengajarkan tata tertib berbudi pekerti untuk mencapai kelahiran kembali yang lebih tinggi di surga. Itu belum tentu bersifat Buddha. Jadi, tingkat laku budi pekerti dalam ajaran Buddha, untuk menahan diri dari perilaku yang negatif dan merusak untuk memperoleh kelahiran kembali yang lebih baik, akan berperan sebagai batu loncatan untuk dapat mencapai kebebasan dan pencerahan. Inilah yang menjadikannya bersifat Buddha. Kita menjalankan tata tertib yang berbudi pekerti supaya, pada akhirnya, mencapai kebebasan dan pencerahan. Kita melihat perlunya melakukan ini dalam kerangka itu. Kita melihat tujuan yang sangat positif dalam menjalankan perilaku yang berbudi pekerti. Dan, ini perlu didasarkan pada pemahaman tentang arti penting memiliki tata tertib yang berbudi pekerti untuk mencapai kebebasan dan pencerahan.

Kita selalu berbicara tentang tiga latihan yang lebih tinggi dalam ajaran Buddha, yang dapat dijalankan baik dengan dorongan untuk mencapai kebebasan maupun dorongan untuk mencapai pencerahan. Jadi, yang tertinggi adalah latihan dalam kesadaran pembeda tertinggi. Ini adalah kesadaran pembeda untuk membedakan apa yang merupakan kenyataan dari apa yang merupakan angan-angan atau khayalan kita. Dan ini bagai kapak yang tajam – perumpamaan ini digunakan – untuk memangkas kebingungan atau kebodohan kita. Tetapi dasar untuk mampu menerapkan kesadaran pembeda yang tinggi ini adalah apa yang disebut daya pemusatan tinggi, pemusatan cita terserap. Dengan kata lain, untuk bisa memusat pada suatu sasaran, terutama kenyataan dari segala sesuatu – bahwa sesuatu itu tidak mengada dalam cara yang mustahil – dengan perhatian kita tidak terbang ke hal lain, dan untuk dapat tetap memusat selama waktu yang kita inginkan. Maka, ini diibaratkan memiliki tujuan yang baik dengan kapak; kita harus bisa selalu memukul titik sasarannya dengan kapak itu, benar-benar mengenai titik tempat kita ingin memangkas kebingungan kita.

Namun, dasar bagi daya pemusatan yang lebih tinggi ini adalah tata tertib yang berbudi pekerti tinggi, dari sinilah pokok kita tentang tata tertib muncul, tentang budi pekerti. Agar mampu memusatkan cita, kita harus memiliki tata tertib untuk memperbaiki perhatian kita ketika ia menyimpang, dan memperbaiki perhatian kita ketika kita menjadi sangat bosan dan mengantuk. Oleh karena itu kita perlu tata tertib. Dan ini diibaratkan memiliki kekuatan untuk mampu menggunakan kapak itu.

Lalu, ketika kita berbicara tentang daya pemusatan, jangan hanya berpikir bahwa ini menyangkut duduk dan bermeditasi tentang kehampaan atau bermeditasi tentang apapun. Jika kita berusaha membantu seseorang, Anda perlu memusatkan cita. Kita perlu memusatkan cita pada apa yang mereka katakan. Ketika kita berbicara dengan mereka, Anda harus mendengarkan; cita kita tidak boleh melayang pada hal lain – pada kapan waktunya makan siang? – dan kita harus menaruh perhatian untuk tidak mengantuk atau melamun. Kita harus mampu memusatkan cita untuk membedakan – inilah makna lain dari kesadaran pembeda – membedakan apa yang akan menjadi hal yang tepat untuk diucapkan, apa yang akan berguna untuk diucapkan, apa yang akan berguna untuk dilakukan, apa yang terbaik untuk tidak diucapkan. Jadi sekali lagi kita memerlukan tata tertib untuk bisa berhenti hanya memikirkan tentang apa yang ingin kulakukan, yang adalah pergi makan siang, dan memikirkan apa yang terbaik bagi orang lain.

Jadi, saya pikir sangat jelas bahwa kita memiliki kebutuhan besar untuk memiliki tertib-diri yang berbudi pekerti; dan dalam lingkung Buddha untuk mampu memiliki daya pemusatan agar kemudian mampu memusat dengan kesadaran pembeda pada kenyataan, dan membantu orang lain.

Sekarang jika kita berbicara tentang daya pemusatan, kita berbicara tentang kegiatan batin, dan kita memerlukan tata tertib, terutama untuk menertibkan cita kita – meskipun jelas kita memerlukan tata tertib untuk bisa duduk, untuk mengatasi kemalasan, untuk mengatasi segala macam gangguan dan sebagainya – tetapi menertibkan cita kita jauh lebih sulit daripada menertibkan perilaku tubuh dan wicara kita. Lalu, bagaimana cara kita mendapatkan kekuatan untuk mampu menertibkan perilaku cita kita? Kita memperoleh itu dari menertibkan tubuh dan wicara kita.

Jadi saya pikir, dengan ini dalam cita, kita memiliki gagasan yang lebih jelas tentang, secara umum, apa yang kita bahas ketika kita berbicara tentang budi pekerti Buddha. Kita perlu memahami dengan sangat baik apa perbedaan antara pendekatan Buddha mengenai budi pekerti dengan pendekatan-pendekatan lain. Bagi sebagian besar dari kita yang tumbuh dalam tata Barat dan dalam cara-cara berpikir Barat atau Timur Tengah, budi pekerti pada dasarnya adalah persoalan hukum. Sehingga kita memiliki hukum-hukum ilahiah yang diberikan oleh Tuhan atau oleh Allah, dan dalam ranah sipil kita memiliki hukum yang dibuat baik oleh raja maupun pemerintah legislatif. Dan seluruh gagasan mengenai budi pekerti ini benar-benar didasarkan pada kepatuhan, mematuhi hukum – baik hukum ilahiah maupun hukum sipil atau keduanya. Dan jika kita patuh, maka kita adalah orang yang baik atau warga negara yang baik, dan jika kita tidak patuh, maka kita adalah orang jahat. Dalam ranah sipil kita disebut penjahat; dalam ranah agama kita disebut pendosa. Jadi kita pada dasarnya jahat dan kita memiliki seluruh perwujudan rasa bersalah; kita bersalah. Sehingga kita memiliki rasa bersalah dalam pengartian hukum, dan kita juga memiliki rasa bersalah dalam pengartian kejiwaan.

Oleh karenanya, begitu banyak budi pekerti kita didasarkan pada gagasan kepatuhan pada hukum. Dan jika kita sangat pintar dan punya cukup uang, kita menyewa pengacara untuk menemukan celah-celah dalam hukum sehingga kita bisa melanggar hukum dan tetap baik-baik saja, tetap sah. Sehingga kemudian kita bisa melakukan ini dalam pengartian sipil; kita juga bisa melakukan segala macam adu-pendapat tentang hukum agama.

Jenis sikap seperti ini terhadap budi pekerti adalah khas Barat atau Timur Tengah, dan ini sama sekali bukan pandangan Buddha. Sebaliknya, budi pekerti Buddha adalah sesuatu yang amat sangat berbeda. Ini tidak didasarkan pada kepatuhan; melainkan didasarkan pada apa yang disebut "kesadaran pembeda." Kita baru saja membicarakan istilah ini, dalam kerangka membedakan antara kenyataan dan khayalan. Tapi di sini, ini utamanya adalah membedakan, atau memilah, antara apa yang berguna dan apa yang berbahaya. Ini sangat berbeda dari membedakan antara apa yang sah menurut hukum dan apa yang tidak sah menurut hukum, seperti seorang pengacara. Ingat, lingkung Buddha dari ini adalah kita ingin keluar dari, atau menyingkirkan, duka. Dan cara untuk melakukannya adalah menyingkirkan sebab duka itu. Itu berarti kita harus membedakan secara tepat apa sebab duka itu. Dan kemudian, kita membutuhkan dorongan untuk menyingkirkan duka itu, mengatasi duka itu. Dan, semua orang tentu ingin bahagia – itu adalah naluri dasar; ini berkaitan dengan naluri bertahan hidup. Ini sangat mendasar. Tapi hampir sepanjang waktu kita tidak benar-benar memahami apa yang akan membantu kita untuk menghasilkan ketiadaan duka, kebahagiaan kita.

Jadi, kesadaran pembeda ini berjalan seiring dengan tertib-diri yang berbudi pekerti. Kita membedakan secara tepat, "Jika aku bertindak dengan cara ini, ini akan menyebabkan masalah – masalah bagiku dan mungkin masalah bagi orang lain, tapi terutama bagi diriku. Dan jika aku bertindak dengan cara yang membangun, itu akan membantuku dan mungkin membantu orang lain." Kita tidak dapat menjamin apa akibat dari perilaku kita terhadap orang lain. Dan kemudian, apakah kita menghindari perilaku merusak atau tidak adalah pilihan kita sendiri; seberapa bersungguh-sungguh kita membawa diri kita, seberapa banyak kita peduli tentang apa yang mungkin kita alami di masa depan. Maksud saya mungkin saja kita tidak tahu apa yang berguna, sehingga jika kita bertemu orang yang bertindak secara merusak semata-mata karena mereka tidak tahu, kita berusaha membantu mereka untuk memahami.

Contoh yang paling dasar, contoh paling umum, adalah anak kecil. Anak kecil tidak tahu bahwa, misalnya, kamu tidak boleh merusak mainan orang lain atau mengambil mainan mereka dan hal-hal semacam ini – Anda harus mengajari mereka. Sekarang indoktrinasi Barat mungkin menyebabkan kita menjuluki anak itu: "Kamu anak nakal," tapi sebenarnya mereka hanya tidak tahu, mereka tidak tahu bagaimana sebaiknya. Jadi, tidak perlu ada rasa bersalah, atau mencoba membuat anak itu merasa bersalah. Ini sama sekali bukan persoalan rasa bersalah; ini persoalan pendidikan. Dan saya pikir siapapun yang menghadapi anak-anak tahu bahwa, jika kita berkata: "Lakukan ini karena aku memerintahkan untuk melakukan hal ini, patuhi saja," ini menyebabkan pembangkangan, bukan? Tapi jika kita bisa membuat anak itu memahami bahwa: "Jika kamu melakukan ini, anak-anak lain tidak akan menyukaimu," dan "Tidak ada yang mau bermain denganmu," dan ajarkan kepada mereka bahwa mereka akan menderita jika mereka bertindak seperti ini – maka mereka belajar.

Selain itu, seseorang bertindak dalam cara yang merusak karena mereka bingung, pada dasarnya, ketika kita memahami itu maka mereka adalah sasaran yang tepat bagi welas asih. Mereka bukan sasaran yang tepat untuk hukuman. Lalu, apa rupa welas asih ketika memasukkan orang ke penjara, jika mereka berkeliaran membunuh orang. Tapi itu karena welas asih – mencegah mereka membunuh orang lain dan menyebabkan lebih banyak masalah bagi diri mereka sendiri. Itulah sikap yang sangat berbeda terhadap kekacauan sipil, orang yang membunuh dan merampok dan sebagainya.

Maka, ini sangatlah penting ketika kita menjalankan laku Buddha, untuk tidak membawa gagasan-gagasan budi pekerti Barat ke ajaran Buddha. Sebagai kaum Barat, kita mendapati begitu banyak masalah muncul dalam laku Buddha kita karena kita secara tidak tepat membawa gagasan budi pekerti Barat ini. Sehingga kita merasa bahwa: "Aku harus melakukan laku meditasi agar menjadi pengikut Buddha yang baik, dan jika aku tidak melakukannya maka aku bukan pengikut Buddha yang baik, aku buruk." Saya rasa Anda perlu cukup bersungguh-sungguh dalam menjalankan suatu laku untuk mencapai titik rasa bersalah itu apabila tidak melakukannya. Dan kita ingin mematuhi guru kita – Yah, itu pola pikir yang sangat aneh dari sudut pandang Buddha. Kita menerima nasihat guru kita, tetapi kita juga menggunakan kesadaran pembeda kita. Kadang-kadang guru kita memerintahkan kita untuk melakukan hal-hal yang benar-benar keterlaluan supaya kita menggunakan kecerdasan kita sendiri.

Ada sebuah catatan dari masa kehidupan terdahulu Sang Buddha, ketika ia belajar dengan banyak murid lain bersama seorang guru, dan guru itu memerintahkan kepada semua murid untuk pergi dan mencuri sesuatu untuknya. Dan semua murid itu keluar untuk merampok, tapi kehidupan terdahulu Sang Buddha hanya tinggal di kamarnya. Dan guru itu pergi ke kamarnya, dan bertanya padanya, "Mengapa kamu tidak pergi dan mencuri untukku? Tidakkah kamu ingin menyenangkanku, membuatku bahagia?" Dan kehidupan terdahulu Sang Buddha ini berkata, "Bagaimana bisa mencuri membuat orang bahagia? ” Jadi semata-mata mematuhi guru itu secara buta, seolah-olah guru itu adalah polisi atau semacamnya – ini bukanlah cara Buddha. Guru memberikan nasihat; guru memberikan pedoman; dan pada akhirnya, apa yang guru itu lakukan untuk membantu kita belajar adalah menggunakan kesadaran pembeda kita sendiri sehingga kita menjadi Buddha itu sendiri. Kita tidak bertujuan untuk menjadi pelayan seorang Buddha; kita bertujuan untuk menjadi Buddha.

Selain itu, kita memiliki wawasan dalam cara Barat – cara berpikir, saya kira – bahwa ada suatu sisi dari hukum yang sifatnya suci. Hukum hampir memiliki kehidupannya sendiri. Hukum ilahi, yang diberikan oleh Tuhan, tidak bisa diubah; dan hukum-hukum sipil, yang meskipun berlaku melalui badan legislatif, tergantung pada tata suatu negara, mereka dapat diubah. Tetapi selain mereka memiliki pengaruh, mereka juga sangat suci. Dan apa yang kita perlu kenali di sini serupa dengan yang kita lakukan dengan meditasi kehampaan. Kehampaan berbicara tentang ketiadaan cara-cara mengada yang mustahil. Jadi, kita perlu mengenali cara-cara mengada yang mustahil dan menyadari bahwa mereka tidak mengacu pada sesuatu yang nyata. Dan salah satu cara mengada yang paling mustahil adalah bahwa ada sesuatu di dalam suatu benda – dalam kasus kita di sini adalah hukum – yang membentuknya, atau yang membuatnya ada, dengan kekuatannya sendiri, tidak bergantung pada apapun. "Ini adalah hukum. Tak peduli apapun keadaannya, tak peduli apapun. Hukum terbentuk, pada dasarnya, dengan sendirinya, berdiri dengan sendirinya."

Pikirkan contoh jaman sekarang. Saya tidak tahu apakah ini diberitakan di sini, tapi ini mendapat banyak publisitas di Eropa Barat – saya berbicara tentang sutradara Roman Polanski, sutradara film. Ia ditangkap, di Swiss, atas permintaan Amerika Serikat agar ia dikembalikan ke Amerika Serikat atas kejahatan pelecehan seksual yang dilakukannya – saya lupa berapa tahun yang lalu – lebih dari tiga puluh tahun yang lalu. Dan ini adalah contoh yang bagus tentang, "Tak peduli itu tiga puluh tahun yang lalu. Tak peduli bahwa perempuan yang terlibat itu berkata, ‘Lupakan tentang itu, aku tidak ingin menuntutnya secara hukum. ' Hukum adalah hukum. Tak seorangpun bebas dari hukum; ia harus menerima hukuman." Ini adalah contoh yang sangat bagus untuk pokok yang saya bicarakan, gagasan bahwa hukum memiliki kehidupannya sendiri, yang tidak bergantung pada apapun, hukum adalah hukum, dan hukum harus dipatuhi. Ini adalah pandangan yang keliru, dari sudut pandang ajaran Buddha.

Ketika kita berbicara tentang budi pekerti Buddha, kita berbicara tentang berbagai pedoman yang Buddha berikan yang bisa jadi akan menyebabkan tindakan-tindakan merusak, menyebabkan duka, atau bagi kelompok tertentu itu akan merusak kemajuan rohani mereka – seperti bagi para biksu dan biksuni agar makan setelah tengah hari, itu membuat cita mereka majal untuk bermeditasi di malam atau pagi harinya. Tapi ketika melihat petunjuk ajaran Buddha, pedoman budi pekerti Buddha, menghindari pembunuhan, misalnya, bukanlah hukum yang semata-mata suci, dipahat pada batu, suatu firman, ini sama sekali bukan seperti itu, bahwa ini suci dan memiliki kehidupannya sendiri. Beberapa dari pedoman itu adalah apa yang kita sebut sebagai perwujudan yang muncul secara bergantung. Mereka muncul atau timbul secara bergantung pada sebab dan keadaan dan unsur-sebab.

Kita bisa melihat ini secara sangat jelas dari perkembangan sumpah-sumpah biksu. Pada awalnya, tidak ada sumpah. Tetapi berbagai keadaan muncul dalam komunitas itu sehingga menyebabkan masalah – baik masalah di antara komunitas itu sendiri atau masalah dengan masyarakat awam yang menyokong mereka, yang memberi mereka makanan. Sehingga Buddha berkata, "Untuk menghindari masalah ini, jangan lakukan itu," sehingga lahirlah sumpah-sumpah itu. Dan ketika Anda mempelajari Vinaya – sumpah-sumpah, aturan-aturan tata tertib – maka bagi tiap-tiap sumpah itu biasanya diberikan catatan tentang bagaimana sumpah ini muncul: apa keadaan yang membuat Buddha membuat sumpah ini. Tapi, dengan semua sumpah ini, selalu ada ketentuan bahwa ketika kebutuhan mengalahkan larangan, maka Anda mungkin harus melanggar sumpah itu.

Saya mengambil sebuah contoh. Seorang biksu tidak boleh menyentuh wanita untuk menghindari berahi. Tapi jelas jika wanita itu tenggelam, biksu itu tidak hanya berdiri dan menyaksikan, biksu itu harus menolong. Jadi, sangat jelas dalam keadaan-keadaan seperti ini bahwa kadang-kadang kebutuhan mengabaikan larangan. Segala sesuatu adalah nisbi; ini nisbi menurut keadaan. Ini bukan persoalan baik atau buruk. Jika kita harus bertindak dalam cara merusak yang akan menimbulkan duka, karena ada kebutuhan untuk melakukan itu, maka kita melakukannya secara sangat sadar, "Aku akan menerima duka yang akan disebabkan oleh ini demi membantu orang lain."

Seperti contoh dari masa kehidupan lain dari Buddha. Ia adalah pengemudi sebuah kapal, dan kapal itu mengangkut lima ratus pedagang di atasnya. Dan ada salah satu dari pendayungnya, yang Buddha tahu hendak membunuh semua pedagang untuk merampok mereka. Dan Buddha melihat bahwa tidak ada cara untuk menghentikan pembunuhan ini kecuali membunuh pendayung itu. Jadi, Buddha sangat rela mengambil akibat karmanya, duka yang bisa muncul karena membunuh, agar dapat menyelamatkan nyawa semua orang itu, dan untuk mencegah pendayung itu membangun akibat-akibat mengerikan dari perilakunya. Ini adalah contoh yang sangat berguna.

Jika kita meninjau sumpah-sumpah bodhisattwa, ada sumpah akar dan sumpah pendukung atau tambahan. Dan sumpah-sumpah tambahan itu, sebagian besar, dapat disusun dalam kelompok enam sikap yang menjangkau-jauh atau kesempurnaan-kesempurnaan, dan yang kita lakukan dalam sikap-sikap ini adalah kita bersumpah untuk menahan diri dari tindakan cela yang akan merusak perkembangan kita dalam sikap yang menjangkau-jauh ini. Ada dua dari sumpah-sumpah ini yang sesuai di sini. Ini berada dalam kerangka perkembangan kita dalam tertib-diri yang berbudi pekerti. Pertama adalah bahwa kita akan menghindari sikap picik ketika menyangkut kesejahteraan orang lain. Ini berarti, "Kau tahu, orang ini tidak seperti ini atau tidak seperti itu, mereka tidak cocok untuk ini atau itu" dan "Oh, sudah waktunya aku melakukan meditasi dan aku tidak bisa membantumu karena saat ini aku harus melakukan meditasi ini." Ini bersikap picik.

Sebagai contoh, ada seorang biksu yang perlu dibantu; ia sedang mengalami masalah. Tapi, ia tidak mengenakan jubahnya dengan benar. Sehingga, "Aku tidak akan membantunya sampai ia memakai jubahnya dengan benar" – ini bersikap picik mengenai hal-hal kecil, bukannya memberi perhatian pada apa yang terpenting untuk membantu seseorang. Sehingga kita perlu memahami itu, maksud saya untuk melihat apa yang penting. Misalnya saja Anda menerjemahkan kuliah saya. Akan sangat picik bagi saya atau orang lain untuk membenarkan tata bahasa Anda, atau pengucapan Anda. Ini picik, hal ini tidak penting dalam kerangka membantu orang lain di ruangan ini untuk memahami apa yang saya katakan.

Sumpah Bodhisattwa kedua yang sesuai di sini, yang kita ingin jauhi adalah tidak melakukan tindakan yang merusak ketika kasih dan welas asih diperlukan. Anak kita sedang sakit parah akibat cacing atau parasit atau sesuatu semacam itu, dan, "Aku tidak akan membunuh mereka, karena dikatakan di sini di dalam buku, 'Jangan membunuh. '" Karena kasih dan welas asih kepada si anak, orang akan membawa anaknya ke dokter, memberi anaknya sesuatu untuk menyingkirkan cacing itu. Tentu saja Anda bisa berkata, "Ya, tapi cacing itu adalah ibuku di kehidupan terdahulu dan semacamnya, dan keseimbangan batin, semua orang sama." Tapi sekali lagi, ini berarti menyikapi Dharma secara bodoh, menjadi terlalu fanatik, Anda tahu, "Tapi ini tertulis di sini, semua orang setara, semua orang pernah menjadi ibuku." Tetapi sangat jelas bahwa dalam kehidupan anak itu sekarang, anak itu bisa jauh lebih bermanfaat bagi orang lain dibandingkan cacing-cacing di perutnya. Maka, kita jangan membunuh cacing itu dengan kebencian dan kemarahan – "Kamu cacing jahat" – kita berharap cacing itu baik-baik saja dan lebih beruntung lain waktu – welas asih – tapi tetap saja, ini adalah sumpah bodhisattwa, kita kadang-kadang karena kasih dan welas asih harus melakukan tindakan yang merusak.

Anda lihat, ini adalah masalah yang kita masuki jika kita memiliki gagasan bahwa hukum adalah hukum dan budi pekerti Buddha adalah berdasarkan hukum dan ini tertulis, ini suci dan tidak luwes. Dan jika Anda menguraikan – seperti yang selalu diajarkan kepada kita – keadaan ini, apa masalahnya di sini? Masalahnya tentu saja adalah menggenggam "aku" yang palsu, demikian kita menyebutnya. Kita memiliki pandangan berganda tentang diri kita sendiri. Ada "aku" ini, “aku” yang padu, yang nakal dan harus ditertibkan; dan kemudian ada "aku" lain yang harus menertibkan – polisi. "Aku harus menghentikan diriku melakukan hal itu," seolah-olah ada "aku," di satu sisi, yang akan menghentikan "diriku," di sisi lain, dari melakukan hal bodoh. Jadi kita berpikir tentang "aku" yang sangat padu di sini – dua "aku" yang padu, penjahat dan polisi – dan jika kita memiliki kesiagaan dan hal-hal semacam ini untuk mengawasi, maka inilah agen KGB yang sebenarnya dalam cita kita, si mata-mata, "Oh, apa yang kamu lakukan?" Dan hukum – yang juga merupakan wujud yang padu. Dan apa hasil dari itu? Hasilnya adalah kita amat sangat kaku dan tidak luwes.

Dan pemahaman yang keliru tentang tata tertib ini bisa diperkuat oleh kesalahan pemahaman tentang beberapa bait dalam naskah Shantidewa Memasuki Perilaku Bodhisattwa. Jika Anda hendak melakukan hal yang bodoh, atau Anda hendak mengatakan sesuatu yang merusak, atau apapun – ada daftar panjang untuk ini – "diamlah seperti balok kayu." Kita bisa salah memahami itu menjadi kaku seperti balok kayu, seperti robot. Dan kemudian kita kaku seperti ini dan, "Aku tidak akan bertindak. Aku tidak akan bereaksi. Aku tidak akan melakukan apa-apa." Itu tidak benar. Menjadi seperti balok kayu berarti "tidak melakukannya," itu bukan berarti "menjadi kaku seperti balok kayu." Kita menjadi kaku seperti robot ketika kita berpikir tentang "aku" yang palsu ini – "Aku harus menertibkan ‘aku’ yang nakal ini, kalau tidak maka aku buruk."

Jadi, bagaimanapun juga kita perlu bersantai. Lalu bagaimana kita melakukannya? Dan bersantai sambil tetap memelihara tata tertib berbudi pekerti yang tepat, ini adalah pokok penting. Pertama-tama, ini berarti memahami bahwa kita tidak berbicara tentang hukum di sini; kita berbicara tentang berbagai pedoman – jika kita ingin menghindari atau mengurangi duka, inilah yang kita perlu hindari, apabila mungkin. Ini bukan suatu hukum yang, "Aku tidak tahu mengapa mereka membuat hukum ini; ini adalah hukum yang bodoh, tapi aku harus mematuhinya." Tidak seperti itu. Tidak ada hukum yang bodoh. Buddha mengatakan hal-hal ini berasal dari welas asih, untuk membantu kita menghindari masalah pada diri kita sendiri. Jadi, pedoman-pedoman ini muncul secara bergantung pada welas asih, bergantung pada mengetahui apa yang menyebabkan masalah, apa yang akan menjauhkan masalah, dan setiap keadaan adalah berbeda – yang kita hadapi, yang orang-orang pada umumnya hadapi – setiap keadaan berbeda. Dan kita harus menggunakan kesadaran pembeda untuk memutuskan, dalam keadaan ini, apa cara bertindak yang bermanfaat, apa yang kita perlu jauhi. Dan ini harus muncul secara alami, secara spontan, bukan dalam kerangka berganda tentang polisi menertibkan penjahat.

Maka, yang berguna adalah memahami apa sebenarnya yang kita maksud dengan tertib-diri yang berbudi pekerti dalam ajaran Buddha. Apakah itu? Dan dalam lingkung Buddha, setiap detik pengalaman kita terdiri dari amat banyak bagian yang berbeda. Bagian-bagian ini dapat disusun ke dalam lima kelompok, disebut lima gugusan. Kita memiliki waktu pengalaman – saat ini. Dan saat ini, detik ini, apa yang membentuk pengalaman saya? Ada amat banyak bagian untuk itu. Jelas tubuh saya; berbagai alat indra saya – sel-sel mata saya dan sebagainya; ada bagian-bagian yang saya sadari; ada berbagai jenis kesadaran – melihat, mendengar; perasaan-perasaan yang berbeda; berbagai jenis unsur batin lain seperti daya pemusatan, perhatian, minat. Dan semua itu dapat dimasukkan ke dalam lima kelompok, sekadar cara untuk menata – bukan berarti kelompok-kelompok ini ada di suatu tempat – sekadar pola penataan. Itu semua disebut "lima gugusan." Kita tidak perlu merinci apa saja kelima gugusan ini, tapi yang tersebar di antara kelimanya adalah sesuatu yang disebut "unsur batin." Jadi, ada unsur-unsur batin yang merupakan bagian dari kelompok-kelompok ini. Dan, tertib-diri yang berbudi pekerti adalah sebuah unsur batin, jadi kita perlu memahami apa itu dalam kerangka ia menjadi unsur batin.

Apakah yang dimaksud dengan unsur batin? Kita membedakan unsur batin dengan apa yang disebut "kesadaran dasar." Mari kita berbicara sedikit seperti cara penjelasan Barat. Di setiap waktu, kita mendapatkan informasi dan mengolah informasi. Dan informasi itu akan menuju ke otak kita dalam rupa rangsangan-rangsangan listrik dan kimia. Kesadaran dasar adalah sesuatu yang bisa mengetahui apa jenis informasi itu. Jadi kesadaran dasar akan menyadari bahwa ini adalah informasi gambar, atau menyadari bahwa ini adalah informasi suara, atau informasi sensasi ragawi – seperti panas dan dingin. Jelas itulah yang terjadi; kalau tidak bagaimana otak bekerja dan mengolah informasi ini? Itu hanyalah rangsangan-rangsangan listrik.

Dan sekarang unsur-unsur batin yang menyertainya – menyertai kesadaran dasar ini. Dan mereka membantu kesadaran itu untuk berhadapan dengan informasi tersebut. Sehingga ini bisa berupa memberi perhatian, bisa berupa minat, bisa berupa rasa bahagia atau tidak bahagia tentang itu, ini bisa berupa suatu perasaan – baik positif atau negatif – ada banyak, banyak sekali unsur batin. Dan banyak dari mereka yang menyertai setiap saat dari pengalaman kita, dari kehidupan kita. Dan tertib-diri yang berbudi pekerti adalah salah satu dari ini.

Lalu apa pengertiannya? Pertama-tama, itu merupakan sub-kelompok dari satu unsur batin yang disebut "desakan batin." Desakan batin adalah hal yang menyebabkan kegiatan batin kita pergi ke haluan tertentu, untuk melakukan sesuatu. Ini bisa berupa desakan untuk menggaruk kepala kita; ini bisa berupa desakan untuk mengatakan sesuatu; atau, ini bisa berupa desakan untuk tidak mengatakan sesuatu, untuk menahan diri dari mengatakan sesuatu, atau untuk menahan diri dari pergi ke lemari es.

Jadi itu adalah unsur batin yang bisa menyertai kita menonton televisi. Sehingga ada semua gambar dan hal-hal yang berhubungan dengan indra penglihatan terjadi, tapi kemudian ada desakan untuk pergi ke lemari es. Dan itu menyertai ketika kita menonton televisi. Dan, kita bisa bertindak berdasarkan desakan itu atau tidak. Atau itu bisa berupa hasrat untuk pergi ke lemari es – itu unsur batin lain – dan kita bisa memiliki desakan tertib-diri yang berbudi pekerti, yang mengatakan, "Tidak, aku tidak akan pergi ke lemari es meskipun aku ingin. Aku ingin pergi ke lemari es dan mengambil apapun yang aku sukai – sepotong kue atau cokelat atau apapun – tetapi dengan tata tertib, aku akan menahan diri dari itu karena aku tidak benar-benar membutuhkannya. Aku mengatur pola makan atau alasan lain."

Jadi, kini kita dapat meninjau arti tertib-diri yang berbudi pekerti. Ini adalah desakan batin untuk melindungi tindakan-tindakan tubuh, wicara dan cita seseorang – "melindungi" berarti mengawal dalam melakukan sesuatu – dan ini berasal dari menjauhkan cita seseorang dari keinginan untuk membahayakan orang lain. Sehingga, karena saya tidak ingin menyakiti orang lain, saya akan melindungi, saya akan menahan diri dari bertindak secara merusak. Desakan itulah yang akan berkata, "Tidak, aku tidak akan melakukannya; aku tidak akan membentakmu karena membuat kesalahan; aku tidak akan memukul seseorang; apapun." Dan ini juga bisa berasal dari menjauhkan cita seseorang dari unsur-unsur batin yang mengganggu dan merusak yang mendorong orang untuk menyakiti orang lain. Seperti kemarahan: "Aku tidak akan bertindak atas dasar kemarahan, aku akan berusaha mengatasi kemarahanku," dan berdasarkan itu, saya memiliki desakan yang akan membantu saya untuk menahan diri dari marah.

Tapi tata tertib di sini, tertib-diri yang berbudi pekerti ini, bukan semata-mata – pada waktu ketika saya ingin membentak Anda – saya menahan diri, tapi rupa umum dari inlilah yang terjadi pada kesinambungan batin kita yang merupakan pedoman umum: "Aku akan menahan diri dari jenis perilaku tertentu. Dan aku akan menggunakan kewaspadaan – yang seperti lem batin, untuk membuat diriku tetap berpegang pada ini – dan kesiagaan – untuk mengawasi jika aku tersesat." Dan kita di sini tidak semata-mata berbicara tentang menahan diri dari perilaku merusak yang akan merugikan orang lain, tapi ada banyak sub-golongan dari tertib-diri yang berbudi pekerti. Jadi, lebih umumnya, menahan diri dari perilaku merusak yang akan merugikan saya, tidak hanya merugikan orang lain, dan menahan diri dari menghindari tindakan-tindakan positif. Dengan kata lain, tata tertib untuk melakukan hal-hal positif seperti bermeditasi, belajar, melakukan berbagai laku rohani. Dan juga, ada tata tertib yang berbudi pekerti untuk membantu orang lain.

Jadi ada tiga jenis tertib-diri yang berbudi pekerti: menahan diri dari perilaku merusak, memasuki perilaku yang membangun, dan membantu orang lain. Dan tata tertib yang berbudi pekerti ini adalah unsur batin yang menggerakkan cita ke haluan tertentu, dan itu melindungi perilaku kita dalam kerangka untuk tidak bertindak secara merusak, untuk bertindak secara positif, dan untuk menolong orang lain. Jadi tata tertib ini melindunginya, tata tertib ini menjaganya. Anda harus memahami apa arti melindungi. Melindungi adalah bersikap hati-hati.

Satu unsur yang menyertai ini – unsur batin lainnya – disebut "sikap peduli." Dan ini diartikan sebagai unsur batin yang secara bersungguh-sungguh memikirkan keadaan orang lain dan diri sendiri, dan secara bersungguh-sungguh memikirkan akibat dari tindakan seseorang terhadap orang lain dan terhadap dirinya sendiri, dan yang, akibatnya atau karena itu, menyebabkan seseorang membangun kebiasaan sikap dan perilaku yang membangun, dan melindungi dari sikap dan perilaku yang merusak. Ini kadang-kadang bisa juga diterjemahkan sebagai "kehati-hatian," cermat. Jadi, saya peduli, saya memikirkan secara bersungguh-sungguh bahwa apabila saya membentak Anda, ini akan membuat Anda merasa buruk; Jika saya membentak Anda, saya akan menjadi sangat buncah dan bahkan seketika itu juga saya tidak akan bisa tidur dan saya akan sengsara. Apakah kita memikirkan secara bersungguh-sungguh tentang akibat perilaku kita bagi orang lain dan bagi diri kita sendiri? Dengan demikian, ini membantu saya untuk mengembangkan perilaku yang membangun dan menghindari perilaku yang merusak.

Jelas, kita memerlukan ini supaya memiliki tertib-diri yang berbudi pekerti. "Aku memikirkan secara bersungguh-sungguh bahwa," seperti yang saya katakan, "jika aku bertindak secara merusak, ini akan menyebabkan masalah, atau jika aku tidak membantu, ini hanya benar-benar tidak akan membantu. Jika aku tidak membantu wanita dengan kereta bayi yang sedang kesulitan menaiki tangga ini – jika aku tidak membantu membawa bayi dan keretanya menaiki tangga, ini sangat buruk. Seandainya aku adalah orang yang punya bayi itu, aku pasti akan mengharapkan­ seseorang membantuku."

Maka kita memiliki tertib-diri yang berbudi pekerti ini ketika saya selalu ingin berada di haluan ini. Saya menjaga tata tertib sepanjang waktu, karena saya memiliki sikap peduli ini; dan saya menggunakan kewaspadaan untuk menjaga diri saya untuk tetap melekat pada ini; dan kesiagaan untuk mengawasi jika ada penyimpangan; dan kesadaran pembeda untuk membedakan apa yang pantas, apa yang tidak pantas, apa yang sesuai untuk keadaan itu, tidak hanya dengan hukum, dengan hukum nomor dua titik tiga tujuh enam. Kemudian, kita melakukan ini tanpa menjadi kaku, karena kita tidak memiliki rasa berganda bahwa ada "aku" si penjahat dan "aku" si polisi yang harus selalu menjaga si penjahat.

Ketika kita berbicara tentang "aku" dari sudut pandang Buddha, ada yang dikenal sebagai "’aku yang lazim." Jadi, kita dapat mengacu pada setiap saat sebagai "aku" – aku melakukan ini, aku melakukan itu. Dan "aku" bukan hanya kata atau wawasan; “aku” mengacu pada sesuatu. “Aku” bukanlah sebuah wujud mandiri yang duduk di suatu tempat dalam diri kita. Bahkan seandainya Anda adalah ahli bedah, Anda membongkar tubuh atau membongkar otak, Anda tidak bisa menemukan "aku" ini. Kita memiliki semua perangkat ini bekerja – tubuh, cita, perasaan, semuanya – sehingga kita bisa membedakan “aku” dengan “orang lain.” Dengan sikap peduli, kita peduli tentang akibat perilaku kita pada "aku" yang lazim. Jika kita tidak memiliki kesadaran tentang "aku" yang lazim, kewaspadaan tentang "aku" yang biasa, maka kita tidak akan peduli tentang apapun. Saya tidak akan peduli tentang menjadi tercerahkan; saya tidak akan peduli tentang bangun dari tempat tidur di pagi hari. Ini tidak bisa ditiadakan. Namun, ketika kita memandang diri kita sebagai ini "aku” yang padu – wujud ini, sesuatu ini di dalam diriku – maka kita memiliki pandangan berganda ini: penjahat dan polisi yang harus menjaga, dan kita menjadi sangat kaku, sangat tidak luwes, dan itu memunculkan masalah.

Untuk membedakan antara "aku" yang lazim, yang memang ada, dan “aku” yang palsu dan mustahil, yang sama sekali tidak ada – ini jelas sangat sulit untuk dilakukan. Ini melibatkan banyak sekali penyelidikan, mawas diri, dsb. Tapi ketika kita adalah orang yang berbudi pekerti, dan kita memiliki tertib-diri yang berbudi pekerti, jika dalam perjalanan menjadi seperti itu kita sangat kaku, tidak luwes, dan tidak benar-benar tenang – dengan kata lain, kita tidak nyaman, secara batin, secara perasaan – maka mungkin kita sedang menjalankan tata tertib dengan dasar berpikir tentang "aku" yang mustahil, "aku" yang padu ini. Jika kita lebih santai – dan "santai" bukan berarti ceroboh, melainkan lebih nyaman dalam kerangka tata tertib yang berbudi pekerti, dan kita mampu bertindak dalam cara yang sesuai dengan tiap keadaan, dengan mempertimbangkan apa yang bermanfaat bagi orang lain, apa yang bermanfaat atau merugikan bagi diri kita sendiri, tanpa menjadi marah tentang "Oh, aku tidak bisa melakukan itu" – maka barangkali kita sedang menjalankan tata tertib yang berbudi pekerti – kita menyebut itu sikap-sikap yang menjangkau-jauh.

Sikap yang menjangkau-jauh, atau paramita, adalah ketika kita menjalankan tata tertib yang berbudi pekerti, kesabaran, dsb. , dengan dorongan bodhicita – maka itu menjadi sikap yang menjangkau-jauh. Sebenarnya Anda juga memiliki paramita dalam Hinayana – yaitu ketika ini dijalankan dengan tekad untuk bebas, atau penyerahan. Dalam Mahayana, ini adalah ketika ia dijalankan dengan bodhicita. Jadi kita sebenarnya memiliki paramita atau sikap yang menjangkau-jauh dalam kedua aliran ini. Tapi bagaimanapun, inti perkataan saya adalah ketika Anda menjalankan sikap-sikap yang menjangkau-jauh, kesempurnaan-kesempurnaan ini, maka selalu disarankan agar dengan tiap-tiap dari enam sikap yang menjangkau-jauh ini Anda menjalankan lima lainnya pada waktu yang sama, bersamaan dengan mereka. Sehingga, dengan tertib-diri yang berbudi pekerti, kita perlu memiliki kesadaran pembeda tentang "aku" yang terlibat, "kamu" yang terlibat, dan tata tertib itu sendiri – semua hal ini – ini amat sangat penting.

Itulah penyajian dasar tentang tertib-diri yang berbudi pekerti dalam ajaran Buddha. Kita dapat memahami bahwa itu adalah hal yang sangat utama, laku yang sangat utama. Ini dijalankan dan dikembangkan untuk mencapai kebebasan dan pencerahan, tidak hanya untuk menjadi warga negara yang baik atau orang yang baik. Ini tidak didasarkan pada mematuhi hukum, baik yang ditentukan oleh kekuasaan ilahi maupun oleh pemerintah. Di sini tidak melibatkan wawasan tentang menjadi orang baik atau orang jahat, atau rasa bersalah, atau imbalan dan hukuman. Dan ini adalah unsur batin, baik untuk menghindari perilaku merusak – merusak bagi orang lain dan bagi diri sendiri; untuk memasuki hal-hal yang positif dan membangun, seperti meditasi; dan untuk membantu orang lain, dengan cara apapun yang kita bisa. Dan, ini adalah sesuatu yang menarik perilaku kita menuju haluan ini – desakan batin – untuk menjaga agar tidak melakukan hal-hal ini – tidak membantu, tidak melakukan hal-hal positif, tidak menahan diri dari hal-hal yang merusak. Kita menjaga dari bertindak secara merusak, tidak bertindak secara membangun dan tidak membantu orang lain. Kita ingin menjauhi tindakan yang tidak membantu mereka. "Aku terlalu sibuk untuk membantumu. Aku tidak peduli. Itu masalahmu, sungguh malang." Dan unsur batin tata tertib yang berbudi pekerti ini disertai dengan sikap peduli, kewaspadaan dan kesiagaan, dan kesadaran pembeda.

Baik, demikianlah. Apakah Anda punya pertanyaan?

Kita tahu cara untuk mengembangkan tataran-tataran tersebut, dan pertanyaannya adalah apakah kita membutuhkan cara ini selamanya, atau pada suatu waktu kita akan mampu memelihara tataran-tataran cita itu tanpa bersusah-payah, tanpa cara apapun?

Ya, itu benar. Tahap-tahap yang sebenarnya untuk semua hal positif yang kita coba kembangkan dalam laku Buddha ini adalah pertama-tama kita mendengar tentang itu, dan kemudian kita menjalankannya hanya berdasarkan mendengar tentang itu. Tapi setelah itu kita harus berpikir tentang itu sampai kita memahaminya dan yakin bahwa itu benar – jadi barangkali hanya mendengar tentang itu, kita mungkin tidak menjalankannya. Tapi kemudian kita menjalankan tata tertib yang berbudi pekerti ini berdasarkan meditasi, yang berarti bahwa kita sebenarnya membangun melalui sebab-sebab, dan tahap-tahap dan cara-cara itu. Dengan menggunakan kewaspadaan, kesiagaan, dst. – kita memiliki berbagai cara – kita mengembangkan sikap peduli, dst. , yang akan menopang tata tertib yang berbudi pekerti ini. Selain itu, sebagian orang tinggal di dekat guru rohani, atau selalu menyadari keberadaan gurunya – ada banyak cara yang membantu kita untuk mengembangkan tertib-diri yang berbudi pekerti – berada dalam komunitas yang tepat yang mendukung ini. Hal ini disebut pengembangan yang diusahakan – kita harus mengembangkannya dengan usaha, kerja, upaya. Tapi akhirnya ini menjadi tanpa usaha, dan "tanpa usaha" berarti hal yang sebenarnya, bahwa Anda tidak perlu bergantung pada suatu cara untuk mengingatkan diri Anda mengapa aku ingin melakukan ini dan seterusnya; ini muncul secara alami.

Kita memiliki sumpah-sumpah bodhisattwa, dalam sumpah-sumpah tambahan terdapat daftar sembilan hal yang perlu dihindari, yang akan merugikan bagi pengembangan tertib-diri yang berbudi pekerti kita, misalnya bersikap picik ketika menyangkut kesejahteraan orang lain. Kita harus mengingatkan diri kita tentang hal-hal ini, menempatkan ini ke dalam laku karena kita ingin menghindarinya, karena ini akan merusak perkembangan kita. Ketika tertib-diri yang berbudi pekerti kita menjadi tanpa usaha, bukan berarti kita mengabaikan sumpah-sumpah bodhisattwa ini, bahwa "Aku tidak membutuhkan mereka lagi." Ini berarti, "Aku tidak perlu mengingatkan diriku setiap hari tentang ini, karena aku ingat." Dan bukan sekadar, "Aku ingat itu" seperti "Aku ingat kata-kata itu" atau "Aku bisa mendarasnya dalam benakku;" kita tidak berbicara tentang itu. Kita berbicara tentang, ini benar-benar menyatu ke dalam perilaku kita, dan ini tidak dipaksakan. Pada awalnya banyak dari laku yang kita kembangkan menjadi sangat dibuat-buat. Tapi hanya melalui pembiasaan yang berulang-ulanglah hal ini menjadi alami dan menyatu. Meskipun tidak menggunakan pengistilahan ini secara persis, tetapi jika kita menggunakan pengistilahan ini secara sangat longgar, itulah perbedaan antara pemahaman bersekat dan nirsekat, perwujudan. Tapi itu bukan penggunaan yang tepat secara teknis dari kata-kata itu, tapi di Barat kita cenderung menggunakan kata-kata itu secara longgar seperti ini.

Top