Hukum dan Ragam Karma

Hukum Karma Pertama

Ada segi-segi umum tertentu dari karma, yang disebut “empat hukum karma”. Kalau kita tanya mengapa keempat hukum ini berlaku demikian, memang demikianlah adanya. Sama saja seperti bertanya mengapa setiap orang ingin bahagia dan bukan duka? Begitulah adanya. Kita memang harus menerima hal-hal tertentu sebagaimana adanya.

Hukum pertama ialah kepastian tentang akibat. Saat kita mengalami ketakbahagiaan atau rasa sakit, sudah pasti itu datang dari tindakan-tindakan merusak yang kita lakukan sendiri sebelumnya. Demikian pula, saat kita mengalami kebahagiaan, itu merupakan akibat dari tindakan atau perilaku membangun yang kita perbuat sendiri sebelumnya. Patut ditegaskan bahwa seperti itulah cara pengungkapannya. Bukan dengan tata nalar: kalau kita bertindak merusak, duka pasti jadi akibatnya. Itu sama saja tak mengakui adanya pemurnian karma. Bukan berarti bahwa kita akan dihukum. Tapi maksudnya, saat kita tak bahagia, sudah pasti apa akarnya. Bukan berasal dari makhluk yang lebih tinggi, atau dari suatu keadaan yang tak berhubungan sama sekali. Bukan berasal dari antah-berantah. Akarnya adalah perilaku kita sendiri.

Dalam ajaran Buddha, saat kita bicara tentang hubungan antara perilaku dan pengalaman kebahagiaan dan ketakbahagiaan, kita tidak bicara tentang apa dampak perilaku kita terhadap pengalaman yang lain. Tidak mutlak pasti apa dampak perilaku kita terhadap makhluk lain. Tidak pasti pula apa yang akan kita alami sebagai akibat dari perbuatan orang lain pada kita. Jika memang ketakbahagiaan yang kita alami, itu merupakan akibat dari perilaku merusak yang kita perbuat sendiri sebelumnya. Pikiran “aku, aku, aku” dalam benak kita menyebabkan warisan karma dari perilaku merusak kita di masa lalu matang dan kita mengalami ketakbahagiaan. Perbuatan orang lain pada kita hanyalah unsur-sebab bagi pematangan tersebut.

Apa kita bisa memilih apa yang kita rasakan saat dihardik orang, atau apa pilihan kita hanya atas cara kita menanggapinya saja?

Sukar untuk memisahkan cara kita menanggapi setaraf kebahagiaan atau ketakbahagiaan dari perasaan sesungguhnya atas setaraf kebahagiaan atau ketakbahagiaan tersebut. Ini karena jika kita terus-menerus meyakini “aku, aku, aku”, kita memicu matangnya warisan karma sehingga kita merasa tak bahagia ketika kita mendengar hardikan itu. Namun pada saat berikutnya, karena kita terus meyakini “aku, aku, aku”, kita bergantung pada ketakbahagiaan itu dengan hasrat kuat untuk terlepas darinya. Keyakinan itu kemudian memicu matangnya rasa seperti ingin membalas kata-kata mereka, yang kemudian bisa menyebabkan timbulnya desakan untuk mengucapkan kata-kata kotor, yang bisa jadi kita lakoni atau utarakan. Keyakinan itu dapat pula memicu suatu tanggapan rasa seperti tak ingin mengucapkan apa-apa, karena kita paham itu tak ada gunanya, dan itu dapat berujung pada desakan membangun untuk tetap diam. Tapi tetap saja keyakinan kita pada “aku” yang padu dapat membuat kita tak bahagia saat mendengar kata-kata ini dan membuat kita melekat pada “aku” untuk terlepas dari ketakbahagiaan itu dan mungkin juga menyertai desakan karma untuk tetap tenang.

Memang rumit sekali. Betul-betul bergantung pada cara kita memaknai dan menelaah kata menanggapi. Sampai mana sebuah tanggapan itu mesti dilakukan secara sadar dan dengan kehendak atau niat tertentu? Bagaimana kita memahami tanggapan otomatis? Memangnya apa arti tanggapan otomatis itu? Apa yang membuat sesuatu itu jadi otomatis? Misal kita ini sedang menelaah karma dengan setelan kerumitan tingkat-dua, kita harus mengubah setelannya dan naik sampai tingkat-lima untuk menelaah persoalan ini dengan benar.

Meski saya mengungkapkannya secara jenaka, seperti itulah sebenarnya cara kita belajar Dharma. Jangan pernah puas dengan tingkat kerumitan pemahaman Anda. Malah sebetulnya itulah salah satu isi dari sumpah tantra. Sebelum kita mencapai kemahatahuan seorang Buddha, akan selalu ada tingkat pemahaman yang lebih dalam dan rumit selagi kita melebarkan pandangan teropong kita dan mulai mempertimbangkan semua unsur lain yang terlibat, karena, pada kenyataannya, segala sesuatu itu terhubung dengan segala hal lain.

Bisa Anda beri contoh cara menghilangkan yang naik dan turun itu?

Naik dan turun itu mencirikan samsara. Untuk membebaskan diri dari naik dan turun, kita harus keluar dari samsara. Pembebasan muncul dari pengetahuan kehampaan yang gamblang dan nirsekat dan pembiasaan cita dengan pengetahuan tersebut sehingga ia jadi bersifat terus-menerus dan kita tak lagi memicu matangnya warisan-warisan karma. Untuk menghentikan permainan bingo karma, kita tidak harus menyingkirkan semua bola ping-pongnya; kita harus berhenti menekan tombolnya.

Warisan-warisan karma dan kebiasaan-kebiasaan karma yang terus-menerus bukanlah hal-hal bendawi. Mereka bukanlah hal-hal maujud yang bercokol dalam cita kita. Dalam arti, mereka hanyalah cara-ungkap: cara-cara mudah untuk menggambarkan apa yang terjadi. Saya beri satu contoh sederhana. Kita minum kopi pagi tadi, siang tadi, dst. Untuk menjelaskan ini, kita bilang kita punya kebiasaan minum kopi. Kebiasaan itu bukanlah suatu hal maujud yang bercokol dalam benak kita; ia hanyalah cara menyatukan dan menggambarkan rangkaian kejadian-kejadian yang serupa ini. Sepanjang masih ada kemungkinan bahwa kita akan minum kopi esok hari, kita bisa bilang kita masih memiliki kebiasaan itu. Jika tidak sama sekali tidak ada kemungkinan kita minum kopi lagi, kita tak bisa bilang bahwa kita masih memiliki kebiasaan itu. Selesai sudah. Seperti itulah kita mengenyahkan sebuah kebiasaan: kita menghilangkan kemungkinan adanya kejadian lebih lanjut dalam rangkaian tersebut.

Bisakah disederhanakan jadi sekadar sadar penuh atas apa yang menyebabkan saya bahagia dan tak bahagia dan kemudian mengerjakan apa yang membuat saya bahagia dan tak mengerjakan apa yang membuat saya tak bahagia?

Itu langkah pertama. Kita kemudian harus lanjut lebih dalam lagi dan mulai berupaya memahami kehampaan. Akan tetapi, meski itu cuma langkah pertama, kita tak bisa melewatkannya. Kita harus mengambil langkah pertama itu untuk maju lebih jauh. Jika kita terus bertindak merusak, kita tidak akan pernah memiliki lingkungan yang dibutuhkan untuk masuk lebih dalam pada meditasi, karena kita akan terus-menerus mengalami rasa sakit yang tak bisa dipercaya, dan seterusnya. Saat kita cocokkan potongan teka-teki ini dengan kelahiran kembali manusia yang berharga, kita menyadari bahwa kita membutuhkan keadaan-keadaan manusia yang berharga untuk mampu meneruskan laku. Jika tidak, kita tak akan pernah beranjak ke mana-mana. Untuk memperoleh keadaan-keadaan manusia yang berharga ini kita perlu berhenti bertindak merusak, atau setidaknya mengecilkannya.

Pokok lain mengenai kepastian akibat-akibat: yang kita alami sekarang ini tidaklah mesti berdasar pada perbuatan kita sekarang ini. Saat berselingkuh, kita mungkin menikmatinya dan mengalami kebahagiaan. Demikian pula, jika kita merasa seperti ingin berhubungan kelamin dengan pasangan orang lain dan kita menahan diri, kita mungkin mengalami ketakbahagiaan dan kekecewaan. Segera setelah hubungan kelamin sebagai bagian dari sebuah perselingkuhan, kita mungkin merasa bersalah atau kita mungkin merasa bahagia karena lolos darinya. Oleh karena itu, tingkat kebahagiaan atau ketakbahagiaan yang sedang kita alami bukanlah akibat dari perbuatan yang sedang kita lakoni pada saat itu atau bahkan segera setelahnya, namun merupakan akibat dari warisan karma yang berasal dari sesuatu di masa lampau. Itulah satu-satunya cara menjelaskannya. Jika tidak demikian, segala sesuatu jadi semena-mena.

Perbuatan orang lain pada kita atau perbuatan yang sedang kita lakukan sekarang ini adalah sebuah unsur-sebab, tapi bukan sebuah unsur-sebab penentu bagi perasaan kita. Yang sebenarnya menyebabkan bola ping-pong baru muncul lagi adalah keyakinan pada “aku” yang padu yang ingin bahagia dan bukan tak bahagia, walau itu bisa dialami, dalam istilah Baratnya, secara tak sadar sepenuhnya.

Mengapa bola ping-pong yang satu muncul dan yang lain tidak? Kita harus memahami semua jenis unsur yang berlaku sebagai penyebab dan keadaan. Itulah mengapa dikatakan bahwa hanya seorang Buddha yang mampu memahami mengapa warisan-warisan karma tertentu matang pada saat tertentu.

Hukum Karma Kedua

Hukum karma yang kedua adalah peningkatan akibat. Perumpamaan yang biasa digunakan untuk ini: dari benih kecil tumbuh pohon yang amat besar. Semakin lama kita tunggu sebelum kita mencoba memurnikan diri dari perbuatan negatif, semakin kuat daya warisan karmanya dan semakin kuat pula akibat-akibatnya. Contohnya, jika kita bertengkar dengan pasangan kita, semakin lama kita membiarkan hal itu tanpa minta maaf, semakin besar dan parah pulalah ia. Pada sisi positifnya, ganjaran-ganjaran besar dapat timbul dari kehadiran kita pada suatu kuliah Dharma.

Bagaimana cara memahaminya? Saya akan menjelaskan sedikit jalan yang saya tempuh dalam mencoba mengupayakan bahan Dharma untuk mendapat kewaskitaan. Saya rasa akan mudah menelaah ini dalam kerangka jejaring. Dan, seperti yang telah saya katakan, saya rasa jadi mudah jika kita membayangkan sedang mencocokkan potongan-potongan teka-teki. Dalam hal peningkatan satu tindakan karma, kita harus tambahkan ajaran-ajaran mengenai kehampaan dan kemunculan bergantung pada ajaran-ajaran tentang karma. Tindakan itu sendiri, daya karma itu, tidak mengada secara terpencil dengan sebuah garis batas yang padu dan tebal di sekelilingnya, membesar dan membesar dengan sendirinya. Itu tak pas dengan ajaran-ajaran sisanya, bukan? Banyak daya karma lain yang sedang terjadi dan mereka semua saling terhubung satu dengan yang lain.

Mari kita lihat contohnya. Andaikan kita pulang terlambat dan tak menelepon terlebih dahulu untuk memberitahu pasangan kita. Itu awal mula dari pertengkarannya. Itu merupakan sebuah daya karma negatif. Lalu, paginya, kita tak bilang, “Selamat pagi, sayang,” tapi kita langsung saja ke kamar mandi. Itu satu lagi daya karma dan ia berjejaring dengan perbuatan kita kemarin. Kemudian kita baca koran selama sarapan dan tak mengucapkan sepatah kata pun. Kita bisa lihat betapa daya karmanya jadi semakin besar dengan menggabungkan dan menjejaringkannya dengan tindakan yang harusnya hambar (netral), seperti baca koran. Saya rasa seperti itu cara kita bisa memahami ajaran tentang peningkatan akibat ini. Tindakan kecil itu tidak tumbuh membesar dengan daya bawaannya. Ia meluas lebih dan lebih lagi sehingga akibatnya semakin besar dan besar. Bukan sekali pukul saja.

Penting sekali bahwa kapan saja kita mendengar ajaran Dharma kita mencoba mencocokkannya dengan potongan-potongan teka-teki lain yang telah kita pelajari. Dan, seperti yang saya katakan tadi, potongan-potongan itu saling cocok secara beranekamatra, dengan banyak cara. Potongan kehampaan akan cocok dengan banyak potongan lainnya. Sang Buddha atau guru manapun hanya bisa memberikan potongan-potongan teka-teki itu pada kita; terserah pada kita untuk menyatukannya atau tidak. Dalam menggabungkan potongan-potongan tersebut, sewajarnya kita harus mengembangkan kesabaran, keteguhan, pemusatan perhatian, dan seterusnya. Itulah cara kita membuat kemajuan di atas jalan yang kita tempuh. Kalau kita hanya mengumpulkan potongan teka-teki dan menyimpannya di laci, kita akan di situ-situ saja. Terpaku pada satu potongan teka-teki saja dan tidak ambil pusing dengan potongan lainnya juga membuat kita tak beranjak ke mana-mana.

Tentu saja, kita tak ingin dibanjiri dengan banyak potongan sekaligus, tapi kita perlu menyadari dan menghargai bahwa kesempatan-kesempatan untuk memperoleh potongan-potongan teka-teki itu tak muncul setiap saat. Siapa yang tahu apa yang akan terjadi di dunia ini, khususnya kini setelah 11/9? Orang Tibet selalu melihat segala sesuatu dengan cara pandang ini: mereka mereguk ajaran-ajaran dan sebagainya untuk menanam naluri bagi kehidupan-kehidupan mendatang. Sekalipun kita tidak berpikir dalam kerangka kehidupan mendatang, setiap kali datang kesempatan untuk memperoleh ajaran, sekalipun kita belum cukup siap untuk menghadapi atau mengolahnya, tak ada ruginya untuk mencoba mendapatkan potongan-potongan teka-teki tambahan, karena kita tahu kita akan mengupayakannya nanti di hari depan.

Kadang orang gelagapan karena mereka mendengar terlalu banyak. Memang tidak baik jika kita mencoba mendapat lebih banyak ajaran dalam tataran cita negatif seperti itu karena kita tak membuka diri. Di lain pihak, jika kita kesana-kemari memungut lebih dan lebih banyak ajaran tapi tak pernah mencoba mengolahnya, tataran cita yang serakah tapi malas itu jadi kebalikan tataran cita yang satunya. Ajaran-ajaran Buddha selalu menganjurkan jalan tengah di antara terlalu banyak dan terlalu sedikit. Kita benar-benar butuh sabar untuk menanggung kesukaran-kesukaran yang dihadapi saat belajar Dharma, yang berarti bukannya jadi marah atau kecewa karenanya tapi mencoba untuk seterbuka mungkin. Nantinya kita akan mampu memahami segala sesuatu yang tak kita paham sekarang. Tak peduli sebaik apa kita pikir pemahaman kita tentang sesuatu sekarang ini, dalam satu atau dua tahun ketika kita menjejaringkannya dengan setiap hal lain yang telah kita pelajari selama itu, pemahaman kita akan jadi jauh berbeda. Pemahaman itu akan berubah dan bahkan jadi lebih baik. Ini berhubungan dengan hukum karma ini, peningkatan akibat-akibat. Segala sesuatu itu berjejaring. Tak ada yang mengada dalam keterpencilan.

Hukum Karma Ketiga

Hukum karma ketiga: Anda tidak akan mengalami suatu akibat karma kalau tidak membina sebab karmanya. Setelah 11/9, ada seorang pria yang cukup kerap masuk televisi; ia merupakan direktur sebuah agensi pialang saham besar. Ia punya tujuh ratus karyawan, semuanya tewas. Karena ia sedang mengantar anaknya masuk sekolah untuk pertama kalinya, ia tidak berada di gedung itu saat serangan terjadi. Ia tak punya sebab karma apapun yang akan berakibat pada kematiannya dalam serangan itu, namun setiap orang yang tewas pada serangan itu pasti telah memilikinya, bahkan sedari sejuta tahun yang lalu. Ada juga yang bilang pada saya bahwa ada seseorang yang lompat dari lantai kedelapan puluh satu dari gedung itu dan hanya mengalami patah kaki. Bagaimana mungkin itu bisa terjadi kecuali karena Anda tak memiliki sebab karma untuk mati dalam peristiwa seperti itu? Yang bisa kita pahami dari hal ini adalah bahwa pertahanan terbaik kita terhadap bencana adalah pemurnian karma kita. Jika setiap orang memurnikan karma mereka, tidak akan ada lagi bencana. Hal ini menunjukkan arah yang kita upayakan.

Bagaimana kita menanggapi bencana semacam itu? Tentu kita harus mencoba mencegah orang mengulanginya, tapi hal yang utama adalah mengupayakan diri kita sendiri, mengupayakan karma kita sendiri dan membantu yang lain memurnikan karma mereka sendiri. Ajaran Buddha tidak mendukung sikap pasif. Kalau ada binatang buas yang memangsa orang-orang, kita jangan cuma bilang, “O, begitu, ya? ” dan kemudian bermeditasi tentang welas asih dan memurnikan karma kita. Kita tidak pula hanya bilang pada mereka bahwa kalau hewan buas membunuh mereka, kita akan berdoa untuk mereka. Kita memang harus mencoba menangkap binatang itu dan mengurungnya. Tapi bukan cuma itu yang kita perbuat. Kita amat sangat perlu mengupayakan diri kita sendiri.

Ini juga menunjukkan cara kita berhadapan dengan rasa takut. Jika kita sungguh-sungguh berupaya memurnikan karma kita, tak ada lagi yang harus ditakuti. Sederet sifat-sifat tanpa rasa takut itu masuk dalam sifat-sifat seorang Buddha. Para Buddha tak perlu takut apapun karena mereka telah memurnikan setiap sebab masalah yang mungkin ada.

Hukum Karma Keempat

Hukum karma keempat adalah bahwa kemampuan sebuah warisan karma untuk mencipta akibat tidak akan berkurang atau kedaluwarsa, bahkan setelah jutaan masahidup. Jika kita belum memurnikan warisan karma negatif, ia tetap mampu menimbulkan akibat-akibat duka. Demikian pula, sekalipun keadaan-keadaannya tidak begitu mendukung bagi sebuah akibat bahagia untuk matang dari sebuah warisan karma positif, warisan itu tidak hilang. Kalau ada perang besar sekarang setelah 11/9 dan tidak mungkin lagi bagi kita untuk ke India atau Nepal untuk memperoleh ajaran, hal positif apapun yang telah mendorong tindakan kita untuk mencari ajaran itu akan tetap sahih. Pada suatu titik, keadaan-keadaannya akan berubah.

Jika kita terapkan ini pada kelahiran kembali, ia jadi sangat berguna, karena tak peduli setua apapun Anda, tidak ada kata terlambat untuk memulainya. Bahkan sebagai orang yang sudah sangat tua, yang kita perbuat itu tidak akan sia-sia. Kita tidak dikutuk untuk terpaku di panti jompo, dan merajut syal atau menonton sinetron. Kita bisa melakukan perbuatan membangun dan warisan-warisan karma positifnya akan terus berlanjut ke kehidupan-kehidupan mendatang. Tidak akan tersia-siakan.

Tanya-Jawab

Saya pernah dengar seorang guru Buddha dari Barat berkata bahwa kita menghabiskan banyak karma positif untuk menghadiri dan mendengarkan ajaran. Apa guna kita mengerahkan daya-daya positif jika perbuatan itu menghabiskan daya-daya positif itu sendiri?

Pertama-tama, kalau kita mengalami suatu hal yang bermanfaat seperti mencari ajaran, tentu itu matang dari warisan karma positif yang sebelumnya. Tapi ingatlah contoh kita tadi tentang permainan bingo karma: setiap kali kita menekan tombolnya kita juga menambahkan bola ping-pong baru ke wadahnya. Saat kita menghadiri sebuah ajaran dan mengerahkan daya positif, itu menambahkan lagi sebab-sebab bagi kita untuk terus memiliki kesempatan-kesempatan semacam itu. Akan bodoh sekali kalau kita tidak menghadiri ajaran karena kita menabung daya-daya tersebut untuk dipakai saat hari hujan.

Juga, satu warisan dapat memiliki banyak akibat, dalam satu atau lebih masahidup, atau hanya satu akibat dalam satu masahidup. Di lain pihak, sekumpulan warisan, yang dibina baik dalam satu atau dalam banyak masahidup, bisa juga menghasilkan banyak akibat atau satu akibat saja. Jadi ada banyak cara buat kita memiliki warisan karma untuk berulang kali menghadiri pengajaran-pengajaran. Saat kita mulai berupaya dengan karma kita dan mencoba memahaminya, kita harus mencoba untuk tumbuh melampaui cara pandang garis-lurus kita terhadap segala sesuatu. Ia bersifat beranekamatra, tidak seperti garis-lurus, dan sangat rumit. Tidak sesederhana satu hal menghasilkan satu hal. Tidak sesederhana itu sama sekali.

Beberapa akibat dialami secara perorangan, beberapa yang lain dialami secara universal. Kita bisa saja menanggung akibat yang sama dengan yang lain. Dampak rumahkaca itu mempengaruhi setiap orang, termasuk binatang. Tindakan-tindakan yang telah diperbuat setiap orang akan menghasilkan jenis akibat semacam ini. Kita jangan berpikir bahwa hanya karena kita mendaur-ulang, kita akan kebal dari pencemaran. Yang kita maksudkan di sini adalah sebab-sebab dari dahulu kala. Bukan main-main. Ini punya dampak besar dalam hal cara kita mempengaruhi perubahan lingkungan hidup. Kita tidak sedang bicara tentang akibat-akibat yang segera terjadi. Bukan begitu cara berlakunya segala sesuatu di semesta ini. Yang kita maksudkan di sini ialah sesuatu yang bersifat jangka-panjang. Akan susah sekali. Bagaimana kita menghilangkan akibat dari tindakan-tindakan yang telah berlangsung selama jutaan tahun? Bahkan kalau seluruh planet ini beralih pada tenaga surya, apakah itu akan menghilangkan dampak penggunaan bahan bakar fosil selama bertahun-tahun? Tidak. Kita harus akui sebab-sebab bagi akibat-akibat jangka-panjang ini. Kita tak bisa berpikir bahwa kita Tuhan dan mampu saja menyelesaikan semua permasalahan masa lalu dalam sekejap mata atau bahkan dalam beberapa tahun. Dunia ini jauh lebih rumit dari itu.

Beberapa akibat dialami oleh kelompok-kelompok masyarakat, seperti orang-orang di Afghanistan atau Bosnia. Suatu taraf ke-sebab-an itu ditentukan oleh daya sejarawi, ekonomi, dan politik yang telah diteruskan sampai ke keadaan kini. Namun kita tak bisa bilang bahwa perang tersebut merupakan karma AS atau Afghanistan, karena negara-negara ini bukanlah makhluk hidup. Juga, orang-orang yang tinggal di dua negara itu tidak mesti berasal dari negara tersebut sejak masahidup lampau yang tak terhitung banyaknya. Mereka bisa saja berasal dari mana saja, alam hewan atau tempat manapun.

Kita bisa mulai melihat betapa rumit bukan main daya-daya karma ini. Semua tindakan dari setiap orang di suatu tempat pada suatu masa ikut membangun keadaan politik, ekonomi, atau sejarawi, tapi kemudian mereka semua lahir di tempat lain dan makhluk-makhluk lain lahir dalam keadaan itu. Yang diperbuat orang lain di masa ini bisa menciptakan keadaan buatan-manusia yang melingkungi kelahiran kita sebagai akibat dari keadaan serupa yang turut kita ciptakan berabad-abad lalu. Kita pasti telah membina karma untuk terlahir dalam keadaan kini yang sekarang, walau kita mungkin tidak menciptakan keadaan kini tersebut. Dalam sekejap terasa amat sangat rumit saat kita mulai memikirkannya. Semua orang yang tewas dalam suatu perang tertentu tidak mesti bertempur bersama-sama dalam sebuah perang di kehidupan sebelumnya. Memang bisa saja begitu, tapi bisa juga mereka itu dulu merupakan binatang pemakan daging yang memangsa binatang lain di berbagai tempat dalam berbagai masa. Mereka bisa saja berasal dari segala jenis tempat yang mungkin ada.

Sikap semacam apa yang harus kita anut saat mengalami akibat-akibat dari suatu karma tertentu, seperti misalnya kehilangan orang yang kita kasihi dalam peristiwa menara kembar itu? Bagaimana cara kita menanggapinya sehingga kita tidak menambahkan satu bola ping-pong lagi?

Pertama-tama, kita harus realistis: sukar sekali, pada tingkatan kita ini, untuk tidak menambahkan lebih banyak bola ping-pong karena tersulut api amarah. Ketika kita mulai memperoleh pemahaman tentang sebab dan akibat berperilaku, kehampaan, kemunculan bergantung, dan seterusnya, kita melihat bahwa secara realistis kita akan butuh waktu lama untuk memurnikan diri kita sendiri, dan bahkan lebih lama lagi sampai mampu memurnikan setiap orang sepenuhnya. Tapi sekalipun akan butuh waktu panjang, kita tetap jadi semangat untuk melangkah maju. Jika kita ingin jadi seorang dokter dan sebelumnya kita paham berapa banyak yang perlu kita pelajari, kita bisa saja jadi gelagapan dan akhirnya menyerah. Tapi jika kita sungguh-sungguh punya tujuan dalam cita kita untuk menolong sesama, kita harus punya semangat untuk maju langkah demi langkah, sekalipun jumlah pelatihannya luar biasa banyak. Kita maju saja langkah demi langkah, secara realistis.

Saya tak bosan-bosan menekankan samsara itu akan naik dan turun. Tentu saja akan terjadi peperangan; kita akan celaka; meditasi kita bagus di hari yang satu dan kacau di hari berikutnya, dan seterusnya. Mau apa lagi? Dengan cara pandang ini, semangat kita tidak melempem. Kita maju saja. Ada kalanya keadaan mendukung kita; ada kalanya tidak. Dengan sikap realistis, kita paham bahwa kita tidak akan lepas dari keadaan naik-turun itu sampai kita menjadi arhat. Maka, kita menerima kesukaran dan naik-turun itu dan maju terus. Kita tak mengharapkan mukjizat. Mukjizat itu langka sekali. “Oh, meditasiku akan semakin baik hari ke hari, dan akan membahagiakan sekali dan…!” Yang benar saja. Tidak seperti itu adanya.

Mengenai sikap kita terhadap orang-orang yang tewas, kita tentu tidak berpikir bahwa mereka layak dihukum karena mereka telah membina karma negatif. Namun kita bisa berharap bahwa mereka telah menghanguskan beberapa karma negatif dengan mati dalam keadaan demikian itu sehingga mereka akan memiliki lebih banyak kesempatan untuk mematangkan karma positif di kehidupan-kehidupan mendatang. “Semoga mereka mendapatkan keadaan yang mendukung sekarang ini dan di masa depan mereka punya pengalaman hidup positif yang lebih banyak, dan penderitaan yang lebih sedikit. ” Kita tak jauh berbeda dari mereka. Kita tidak berada di gedung itu sebab keadaan-keadaan tertentu tiada di sana bagi pematangan karma negatif kita, tapi suatu saat itu bisa terjadi pada kita. Jika kita pertimbangkan masahidup yang tak bermula ini, kita semua sebetulnya punya banyak sekali warisan-warisan karma negatif.

Kita bisa kira betapa ganjaran penderitaan yang akan dialami orang-orang yang merencanakan dan melaksanakan serangan itu sebagai akibatnya akan sangat dahsyat. Hukuman mereka bukan urusan kita. Contoh umumnya: kalau ada orang dilalap api, buat apa lagi memukulinya? Bagaimanapun juga, mereka akan mengalami penderitaan tak terkira. Dengan membuat mereka lebih menderita lagi, kita hanya menciptakan sebab-sebab bagi penderitaan kita sendiri. Akibat-akibat karma terjadi secara alami, kita tak perlu jadi pelaku akibat tersebut.

Ini jadi berkaitan dengan persoalan-persoalan sosial yang amat menarik. Menghukum orang yang bertindak merusak itu tidak akan jadi apa-apa. Itu tentu saja tidak memurnikan warisan karma yang dapat membuat mereka mengulangi tindakan-tindakan semacam itu di kehidupan mendatang. Itu hanya menciptakan warisan-warisan karma negatif bagi kita. Memenjarakan mereka, pastinya, merupakan langkah yang perlu kita ambil untuk mencegah orang lain celaka dalam jangka waktu yang pendek, tapi itu bukanlah pencegahan paling ampuh. Rehabilitasi, dalam pengertian yang dangkal, juga tidak akan mendidik dan mendorong orang untuk memurnikan karma mereka sendiri. Jika mereka belum memurnikan warisan-warisan karma mereka, mereka akan mengulangi tindakan-tindakan merusak itu di masahidup mendatang. Warisan-warisan karma itu tidak akan lapuk kalau kita tidak menyingkirkannya dengan pemahaman akan kehampaan.

Apa ada cara untuk memurnikan karma bersama-sama atau universal?

Satu-satunya cara adalah bahwa setiap orang harus memurnikan karma mereka sendiri. Kita tak bisa memurnikan karma orang lain. Kita bisa membantu menunjukkan pada mereka cara memurnikan karma mereka sendiri dan mencoba menyediakan keadaan-keadaan yang mendukung mereka, tapi keputusannya ada pada masing-masing orang.

Ini menyiratkan banyak hal khususnya dalam hal gerakan-gerakan lingkungan hidup. Tak ada cara lain mengakhiri masalah lingkungan hidup kecuali dengan menyingkirkan samsara bagi setiap orang. Coba pikirkan itu. Karena warisan-warisan samsara, kita terlahir dengan raga yang terbatas ini, entah itu dalam wujud manusia, binatang, atau apapun. Apa yang mencirikan raga yang terbatas, rentan samsara, dan ternoda ini? Raga ini menghasilkan limbah cair, limbah padat, dan karbondioksida. Itulah dia. Kecuali setiap orang berhenti terlahir kembali dalam jenis raga terbatas ini, tidak ada cara lain yang bisa kita gunakan untuk memecahkan masalah lingkungan hidup.

Tidak enak memang kedengarannya, tapi seperti yang dikatakan oleh beberapa guru besar, seperti Yang Mulia Dalai Lama: keadaan hayati menggambarkan samsara. Desakan seksual untuk berkembang biak, penuaan, sakit-penyakit, dan kematian – itulah keadaan hayati. Raga dan juga cita kita sama-sama terbatas. Pandangan kemanusiaan tentang kekudusan keadaan hayati dan “kealamian” dan seterusnya memang tampak menyenangkan, sampai kita melihatnya lebih mendalam lagi. Saya sering menunjukkan perbedaan antara “Dharma-Sari” dan Dharma “Sejati”. “Dharma-Sari” itu semacam corak kemanusiaannya: Jadilah orang baik, jangan celakai siapapun dan segalanya akan seperti Bambi dan Dunia Disney. Memang bisa membantu, tapi itu bukanlah yang “Sejati”. Dharma “Sejati” itu berarti melihat keadaan hayati, mengamati apa yang dilakukannya, dan mengenalinya sebagai hal yang ingin kita atasi. Bukan berarti bahwa kita anggap tubuh kita ini sebagai karya Setan – ini pemikiran yang bertumpu pada titik-ujung yang berseberangan. Kita gunakan raga yang kita miliki untuk membuat kemajuan, tapi kita tidak memujanya karena molek dan mempesona. Karena memang tidak.

Sebelum Buddha mencapai pencerahan dan mengajarkannya, bagaimana makhluk-makhluk memurnikan karma mereka?

Kita masuk ke pokok bahasan lain yang sukar dimengerti orang Barat seperti kita ini; yaitu, gagasan tentang tiadanya permulaan. Persis seperti tiadanya permulaan untuk samsara, tiada pula permulaan untuk orang-orang mengajarkan ke-Buddha-an. Meski dalam ajaran-ajaran Kalacakra ada istilah Adi-Buddha, itu tidak mengacu pada orang yang pertama sekali mencapai ke-Buddha-an. Buddha pertama, yang sejarawi, itu tidak ada. Tidak ada cara logis untuk mengajukan seorang Buddha pertama dalam lingkung sebab dan akibat. Bagaimana mereka jadi seorang Buddha? Karena punya semacam daya cipta khusus? Seseorang mestilah mengajarkan dan menunjukkan caranya pada mereka, dan orang itu sendiri pasti telah mencapai ke-Buddha-an sebelumnya. “Adi-Buddha” berarti ke-Buddha-an atas dasar tataran purba, kemurnian purba yang mendasar dari cita. Para Buddha dan ajaran-ajarannya itu sudah selalu ada, meski mereka mungkin tidak selalu mengajarkannya pada orang lain. Tentu saja, ada pula zaman-zaman kelam – samsara yang kita maksud di sini, naik dan turun sudah jadi sifatnya.

Apa yang menyebabkan rasa bahagia setelah berselingkuh dengan pasangan orang lain?

Hukum karma pertama berbunyi bahwa pengalaman bahagia apapun itu adalah akibat dari perilaku membangun. Ada orang-orang yang, meski kerap bersenggama, tak pernah mengalami kenikmatan atau kepuasannya. Itulah akibat dari perilaku merusak yang diperbuat sebelumnya, mungkin dari sejumlah besar masahidup yang lampau. Ada juga orang yang dapat menikmati hubungan badan sekalipun dengan pasangan orang lain. Itu mengapa saya katakan ini sifatnya bukan seperti garis-lurus. Ada banyak unsur bagi pengalaman manapun, masing-masing darinya matang dari berbagai macam hal secara bersamaan.

Tapi bukankah berhubungan seks dengan pasangan orang lain itu perbuatan yang buruk?

Itulah sebetulnya yang kita tunjukkan. Tindakan perzinahan itu merupakan tindakan negatif dan lambat-laun akan berakibat ketakbahagiaan, tapi tidak mesti dialami segera setelahnya atau selagi melakukannya. Ini mengapa ada telaah yang amat rumit atas berbagai jenis akibat dan berbagai jenis sebab. Jika kita berhubungan badan dan mengalami kebahagiaan, tindakan ragawi berhubungan badan itu sekadar menyediakan keadaan supaya kebahagiaan itu matang saja. Itu bukanlah sebab karma bagi kebahagiaan itu. Demikian pula, kalau kaki kita terbentur meja dan terasa sakit, fakta bahwa kita punya urat-saraf di kaki kita adalah sebab bagi rasa sakit itu. Tapi karma, yang kita bicarakan di sini adalah akibat yang matang. Tindakan tertentu meninggalkan kelanjutan tertentu pada kesinambungan batin kita sehingga lambat-laun, atas dasar berbagai keadaan, akan menghasilkan sebuah pengalaman pada kesinambungan batin kita. Ini setara dengan kesukaran tingkat tiga dalam pembahasan kita mengenai karma.

Bagaimana ajaran Buddha menjelaskan fakta bahwa kita tak bisa mengingat kehidupan kita yang lampau?

Apa kita ingat apa yang kita makan untuk santap siang tiga bulan lalu dan setiap kata yang kita ucapkan selama percakapan di saat makan siang itu? Apa kita ingat setiap kata yang kita ucapkan kemarin atau bahkan setiap kata yang kita ucapkan lima menit lalu? Memang mungkin saja kita ingat, tapi lebih sering tidak. Tak mampu mengingat perbuatan kita kemarin atau saat kita berusia tiga tahun itu tidak berarti menyangkal perbuatan atau diri kita saat berusia tiga tahun. Hal itu menunjukkan batasan lain dari jenis raga dan cita yang kita miliki. Mengingat kehidupan lampau itu mungkin terjadi, dan ada orang yang bisa, tapi itu sukar sekali, dan sebabnya adalah jenis perangkat-keras yang kita punya. Kita memang tak mampu mempertahankan semua keterangan ini. Ujungnya kita masuk pada pembahasan tentang ingatan dan cara kerjanya. Ajaran Buddha punya banyak bahasan tentang hal itu, tapi sangat rumit. Lain kali saja.

Jika seseorang dicabuli, apa itu berarti orang itu pernah mencabuli orang lain?

Salah satu hal yang matang dari warisan karma adalah pengalaman hal-hal yang sama dengan perbuatan kita pada orang lain. Jadi, ya, tapi anasir-anasir karma lainnya bisa saja bergabung untuk membuat apa yang kita alami itu, sebagai akibat bagi tindakan kita sebelumnya, jadi lebih berat atau ringan. Tolong diingat bahwa cara kerjanya tidak seperti garis-lurus. Satu sebab karma berakibat pada satu pengalaman, bukan begitu ceritanya. Ada begitu banyak hal yang terjadi secara bersamaan.

Anasir-Anasir yang Mempengaruhi Bobot dari Akibat Karma

Ada begitu banyak yang dapat diajarkan tentang karma tapi waktu kita tak banyak. Satu hal yang ingin saya bahas adalah anasir-anasir yang mempengaruhi bobot pematangan sebuah karma. Begitu banyak hal yang mempengaruhinya. Di sini saya paparkan daftar anasir berisi dua belas butir yang lazim dipakai. Biar saya bacakan dengan ringkas.

  1. Bobot perasaan gelisah yang menyertai desakan itu. Kita marah betul, agak marah, atau bagaimana?
  2. Ada tidaknya sikap bermusuhan yang menyimpang yang menyertai tindakan tersebut. Menembak orang saja dibanding menembak orang dengan sikap bahwa mereka berasal dari ras yang lebih rendah dan harus dibasmi akan berujung pada akibat yang berbeda.
  3. Jumlah penderitaan yang disebabkan. Membunuh orang dengan cepat dibanding menyiksa sampai mati itu akan menghasilkan akibat yang berbeda.
  4. Pada siapa tindakan itu diarahkan. Ini maksudnya jumlah manfaat yang telah kita atau orang lain terima dari sasaran tindakan kita, atau jumlah sifat baik yang mereka punya. Membunuh Mahatma Gandhi itu jauh lebih berat dibanding membunuh orang biasa. Memukul seorang biksu atau biksuni itu berbeda dengan memukul seorang maling.
  5. Derajat atau pencapaian makhluk yang menjadi sasaran tindakan. Melukai orang sakit atau buta itu lebih berat dibanding melukai orang yang sehat.
  6. Tingkat pertimbangan, yang berarti jumlah rasa hormat kita pada makhluk tersebut. Berbohong pada guru kita itu jauh lebih berat dibanding berbohong pada orang di jalanan.
  7. Keadaan-keadaan pendukung. Membunuh nyamuk setelah kita mengambil sumpah untuk tak membunuh itu lebih berat dibanding kalau kita belum mengambil sumpah semacam itu.
  8. Kekerapan. Membunuh rusa satu kali jauh lebih ringan dibanding berburu rusa setiap hari.
  9. Jumlah orang yang terlibat dalam pelaksanaan suatu tindakan. Melakukan tindakan secara perorangan tidak seberat melakukannya bersama-sama.
  10. Tindak-lanjutnya; apa kita mengulanginya atau tidak. Kalau kita terus mengulang suatu tindakan, bobotnya akan semakin dan semakin berat.
  11. Ada tidaknya daya-daya tandingan. Maksudnya: apa kita menyesali perbuatan kita, apa kita mencoba memurnikannya, dan seterusnya.

Telaah bobot akibat itu sangat rumit. Ada juga telaah mengenai kelengkapan suatu tindakan. Jika kita menabrak mati serangga dengan mobil kita, dan bukan niat kita untuk melakukannya, maka akibatnya jadi lebih lemah dibanding sengaja menepuk lalat. Jika kita tak sengaja menembak orang yang berada di sebelah sasaran kita, akibatnya lebih lemah dibanding jika kita menembak orang yang memang kita bidik. Jika kita melontarkan caci-maki pada seseorang dan mereka tak mendengarnya, tindakan itu tidaklah lengkap, meski tetap ada akibat karmanya.

Tindakan-tindakan positif pun demikian cara berlakunya. Melakukan puja atau upacara dengan sekelompok orang itu berdampak lebih kuat dibanding melakukannya sendirian saja. Melakukannya berulang kali akan berdampak lebih hebat dibanding melakukannya sekali saja. Juga, akibatnya akan lebih kuat jika kita melakukan pendarasan sambil merenungkan semua makhluk dibanding melakukannya tanpa perasaan atau pemahaman, hanya mengulang begini, begitu, begini, begitu dalam bahasa Tibet. Pembahasan karma itu amatlah luas.

Karma Pelempar dan Karma Pelengkap

Banyak warisan karma matang bersamaan untuk membentuk keadaan kelahiran kembali yang kita ambil dan warisan yang lain matang untuk membentuk pengalaman kita, tingkat kebahagiaan kita, dan seterusnya selama kelahiran kembali tersebut. Sebuah tindakan yang dilakukan dengan niat dan dorongan yang amat kuat dapat berguna sebagai karma pelempar. Dengan kata lain, karma itu melemparkan kita pada tataran kelahiran kembali yang lain. Ingatlah bahwa warisan-warisan karma menentukan jenis kelahiran kembali yang kita ambil, pengalaman kita atas keadaan yang melingkungi kelahiran kita, pengalaman kita atas sesuatu yang terjadi pada kita, pengalaman kita atas rasa kebahagiaan atau ketakbahagiaan, dan pengalaman kita atas rasa seperti ingin berbuat sesuatu. Tindakan apapun yang kita perbuat dapat menciptakan semua akibat-akibat ini sekali atau berkali-kali, tergantung bobotnya. Jika ada niat yang amat kuat untuk melukai atau menolong banyak orang, tindakan itu dapat berlaku sebagai sebuah karma pelempar dan berakibat pada pengalaman kita atas sejenis kelahiran kembali. Juga, perasaan penyerta, seperti amarah atau keserakahan atau welas asih dan kasih yang kuat, dapat membuat desakan karma berlaku sebagai sebuah karma pelempar.

Jika niat dan perasaan penyerta itu tidak begitu kuat, tindakan tersebut dapat bertindak sebagai sebuah karma pelengkap, yang berarti bahwa ia melengkapi keadaan-keadaan dari suatu kelahiran kembali. Karma pelempar kita berakibat pada keadaan kita menjadi manusia, namun kita terlahir pada suatu tempat yang didera kelaparan atau di daerah tanpa peluang. Atau kita dilemparkan pada suatu kelahiran kembali sebagai seekor anjing, tapi kita adalah anjing peliharaan Dalai Lama.

Urutan Pematangan

Jika kita tanya warisan karma yang mana yang akan matang pada saat kematian kita untuk membentuk kehidupan kita yang berikutnya, biasanya warisan karma yang terberatlah, baik yang positif atau negatif, yang akan matang. Jika tidak ada warisan karma yang paling kuat, apapun yang benar-benar menjelma pada saat kematian kita akan bertindak sebagai karma pelempar kita. Karena itu, cara kita mati itu penting sekali. Kita tak ingin mati dengan kemelekatan, atau amarah, atau rasa takut yang amat sangat. Kadang dengan nada bercanda saya suka bilang kalau kata-kata terakhir kita adalah “Ah, sial!” – langsung kita terlahir kembali sebagai lalat. Kita harus hati-hati. Menarik untuk memperhatikan apa yang melintas dalam pikiran kita pada saat menghadapi marabahaya. Dari situ kita bisa tahu banyak tentang masa lalu karma kita.

Jika kita mati saat kita tak sadarkan diri, tidur atau dalam keadaan koma, tindakan-tindakan yang paling kita akrabilah yang akan membentuk kehidupan kita berikutnya. Jika segala sesuatunya setara, apapun yang kita perbuat sebelumnyalah yang akan matang. Tidak berarti yang matang itu perbuatan kita saat berusia sehari. Bisa berarti hal besar pertama yang kita lakukan dalam kehidupan kita, seperti berkeluarga atau menjalani pendidikan.

Kepastian Akibat

Berikutnya ada perbedaan-perbedaan yang dibuat menurut apakah saat matangnya akibat-akibat suatu tindakan karma itu pasti atau tidak. Perbedaan-perbedaan itu dibuat menurut apakah suatu tindakan itu dilaksanakan sungguh atau tidak (artinya, dilakukan betul-betul apa tidak), dan apakah pendaman karmanya dihimpun betul atau tidak (artinya, direncanakan sebelumnya apa tidak). Jadi, kita bisa lihat ada empat kemungkinan: kita merencanakan sebuah tindakan dan melakukannya; kita merencanakannya tapi tak melakukannya; kita tidak merencanakannya tapi melakukannya; atau kita tidak merencanakan pun melakukannya.

Kita harus memahami ini dengan benar. Warisan-warisan karma dari tindakan merusak apapun dalam kelompok manapun dari empat kemungkinan ini dapat dimurnikan supaya pasti bahwa tidak akan ada akibat yang matang darinya. Tapi, jika tidak dimurnikan, maka pastilah akibatnya akan matang. Ingat, itulah hukum karma keempat. Tapi dalam pembagian yang kedua ini, hanya tindakan yang telah kita rencanakan dan betul-betul kita laksanakanlah yang punya kepastian mengenai pada masahidup mana akibat-akibatnya mulai matang. Untuk yang lain, tak ada kepastian mengenai masahidup yang mana. Ada tiga kemungkinan: masahidup yang ini, masahidup setelah yang ini, atau masahidup yang mana saja setelahnya.

Karena banyak dari kita yang tidak sungguh betul menghiraukan kehidupan mendatang, maka menarik untuk mengetahui yang mana yang mungkin matang pada masahidup sekarang ini.

  1. Tindakan membangun atas dasar pertimbangan ekstrem mengenai tubuh, milik, atau nyawa kita sendiri. seperti kesediaan untuk mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan orang lain.
  2. Memiliki pikiran-pikiran amat jahat terhadap makhluk terbatas. Kejahatan atas dasar kebencian termasuk di sini.
  3. Tindakan-tindakan yang dilakukan dengan pikiran welas asih atau kesediaan untuk menolong yang lain, seperti seseorang yang mempersembahkan diri untuk sukarela bekerja di panti jompo, atau sejenisnya.
  4. Pikiran-pikiran ekstrem untuk mencelakai Tiga Permata atau guru-guru rohani. Menarik untuk memperhatikan bahwa tak lama setelah Taliban menghancurkan patung Buddha terbesar di dunia, bencana dahsyat menerpa mereka dengan datangnya serangan AS.
  5. Tindakan-tindakan positif yang amat kuat atas dasar keyakinan penuh pada sifat-sifat baik Buddha, Dharma, dan Sangha. Termasuk di sini, menyumbangkan dana, mengadakan penyediaan naskah-naskah, membangun pusat Dharma, dsb. , karena kita yakin bahwa semua itu bermanfaat. Saya ada pertanyaan ini. Bagaimana jika kita punya keyakinan tulus yang sangat kuat pada manfaat-manfaat ajaran Katolik dan membangun gereja? Akankah itu juga berdampak pada akibat positif di masahidup sekarang ini atau memang secara membuta kita harus jadi penganut Buddha saja? Guru saya, Serkong Rinpoche, pernah ditanya begitu di Italia. Ada yang tanya, “Jika Anda penganut Buddha dan berlindung pada Tiga Permata, bolehkah Anda tetap ke gereja, atau apakah itu tindakan negatif? ” Ia menjawab dengan bertanya apakah pergi ke gereja dan mengikuti ajaran-ajaran Katolik – kasih, welas asih, pengampunan, kedermaan, mendoakan perdamaian dunia, dan seterusnya – itu bertentangan dengan haluan yang aman dari perlindungan. Tidak sama sekali. Sama sekali tidak jadi masalah. Maka, membangun gereja, perguruan tinggi, atau rumah sakit untuk menolong sesama itu masuk dalam kelompok ini juga. Demikian pula, menghancurkan gereja dan seterusnya akan secepat kilat mengundang akibat-akibat negatif.
  6. Tindakan-tindakan merusak yang timbul karena kurangnya rasa terima kasih terhadap mereka yang paling membantu kita: orangtua kita, guru-guru rohani kita, dan seterusnya. Dengan melahirkan kita saja, orangtua kita telah banyak membantu. Jika kita melakukan perbuatan berat pada mereka, akibatnya akan matang pada masahidup sekarang ini.
  7. Tindakan-tindakan membangun yang berbobot yang dilakukan terhadap mereka yang paling menolong kita, dengan keinginan membalas kebaikan mereka: seperti merawat orangtua kita pada usia tua mereka dengan keinginan membalas kebaikan mereka, atau menolong seorang guru rohani dalam karya mereka untuk membawa manfaat bagi sesama.

Jika kita merencanakan dan benar-benar melakukan tindakan-tindakan ini, akibatnya akan matang pada masahidup ini. Kita bisa lihat bahwa ada banyak yang dapat kita lakukan untuk membentuk pengalaman kita. Sekalipun kita tidak punya kekuatan untuk menghentikan diri kita dari perbuatan-perbuatan merusak, kita bisa membuatnya jadi lebih ringan dengan tidak berbangga hati atas perbuatan itu, dengan mengurangi kekerapannya, dan seterusnya, dan dengan berkeinginan untuk perlahan-lahan mengatasinya. Kita mungkin tidak berbuat banyak hal positif, tapi saat kita melakukannya, kita mencoba untuk sungguh-sungguh tulus. Ada banyak sekali yang dapat kita lakukan untuk menggubah akibat-akibat tindakan kita: mengurangi akibat-akibat tindakan negatif dan memperkuat akibat-akibat tindakan positif.

Kesimpulan

Seperti yang sudah kita lihat, karma bukan berarti nasib, takdir, dan sebagainya. Karma sangatlah rumit, tapi saat kita tahu beberapa dari kerumitan itu, kita bisa mulai mengupayakannya dan membentuk pengalaman kita. Akibat-akibat karma dari sebagian besar perbuatan kita akan dialami pada kehidupan mendatang, tapi beberapa tindakan yang memang berbobot dapat membentuk kehidupan ini. Kita tak perlu kecewa andai akibatnya tak matang pada masahidup sekarang ini. Seperti yang kita katakan tadi, warisan-warisan karma tidak akan kedaluwarsa. Saat kita bicara tentang kepastian tentang matangnya suatu akibat, kita bicara tentang saat ketika akibat itu mulai matang. Banyak tindakan-tindakan karma yang akan berimbas pada serangkaian panjang akibat-akibat, jadi suatu tindakan positif atau negatif yang amat berbobot itu bisa mulai matang pada masahidup sekarang, tapi terus matang di banyak kehidupan-kehidupan mendatang.

Tanya-Jawab Terakhir

Bisa Anda paparkan lebih jauh tentang cara kita menahan diri untuk tidak menekan tombol bingo karma, seperti yang Anda contohkan tadi?

Kita berupaya secara bertingkat, secara bertahap. Pada tingkat awal, saat desakan untuk bertindak merusak itu muncul, kita abaikan saja. Seperti yang dinasihatkan mahaguru Shantidewa dalam Memasuki Perilaku Bodhisattwa, “Bergeminglah layaknya sebalok kayu. ” Itu mengapa penting sekali untuk tetap tenang dan membina kebiasaan waspada atau mawas atas apa yang terjadi dalam diri kita: kita kemudian dapat tahu saat suatu desakan merusak itu muncul dan kita tidak melakoninya. Kita harus cukup memelankan diri untuk mampu melihatnya dan mengendalikan diri kita. Pada tingkat terdalam, kita harus mengatasi keyakinan atas “aku” yang menyebabkan berbagai macam pematangan itu. Untuk itu, kita perlu berupaya dengan pemahaman yang benar atas kehampaan. Ini nantinya berujung pada pokok bahasan pemurnian, dan untuk akhir-pekan ini kita tak punya waktu untuk membahasnya.

Apa makna harga-diri dalam ajaran Buddha?

Harga-diri itu muradif dengan percaya-diri, yang merupakan salah satu dari empat pendukung keteguhan sukacita yang disebutkan Shantidewa. Ia digambarkan sebagai ketabahan, sifat tabah. Rasa percaya-diri adalah rasa bahwa kita mampu melakukan, membuat kemajuan, atau mempertahankan diri jika diserang, dan seterusnya. Jika kita punya rasa percaya-diri, kita lebih aman dalam perbuatan kita. Jika kita kekurangan hal ini, dan saya rasa banyak orang Barat yang demikian, ada rasa bahwa kita tak baik atau tak cukup baik, tak mampu, ada yang salah dengan kita, dan seterusnya. Kemudian kita jadi tidak teguh sama sekali; kita merasa tak aman.

Dalam ajaran Buddha, kita menegaskan kembali sifat-Buddha kita untuk membantu kita memperoleh rasa percaya-diri. Kita memang memiliki kemampuan dan daya untuk memperoleh pencerahan dan menolong yang lain sebanyak mungkin. Itulah maksud dari sifat-Buddha. Wajar, memang butuh kerja keras, tapi itu mungkin jika kita terapkan diri kita dengan teguh. Dalam sebagian besar karya saya, saya mencoba menjelaskan gagasan-gagasan Buddha bukan hanya dalam peristilahan baku saja, tapi juga menghubungkannya dengan cara kita memandang pengalaman kita, dan itu berarti berhubungan dengan ilmu kejiwaan Barat bagi sebagian besar kita, maka istilah seperti harga-diri, rasa tak aman, ketakpekaan, terlalu-peka, dan sejenisnya digunakan.

Ketika kita bilang “segala sesuatu itu merupakan akibat dari tindakan-tindakan yang kita perbuat di masahidup sebelumnya”, apa itu sesuatu yang harus kita imani saja atau, dengan suatu cara, itu bisa kita tunjukkan?

Ini membawa kita kembali ke pembahasan tentang cara kita menjelaskan apa yang terjadi: apakah nasib sial, apakah takdir, dsb. ? Penjelasan yang bagaimana yang bisa memuaskan kita? Lihatlah semua lama dan pelaku rohani luar biasa yang ditempatkan di kamp konsentrasi oleh pemerintah Cina Komunis dan disiksa sampai mati. Apa tak ada sebabnya? Pemahaman Buddha atas karma tampak yang paling masuk akal. Setidaknya bagi saya itu yang paling masuk akal. Kembali kepada diri kita masing-masing. Apa yang paling masuk akal bagi kita? Dan bukan hanya penjelasan apa yang masuk akal, tapi jenis gayahidup atau pendekatan terhadap hidup apa yang disiratkannya. Jika kita pikir bahwa segalanya terjadi karena keberuntungan, apa jadinya? Kita pakai kalung jimat kemujuran?

Sebelum menerima atau menolak pendapat Buddha, kita perlu betul-betul mempelajarinya dan memahaminya dengan benar. Jika pemahaman kita keliru, kita mungkin menolaknya. Penjelasan Buddha tentang karma dan kelahiran kembali itu amat sangat rumit, pelik, dan sukar dimengerti. Saya rasa penting untuk menyadari bahwa ini merupakan persoalan-persoalan penting dalam ajaran Buddha, jadi sekalipun kita tidak memahaminya sekarang, kita perlu memutuskan untuk mengupayakannya daripada menolaknya saja. Banyak orang-orang cerdas mendapati ajaran-ajaran ini benar adanya, dan lihat apa yang mampu mereka capai karena itu. Itu membantu mendorong kita untuk melihat lebih dalam lagi. Para mahaguru bukanlah orang-orang tolol.

Bisa Anda jabarkan hubungan antara kehampaan dan karma?

Sungguh agaknya tak mungkin memahami karma tanpa memahami kehampaan. Kehampaan adalah tiadanya segala cara mengada yang mustahil. Kita harus mengenali cara-cara mustahil dalam mana sebab dan akibat dapat berlaku. Mustahil segala sesuatu terjadi dari satu sebab, dari tanpa sebab, dari sebab yang tak berhubungan, atau bahwa segala sesuatu terjadi seperti garis-lurus, contohnya satu hal menyebabkan satu akibat. Juga mustahil bahwa akibat itu sungguh sudah ada pada saat sebab terjadi, seperti dalam gagasan tentang takdir, atau bahwa akibat itu ada secara bawaan dalam sebab itu sendiri atau dalam kelanjutan dari sebab itu, tapi dalam sikap yang belum mewujud, dan hanya menunggu keadaan-keadaan yang tepat untuk muncul dan tampil. Juga mustahil bahwa pada saat sebab terjadi, akibatnya sungguh dan sepenuhnya tiada dan kemudian muncul saja dari ketiadaan. Dengan kehampaan, kita usir pikiran bahwa cara-cara mustahil ini benar. Kemudian, yang tersisa untuk kita pahami adalah gagasan tentang jejaring, yang di dalamnya segala sesuatu itu saling-hubung dan mempengaruhi segala sesuatu yang lain. Ada banyak tingkat kepelikan dari apa yang mustahil dan apa yang sebetulnya kita maksud dengan kesaling-hubungan. Kita harus masuk lebih dan lebih dalam lagi dan jalan yang ditempuh sangat panjang.

Butuh berapa lama sampai kita terlahir kembali?

Ada kurun antara yang disebut “bardo” di antara kematian dan pembuahan. Dari sini muncul pertanyaan kapan sebetulnya pembuahan itu terjadi. Kapan dasar ragawi dapat jadi sokongan yang layak bagi sebuah kesinambungan batin? Itu bahasan besar. Bardo, seperti dikatakan, ialah kurun tujuh-hari yang dapat berulang tujuh kali, sehingga berjumlah empat puluh sembilan hari seluruhnya. Bisa berakhir lebih awal. Kita bisa terlahir sebagai seekor serangga untuk beberapa hari, melewati bardo empat-puluh-sembilan hari lagi, dan seterusnya. Ada banyak ragamnya di sini.

Bagaimana dengan berhubungan dengan orang yang sama selama banyak masahidup?

Ya, kita memang punya hubungan karma dengan orang lain, yang membuat kita berhubungan dengan orang yang sama, kesinambungan batin yang sama, dalam beberapa masahidup. Jenis hubungan yang akan kita miliki dengan orang tersebut dalam masahidup yang lain akan bergantung pada beragam anasir yang mempengaruhi bobot karmanya. Kalau kita dulunya jahat pada seseorang, tapi sekarang kita baik padanya, itu membuat bobot negatifnya berkurang. Kalau kita dari dulu jahat padanya, bertindak negatif sekarang akan membuatnya lebih berat. Mau tentang satu masahidup atau beberapa, sama saja.

Euthanasia menghasilkan akibat karma yang postif atau negatif?

Ini jadi rumit sekali. Bobot dari akibat membunuh itu akan dipengaruhi oleh dorongan dan perasaan penyerta. Dalam euthanasia, niatnya di sini adalah untuk mengakhiri hidup orang lain, tapi tidak ada niat untuk menyakiti orang tersebut. Perasaan yang menyertainya adalah welas asih, kasih, dan seterusnya. Mengenai itu lugu atau tidak, itu pertanyaan lain. Kita banyak melakukan hal-hal yang kita pikir akan menolong orang lain, padahal tidak. Ganjaran penderitaan untuk euthanasia yang berwelas asih akan lemah sekali. Berpikir dengan welas asih adalah tindakan positif dan akan berbuah akibat positif pula. Yang akan membuatnya jadi tindakan bodhisattwa adalah pengakuan bahwa akan ada akibat penderitaan dan bersedia menerimanya terjadi pada diri kita agar membawa manfaat bagi orang lain. Kebanyakan kita tidak dihadapkan pada masalah euthanasia manusia, tapi anjing atau kucing peliharaan kita. Kita harus betul-betul menelaah dorongan kita.

Anda menyebut ilmu perbintangan tadi. Bagaimana menggunakannya?

Ilmu perbintangan hanya menunjukkan kemungkinan-kemungkinan tertentu saja. Ia ibarat laporan cuaca dan hanya memberi potongan gambar tentang karma. Saya pribadi menggunakan ilmu perbintangan sebagai cara untuk mengasah antena kepekaan dan naluri saya atas orang lain. Jika saya bersama seseorang dan punya rasa naluriah tertentu tentang cara berhubungan dengannya, saya mungkin merujuk pada bagan ilmu perbintangan mereka untuk memastikan atau menggubahnya. Ilmu perbintangan memberi akal atas apa yang perlu diwaspadai, apa yang perlu dihindari dari orang itu, apa ada kemungkinan gesekan, dan apa yang akan mengalir paling lancar. Akan tetapi, saya telah ketahui dari pengalaman selama bertahun-tahun bahwa ini tak sepenuhnya dapat diandalkan. Ada orang yang tak punya sudut kuat dalam bagan mereka, tak ada alasan dari bagannya untuk memprakirakan adanya hubungan dekat, akan tetapi ternyata ada. Saya tak mengabaikan orang itu karena tak ada trimurti atau kesehubungan atau apalah itu.

Yang saya dapati paling berguna dari ilmu perbintangan dalam perkembangan pribadi saya adalah bahwa ilmu itu telah membantu saya mengatasi kesan bahwa hanya ada sedikit sekali orang yang sungguh dapat berhubungan dengan saya dan berhubungan erat dengan saya. Kalau orang mencirikan hubungan dekat dengan adanya beragam kesehubungan dan trimurti dalam sebuah bagan, dua hal itu ada mungkin dengan seratus juta, kalau tidak semilyar, orang. Sama sekali tidak terbatas pada satu atau dua saja. Kita bisa berhubungan dekat dengan begitu banyak orang lain. Saya akui ini sangat membebaskan saya dalam hal membuka diri bagi hubungan dekat dan berarti dengan begitu banyak orang. Ilmu perbintangan juga memainkan peran penting dalam ajaran-ajaran Kalacakra, jadi pelajaran ilmu perbintangan saya telah menolong saya untuk menghargai segi tersebut, yang bagi beberapa orang amat sukar.

Persembahan

Semoga daya positif dari tindakan membangun dengan berada di sini, mendengarkan, mengajarkan, dan sebagainya dapat berlaku sebagai sebab bagi semua kita untuk mencapai pencerahan dan karena itu mampu mendatangkan keadaan-keadaan untuk menolong orang lain mencapai pencerahan juga. Semoga pemahaman apapun yang telah kita peroleh akan masuk lebih dan lebih dalam dan berjejaring dengan segala hal lain yang telah kita pahami dan yang akan kita pahami di hari esok. Semoga ini mulai berbuah di sepanjang jalan kita sehingga kita dapat menggunakan ajaran-ajaran ini dan pemahaman kita menjadi pertolongan terbaik bagi setiap orang.

Top