Nasihat Meditasi untuk Laku Lam-rim

Meditasi tentu merupakan suatu pokok penting jika kita ingin melaksanakan ajaran-ajaran Buddha. Meski demikian, meditasi bukanlah suatu hal yang khas Buddha. Kita menjumpai meditasi dalam semua adat India, dan juga dalam berbagai tata non-Buddha di luar India.   

Kata Sanskerta untuk meditasi adalah “bhavana”. Bhavana berasal dari kata-kerja “bhu”, yang berarti “menjadi”, atau “membuat sesuatu jadi sesuatu yang lain”. Maka, bhavana adalah sebuah jalan yang kita lalui untuk belajar cara mengembangkan keadaan cita yang membangun dan, kemudian, ibaratnya, kita “menjadi” keadaan itu sendiri. Dengan kata lain, lewat jalan (proses) meditasi, kita membuat cita kita menjadi suatu keadaan yang bermanfaat.

Karena bhavana berasal dari bentuk-dasar Sanskerta “bhu”, dari kata “menjadi”, bhavana menyiratkan sebuah pengalihbentukan (transformasi). Contohnya, jika kita memeditasikan cinta, kita sebetulnya mengalihkan diri kita ke bentuk insan yang memiliki cinta di hatinya. Ketika diterjemahkan dari bahasa Sanskerta ke bahasa Tibet, istilah ini dipadankan dengan kata “gom”, yang menyiratkan makna “membina kebiasaan”. Gom berarti membiasakan diri dengan sesuatu yang positif – bukan sesuatu yang negatif atau tawar (netral) – dan karenanya dapat membina suatu kebiasaan yang positif dan membangun.

Maka, kata dalam bahasa Tibet tersebut cukup mirip makna atau maksudnya dengan kata dalam bahasa Sanskerta. Maksud dari kedua istilah itu ialah untuk mengalihbentukkan diri kita menjadi seperti tujuan kita – seorang insan dengan cinta di hatinya, misalnya – kita harus membina cinta sebagai suatu kebiasaan yang bermanfaat. Cara yang kita gunakan untuk membina kebiasaan bermanfaat ini adalah meditasi.

Mendengarkan Ajaran

Naskah filsafat utama India yang mendahului masa hidup Buddha adalah Upanishad, dan naskah ini sudah mengandung pokok pembicaraan yang mengacu pada meditasi. Dalam Upanishad, meditasi dibahas dalam lingkung jalan tiga-langkah: mendengar, berpikir, dan bermeditasi. Sang Buddha tidak menciptakan jalan tiga-langkah ini; jalan tersebut sudah ada pada masa hidup Buddha. Jadi kalau kita ingin membuat sesuatu menjadi sebuah kebiasaan positif, jelaslah bahwa pertama-tama kita harus mendengarkannya; kemudian kita harus memahaminya dengan cara memikirkannya, dan akhirnya, kita harus menyatukannya dengan diri kita sendiri.

Jika kita tidak tahu apa-apa tentang Dharma, kita pertama-tama harus memperoleh keterangan mendasar tentang ajaran Buddha dan kita harus yakin bahwa keterangan ini benar. Hanya keterangan mendasar yang benarlah yang dapat menjadi landasan yang andal bagi minat terhadap ajaran-ajaran Dharma yang asli. Akan tetapi, pada masa Buddha, ajaran-ajaran filsafat tidak pernah dituliskan. Penyusunan ajaran-ajaran tersebut ke dalam bentuk naskah tertulis baru dimulai beberapa abad setelahnya. Inilah mengapa jalan tiga-langkah dimulai dengan perlunya “mendengarkan” ajaran – dengan kata lain, menyimak ajaran yang disampaikan dengan lantang.

Sekarang ini, Anda bisa juga membaca buku atau Internet tentang jenis latihan atau keadaan cita yang ingin Anda kembangkan sebagai langkah pertama. Akan tetapi, ini masih bisa diperbantahkan karena ketika kita mendengarkan ajaran langsung dari seorang guru, ada suasana khusus yang tercipta dari kehadiran guru tersebut di hadapan kita. Ketika kita mendengarkan ajaran secara langsung, kita dapat terilhami oleh guru kita dengan cara yang mungkin tidak bisa kita alami hanya dengan membaca buku. Inilah kenyataannya walaupun jelas memang harus ada orang yang menulis buku itu. Kita mendapati hal ini juga benar dalam hidup sehari-hari kita. Contohnya, ketika Anda nonton pertunjukan musik secara langsung, pengalaman yang dirasakan jauh lebih kuat dan mengilhami ketimbang Anda hanya mendengarkan CD di rumah. Keduanya merupakan pengalaman yang cukup berbeda.

Ketika kita mendengarkan ajaran, salah satu hal yang paling membantu adalah menyingkirkan “tiga kesalahan yang seperti bejana tanah liat”.

  • Pertama, kita harus menghindari kesalahan seperti bejana terbalik, yang tidak bisa dimasuki oleh benda apapun. Dengan kata lain, jika cita kita tertutup, jelas saja kita tidak akan mampu belajar apapun dari yang kita dengar.
  • Lalu, kita juga harus menghindari kesalahan seperti bejana yang berlubang di dasarnya. Dalam hal ini, semua yang dituang ke dalam langsung keluar lagi lewat lubang. Dalam bahasa Inggris, ungkapannya seperti ini: “go in one ear and out the other” (Ind. “masuk kuping kiri keluar kuping kanan”). Kita harus menghindari hal itu.
  • Terakhir, kita juga harus menghindari kesalahan seperti bejana yang kotor. Ketika Anda menuang air bersih ke dalam bejana yang kotor, air tersebut jadi ikut kotor. Dengan kata lain, ketika kita banyak berpurbasangka, purbasangka ini akan mencemari pemahaman kita tentang bahan yang baru kita terima. Alih-alih mendengarkan saja apa yang dikatakan seseorang, kita selalu mencampur-adukkan bahan baru itu dengan dugaan-dugaan kita sendiri.

Untuk membantu menghindari kesalahan-kesalahan ini, maka ketika kita mendengarkan ajaran-ajaran tertentu, akan baik sekali jika kita menuliskan atau merekamnya, jadi kita dapat mengingat pokok-pokok ajaran yang telah disebutkan dengan benar. Hal ini sangat membantu jika kita tidak memiliki ingatan yang sempurna – dan rata-rata manusia memang begitu. Semakin lama kita menunda menuliskan apa yang sudah kita dengar, semakin parah purbasangka akan mencemari ingatan kita. Dan bahkan ketika kita telah menuliskan atau merekamnya, kita harus mendengarkannya lagi dan lagi. Hanya membiarkan ajaran-ajaran tersebut berada di buku catatan yang ditaruh di rak atau sebagai file di komputer atau di iPod kita tentu saja tidak cukup!

Guru Sakya, Sonam Tsemo, pernah berkata bahwa untuk memasuki latihan Dharma:

  • pertama kita harus mengakui bahwa kita memiliki banyak masalah dan bahwa kita sedang menderita;
  • lalu kita harus memiliki kerinduan untuk keluar dari penderitaan kita itu;
  • terakhir, kita harus menaruh minat pada Dharma sebagai jalan keluar dari penderitaan.

Jika kita adalah pemula, kita tentunya harus memiliki cita yang terbuka dan mencoba untuk mempertahankan apa yang kita pelajari, tapi yang terpenting ialah bahwa kita harus mendengarkan sebuah ajaran Dharma dengan minat dan niat untuk menyigi (mengevaluasi) apa yang kita dengar. Kita ingin menyiginya untuk menentukan apakah ajaran yang kita dengar merupakan sesuatu yang secara pribadi dapat menolong kita mengatasi permasalahan jika kita melaksanakannya. Kita tidak belajar tentang ajaran Buddha untuk lulus ujian di sekolah atau untuk membuat orang lain terkesan dengan pengetahuan kita yang terpelajar. Kita mendengarkan ajaran untuk melihat apa kita dapat menemukan sesuatu yang secara pribadi sesuai dengan diri kita dan dapat membantu dalam kehidupan kita.

Maka, ketika mendengarkan ajaran, ada berbagai cara untuk memandang diri dan memandang keadaan. Dalam cara yang dikenal sebagai “tiga pengenalan”, kita memandang diri sebagai orang sakit, memandang guru sebagai tabib, dan memandang ajaran sebagai obat untuk menolong kita mengatasi sakit-penyakit atau masalah – penyakit itu sendiri dipandang sebagai perasaan-perasaan gelisah yang kita miliki.

Begitu kita jadi lebih mahir dalam latihan kita, ada banyak ajaran lebih lanjut mengenai sikap-sikap yang kita butuhkan terhadap guru, dalam hal melihat guru sebagai seorang Buddha, dan seterusnya; namun ajaran-ajaran itu tidak dimaksudkan untuk pemula.

Memikirkan Hal yang Telah Kita Dengar

Langkah kedua adalah memikirkan apa yang telah kita dengar. Kita memikirkan sebuah ajaran untuk memahaminya. Kita mencapai titik akhir dari jalan berpikir ini ketika kita telah dengan benar memahami apa maksud dari ajaran tersebut. Kita bukan hanya harus memahami sebuah ajaran dengan benar untuk bisa melaksanakannya dengan benar, kita juga harus yakin betul bahwa ajaran itu sahih dan bahwa ajaran itu adalah hal yang perlu kita pungut untuk diri kita sendiri karena akan menolong kita mengatasi permasalahan tertentu. Kita juga perlu yakin bahwa mungkin bagi kita untuk benar-benar mencapai apapun yang dibahas ajaran itu. Jika kita berpikir tidak mungkin – bahwa kita tidak akan pernah bisa mengatasi amarah kita, misalnya – maka apa gunanya mengikuti sebuah latihan yang diniatkan untuk mengatasi amarah? Kita perlu yakin bahwa latihan itu akan berhasil mencapai tujuan yang dinyatakan.

Ketika kita memikirkan sebuah ajaran, kita memikirkannya dari banyak sudut pandang. Contohnya, jika kita bicara tentang meditasi untuk menumbuhkan kasih yang setara terhadap setiap orang, kita perlu tahu berbagai langkah yang kita perlu kita ambil untuk menumbuhkan kasih semacam itu. Misalnya, bergantung pada apakah kasih yang setara untuk setiap orang itu? Bergantung pada anggapan bahwa setiap orang itu setara, anggapan bahwa setiap orang itu baik pada kita, dan seterusnya. Jadi, agar kasih yang menyemesta itu tumbuh dalam cita kita, kita perlu tahu bergantung pada apakah kasih itu, wawasan dan keadaan cita apa yang perlu kita tumbuhkan terlebih dahulu agar kasih itu tumbuh dalam diri kita.

Selain itu, kita perlu tahu unsur-unsur apa, yang bertentangan dengan kasih, yang akan dipulihkan oleh kasih itu sendiri. Khususnya, kita perlu yakin bahwa unsur-unsur tersebut adalah amarah dan kebencian; dan kita perlu yakin bahwa kasih benar-benar mampu mengatasi dan membersihkan kita dari kedua hal tersebut. Kita juga perlu memahami cara kasih membersihkan amarah dan kebencian.

Lebih jauh lagi, kita perlu memahami apa tujuan menumbuhkan kasih, dan apa yang akan kita lakukan setelah kita menumbuhkannya, yang berarti kita tahu manfaat menumbuhkan kasih. Contohnya, ketika kita baca banyak naskah yang memberikan ajaran tentang menumbuhkan suatu tujuan bodhicita – tujuan memperoleh pencerahan Anda sendiri agar bermanfaat bagi semua makhluk fana – naskah-naskah tersebut biasanya dimulai dengan menggambarkan manfaat memiliki suatu tujuan bodhicita. Tujuan naskah-naskah tersebut memulainya dengan cara demikian ialah agar kita jadi yakin bahwa memiliki tujuan semacam itu dalam hidup ini adalah sesuatu yang ingin kita tumbuhkan.

Akhirnya, kita perlu yakin pada nalar ajaran-ajaran tersebut. Ajaran-ajaran itu harus nalariah, harus beralasan, dan harus masuk akal dalam hal tahapan-tahapan dan rincian sesungguhnya dari ajaran-ajaran itu.

Jadi, terdapat banyak hal yang perlu kita pikirkan. Tidak bijak jika kita langsung lompat ke latihan meditasi tanpa memahami apa yang perlu kita tumbuhkan terlebih dahulu, dan bagaimana hal itu akan membersihkan kita dari keadaan cita yang bermasalah, dan unsur-unsur bertentangan apa yang perlu kita awasi, dan seterusnya. Perumpamaannya demikian: “Mendengarkan itu ibarat menyuapkan makanan ke mulut; dan memikirkannya itu ibarat mengunyah makanan tersebut.” Jika kita mencoba menelan sesuatu tanpa mengunyahnya, kita bisa tercekik. Demikian pula, jika kita mencoba bermeditasi tanpa memikirkan ajaran-ajarannya, kita akan mengalami banyak kesukaran.

Bagaimana tepatnya kita menyelesaikan jalan berpikir itu? Tahap berpikir dapat berbentuk berpikir gaya-bebas tentang berbagai pokok yang telah saya sebutkan, atau, begitu kita telah melakukannya, dapat pula berupa jalan yang lebih formal.

Jalan Berpikir Formal

Jalan berpikir formal berarti mengikuti suatu garis penalaran. Ketika kita ingin menumbuhkan keadaan cita tertentu, kita perlu membinanya. Kita perlu membina keadaan cita tersebut dengan melawati tahapan-tahapan atau langkah-langkah, dan kerapkali langkah-langkah tersebut mencakup kegiatan berpikir dengan banyak garis penalaran. Contohnya, ajaran dapat mencakup suatu garis penalaran yang membina pemahaman tentang ketidaktetapan (bahwa segala hal yang dipengaruhi oleh sebab dan keadaan akan berubah dari waktu ke waktu dan mencapai titik akhirnya); atau dapat pula mencakup suatu garis penalaran yang membina pemahaman tentang kehampaan (bahwa segalanya itu kosong dalam cara-cara yang tidak mungkin). Dengan memikirkan dan berjalan melalui nalar dari garis-garis penalaran, kita jadi yakin: bukan hanya bahwa ketidaktetapan dan kehampaan itu sahih, tapi juga bahwa garis-garis penalaran tersebut secara sahih membuktikan bahwa ketidaktetapan dan kehampaan itu benar. Bukan hanya itu, kita juga jadi yakin bahwa dengan melalui nalar dari garis-garis penalaran itu, kita dapat membangkitkan pemahaman tentang ketidaktetapan dan kehampaan yang benar dan pasti. Ingat: menjadi yakin adalah bagian dari jalan berpikir.

Atau, kita bisa juga membina suatu keadaan cita tertentu, tidak mesti lewat sebuah garis penalaran, tapi lewat tahapan-tahapan. Misalnya, jika kita ingin menumbuhkan suatu tujuan bodhicita, kita akan melewati tahapan-tahapan seperti keseimbangan batin , dan kemudian memandang setiap orang sebagai ibu kita di kehidupan yang lampau, mengingat kebaikan kasih ibu, menumbuhkan rasa syukur untuk hal itu, dan seterusnya. Kita berjalan melewati tahapan-tahapan hingga yakin bahwa, dengan mengambil langkah-langkah ini, kita dapat menumbuhkan tujuan bodhicita kita. Ini masih bagian dari jalan berpikir.

Kita juga perlu memahami, dalam jalan berpikir ini, apa sesungguhnya keadaan pikiran yang sedang coba kita olah itu. Beberapa meditasi diniatkan untuk membantu kita memusatkan perhatian pada suatu sasaran (objek) tertentu, misalnya, Buddha terbayang. Untuk bermeditasi tentang Buddha terbayang, kita perlu memahami bahwa ini merupakan jenis meditasi memusat dan tujuannya ialah untuk memusatkan perhatian pada suatu sasaran khusus, yaitu Buddha trimatra yang kecil dan hidup yang terbuat dari cahaya yang kita bayangkan berada sejajar tatapan lurus mata di hadapan kita.

Di lain pihak, terdapat berbagai meditasi yang diniatkan untuk menumbuhkan suatu keadaan cita, misalnya, kasih. Kasih bukanlah suatu sasaran yang kita pandang dengan perhatian terpusat; alih-alih, kasih adalah suatu keadaan cita yang kita tumbuhkan. Jadi kita perlu tahu jenis meditasi mana yang kita kerjakan: apakah kita mencoba untuk memusatkan perhatian pada suatu sasaran khusus atau apakah kita sedang mencoba menumbuhkan suatu keadaan cita tertentu? Apa yang sedang coba kita capai?

Dalam dua perkara ini, Tsongkhapa dengan sangat mantap menekankan bahwa kita perlu mengetahui dua hal:

  • Pertama, kita harus jelas tentang sasaran apa yang perlu muncul di dalam cita kita. Baik itu ketika kita bicara tentang meditasi Buddha terbayang atau meditasi kasih, apa sasaran yang muncul dalam meditasi kita?
  • Kedua, kita perlu tahu cara cita merengkuh sasaran tersebut, bagaimana cita mengetahuinya.

Jika kita tidak jelas betul tentang dua pokok ini, bagaimana mungkin kita bisa membangkitkan keadaan pikiran yang hendak kita tumbuhkan?

Sebagai contoh, welas asih: pada apakah welas asih ditujukan? Apa sasaran yang muncul? Sasaran yang muncul di dalam cita kita ketika bermeditasi tentang welas asih adalah makhluk hidup, berbagai makhluk fana dengan penderitaannya. Cita kita berpusat pada mereka dan membedakan suatu segi tertentu tentang mereka, yaitu penderitaan dan sebab-sebab penderitiaan mereka. Bagaimana cita merengkuh sasaran-sasaran tersebut? Cita merengkuh sasaran-sasaran tersebut dengan kehendak kuat agar makhluk-makhluk ini terpisah dari penderitaan dan sebab-sebab penderitaan mereka, dan dengan niat untuk mencoba membawa hal ini kepada diri kita sendiri. Dengan cara ini, lewat tindakan memikirkan ajaran-ajaran yang telah kita dengar atau baca, kita mampu menentukan dan memahami dengan sangat jernih keadaan cita yang ingin kita bangkitkan.

Jika kita berencana untuk bermeditasi tentang bodhicita, kita perlu berpikir dan jelas betul tentang apa yang cita kita lakukan dalam meditasi semacam itu. Kebanyakan orang salah karena menyamakan bodhicita dengan welas asih; namun, bodhicita dan welas asih tidak sama. Bodhicita ialah suatu keadaan cita dengan welas asih sebagai landasannya; namun bodhicita beranjak lebih jauh dari sekedar menginginkan orang lain terbebas dari segala penderitaan dan sebab-sebabnya. Bodhicita beranjak jauh melampaui keinginan untuk membawa semua makhluk fana kepada pencerahan dan mengambil tanggung jawab untuk melakukan hal tersebut. Tapi kehendak-kehendak dan perasaan-perasaan baik ini adalah perasaan-perassan positif yang menjadi tempat bergantung dan sumber tumbuhnya bodhicita. Pertama-tama kita harus memiliki landasan kasih dan welas asih.

Kepada hal apa perhatian kita pusatkan ketika kita sedang duduk di atas bantal dan bermeditasi tentang bodhicita? Kita memusatkan perhatian pada pencerahan diri kita sendiri, yang belum lagi terjadi, tapi yang dapat terjadi di atas landasan unsur-unsur sifat-Buddha kita dan di atas landasan semua kerja keras yang perlu kita lakukan agar mencapai pencerahan itu. Unsur-unsur sifat-Buddha kita merupakan ciri-ciri dan fitur-fitur mendasar yang kita semua miliki dan yang memampukan kita untuk menjadi seorang Buddha, seperti sifat murni dari cita kita. Kita tidak memusatkan perhatian pada pencerahan Buddha Sakyamuni. Kita tidak memusatkan perhatian pada pencerahan dalam pengertian umum; alih-alih, kita memusatkan perhatian pada pencerahan diri kita sendiri, pencerahan kita yang belum-lagi-terjadi.

Bagaimana cara kita memusatkan perhatian pada pencerahan kita yang belum-lagi-terjadi ini? Tidak mudah. Pertama sekali, kita perlu memahami apa maksudnya itu, gejala apa itu – sebuah gejala atau hal yang belum-lagi-terjadi. Misalnya, kita perlu menimbang: apakah tunas yang belum-lagi-terjadi itu sudah ada di dalam benih dan baru menunggu untuk terbit? Atau apakah tunas yang belum-lagi-terjadi itu belum sungguh-sungguh ada pada masa benih?

Tentu saja, pemahaman tentang kehampaan di sini perlu untuk benar-benar mendapatkan pemahaman yang jernih tentang pada apa perhatian kita pusatkan ketika kita sedang memusat pada pencerahan kita yang belum-lagi-terjadi. Pencerahan kita yang belum-lagi-terjadi tidak menunggu di suatu tempat di luar sana, seperti garis akhir dari sebuah lomba yang kita tuju. Pencerahan itu juga tidak diam di suatu tempat di dalam cita kita atau di dalam sifat-Buddha kita, menunggu untuk terbit. Pencerahan bukanlah benda yang dapat ditemukan seperti itu. Di lain pihak, kita tidak memusatkan perhatian pada sesuatu yang sama sekali tidak ada; kita tidak memusatkan perhatian pada yang tak ada. Alih-alih, kita perlu memahami bahwa pencerahan kita yang belum-lagi-terjadi merupakan sesuatu yang dengan sahih dapat dipertalikan pada kesinambungan batin kita di atas landasan unsur-unsur sifat-Buddha kita. Kita juga perlu ketahui apa maksudnya sesuatu itu dapat dengan sahih dipertalikan di atas landasan yang sesuai.

Akan tetapi, agar dapat memusatkan perhatian pada pencerahan yang belum-lagi-terjadi, kita perlu memusatkan perhatian padanya lewat semacam perlambang batin atas pencerahan yang muncul di dalam cita kita. Misalnya, kita dapat membayangkan bunyi kata “pencerahan” atau kita dapat membayangkan seorang Buddha di hadapan kita. Dalam tantra, kita dapat membayangkan diri kita dalam rupa sosok-Buddha. Dengan masing-masing contoh ini, kita perlu menganggap suara batin atau gambar batin yang muncul di dalam cita kita sebagai suatu perlambang pencerahan kita yang belum-lagi-terjadi.

Berikutnya, bagaimana cara cita kita memusatkan perhatian pada sasaran batin yang muncul ini? Kita memusatkan perhatian pada pencerahan kita yang belum-lagi-terjadi, seperti dilambangkan oleh sasaran batin yang muncul di dalam cita kita, dengan dua niat. Niat pertama: “Aku akan mencapai pencerahan.” Nah, adanya niat untuk mencapai pencerahan tersebut tergantung pada banyak hal lain yang harus telah kita pikirkan atau pahami. Kita perlu tahu secara makul (realistis) apa yang perlu kita lakukan supaya mencapai pencerahan. Sikap kita tidak boleh cuma sekadar: “Oh, aku akan mencapai ini. ” Kita perlu tahu bagaimana kita akan mencapainya, dan yakin bahwa kita mampu mencapainya. Kita perlu memiliki niat yang sahih untuk mencapai keadaan pencerahan; jika tidak, pencapaian itu hanya akan jadi mimpi indah saja. Dan tentunya, kita harus memahami dengan benar apa pencerahan itu, yang sayangnya juga tidak begitu mudah dilakukan. Kita memperoleh semua pemahaman ini lewat langkah kedua dalam jalan ini: berpikir.

Niat kedua yang kita miliki sembari memusatkan perhatian pada perlambang batin ini ialah bahwa dengan pencerahan itu kita akan membawa sebanyak mungkin manfaat bagi sesama. Lagipula, pencerahan tidak berarti menjadi dewa mahamampu. Dan mampu menjadi manfaat bagi setiap orang, tentu saja, berdasar pada kita yang telah terlebih dahulu mengambil langkah-langkah meletakkan landasan yang menjadi tempat bergantung bodhicita, yaitu kasih dan welas asih. Kita mengambil tanggung jawab untuk membawa orang lain kepada pencerahan karena kita ingin mereka terbebas dari segala penderitaan dan dilimpahi kebahagiaan.

Langkah berpikir ini sebetulnya merupakan langkah yang cukup panjang, dan memerlukan banyak usaha. Tapi di akhir langkah ini, kita memahami dan mengetahui, dengan tepat-jitu dan dengan kepastian penuh, apa keadaan cita yang sedang coba kita capai dan bagaimana membina keadaan cita tersebut. Kita juga yakin penuh dan sahih bahwa kita mampu membangkitkan keadaan cita tersebut dan bahwa membangkitkannya akan teramat sangat bermanfaat.

Walau mungkin tampak seperti meditasi, jalan berpikir ini bukanlah meditasi menurut makna tradisionalnya. Orang Barat yang tidak menggunakan istilah tersebut dengan tepat mungkin menyebut jalan berpikir ini sebagai “meditasi”, tapi ini tidak benar. Kita harus jelas tentang perbedaan antara berpikir dan meditasi.

Jalan berpikir ini adalah suatu kegiatan yang sangat berfaedah, dan berpikir tentang ajaran-ajaran adalah sesuatu yang dapat kita lakukan kapan saja. Malah, akan sangat membantu jika kita melakukannya sembari kita terlibat dalam kegiatan lain dalam kehidupan sehari-hari kita. Misalnya, saat kita terjebak macet, kita dapat berpikir tentang bagaimana suatu keadaan cita, misalnya kasih, dapat diterapkan dalam keadaan ini. Bagaimana kasih dapat sesuai dengan kemacetan? Apa manfaat-manfaatnya? Dan seterusnya. Ini adalah pokok-pokok yang dapat kita pikirkan di sepanjang hari kita.

Meditasi

Kini kita sampai pada tahapan ketiga dari jalan tiga-langkah kita: meditasi itu sendiri. Meditasi itu mirip dengan mencerna makanan setelah kita mengunyahnya. Tujuan dari meditasi adalah untuk membuat suatu keadaan cita positif menjadi kebiasaan, untuk betul-betul menjadi keadaan cita tersebut begitu kita telah memikirkan dan memahaminya dan yakin bahwa kita mampu membangkitkannya.

Meditasi utamanya merupakan jalan lipat-dua. Langkah pertama ialah langkah yang saya terjemahkan menjadi “meditasi pencermatan”. Biasanya diterjemahkan sebagai “meditasi telaah (analitis)”, namun menyebutnya “telaah” cenderung membuat orang salah mengira bahwa langkah ini merupakan langkah berpikir. Saya pikir kata “pencermatan” adalah terjemahan yang lebih tepat-makna untuk istilah ini. Dalam lingkung ini, “pencermatan” berarti tindakan menyimak sesuatu dengan sangat hati-hati dan memahaminya dengan suatu cara tertentu. Segi kedua dari meditasi adalah meditasi terpaku; di langkah ini kita betul-betul memaku perhatian pada keadaan cita tersebut dan tetap terpusat padanya. Kita menyebut tahapan kedua ini sebagai “meditasi pemantapan”.

Bagaimana kita melaksanakan langkah pertama, meditasi pencermatan? Selama proses berpikir kita melewati suatu garis penalaran atau kita melewati tahapan-tahapan dan langkah-langkah untuk membina suatu keadaan cita tertentu. Kita melakukan itu dengan tujuan memperoleh pemahaman tentang keadaan batin apa yang hendak kita tumbuhkan dan juga pemahaman tentang cara menumbuhkannya. Nah, dengan meditasi pencermatan, kita sekali lagi melewati garis penalaran atau langkah-langkah untuk membangkitkan suatu keadaan cita tertentu. Namun, kita melewati proses ini agar betul-betul membangkitkan keadaan cita tersebut dan benar-benar memilikinya di dalam diri kita. Contohnya, untuk membangkitkan rasa welas asih bagi setiap orang, kita mengikuti garis penalaran: “Setiap orang telah menjadi ibuku, setiap orang telah baik hati padaku…,” dan seterusnya, sehingga kita betul-betul berupaya mencapai keadaan cita yang kita niatkan dan betul-betul merasakannya.

Begitu kita telah berupaya dalam jalan langkah-demi-langkah ini untuk mencapai keadaan cita yang ingin kita biasakan pada diri kita, kita kemudian giat mencermati atau memahami sasaran pusat perhatian dengan cara itu. Jika kita bermeditasi tentang welas asih, misalnya, kita memusatkan perhatian pada semua makhluk fana dan, secara khusus, pada rincian yang kita kenali dalam diri mereka: masalah dan penderitaan mereka. Kita mencermati bahwa mereka menderita dan kita memiliki keinginan supaya mereka terbebas dari penderitaan itu dan memiliki niat untuk menolong mereka membebaskan diri darinya. Kita betul-betul melihat makhluk hidup di dalam cita kita, kita melihat mereka di dalam cita kita dengan cara ini; atau bisa juga dengan cara kita melihat orang di kehidupan nyata. Welas asih dipusatkan pada sesama dan penderitaan mereka, dan disertai dengan keinginan supaya mereka terbebas dari penderitaan itu.

Kita tetap pada pencermatan itu untuk beberapa saat, dalam sebuah proses yang giat. Kemudian, meditasi pemantapan pada dasarnya merupakan tindakan membiarkan apa yang telah kita cermati meresap, dengan konsentrasi penuh pada pokok atau keadaan batin ini. Tentunya, kita perlu berkonsentrasi ketika kita berada pada tahap meditasi pencermatan juga; tapi dalam tahap pemantapan ini kita membiarkan perasaan tersebut tenggelam begitu dalam ke lubuk hati kita: kita sungguh merasakan betul welas asih itu.

Kita jalani dua tahap ini, pencermatan dan pemantapan, secara bergantian, bolak-balik, sampai akhirnya kita mampu memadukan keduanya. Memadukan tahap pencermatan dan pemantapan dari meditasi adalah hal yang sangat sukar. Pembahasan tahap-tahap yang kita lewati untuk memadukannya sangatlah rumit. Jika Anda ingin tahu beberapa rinciannya, Anda dapat membaca lebih lanjut tentang hal itu di situsweb saya.

Juga, ketika kemampuan kita sudah mencapai taraf sangat lanjut, kita tidak perlu melakukan apa yang disebut dengan “meditasi susah-payah”. Meditasi susah-payah adalah meditasi yang di dalamnya jalan meditasi pencermatan melibatkan tahap-tahap dan pembinaan suatu keadaan cita. Pada tingkat lanjut, kita mampu melakukan meditasi pencermatan yang tidak susah-payah. Kita mampu membangkitkan keadaan cita yang diinginkan dengan segera tanpa membinanya lewat langkah-langkah atau sebuah garis penalaran. Akan tetapi, kita tetap menggunakan keadaan cita tersebut untuk mencermati wujud pusat perhatian kita seperti yang kita lakukan ketika meditasi pencermatan kita masih bersifat susah-payah.

Jenis-Jenis Meditasi

Kita sering mendengar tentang dua jenis meditasi. Kata Sanskerta untuk kedua jenis meditasi ini adalah “shamatha” dan “vipashyana”, atau dalam bahasa Tibet disebut “shinay” dan “lhagtong”. Kedua istilah ini sebenarnya mengacu pada dua keadaan cita yang hendak kita capai lewat jalan meditasi. Shamatha adalah suatu keadaan cita yang diam dan mapan. Ia diam dalam pengertian bahwa, dengannya, kita telah menenangkan semua tingkat ketumpulan dan kesembronoan batin dari cita atau gejolak batin (cita yang melayang ke wujud menarik lainnya). Shamatha juga berarti mapan dalam pengertian bahwa pusat perhatiannya terpaku padu pada suatu sasaran. Maka, penekanannya ialah pada meditasi pemantapan.

Kita dapat menumbuhkan keadaan cita yang diam dan mapan ini lewat pemusatan perhatian pada berbagai hal termasuk nafas, Buddha terbayang, dan seterusnya. Kemungkinan-kemungkinannya dapat dibuat dalam satu daftar panjang.

Dalam meditasi shamatha pun kita perlu mendengarkan ajaran-ajaran, dan kemudian memikirkan tahap-tahap meditasi tersebut. Misalnya, jika kita sedang membayangkan Buddha, kita akan mendengar ajaran-ajaran tentang cara membina bayangan tersebut langkah demi langkah. Kemudian kita akan memikirkan apa yang dilakukan pertama, kedua, dan seterusnya.

Vipashyana” berarti suatu keadaan cita yang luar biasa tanggap. Vipashyana ialah suatu keadaan cita yang mampu mencerap berbagai hal secara luar biasa. Maka, meditasi vipashyana menekankan pada meditasi pencermatan. Ketika kita bicara tentang mencapai keadaan vipashyana, keadaan tersebut dapat dicapai sebagai suatu keadaan cita luar biasa tanggap yang mencermati ketidaktetapan atau kehampaan, namum tidak terpatok pada salah satu dari kedua hal tersebut saja. Dalam tantra anuttarayoga, tantra golongan tertinggi, satu cara untuk menumbuhkan vipashyana, keadaan cita yang luar biasa tanggap ini, adalah dengan membayangkan sebuah titik atau noktah kecil di ujung hidung. Kemudian, sembari mempertahankan bayangan satu titik tersebut, Anda membayangkan dua titik di baris berikutnya, kemudian empat, delapan, enam belas, tiga puluh dua, dan seterusnya. Anda harus menjaga semua titik itu teratur sempurna, dan kemudian melarutkan bayangan itu dalam tahap-tahap. Dengan melakukan bayangan sejenis ini, Anda menumbuhkan suatu keadaan cita yang luar biasa tanggap dan tajam. Jika Anda benar-benar ingin menumbuhkan keadaan cita ini sampai ke tingkat yang sangat tinggi, ada latihan-latihan lagi dalam mana Anda membayangkan, di dalam tiap noktah, keseluruhan mandala dari tata dewa yang sedang Anda latih, dengan semua dewa dan semua rincian mereka. Jika Anda mencapai ini, Anda benar-benar memiliki keadaan cita yang luar biasa tanggap!

Dua jenis meditasi ini, shamatha dan vipashyana, ada dalam semua aliran Buddha, dan juga dalam berbagai tata non-Buddha India. Dalam aliran Buddha Theravada, dua jenis meditasi ini dikenal dengan istilah bahasa Pali “samatha” dan “vipassana”. Kita juga mendapati keduanya dalam Zen. Contohnya, dalam Buddha Son, bentuk Korea dari Zen, ada sebuah koan yang berbunyi: “Apa itu? ” Ketika kita memusatkan perhatian pada “Apa itu? ”, intinya bukan pada jawaban untuk pertanyaan itu, misalnya: “Itu meja; ini gelas,” dan seterusnya. Alih-alih, kita menumbuhkan cita sehingga berada pada keadaan “keraguan kuat” – selalu mempertanyakan kenyataan “Apa itu? ” Maka, keadaan cita kita menjadi luar biasa tanggap.

Ada cerita lucu yang menunjukkan bahwa sebagian besar guru Tibet belum pernah belajar aliran Zen; mereka tidak akrab dengan aliran tersebut. Ada sebuah pertemuan terkenal antara seorang guru Zen dan Kalu Rinpoche. Guru Zen mengacungkan sebuah jeruk dan bertanya pada Kalu Rinpoche, “Apa ini? ” Kali Rinpoche melihat penerjemahnya dengan bingung dan bertanya, “Apa masalahnya, apa mereka tidak punya jeruk di negaranya? ”

Jadi, ada shamatha dan vipashyana. Shamatha bukanlah sekadar konsentrasi sempurna, yang ditumbuhkan lewat sembilan tahap dengan menggunakan berbagai jenis perhatian dan seterusnya. Namun shamatha memiliki, selain konsentrasi sempurna, apa yang dikenal sebagai suatu “keadaan cita yang menggembirakan”. “Suatu rasa bugar” sebenarnya adalah istilah teknis. Selain konsentrasi sempurna, ada pula suatu rasa bugar, yang merupakan sebuah keadaan lahir dan batin yang menggembirakan. “Rasa bugar” itu serupa dengan keadaan seorang olahragawan yang dilatih dengan sempurna.

Tsenshap Serkong Rinpoche, guru saya, menjelaskan bahwa memiliki keadaan cita shamatha itu seperti memiliki pesawat jet jumbo: kalau Anda meletakkannya di darat, pesawat itu akan berdiri tegak, dan jika Anda menerbangkannya ke udara, pesawat itu akan terbang. Ada kesan bahwa Anda dapat berkonsentrasi pada apapun selama apapun. Tubuh tidak akan lelah; cita tidak akan lelah; Anda merasa sepenuhnya bugar; dan hal itu menggembirakan. Shamatha adalah keadaan cita yang sangat menggembirakan, menyemangatkan, dan riang. Tapi tidak riang seperti berjingkrak berlari menyusuri jalan sambil bernyanyi dan menari seperti dalam film – bukan seperti itu. Dengan shamatha, cita sepenuhnya terasah, seperti seorang olahragawan yang amat-sangat terlatih dengan baik.

Adalah penting untuk menjelaskan bahwa keadaan batin vipashyana ialah keadaan yang merupakan tambahan bagi keadaan shamatha. Selain konsentrasi sempurna dan keadaan kebugaran shamatha, vipashyana menambahkan di atasnya suatu rasa bugar kedua. Ini berupa suatu rasa cita yang bugar untuk memahami dan mencermati segala sesuatu.

Ada juga jenis meditasi lain yang biasanya disebut “meditasi kilas”. Ketika kita sedang berupaya dalam suatu latihan meditasi tertentu, tiap saat kita perlu meninjau-ulang jalan Buddha sepenuhnya. Tujuannya adalah untuk mengingatkan diri kita di titik mana pokok meditasi kita sesuai dengan gambaran seutuhnya, sehingga kita tidak perlu berlebihan memberi bobot pada satu pokok dan melewatkan atau mengabaikan pokok yang lain. Jadi, meditasi kilas berarti meninjau-ulang jalan keseluruhan; ia merupakan sejenis peninjauan-ulang.

Bertahun-tahun yang lalu, saya datang ke Moskow bersama Dr. Tenzin Choedrak, yang merupakan dokter pribadi Yang Mulia Dalai Lama. Kami waktu itu sedang bekerja dalam sebuah proyek penggunaan obat-obatan Tibet untuk menolong korban radiasi Chernobyl. Kami tinggal di hotel-hotel yang baik dan secara resmi diantar oleh pejabat-pejabat dari Kementrian Kesehatan. Kerap kali kami diajak ke acara jamuan tujuh-hidangan-utama ala Rusia yang terkenal itu. Nah, Dr. Tenzin Choedrak ini pernah menghabiskan dua puluh tahun dalam kamp konsentrasi Cina sebelum ia dapat meninggalkan Tibet dan pergi ke India. Maka disajikanlah hidangan utama pertama dari jamuan tujuh-hidangan-utama itu, dan tak peduli berapa kali kami mengingatkan sebelumnya, ia makan saja sebanyak yang ia bisa dari hidangan utama pertama itu; seakan-akan, itu akan jadi makanan satu-satunya yang akan ia terima selama satu minggu ke depan. Kemudian, ia jadi kenyang sekali, dan ia tidak lagi bisa makan enam hidangan lain yang menunggu. Ini adalah perumpamaan untuk keadaan yang ingin kita hindari dengan melakukan meditasi kilas. Kita ingin meninjau-ulang dan mengingatkan diri kita tentang seluruh tujuh hidangan utama itu, agar kita tidak “makan berlebihan” dan melakukan terlalu banyak meditasi pada satu pokok saja. Kalau demikian yang terjadi, itu akan sama saja seperti mengganyang hidangan utama pertama dan melewatkan sisa hidangan lainnya.

Nah, saya menjelaskan jenis meditasi yang di dalamnya kita membina suatu keadaan cita tertentu, namun itu bukan satu-satunya jenis meditasi yang dilakukan dalam ajaran Buddha. Dalam latihan-latihan meditasi tertentu, contohnya, dalam beberapa meditasi Kagyu pada sifat cita atau dalam latihan-latihan Zen tertentu, ada pendekatan yang berbeda. Alih-alih membina ke suatu tataran cita, kita mendiam ke suatu tataran cita untuk menemukan bahwa ada ciri-ciri bawaan tertentu dalam cita kita, seperti kasih dan kejernihan cita, dan untuk memperoleh jalan masuk ke dalam ciri-ciri bawaan tersebut. Tapi bahkan ketika kita melakukan jenis meditasi ini, kita pertama-tama harus telah mendengarkan ajaran-ajaran tentangnya dan kemudian memikirkan ajaran-ajaran tersebut sampai kita memahaminya. Kita perlu tahu pada apa keadaan cita yang sedang kita mendiam itu dilandaskan, apa yang akan kita capai, apa yang perlu kita lakukan pertama, lalu kedua, dan seterusnya. Pranata jenis meditasi “mendiam” itu sama dengan jenis meditasi “membina”.

Lingkungan yang Paling Mendukung untuk Meditasi

Ada aturan-aturan luas tentang cara mengatur sebuah sesi meditasi, cara mengatur ruang mediatasi, menyapu lantai dan membersihkan ruangan, dan ajaran-ajaran tentang membuat sujud-sembah, membuat persembahan, dan seterusnya – kesemuanya ini sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang paling mendukung untuk meditasi. Dan walaupun keadaan yang mendukung dan lingkungan yang sesuai untuk meditasi itu penting, khususnya tempat duduk yang cocok dan lingkungan yang tenang dan bersih; bagaimanapun juga, tidaklah penting untuk membuat suatu panggung yang berlebihan. Kita tidak perlu menghabiskan banyak uang untuk mendapatkan semua perlengkapan emas, dan dupa, dan musik Zaman Baru (Ing. New Age) sebagai latar, dan segala macam hal seperti itu. Milarepa pastinya tidak memiliki semua hal itu dan ia cukup berhasil dalam latihan meditasinya! Kita mencoba membuat ruang meditasi kita sebaik mungkin, tapi tanpa harus berlebihan dan membuat hal-hal rumit hanya untuk pamer saja.

Juga, kita harus mampu untuk bermeditasi di manapun. Jika kita sedang bepergian jauh dengan kereta, kita tidak boleh bilang, “Aku tak bisa bermeditasi di kereta karena mangkuk airku tak ada, aku tak bisa menyalakan dupa, aku tak bisa melakukan sujud-sembah,” dlsb. Kita sebetulnya bisa bermeditasi di mana saja, begitu kita sedikit mahir bermeditasi – di kereta, di mana saja, bahkan sewaktu berdiri dalam antrean. Bahkan di dalam kehidupan kita sehari-hari, di antara sesi-sesi meditasi formal kita dapat mencoba untuk selalu ingat untuk memperlakukan sesama dengan kasih dan welas asih – itu pun meditasi, bukan?

Ingatlah, inti dari meditasi adalah untuk menyatukan ajaran-ajaran ke dalam diri – membuatnya menjadi bagian dari diri kita sehingga kita dapat menerapkannya dalam kehidupan kita sehari-hari. Ketika meditasi menjadi hal yang betul-betul terpisah dari kehidupan sehari-hari kita, maka ia hanya jadi hobi saja. Khususnya ketika meditasi kita melibatkan bayangan tantra eksotis, meditasi tersebut dapat dengan mudah jadi tamasya ke Disneyland, ke suatu tanah khayali yang tak ada urusannya dengan kehidupan kita sehari-hari. Jika kita berjalan di jalur itu, batin kita jadi tidak kokoh dan meditasi hanya akan berdampak kecil dalam kehidupan kita sehari-hari. Ingatlah, inti dari meditasi adalah untuk menerapkannya dalam kehidupan.

Dan tidak peduli sedang ada di mana kita, ketika kita bermeditasi, pertama-tama kita harus menyiapkan dorongannya, menegaskan dorongan itu, dan memiliki niat untuk bermeditasi dengan konsetrasi. Jika cita kita mengembara, kita akan membawanya pulang. Jika kita mengantuk, kita akan membangunkan diri kita sendiri. Dan pada akhirnya, kita memiliki pengabdian kuasa positif. Jika kita tidak mengabdikan tenaga positif yang kita bangkitkan dengan meditasi, maka usaha-usaha kita dalam meditasi hanya akan memperparah keadaan-keadaan samsara kita. Kita ingin mengabdikan tenaga positif itu untuk pencerahan, untuk menjadi manfaat bagi setiap orang

Meditasi Sendiri dan Berkelompok

Beberapa orang melakukan meditasi sendiri. Malah, orang Tibet kebanyakan melakukan meditasi sendiri; mereka tidak melakukan meditasi berkelompok, walau dalam wihara-wihara para biksu dan biksuni memang melafalkan doa dan naskah-naskah upacara keagamaan bersama-sama dalam kelompok. Akan tetapi, di barat, kita telah menumbuhkan kebiasaan meditasi berkelompok. Bagi sebagian besar orang, manfaat terbesar dari meditasi berkelompok adalah kepatuhan pada tata tertib. Jika kita sendirian, kita tidak bisa patuh untuk tertib duduk dan bermeditasi. Kita sudah bangkit berdiri jauh sebelum meditasi berakhir seperti kita rencanakan; tetapi jika ada orang lain di sekitar kita, kita jadi lebih tertib. Kita cenderung tidak gelisah, karena kita malu untuk melakukannya di hadapan orang lain.

Beberapa orang mendapati meditasi berkelompok sebagai sesuatu hal yang sungguh mengerikan, karena mereka terganggu oleh orang lain. Khususnya ketika ada yang batuk atau gelisah, mereka mendapati hal tersebut buruk sekali dampaknya untuk meditasi mereka. Jadi mereka lebih suka bermeditasi sendiri secara pribadi. Khususnya jika kelompok tersebut melafalkan sesuatu dengan lantang secara serempak, dan ada beberapa orang yang melafalkannya jauh lebih lambat dari yang biasanya kita lakukan, maka kita jadi betul-betul bosan dan marah. Dan yang sebaliknya pun begitu, jika terlalu cepat kita juga jadi marah.

Kita perlu menilai sendiri mana yang lebih baik untuk kita – meditasi sendiri atau berkelompok. Akan tetapi, saya telah memperhatikan satu ciri menarik ketika ikut serta dalam meditasi kelompok kecil, yang berarti bermeditasi dengan satu atau dua orang lain. Meditasinya bisa jadi sangat berhasil ketika Anda memiliki ikatan dan hubungan yang dekat dengan orang lain yang ikut bermeditasi bersama Anda. Anda merasa sangat selaras dengan mereka. Seakan-akan tenaga Anda saling menguatkan satu sama lain. Keadaan bermeditasi bersama mereka memberi Anda lebih banyak tenaga dan kejernihan. Namun ketika tenaga orang per orang yang bermeditasi dalam kelompok kecil itu bertubrukan satu sama lain, dampaknya justru sebaliknya: Anda jadi kesal dan cita Anda jadi jauh lebih tumpul. Jadi, Anda perlu periksa dengan siapa Anda bermeditasi, jika Anda akan bermeditasi dengan orang lain.

Pentingnya Ketekunan

Sepotong nasehat terakhir dari saya ini adalah yang teramat penting nilainya: naik dan turun sudah jadi sifat dari samsara. Jadi, meditasi kita secara alami juga naik dan turun. Meditasi tidak akan pernah menjadi suatu jalan yang lurus, dimana setiap hari ia jadi lebih baik dan lebih baik lagi. Ada kalanya meditasi kita berjalan baik, dan ada kalanya pula tidak begitu. Ada kalanya kita ingin bermeditasi, dan ada kalanya kita sama sekali tidak ingin. Hal ini biasa dan alami – itulah sifat samsara. Intinya ialah bahwa, terlepas dari apa yang Anda rasakan, Anda harus tekun saja dan terus lanjut. Jika Anda berpikiran: “Aku lagi tidak ingin bermeditasi” – terus kenapa? Meditasi saja. Jaga keberlanjutannya; lakukan setiap hari, bahkan walau hanya selama dua atau tiga menit. Keberlanjutan itu sangat penting dalam rangka membangun kekokohan kita di atas jalan kita.

Juga, jangan buat sesi meditasi Anda terlalu lama, khususnya di masa-masa awal. Tiga sampai lima menit itu sudah cukup. Kalau tidak, Anda akan berpikir, “Aku tak bisa tunggu sampai selesai,” dan kemudian Anda tidak ingin kembali pada meditasi Anda. Jika Anda mengakhiri meditasi ketika Anda masih ingin melanjutkannya, Anda akan senang sekali untuk melakukannya lagi. Rasanya persis seperti Anda sedang bersama seseorang dan kalian berpisah ketika Anda merasa masih ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersama orang itu. Anda pasti akan senang untuk segera bertemu dengannya lagi. Tapi jika orang itu berlama-lama bersama Anda sampai pada titik Anda betul-betul capek dengannya dan Anda ingin ia segera pergi, maka Anda tidak akan begitu suka untuk bertemu dengannya lagi.

Dan pada akhirnya, adalah penting untuk perlahan-lahan meningkatkan jumlah waktu meditasi Anda. Luwes sajalah – penting untuk luwes. Seperti yang saya katakan: Jangan pernah lewatkan hari tanpa meditasi. Anda memperoleh kekokohan, keandalan, dan kepercayaan diri jika Anda meditasi tiap hari. Tapi luweslah: kadang Anda bisa melakukan meditasi penuh yang ingin Anda lakukan, dan di lain masa ketika Anda tak punya cukup waktu, lakukan meditasi pendek saja. Tapi setidaknya lakukan sesuatu tiap hari. Jangan terlalu; jangan paksa diri Anda. Koan Zen kesukaan saya adalah ini: “Kematian bisa datang kapanpun. Santai saja!” Terima kasih.

Top