​Penjelasan "Doa Tujuh Dahan"

Sore ini, saya akan menjelaskan dengan cara yang lebih mudah dimengerti pendahuluan yang kita lakukan pada awal tiap kelas mengenai naskah Shantidewa, Memasuki Perilaku Bodhisatwa (Bodhisatwacharya-avatara). Pendahuluan tersebut mencakup laku tujuh-dahan, yang diambil dari naskah ini. Melakukan pendahuluan ini sebelum mendengarkan dan mempelajari Dharma berguna untuk menciptakan tataran cita dengan benar. Kita menggunakan rangkaian latihan yang sama sebelum meditasi harian atau sesi pembelajaran Dharma di rumah.

Membersihkan Ruangan dan Merangkai Persembahan

Jika kita melakukan latihan-latihan ini sebagai sebuah pendahuluan untuk meditasi di rumah, kita sebelumnya perlu menyapu dan merapikan ruangan, seperti yang kita lakukan sebelum kelas. Contohnya jika kertas-kertas atau baju berserakan di ruangan, maka kita harus merapikannya. Saat kita sedang melakukan ini, kita membatin, "Semoga citaku menjadi jernih, bersih, dan tertata, sebagaimana aku menata ruangan ini."

Meditasi dan belajar di sebuah lingkungan yang serba rapi, bersih, dan teratur sangatlah penting. Ini juga berlaku di tempat kerja kita. Yang kita lihat, meskipun tampak sepele, sangat mempengaruhi tataran cita kita. Jika di sekitar kita itu berantakan, cita kita juga cenderung kacau. Selain itu, ruang yang apik dan menyenangkan sangat membantu untuk belajar atau meditasi. Melihat lingkungan sekitar yang indah biasanya membuat cita bahagia, dan tataran cita yang bahagia akan bersedia melakukan sesuatu yang membangun. Jika yang kita lihat di sekitar kita itu berantakan, kita cenderung ingin menolaknya, dan ini secara negatif mempengaruhi tataran cita kita. Oleh karena itu, kita biasanya menata altar yang menarik di ruangan – beberapa macam rak atau meja, ditutupi sebuah taplak yang cantik, di atasnya kita letakkan sebuah patung Buddha atau gambar yang melukiskan hal yang sedang kita lakukan, haluan aman kita dalam hidup (berlindung).

Setiap pagi, setelah bersih-bersih diri dan membersihkan ruangan, kita membuat persembahan mangkuk air. Tidak perlu dengan tujuh mangkuk seperti biasanya jika itu menyusahkan. Persembahan hanya dengan satu cangkir air bersih saja sudah cukup. Kita tidak sedang mencoba pamer. Jika ingin, kita bisa juga mempersembahkan lilin, bunga, dupa, dan seterusnya; tapi itu pilihan saja. Kita menata ruang apik bukan hanya untuk mengundang para Buddha dan para guru besar di dalam visualisasi kita, sebagaimana adatnya; tapi juga agar kita merasa senang dan nyaman berada di sana. Dengan melakukan hal ini, tataran cita kita jadi nyaman untuk meditasi, belajar, atau mendengarkan ajaran.

Memusat pada Napas

Laku adatnya adalah melakukan tiga sujud-sembah kepada sosok Buddha di atas altar sebelum duduk. Agar sujud-sembah kita tidak kosong tanpa makna, tanpa rasa di baliknya, kita perlu menempatkan cita di tataran yang benar terlebih dahulu. Untuk melakukan ini, kita memusat pada napas dan menegaskan kembali dorongan kita. Meskipun kita sering melakukan keduanya setelah duduk, lebih baik melakukannya saat berdiri terlebih dahulu.

Pertama, kita perlu menenangkan diri dan membuat ruang antara yang sedang kita lakukan dan yang akan kita lakukan. Kita perlu membawa cita kita pada tataran yang tenang, hambar sebelum membangkitkan sikap positif. Kita melakukannya dengan memusat pada napas, dengan mata kita memusat kendur pada lantai di depan kita. Jika kita sedang terganggu atau tertekan, kita mungkin lebih suka menutup mata saat menenangkan diri, tapi membiarkannya sedikit terbuka adalah cara yang dianjurkan.

Kita bernapas seperti biasa melalui hidung; tidak terlalu cepat, tidak terlalu lambat, tidak terlalu dalam, tidak terlalu dangkal. Kita tidak menahan napas, tetapi menunda setelah menghembuskan napas sebelum mulai menarik napas lagi. Biasanya kita menghitung dalam hati kitaran keluar, jeda, dan masuk sebagai satu hitungan; tapi jika ini membingungkan, kita juga bisa menghitung masuk, keluar, dan jeda sebagai satu hitungan. Biasanya, kita menghitung seperti ini sampai sebelas, lalu mengulang kitaran sebelas ini dua atau tiga kali.

Kita menggunakan tata cara menghitung napas hanya ketika cita kita secara khusus gelisah, terjebak dalam pikiran-pikiran lain. Jika cita kita tidak begitu terganggu, maka tidak perlu menghitung; hanya dengan memusatkan pada rasa napas yang masuk dan keluar lewat lubang hidung saja sudah cukup. Cara lainnya, kita menghitung kitaran untuk beberapa putaran lalu melanjutkannya tanpa menghitung. Dengan cara apa pun kita memusat pada napas, kita melanjutkannya sampai kita mencapai setidaknya setingkat keheningan dan ketenangan batin. Jika cita kita gelisah oleh pikiran-pikiran luar, kita tidak akan pernah bisa bermeditasi dengan baik atau mendengarkan ajaran dengan penuh perhatian.

Memeriksa Dorongan atau Tujuan

Begitu cita kita cukup hening, kita periksa alasan kita ikut meditasi atau belajar, atau alasan kita datang ke kelas Dharma. Dengan kata lain, kita periksa dorongan kita, yang dalam ajaran Buddha berarti haluan atau tujuan kita dalam melakukan sesuatu. Apakah petang ini kita datang ke sini hanya karena memang biasanya begitu, tanpa tujuan tertentu di dalam cita kita, atau untuk acara kumpul-kumpul, bertemu teman-teman dan berada di suasana yang menyenangkan? Ataukah kita datang ke sini sebenarnya untuk mempelajari sesuatu? Apakah kita ingin belajar sesuatu yang sekadar menarik secara cendekia ataukah kita ingin belajar sesuatu yang makarya, yang dapat kita terapkan dalam hidup kita? Jika ini sesuatu yang ingin kita terapkan dalam hidup kita, mengapa kita ingin melakukannya? Apa tujuannya? Apakah untuk membuat hidup jadi sedikit lebih mudah? Untuk mengatasi kesulitan yang kita miliki? Atau, selain itu, apakah agar tidak terlalu banyak menyusahkan orang lain; apakah supaya lebih bisa membantu orang lain? Mungkin justru gabungan dari beberapa hal itu.

Apakah kita ingin masuk lebih jauh lagi dan belajar naskah Shantidewa untuk membangun kebiasaan-kebiasaan yang membawa kita pada kelahiran kembali yang bahagia dengan kesempatan lebih untuk melanjutkan belajar dan berlatih Dharma? Selain itu, apakah kita melakukan ini agar bisa mendapatkan kebebasan dari segala macam kemunculan kelahiran kembali secara tak terkendali? Atau bahkan melampaui itu, apa kita berharap untuk belajar naskah mengenai perilaku bodhisattwa ini agar kita dapat membantu orang lain menghindari atau terbebas dari kelahiran kembali yang tak terkendali? Bahkan bila tidak untuk ketiga dorongan yang terakhir ini, apakah kita setidaknya memiliki tujuan untuk mencoba berkembang dan menuju haluan sana di dalam hidup kita?

Kita mengikuti tata cara mawas diri yang sama sebelum mulai meditasi dan belajar naskah Shantidewa di rumah. Jika kita mendapati bahwa dorongan atau tujuan kita kurang mulia, seperti meditasi karena kebiasaan saja atau karena merasa bersalah jika kita tidak melakukannya, kita perbaiki dorongan kita ke haluan yang lebih sehat. Jika dorongan yang membangun itu sudah ada, kita tegaskan kembali. Mengikuti tata cara itu penting sekali karena kita bisa dengan mudahnya terseret pada belajar dan bermeditasi tanpa dorongan yang bermakna, hanya karena kebiasaan saja, sehingga sedikit sekali yang kita dapat dari kegiatan tersebut.

Sujud-sembah, dengan Berlindung dan Bodhicitta

Selanjutnya, kita "berlindung dan mengembangkan bodhicitta." Ini berarti bahwa kita menegaskan kembali tujuan kita dan berkeinginan untuk menjalani haluan hidup yang aman dan positif, yang saya terjemahkan sebagai "berlindung". Kita mencoba berpikir dan merasakan bahwa kita ingin beranjak ke haluan yang aman agar dapat menghindar dari permasalahan dan kesukaran; kita tidak menginginkan semua itu. Kita takut kalau keadaan sulit kita ini berkepanjangan. Apa yang menandakan haluan positif untuk menghindari masalah? Tataran cita yang sepenuhnya bebas dari kebingungan dan dipenuhi dengan semua sifat baik yang positif. Tataran pemurnian dan pertumbuhan itu adalah Dharma. Mereka yang sepenuhnya telah mencapai tataran semacam itu dan yang menunjukkan haluan tersebut adalah para Buddha. Mereka yang telah memperoleh sebagian dari tataran tersebut juga menunjukkan haluan ini. Mereka adalah Sangha. Itulah haluan yang akan kita canangkan di dalam hidup kita. Berlindung berarti menegaskan kembali haluan ini dalam hidup.

Selain itu, kita mengambil haluan aman dan positif ini agar mampu menolong orang lain sebaik mungkin, tidak hanya untuk keuntungan diri kita sendiri. Untuk mencapai tujuan ini, kita perlu menjalani haluan ini sampai akhir, sampai pencerahan, dan tidak menyerah, tidak puas kalau hanya baru sampai sebagian saja. Inilah yang kita lakukan ketika kita menegaskan berlindung dan bodhicita.

Ketika kita merasakan sikap atau tataran cita yang mengarah ke haluan aman demi mampu menolong sesama dan beranjak sepenuhnya ke tujuan itu untuk menolong sesama sebaik mungkin, kita kemudian bersujud-sembah. Jika kita sudah duduk dan memutuskan untuk tidak bangun dan bersujud-sembah, kita cukup membayangkannya. Dalam arti, sujud-sembah itu layaknya terjun sepenuhnya ke haluan ini; dan melakukannya dengan rasa hormat – menghormati mereka yang telah beranjak ke haluan ini dan menghormati diri kita sendiri dan kemampuan kita untuk melakukan hal yang sama. Dengan demikian, sujud-sembah bukanlah tindakan merendahkan-diri; ini bukan merendahkan, tapi justru mengangkat diri kita.

Itulah laku tujuh-dahan yang pertama: sujud-sembah dengan berlindung dan bodhicita. Jika kita berlatih di kelas, kita duduk pada titik ini.

Persembahan

Berikutnya adalah persembahan. Tataran cita utama untuk dikembangkan saat membuat persembahan dalam lingkung ini adalah: Aku sedang berjalan ke haluan ini. Aku tidak hanya terjun sepenuhnya, aku bersedia untuk menyerahkan diriku, cara hidupku, waktuku, tenagaku untuk mencapai tujuan ini. Aku bersedia untuk sepenuh hati berjalan ke haluan ini untuk membantu orang lain lebih lagi. Dalam tataran cita ini, kita membuat persembahan.

Meskipun biasanya kita melakukan ini dengan visualisasi, kita boleh membuat persembahan yang sebetulnya jika kita sedang berlatih di ruang meditasi kita. Setelah membuat sujud-sembah dan sebelum duduk, kita menuju altar, mencelupkan empat jari tangan sebelah kiri kita ke dalam mangkuk berisi air dan menjentikkan beberapa tetes sebanyak tiga kali, sebagai tanda membuat persembahan. Dalam arti, kita sedang membuat persembahan untuk para Buddha, tapi bukan dengan sikap memberi hadiah supaya para Buddha membantu kita dan, kalau kita tidak memberikan sesuatu, mereka akan mengabaikan kita. Melainkan, kita mempersembahkan segalanya ke haluan yang kita ambil dalam hidup kita. Kita mencoba melakukan ini dalam tataran cita yang bersuka, bahagia karena mampu mempersembahkan diri kita sendiri.

Jika kita menghendaki, kita bisa membuat persembahan yang lebih rumit, sebagaimana dituturkan di naskah Shantidewa. Akan tetapi, tidaklah perlu sampai bertungkus-lumus dengan beragam macam persembahan, kendati kita bisa saja membayangkan semua hal yang indah-indah. Yang penting adalah merasakan bahwa kita menyerahkan diri kita sendiri. Inilah dahan kedua dari latihan pendahuluan, persembahan. Jika kita telah melakukan langkah ini di altar, kita sekarang duduk.

Mengakui Kekurangan

Bagian ketiga adalah jujur mengakui kelemahan, kesulitan, dan masalah kita. Kita menyesal karenanya, sebab semua itu mencegah kita untuk mampu menjadi pertolongan terbaik bagi orang lain. Kita ingin bebas dari segala kekurangan kita dan memutuskan untuk mencoba tidak mengulangi semua kesalahan kita. Kita menegaskan kembali haluan yang aman dan positif yang sedang coba kita tuju dalam hidup, agar lebih mampu membantu orang lain sepenuhnya; dan yang terakhir, kita ingatkan diri kita bahwa mempelajari naskah Shantidewa dan bermeditasi atas isi naskah tersebut merupakan tindakan positif yang kita ambil untuk menangkal kesalahan-kesalahan kita. Dahan yang ketiga ini sangat penting karena dalam mengakui bahwa kita memang punya masalah, kita menegaskan kembali alasan dan tujuan kita berada di sini. Kita ingin belajar dan berlatih cara untuk mengatasinya.

Bersuka

Dahan keempat adalah bersuka, yang membantu kita untuk menangkal setiap perasaan rendah diri yang mungkin datang saat mengakui masalah, kesalahan, dan kesulitan kita. Kita perlu menyeimbangkan kesadaran akan kekurangan-kekurangan kita dengan menegaskan kembali sifat baik yang kita miliki. Kita semua memiliki sifat baik dan hal positif yang telah kita lakukan sebelumnya. Contohnya, kita mungkin mendapati bahwa kita telah mencoba jadi berguna; telah mencoba bersabar; telah mencoba memahami; atau apa pun itu. Kita mengingatnya dan bersukacita. Kita juga bersukacita karena sifat-Buddha kita: kita memiliki daya dan kemampuan untuk berkembang. Kita punya dasar karya; asa itu ada. Kita juga melihat contoh-contoh sifat baik dan perbuatan positif orang lain dan bersukacita juga karenanya, tanpa perasaan iri. Bahwa ada orang lain yang begitu positif dan mampu menolong, khususnya para guru besar, itu mengagumkan. Ini berarti tidak mengacu hanya pada guru-guru rohani yang masih hidup saja, tapi juga pada para Buddha dan Shantidewa. Kita berpikir betapa mengagumkan bahwa Shantidewa sebenarnya menulis naskah ini. Aku bersukacita karenanya. Terima kasih, Shantidewa. Ini tataran cita yang penting.

Memohon Ajaran

Setelah bersukacita atas sifat para guru besar dan berterima kasih kepada Shantidewa yang telah menulis naskah ini, kita siap untuk dahan kelima: memohon ajaran. Kita berpikir, Shantidewa, engkau sungguh luar biasa menuliskan naskah ini. Ajari aku; aku ingin belajar. Permohonan ini menangkal sikap membaca dan mendengarkan naskah ini dan kemudian berkutat pada semua pengecualian atasnya, seperti bagaimana mungkin ajaran tentang kesabaran bisa diterapkan untuk perkara kekejaman Hitler? Kendati penting untuk mencermati ajaran dengan melihat apakah ajaran itu sah, terlebih dahulu kita perlu berpikir bagaimana ajaran tersebut dapat diterapkan dalam hidup kita sehari-hari. Begitu kita memahami dan menghayati bahwa ajaran ini bisa berhasil diterapkan, baru kita dapat mempertimbangkan apakah ada pengecualiannya. Selanjutnya, kita bisa menelaah apakah contoh lajat seperti Hitler memang merupakan perkara dimana ajaran kesabaran tidak berlaku sama sekali atau perkara dimana ajaran tersebut hanya dapat diterapkan pada tingkatnya yang lanjut. Ketika mendengarkan sebuah ajaran baru, langsung menanggapi dengan kata "tapi" itu dapat menghalangi terbentuknya sikap terbuka untuk mau belajar. Oleh karena itu, mendekati naskah dengan sikap "ajari aku" itu sangat penting. Dengan sikap semacam itu, pertama kita mencoba untuk melihat bagaimana kita dapat menerapkan hal yang kita baca atau dengar. Kita melihat segala sesuatu di dalam naskah Shantidewa sebagai ajaran makarya, yang dapat diterapkan untuk diri kita pribadi – di rumah, di kantor, di tengah-tengah keluarga dan teman.

Jika kita menjalankan laku pendahuluan tujuh-dahan sebelum sesi meditasi, kita juga memohon kepada para guru dan semua kitab untuk mengajari kita lebih lagi, dalam artian bahwa kita ingin membuat lebih banyak kemajuan lewat meditasi kita. Kita meminta mereka untuk mengilhami kita untuk memperoleh kewaskitaan lebih, pemahaman lebih, penyadaran lebih, dari apa yang telah mereka ajarkan.

Memohon Para Guru untuk Tidak Berlalu

Selanjutnya, kita siap untuk dahan keenam, yakni memohon agar para guru untuk tidak berlalu. Kita berpikir, tolong jangan pernah berhenti mengajar; mengajarlah selamanya! Kita tidak memohon seperti ini oleh karena kemelekatan kita pada para guru kita. Melainkan, kita menegaskan kembali bahwa kita bersungguh-sungguh dan tulus dalam berlatih. "Aku ingin berjalan sampai ke titik pencerahan agar bisa menolong setiap insan. Maka, jangan pergi! Aku harus belajar." Kita juga mengalamatkan diri pada ajaran itu sendiri, teruslah mengajariku – Shantidewa dan naskahmu. Ajarilah aku lebih dan lebih lagi. Izinkan aku semakin mendapatkan pemahaman lebih, dan semakin membuat kemajuan lebih dengan bahan ini. Jangan pernah berhenti sampai aku mencapai pencerahan – sampai setiap orang mencapai pencerahan.

Bakti

Dahan ketujuh dan terakhir adalah bakti. Kita berpikir bahwa apa pun yang aku pelajari, apa pun yang aku pahami, semoga itu bertindak sebagai sebuah sebab untuk mencapai pencerahan dan agar dapat membawa manfaat sebaik mungkin bagi orang lain. Semoga pemahamanku semakin mendalam. Semoga ia meresap dan mematri kesan mendalam di dalam hatiku sehingga perlahan-lahan aku mampu menerapkannya di sepanjang jalanku menuju pencerahan. Secara khusus, semoga aku dapat menerapkan hal yang telah kupelajari dalam hidupku sehari-hari agar tercipta perubahan dalam hubunganku dengan orang lain sehingga aku perlahan-lahan dapat membawa lebih banyak kebahagiaan untuk mereka.

Doa Tujuh-Dahan Shantidewa

Jika kita mau, kita bisa mendaraskan seloka-seloka Shantidewa yang mencakup tujuh pokok ini, seloka-seloka awal untuk menetapkan dorongan dan seloka-seloka setelahnya untuk persembahan mandala secara sekaligus:

Aku berhaluan aman, sampai pada tataran termurnikanku, pada para Buddha, sang Dharma, dan Majelis Tertinggi. Dengan daya baik pemberianku dan seterusnya, semoga aku dapat mewujudkan kebuddhaan untuk menolong mereka yang kelana.

Dengan daya baik pemberianku dan seterusnya, semoga aku dapat mewujudkan kebuddhaan untuk menolong mereka yang kelana. Semoga sasaran persembahan ilahi dan insani, yang berjajar rapi, dan yang terbayangkan sebagai awan persembahan tiada tara Samantabhadra, sepenuhnya mengisi ranah ruang.

(1) Aku bersujud kepada engkau para Buddha yang telah mengaruniai tiga masa, kepada Dharma dan kepada Majelis Tertinggi, membungkuk dengan raga sebanyak zarah jagat raya.

(2) Seperti halnya Manjushri dan yang lainnya yang telah membuat persembahan bagi engkau, Sang Berjaya, aku pun juga, membuat persembahan bagi engkau, wahai para Pelindungku yang Telah Berlalu, dan untuk keturunan rohanimu.

(3) Di sepanjang keberadaan samsaraku yang tunamula, di kehidupan saat ini dan yang lainnya, aku secara tidak sadar telah melakukan perbuatan buruk, atau menyebabkan orang lain melakukan perbuatan itu, dan lebih lanjut, tertindas oleh kebingungan yang lugu. Aku bersukacita di dalamnya – semua yang telah kulakukan, aku melihatnya sebagai kesalahan dan secara terbuka menyatakannya kepada engkau, Pelindungku, dari lubuk hatiku yang paling dalam.

(4) Dengan senang hati, aku bersuka di dalam samudera daya baik dari tujuan-tujuan bodhicitamu yang berkembang untuk membawa sukacita bagi setiap makhluk terbatas dan dalam perbuatanmu yang telah menolong makhluk terbatas.

(5) Dengan kedua telapak tangan saling terkatup, aku memohon kepadamu para Buddha dari segala penjuru: mohon nyalakan pelita Dharma untuk makhluk terbatas yang menderita dan yang meraba-raba di dalam gulita.

(6) Dengan kedua telapak tangan saling terkatup, aku memohon kepadamu Sang Berjaya yang akan melampaui kedukaan. Kumohon kepadamu, tetaplah ada sepanjang lelaksawarsa yang tak terhitung lamanya, agar para makhluk kelana ini tidak dibiarkan buta.

(7) Dengan segala daya baik yang telah kubina melalui semua perbuatanku, semoga aku dapat menghapus setiap duka semua makhluk terbatas.

Dengan mengarahkan dan mempersembahkan kepada semua ladang-Buddha nampan ini, yang diurapi dengan air wangi, ditaburi bunga-bunga, dan berhiaskan Gunung Meru, empat pulau, matahari, dan bulan, semoga semua yang kelana dituntun ke tanah suci murni. Om idam guru ratna mandala-kam nir-yatayami. Aku mengirim mandala ini untuk kalian para guru yang mulia.

Penyesuaian Akhir untuk Pemusatan

Dengan terbangunnya tataran cita yang terbuka, kita hampir siap untuk memulai kelas atau sesi meditasi kita. Akan tetapi, pertama-tama akan sangat membantu bila kita secara sadar memutuskan untuk mendengar, belajar, atau bermeditasi dengan pemusatan perhatian. Kita putuskan, kalau cita kita mengembara, kita akan membawanya pulang dan kalau kita mulai mengantuk, kita akan berusaha tetap terjaga. Ketika kita secara sadar membuat keputusan ini, peluang kita untuk mampu memusatkan perhatian jadi lebih besar.

Terakhir, kita menyetel pemusatan dan tenaga kita dengan baik. Kalau-kalau kita merasa sedikit mengantuk atau cita mulai tumpul, kita perlu menaikkan tenaga dan membuat diri tetap terjaga. Untuk melakukannya, sebagaimana arahan dalam ajaran Kalacakra, kita memusat pada titik di antara alis mata, dengan mata melihat ke atas, dan kepala tetap tegak. Kemudian, jika kita merasa gelisah atau tertekan dan cita kita mengelana, kita perlu membumikan tenaga kita agar bisa tenang. Untuk itu, selanjutnya kita memusat pada titik yang terletak sedikit di bawah pusar di tengah tubuh kita, dengan mata melihat ke bawah, dan kepala tetap tegak. Saat kita bernapas seperti biasa, kita tahan napas sampai merasa perlu menghelanya.

Lengkaplah semua pendahuluan untuk kelas, meditasi, atau belajar Dharma secara pribadi. Shantidewa sendiri menekankan manfaat dan perlunya melakukan laku tujuh-dahan dan setiap guru Buddha Tibet yang telah saya temui juga menekankan itu sebagai dasar untuk laku harian. Bahkan bagi mereka sendiri, tujuh-dahan merupakan laku harian penuh. Kita bisa melakukan semua pendahuluan ini dengan mendaraskan bait, seperti yang ada di naskah Shantidewa, atau bisa juga tanpa pendarasan baik, melainkan dengan kata-kata kita sendiri, atau cukup dengan rasa saja. Hal yang utama adalah merasakan masing-masing dahannya. Merasakan adalah hal yang membawa cita pada tataran yang nyaman untuk meditasi atau belajar.

Untuk sesi meditasi setelah pendahuluan ini, kita bisa memusat pada napas, pada pokok ajaran dari tahap-tahap bertingkat sang jalan (lam-rim), atau pada beberapa seloka dari Shantidewa. Pendahuluan membawa kita pada tataran cita yang menerima, tidak peduli pokok mana yang kita pilih untuk meditasi kita. Kita bahkan bisa memilih untuk melakukan pendahuluannya saja, yang sudah merupakan laku yang sempurna. Jumlah waktu yang kita habiskan pada pendahuluan bisa beragam dan terserah kita. Akan tetapi, mau itu dilakukan cepat atau lambat, jangan sampai kita melakukannya sebagai suatu laku kosong tanpa makna. Kita mesti mempertahankan maknanya di dalam cita kita dan mencoba merasakan masing-masing langkahnya dengan tulus hati.

Top