Sila Buddha dalam Pelayanan Masyarakat

Hari ini, saya diminta untuk bicara tentang peran budi pekerti di jalan pelayanan masyarakat, yang tentu merupakan suatu bahasan yang sangat penting bila kita ingin terlibat dalam beragam pekerjaan yang berhubungan dengan kegiatan menolong sesama. Baik itu dalam berbagai pelayanan masyarakat yang sebenarnya, atau dalam pendidikan atau kesehatan, budi pekerti merupakan suatu segi yang sangat penting darinya. Tentu, saat kita mencoba menolong orang lain, kita perlu menahan diri untuk tidak mencelakai siapapun dan mencoba sebaik mungkin untuk membantu mereka dengan cara apapun yang kita mampu, meski kita mungkin tidak sungguh-sungguh tahu cara yang mana yang terbaik. Karena tiap orang yang coba kita tolong itu tentunya khas, dan yang mungkin sesuai untuk satu orang belum tentu pas dengan orang yang lain. Jadi, bekerja di bidang pelayanan masyarakat jenis apapun membutuhkan pengetahuan yang luas, kepekaan terhadap sesama, dan dasar dari semua ini adalah budi pekerti.

Tertib-Diri Berbudi Pekerti

Ajaran Buddha bicara tentang budi pekerti dalam kerangka tertib-diri berbudi pekerti. Untuk benar-benar menjalankan suatu tata budi pekerti, pastinya kita butuh ketertiban (disiplin). Keduanya amat erat berkaitan. Dan tertib di sini bukan seperti petugas polisi, yang menegakkan ketertiban atau hukum terhadap orang lain, tapi kita mengarahkan ketertiban tersebut pada diri kita sendiri, yang tentu saja mengharuskan kita mengatasi kemalasan, sikap acuh tak acuh, dan segala macam rintangan penghalang ketertiban. Itu berarti bahwa sekalipun kita tahu apa saja asas-asas budi pekerti yang perlu kita ikuti, dan kita punya dorongan untuk betul-betul mengikutinya, tetap saja kita perlu mengatasi kesukaran yang mungkin kita hadapi ketika menerapkan asas-asas tersebut secara nyata. Jadi, pokok bahasan tentang budi pekerti ini sangat luas, dan ada banyak macam segi yang perlu kita latih untuk bisa melaksanakannya dengan sangkil.

Ajaran Buddha membedakan tiga jenis tertib-diri berbudi pekerti. Yang pertama adalah ketertiban untuk menahan diri dari perilaku merusak. Perilaku merusak tidak terbatas pada tindakan-tindakan ragawi saja, tapi juga sampai pada wicara kita – cara kita berhubungan dengan orang lain – dan termasuk sikap kita, cara kita berpikir, pula. Kita bisa saja menjalani kerja hari-hari kita menolong orang lain, padahal di dalam cita kita berseliweran pikiran-pikiran jahat tentang mereka. Jadi, kita juga butuh ketertiban berbudi pekerti untuk dapat menahan diri dari hal itu.

Ketertiban jenis yang kedua ialah ketertiban untuk berperilaku yang membangun, dan ini utamanya berpusat pada apa yang kita perbuat untuk melatih kemampuan kita menolong orang lain. Ini berarti belajar, berlatih, melakukan segala macam hal yang perlu untuk bisa patut-layak dalam pekerjaan kita. Itu berarti kita perlu terus memperbarui pengetahuan dalam bidang kerja kita dan tidak hanya bersandar pada apa yang telah kita pelajari bertahun-tahun yang lalu. Kita butuh ketertiban yang tidak main-main agar dapat menjaga kajian-kajian yang lebih lanjut terus berjalan dan tetap belajar cara-cara baru yang berkembang di bidang kita. Itu sebenarnya tidak gampang, karena bekerja sepanjang hari menolong orang itu saja sudah melelahkan dan memperbarui pengetahuan kerja ini sendiri harus kita lakukan di luar jam kerja.

Tertib-diri berbudi pekerti jenis yang ketiga ialah ketertiban untuk benar-benar menolong orang lain.

Jadi, menahan diri dari perilaku merusak, melibatkan diri dalam perilaku membangun dan mendidik, dan benar-benar menolong orang lain. Inilah tiga wilayah tertib-diri berbudi pekerti yang ditekankan oleh ajaran Buddha, dan saya pikir ini menyangkut semua wilayah pelayanan masyarakat. Mari kita lihat ketiganya sedikit lebih dalam.

Menahan Diri dari Perilaku Merusak dan Berperilaku Membangun

Menahan diri dari perilaku merusak. Apa itu perilaku merusak? Perilaku merusak dijelaskan dalam ajaran Buddha sebagai suatu jenis tindakan – entah itu dengan raga kita, wicara kita, atau cara kita berpikir – yang didorong oleh suatu perasaan gelisah atau sikap gelisah. Tentang seperti apa hal itu berdampak pada orang lain, kita tak bisa bilang dengan pasti, karena kadang-kadang perbuatan yang kita lakukan dengan dorongan yang baik sekalipun dapat mencelakai orang lain – karena kita berbuat salah, misalnya: kita mencoba menolong mereka, tapi mereka tak benar-benar mendengarkan nasihat kita; kira-kira semacam itu.

Bertindak di Bawah Pengaruh Amarah

Jadi, yang betul-betul bisa kita pastikan ialah suatu hal itu bersifat merusak kalau dorongan kita bersifat merusak pula. Kita bisa saja, contohnya, bertindak di bawah pengaruh amarah. Misalnya, kita jengkel dengan tingkah-polah seseorang atau caranya menjalani hidup, karena itu saat mencoba menolong mereka sebagai seorang pekerja sosial, kita membentak: "Jangan begitu! Jangan pakai narkoba!" atau sejenisnya. Ada amarah di balik cara kita menghadapi mereka. Ini bukan saja menghalangi kita untuk berpikir jernih tentang apa pertolongan terbaik bagi mereka. Orang lain itu peka, mereka bisa merasakan amarah kita, dan mereka biasanya menanggapi dengan buruk sekali kalau kita marah terhadap mereka. Ini tidak gampang, karena kerja sosial itu membutuhkan kesabaran yang panjang. Kita mencoba menolong orang lain. Kita beri mereka nasihat bagus, dan seterusnya, dan mereka tutup telinga. Kita kecewa, tentu saja, karena kita tidak sabar, dan saat kesabaran hilang kita jadi mudah tersulut amarah, lalu menghardik mereka, membentak mereka. Atau, kalau kita bekerja di bidang pelayanan kesehatan: "Kenapa obatnya tidak dimakan? Anda ini kenapa, sih?" Hal yang seperti itu. Mudah sekali kita kehilangan kesabaran.

Mengembangkan Welas Asih bagi Sesama

Dalam keadaan-keadaan seperti itu kita betul-betul perlu mengembangkan welas asih – bahwa orang yang malang ini bingung; mereka berada pada keadaan yang begitu sulit sehingga mereka sukar menerima nasihat bagus. Kita tak bisa memaksa orang lain melakukan apa yang kita nasihatkan. Satu-satunya hal yang dapat benar-benar kita perbuat adalah berupaya dengan diri kita sendiri, mencari cara yang lebih piawai, mencari cara supaya kita bisa betul-betul meyakinkan orang ini untuk mengubah sikap mereka. Tapi, kalau kita diliputi amarah, rasa kecewa, dan rasa tak sabar, kita menghadapi rintangan berat untuk berpikir jernih tentang apa cara penyampaian yang lebih baik untuk orang ini.

Bertindak di Bawah Pengaruh Kemelekatan

Perasaan gelisah jenis yang kedua ialah kemelekatan dan hasrat. Kita semua manusia. Kita punya hasrat. Kita tertarik pada orang tertentu. Bisa jadi berupa ketertarikan birahi pada orang yang kita bantu sebagai klien kita, atau bisa jadi berupa ketertarikan seorang ayah atau ibu pada seorang anak: "Oh, manisnya, bagusnya," dan seterusnya. Yang manapun itu, hal itu dapat menghalangi kita bersikap agak tegas dengan orang ini, sikap yang kadang-kadang kita perlukan saat kita mencoba menolong mereka. Atau karena kita begitu tertarik pada orang ini, dalam arti kita secara sadar atau tidak sadar membuat mereka jadi bergantung pada kita supaya kita dapat menghabiskan lebih banyak waktu bersama mereka. Ini hal yang perlu kita hindari. Tentu saja tidak gampang karena, seperti saya katakan tadi, kita ini manusia dan, pasti, persis seperti kita yang hilang sabar, kita juga bisa tertarik pada orang-orang tertentu.

Mengembangkan Keseimbangan Batin

Yang selalu ditekankan dalam pelatihan cara Buddha ialah pengembangan keseimbangan batin, yang berarti tidak berada di bawah pengaruh ketertarikan atau rasa jijik terhadap siapapun yang sedang kita coba tolong atau mengabaikan sebagian orang yang memang membutuhkan pertolongan (itu ragam ketiga di sini), tapi bersikap terbuka dan setara terhadap siapa saja. Itu berarti sikap terbuka dan setara pada mereka yang mudah ditolong, mereka yang sukar ditolong, orang-orang yang cukup menyenangkan saat kita bersamanya, dan orang-orang yang tidak menyenangkan saat kita bersamanya. Cara untuk mampu mengembangkan hal itu ialah dengan melihat bahwa kita semua setara: Setiap orang ingin bahagia, tidak ada yang ingin tak bahagia, sama sepertiku. Setiap orang ingin diperhatikan, dirawat, sama sepertiku. Tak ada yang ingin diabaikan.

Sebenarnya, terlintas di pikiran saya bahwa ada sebagian orang yang ingin dibiarkan sendirian saja. Mereka tak menginginkan pertolongan kita. Ini yang paling sulit. Dan itu jadi tantangan berat, untuk tidak merasa ditolak dan sakit hati Khususnya, saya berpikir tentang para lansia di panti jompo yang tidak mau patuh meminum obat mereka atau melakukan beragam hal yang perlu mereka lakukan. Tapi sekalipun mereka tidak menginginkan pertolongan kita dan mereka ingin ditinggal sendiri, tetap saja kita harus bersikap setara terhadap mereka dan tidak cuma mengabaikannya saja.

Bahkan lebih kuat dari sekadar berpikir: "Setiap orang ingin bahagia, tidak ada yang ingin tak bahagia" itu untuk melihat setiap orang seolah mereka adalah saudara dan kawan dekat kita. Ayah dan ibuku bisa saja jadi seperti orang yang ada di panti jompo ini. Aku tak ingin mengabaikan atau memperlakukan mereka dengan buruk. Kita juga bisa berpikir dalam kerangka: "Suatu hari aku akan berada di panti jompo dan aku tak mau orang mengabaikan atau memperlakukanku dengan buruk." Atau jika kita berhadapan dengan anak-anak, "Ini bisa saja anakku." Atau jika orang itu sebaya kita, "Ini bisa saja abang, kakak, atau sahabat karibku." Ini menolong kita untuk mengembangkan sikap yang lebih setara dan terbuka: bahwa setiap orang itu sama-sama penting.

Bertindak di Bawah Pengaruh Keluguan

Tataran cita gelisah lainnya ialah keluguan. Keluguan berarti, misalnya, kita terlalu sibuk mencaritahu semua rincian tentang seseorang yang jadi rekan kerja kita, dan kemudian, karena ketakwaspadaan kita, keluguan kita akan keadaan mereka, kita jadi tak mampu menangani mereka dengan baik. Ingat, setiap orang adalah khas dan setiap orang punya cerita mereka sendiri, latar belakang sendiri, dan tidaklah gampang, saat kita berhadapan dengan begitu banyak klien selama seharian sampai-sampai kita tidak benar-benar punya waktu untuk memperhatikan satupun dari mereka. Akan tetapi, dalam keadaan kerja seperti apapun, seberapapun waktu yang kita punya untuk berhadapan dengan tiap orang, penting kiranya untuk mencoba belajar sebanyak mungkin tentang orang tersebut. Semakin kita tahu tentang seseorang, semakin baik kemampuan kita untuk menolong mereka. Namun, kalau kita tidak peduli, atau kita terlalu lelah, atau kita malas, maka kemampuan kita untuk menolong seseorang jadi amat sangatlah terbatas. Itu berarti bahwa selagi kita bekerja kita harus senantiasa tidak berpikir dalam kerangka "aku dan permasalahan pribadiku", tapi benar-benar memperhatikan orang lain. Dan untuk itu, kita perlu menahan diri dari pikiran yang akan membuat kerja kita jadi tidak sangkil – maksudnya, pikiran yang merusak, yang bahaya buat kerja kita. Kalau Anda hanya berpikir, "Oh, aku punya masalah di rumah dengan ini dan itu," ujung-ujungnya Anda tidak memperhatikan klien Anda.

Bertindak dengan Perasaan Berlebih dan Kalang-Kabut

Ada banyak tataran cita dan tataran perasaan yang dapat membuat kerja kita jadi kurang sangkil. Di samping perasaan-perasaan gelisah yang barusan saya sebutkan, ada juga keadaan yang kita alami dimana perasaan kita berlebihan. Jika perasaan kita berlebihan dan kita kalang-kabut dengan perasaan-perasaan yang kuat, katakanlah seperti saat kita menghadapi orang-orang yang terluka dalam suatu kecelakaan, dan kita sendiri mulai menangis, kita tak mungkin dapat menolong orang tersebut. Kita membutuhkan keseimbangan pelik yang memampukan kita untuk tidak terjerumus ke salah satu dari dua ujung kutubnya. Ujung kutub pertama: dingin saja, tak merasakan apa-apa. Dan ujung kutub kedua: kita menanggapi segala sesuatu dengan perasaan berlebih, sehingga kita jadi tidak bisa bekerja.

Agar kita tidak terseret ke ujung kutub yang pertama, dingin dan tak merasakan apa-apa, kita perlu ingat bahwa setiap orang itu dengan hangat menanggapi sentuhan manusiawi. Mereka tidak ingin dirawat oleh seseorang yang seperti mesin. Senyuman, genggaman tangan, misalnya, kala mereka terbaring di tempat tidur rumah sakit – hal-hal semacam ini menambahkan sentuhan hangat manusiawi yang amat penting dalam menolong sesama.

Di lain pihak, jika perasaan kita berlebih, maka kita perlu menyadari bahwa bersikap seperti itu sebetulnya menunjukkan bahwa kita hanya peduli pada diri kita: "Oh, aku tak sanggup. Sungguh terlalu. Betapa mengerikan." Pada dasarnya, kita berpikir dalam kerangka diri kita sendiri. Kita tidak benar-benar berpikir tentang orang lain. Kita berpikir tentang bagaimana perasaanku saat menanggapinya. Jika anak kita terluka dan kita jadi nanar dan terus-terusan menangis, kita bahkan tak dapat menolong anak itu, dan malah tindakan kita itu membuat si anak takut. Kita perlu tenang agar mampu menenangkan anak kita dan berpikir dengan jernih tentang apa yang perlu kita perbuat untuk menolongnya (katakanlah misalnya tangan anak itu teriris dan mengeluarkan banyak darah).

Semua pokok yang saya sebutkan ini cocok dengan kelompok tertib-diri berbudi pekerti untuk berperilaku membangun. Dengan kata lain, kita perlu melatih diri kita atas cara-cara yang akan membantu kita untuk tidak terjerumus ke ujung kutub yang baru saja kita bahas tadi. Perilaku membangun itu bukan hanya tentang melanjutkan pendidikan saja tapi juga berupaya agar diri kita mampu mengembangkan keterampilan perasaan pula, supaya mampu menolong orang lain secara sangkil dan seimbang. Ajaran Buddha menawarkan bermacam-ragam cara yang dapat menolong kita di wilayah ini.

Menolong Sesama

Mengatasi Kemalasan

Untuk melibatkan diri dalam tertib-diri berbudi pekerti yang ketiga, yaitu sungguh-sungguh menolong orang lain, kita tentunya perlu mengatasi kemalasan. Kemalasan punya banyak segi. Satu segi, terusik oleh hal-hal lain. "Siaran televisi kesukaanku sedang diputar, karena aku menyukainya jadi mending aku menontonnya saja daripada bangun dan menolongmu," misalnya. Atau, terusik oleh hal-hal yang sepele itupun merupakan bentuk kemalasan. "Aku lebih suka berbaring lebih lama daripada bangun dan pergi kerja." Ini kemalasan juga, kan?

Lalu, bentuk lain dari kemalasan ialah penunda-nundaan, menunda pekerjaan sampai nanti, dan tidak mengerjakannya sekarang. Apapun pekerjaan kita, saya kira Anda tahu bahwa pekerjaan itu cenderung menumpuk. Lebih dan lebih banyak lagi pekerjaan datang. Tidak ada hentinya. Kalau kita tidak langsung mengurus segala sesuatu saat segala sesuatu itu masuk – katakanlah ke komputer kita, atau surel, atau ke meja kerja kita – maka ia akan menumpuk semakin tinggi, dan setelahnya meluber bagai tsunami pekerjaan yang menyapu kita, membuat kita kewalahan karena terlalu banyak yang harus digarap. Kalau kita mau pekerjaan yang sibuk dan banyak tuntutannya, kita tak boleh menunda-nunda. Kita harus mengurus segala sesuatu itu dari hari ke hari.

Nah, tentu saja hal ini membutuhkan sikap gigih yang bersemangat. Kegigihan – lanjut terus, sekalipun kita lelah; kita harus selesai. Tapi ada titik tertentu dimana kita sungguh-sungguh harus beristirahat, karena kita tidak lagi mengurus pekerjaan kita atau berhadapan dengan orang lain dengan sangkil; kita sudah terlalu lelah. Salah satu asas penting untuk mampu mempertahankan upaya kita untuk waktu yang lama ialah dengan tahu kapan kita perlu beristirahat dan beristirahat tanpa merasa bersalah. Tapi tentu itu tidak berarti sampai memperlakukan diri seperti bayi dan terlalu banyak beristirahat. Itu namanya kemalasan: beristirahat saja karena lebih menyenangkan daripada kerja.

Beristirahat itu juga artinya kita harus mengenal diri kita cukup baik untuk tahu apa yang akan membantu kita santai dan membangkitkan kembali tenaga kita. Bagi sebagian orang, mungkin cukup dengan tidur siang atau tidur saja. Bagi sebagian lainnya, mungkin lebih cocok bila keluar ruangan dan menghirup udara segar, atau sedikit jalan kaki. Bagi yang lainnya, mungkin menonton film atau televisi. Bagi yang lain, mungkin memasak. Ada begitu banyak hal yang mungkin tiap kita anggap dapat membuat santai – membaca, apapun itu. Tak masalah. Pokoknya ialah bahwa kita mengenal diri kita dan tahu kapan kita butuh beristirahat dan apa yang membantu kita untuk santai, dan selain itu, kapan kita rasa istirahat kita cukup, supaya kita tertib untuk bangun dan kembali bekerja.

Satu hal yang membuat kita berat untuk kembali bekerja ialah: "Aku merasa tak ingin saja." Untuk yang seperti itu, kita perlu mengupayakan dorongan kita. Kita mencoba menolong orang lain. Yang kita kerjakan memanglah menolong orang lain. Kalau kita butuh pertolongan, kita pasti tak suka kalau orang yang kita andalkan untuk menolong kita terlalu sibuk, atau terlalu capek, atau harus selesai menonton siaran televisi dulu sebelum datang dan menolong kita. Persis seperti kita yang pasti tidak suka kalau orang lain yang kita andalkan untuk menolong kita berkelakuan seperti itu, orang lain yang mengandalkan kitapun akan bersikap yang sama. Ada satu cara Buddha yang amat penting untuk hal ini, yaitu dengan membayangkan diri berada di tempat orang lain dan melihat bagaimana rasanya kalau seseorang memperlakukan kita seperti kita memperlakukan mereka.

Kita telah membahas dua bentuk kemalasan, kemalasan karena diusik oleh hal-hal sepele, kemalasan karena sikap suka menunda-nunda. Kemalasan jenis yang ketiga ialah perasaan kurang-diri: "Aku tak cukup bagus. Aku tak mampu. Ini terlalu berat buatku." Sikap seperti itu merupakan rintangan besar. Nah, mungkin kenyataannya kita tidak tahu apa yang harus kita perbuat untuk menolong orang. Itu terjadi. Malah itu mungkin terjadi cukup sering saat kita bekerja di pelayanan masyarakat, misalnya. Tapi merasa bahwa: "Aku ini tak mumpuni. Aku tak berguna" dan menghantam jiwa dan perasaan kita sendiri, ini sama sekali tidak akan berguna, karena sebetulnya itu pun sebentuk kemalasan. Malas dalam arti bahwa kita tak mencoba lebih keras lagi; kita hanya menyimpulkan: "Aku tak cukup bagus."

Kita ini bukan Buddha, setidaknya belum, dan tentu saja kita tak tahu apa yang terbaik untuk orang lain. Kita berbuat salah. Kita ini manusia. Tapi pokok pentingnya ialah terus mencoba, dan tidak menyerah pada kemalasan. Dan tukar pikiranlah dengan orang lain, bilamana ada, untuk mendapat nasihat tentang cara menolong jika kita tak dapat menemukan sendiri cara yang ampuh. Walau kita perlu bertanggung jawab untuk menolong orang yang ada dalam perawatan kita, kita juga perlu menghindari sikap berlebihan, seperti merasa bahwa: "Aku ini juruselamat dan aku akan menyelamatkan setiap orang." Karena hal itu dengan mudah melencengkan kita, untuk secara tak sadar membuat setiap orang bergantung padaku dan bersyukur padaku karena aku telah menyelamatkan mereka. Lebih lagi, kita jadi cemburu dan iri kalau ada orang lain yang menolong mereka dan bukan kita yang melakukannya. Namun, kalau dorongan kita benar-benar bahwa orang lain beroleh manfaat dan ditolong, maka tak masalah siapa yang menolongnya. Pokok utamanya ialah supaya mereka mengatasi masalah mereka. Dan kalau kita dapati bahwa kita tidak – maksud saya secara obyektif kita tidak – betul-betul mampu menolong orang tersebut, penting sekali untuk tidak merasa tinggi hati dan membiarkan gengsi kita mencegah kita menganjurkan orang tersebut untuk menemui orang lain yang kita pikir dapat menolong mereka lebih baik dari yang kita bisa.

Jadi, menegaskan kembali dorongan kita itu merupakan cara yang sangat penting yang ditekankan lagi dan lagi dalam ajaran Buddha. Di sini dorongan kita untuk berada dalam jenis pekerjaan sosial apapun adalah supaya orang lain ditolong mengatasi masalah mereka, bebas dari apapun masalah yang mereka hadapi. Dan tidak harus aku, bahwa harus akulah orang yang mengerjakan semua itu, meskipun, seperti kata saya tadi, kita tetap emban tanggung jawab kita: "Aku akan mencoba menolong sebaik yang aku bisa."

Mengembangkan Sikap Peduli

Budi pekerti amat sangat bergantung pada adanya sikap peduli: "Aku peduli akan akibat dari kelakuanku terhadap orang lain." Kita bukan cuma kerja, dapat gaji, dan selebihnya peduli amat dengan orang lain atau tentang apa perbuatanku itu berguna atau tidak. Dan kita juga harus peduli akan akibat dari perilaku kita terhadap diri kita sendiri. Sikap peduli ini berdasar pada pemahaman penuh dan sungguh-sungguh akan sebab dan akibat. Kita bertindak dengan cara tertentu, dengan sejenis dorongan tertentu – yang berarti di ujungnya akan ada sejenis akibat tertentu pula, dan kita yakin betul akan adanya akibat. Itulah arti bersungguh-sungguh dan peduli terhadap hal itu. Perbuatan kita benar-benar punya akibat bagi orang lain dan bagi diriku juga.

Jadi ketika kita melaksanakan ketertiban berbudi pekerti untuk menolong orang lain ini, jenis yang ketiga ini, maka di sini yang paling penting ialah bahwa kita perlu memiliki sikap peduli. Akan tetapi, sikap peduli juga ada di balik pelaksanaan perilaku membangun, ketertiban berbudi pekerti jenis ini. "Aku peduli pada kesangkilanku dalam pekerjaan, karena itu aku akan bertertib-diri untuk meneruskan pendidikan dan pelatihanku," contohnya. Dan sikap peduli ini juga ada di balik ketertiban untuk menjauh dari perilaku merusak. "Karena aku peduli pada akibat dari kelakuanku terhadap orang lain dan diriku sendiri, aku tak ingin jadi penyebab hal-hal celaka." Lebih khusus lagi: "Aku tak ingin menjadi sebab bagi hal-hal celaka dengan bertindak di bawah pengaruh amarah dan gairah dan keluguan dan kecemburuan," dan semua hal sejenisnya. Gengsi: "Meskipun aku tak tahu caranya menolong, aku pura-pura tahu."

Untuk memiliki sikap peduli ini, kita perlu mempunyai rasa nilai-nilai dasar, nilai-nilai budi pekerti, dan rasa hormat pada sifat-sifat baik dan mereka yang memilikinya. Dengan kata lain, kita cari orang-orang yang piawai di bidang kita, bidang kerja menolong sesama – mungkin Bunda Theresa, atau siapapun yang terlintas dalam pikiran kita – dan kita mengagumi dan menghormati orang semacam itu dengan luar biasa, dan inilah panutan kita. Penting sekali kiranya untuk memiliki tokoh semacam itu yang memberi kita ilham di bidang kerja kita, yang bisa kita pandang dan lakoni sebagai panutan kita. Tidak masalah entah itu kita sudah bertemu orangnya atau belum. Tapi kita contoh orang ini karena kita punya rasa nilai-nilai. Kita anggap cara mereka menjalani hidup mereka merupakan sesuatu yang berharga, yang kuhargai. Selain itu, kita sadari bahwa kita punya semua bahan kerja dasar untuk menjadi seperti itu. Inilah yang diacu sebagai anasir-anasir sifat-Buddha dalam ajaran-ajaran Buddha. "Aku punya raga. Aku punya kemampuan untuk berhubungan. Aku punya hati, perasaan. Aku punya kecerdasan: Aku dapat memahami segala sesuatu, mengetahui segala sesuatu. Aku punya kemampuan. Aku mampu belajar." Kita memiliki semua sifat ini dalam diri kita. Inilah bahan-bahan kerja kita. Maka kita sadari bahwa kita sebetulnya bisa menjadi seperti tokoh-tokoh yang mengilhami ini. Kita memiliki rasa hormat bagi diri kita sendiri, rasa nilai-nilai, dan itu memampukan kita untuk betul-betul peduli terhadap akibat dari tindak-tanduk kita dan untuk melaksanakan tertib-diri. Ia berupa perasaan bahwa: "Tentu aku selalu bisa lebih baik. Tentu aku bisa menolong." Dan kita anggap itu sebagai suatu nilai positif.

Inilah beberapa pemikiran saya, yang berdasar pada ajaran-ajaran Buddha, mengenai peran budi pekerti di jalan pelayanan sosial. Bila ini jenis bidang kerja yang Anda tuju dalam pendidikan Anda, maka besar kesempatan Anda untuk benar-benar melakukan sesuatu yang positif, memberi sumbangan luar biasa dengan hidup Anda. Bekerja di bidang seperti ini membuat hidup jadi amat berarti dan bernilai karena kita betul-betul membawa manfaat bagi orang lain. Di Berlin, Jerman, tempat saya tinggal, saya punya beberapa murid yang juga bekerja di bidang ini. Salah satu dari murid-murid saya itu bekerja di sebuah rumah, sebuah prasarana untuk orang-orang yang berkelainan jiwa – anak-anak penderita down syndrome, dan semacamnya. Murid saya itu merawat anak-anak ini, menolong mereka dalam hidupnya. Satu murid saya yang lain adalah seorang perawat yang merawat orang-orang lansia yang cacat. Ini semua pekerjaan yang luar biasa. Tentu, kita butuh kesabaran yang luar biasa, tertib-diri yang luar biasa, tapi semua itu amat sepadan. Dan, tentu saja, rasa budi pekerti yang kuat pula. Saya begitu mengagumi Anda bila inilah arah yang Anda tuju dalam hidup Anda.

Pertanyaan

Apakah ajaran Buddha punya cara yang dapat menolong kita untuk menghadapi, misalnya, tataran cita merusak seperti kecurigaan?

Kecurigaan, itu arahnya kepada paranoia, selalu merasa: "Orang-orang menentangku. Sebetulnya apa niat mereka," dan seterusnya. Ada dua segi di sini. Yang pertama ialah rasa tak aman yang mendorong kita untuk selalu khawatir bahwa seseorang akan menentangku, seseorang akan melukaiku. Itu dasarnya rasa tak aman. Dan segi yang kedua ialah terlampau peka, tindakan yang kelewatan.

Nah, untuk mengatasi rasa tak aman, kita dapat menghadapinya dalam banyak tingkatan. Satu, percaya diri saja pada kemampuan kita untuk menghadapi apapun yang terjadi dalam hidup ini. Contoh Buddha Shakyamuni amat berguna di sini. "Tidak semua orang menyukai Buddha, jadi aku mau berharap apa? Apa aku berharap setiap orang akan suka padaku?" Itu sama sekali tidak makul (realistis). Menyenangkan hati semua orang itu tidak mungkin. Buddha tak dapat melakukannya, jadi aku tak seharusnya berharap bahwa aku akan mampu menyenangkan setiap orang dan setiap orang akan menyukaiku. Aku coba yang terbaik – niatku baik – dan perkara mereka suka atau tidak, itu masalah mereka. Saya dapati itu berguna sekali. Dan tentu saja semakin banyak kita berlatih, semakin banyak pengalaman yang kita peroleh sembari usia yang semakin tua, secara umum Anda merasa sedikit lebih aman. Ketika Anda masih anak muda, seorang remaja, agaknya memang alamiah saja kalau Anda bahkan merasa lebih tak aman lagi karena seperti selalu butuh persetujuan orang lain, orang suka pada Anda, dan seterusnya.

Kita perlu menegaskan kembali sifat-sifat baik yang kita miliki. Itu tidak berarti menyangkal atau mengabaikan kekurangan-kekurangan yang kita punya, tapi jika kita terlalu menekankan pada kekurangan saja maka kita jadi merasa amat sangat tak aman. Tak ada orang yang isinya hanya kekurangan saja; semua kita punya sifat baik, dan penting sekali bagi kita untuk senantiasa mengingatkan diri kita akan hal itu. Tidak pula berarti jadi sombong dan pongah, tapi maksudnya supaya kita punya rasa percaya diri.

Terlalu peka, bertindak kelewatan, kesal sekali tentang ini dan itu – lagi-lagi, kita perlu berpikir: "Ini tak ada gunanya bagi siapapun." Hal itu membuat kita tak mampu menghadapi hidup, dan membuat setiap orang di sekitar kita jadi merasa sangat tak nyaman. Semakin kita berpikir tentang orang lain, dalam jenis keadaan apapun yang kita alami, semakin penuh pertimbanganlah kita jadinya, semakin tenang kita jadinya, dalam hal cara kita menanggapi segala sesuatu secara perasaan. Contoh yang sering digunakan ialah contoh seorang ibu. Seorang ibu bisa saja kesal sekali tentang sesuatu, tapi jika anak-anaknya perlu dijaga – makan malam harus dibuatkan untuk mereka – si ibu tadi mengatasi kekesalannya dan melakukan apa yang perlu dilakukan untuk membantu anak-anaknya.

Top