Hubungan Ajaran Buddha-Islam

Pendahuluan

Umat Buddha dan Muslim telah saling berhubungan dalam bidang budaya, politik, ekonomi, dan kadang militer selama tiga belas setengah abad terakhir. Hubungan di bidang-bidang itu, bergantung pada tempat, waktu, dan orang serta pemerintahan yang terlibat, terbentang dari yang bersifat persahabatan hingga permusuhan. Telah banyak perhatian diberikan kepada sejarah hubungan tersebut, tapi masih sedikit yang diarahkan pada perincian terhadap hubungan doktrin di antara keduanya. Dalam tulisan ini, setelah tinjauan terhadap hubungan di masa lalu dan sekarang, saya akan mengulas harapan dan landasan bagi dialog di masa depan. Pembicaraan ini akan berpusat terutama pada sudut pandang umat Buddha terhadap keterlibatan doktrin, khususnya di wilayah budaya Indo-Tibet-Mongol.

Tinjauan Sejarah terhadap Khilafah Ummaiyyah dan Abbasiyyah

Hubungan paling awal antara penduduk Buddha dan Muslim terjadi di wilayah yang saat ini adalah Afghanistan, Iran timur, Uzbekistan, Turkmenistan, dan Tajikistan, ketika semua wilayah itu berada di bawah kekuasaan Khilafah Ummaiyyah Arab di pertengahan abad ke-7. Penulis Ummaiyyah Persian, Umar ibn al-Azraq al-Kermani, tertarik untuk menjelaskan ajaran Buddha kepada khalayak Muslim. Akibatnya, pada awal abad ke-8, ia menulis catatan terperinci tentang Wihara Nava di Balkh, Afghanistan, dan adat mendasar Buddha di sana, menjelaskannya dalam kerangka perbandingan dengan Islam. Ia menggambarkan candi utama memiliki kubus batu di tengahnya, dihias dengan kain, dan para pemuja mengelilinginya serta melakukan sujud, seperti halnya dengan Kabah di Mekah.

Tulisan-tulisan al-Kermani dikumpulkan pada abad ke-10 dalam Kitab Negeri-Negeri (Ar. Kitab al-Buldan) karya Ibn al-Faqih al-Hamadhani. Namun, para cendekiawan Buddha tampaknya tidak menunjukkan minat yang sama untuk menjelaskan adat dan keyakinan Islam kepada khalayak Buddha. Tidak ada bukti tercatat tentang gambaran macam itu di masa tersebut.

Sejak tahun 715 hingga 727, Tibet memiliki persekutuan militer dengan Ummaiyyah. Selama masa itu, Khalifah ‘Umar II menyerukan bahwa semua sekutu Ummaiyyah harus mengikuti Islam. Sebagai cara untuk memelihara persekutuan itu, Ratu Tibet Jincheng meminta supaya seorang ulama Islam dikirimkan ke Tibet. Sang Khalifah mengirimkan al-Salit bin-Abdullah al-Hanafi. Bagaimanapun, umat Buddha Tibet tampaknya tidak memiliki ketertarikan tulus terhadap Islam. Tidak ada catatan apa pun tentang dialog lintas-iman atau umat Buddha Tibet yang pindah agama ke Islam sebagai hasil dari kunjungan itu. Penerimaan yang dingin ini tampaknya lebih disebabkan oleh pengaruh kelompok yang benci terhadap orang asing di dalam mahkamah kerajaan Tibet.

Hubungan doktrin umat Buddha-Muslim selanjutnya terjadi selama paruh kedua abad ke-8, di masa Khilafah Abbasiyyah. Khalifah al-Mahdi, yang diikuti Khalifah al-Rashid, mengundang cendekiawan-cendekiawan Buddha dari India dan Wihara Nava di Balkh untuk datang ke Rumah Pengetahuan (Ar. Bayt al-Hikmat) di Baghdad. Di sana, ia menugaskan mereka untuk membantu menerjemahkan khususnya naskah kedokteran dan ilmu perbintangan dari bahasa Sanskerta ke dalam bahasa Arab. Kitab Katalog-Katalog (Ar. Kitab al-Fihrist) karya Ibn al-Nadim di akhir abad ke-10 juga mendaftar beberapa tulisan ajaran Buddha yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada masa itu, seperti catatan tentang kehidupan-kehidupan lampau Buddha, Kitab Buddha (Ar. Kitab al-Budd). Naskah ini didasarkan pada dua karya dalam bahasa Sanskerta: Tasbih Catatan Kehidupan Lampau (Skt. Jatakamala) dan karya Ashvaghosha berjudul Perbuatan-Perbuatan Buddha (Skt. Buddhacarita).

Meskipun ada ketertarikan cendekiawan Muslim terhadap agama Buddha seperti itu, tidak ada catatan tentang keyakinan Islam atau naskah Islam yang ditulis oleh cendekiawan Buddha di masa itu. Juga tidak ada bukti tentang adanya adu-pendapat filosofis dengan cendekiawan Muslim di sekolah wihara Buddha mana pun, bahkan ketika komunitas Buddha dan Muslim hidup di wilayah yang sama. Adu-pendapat hanya terjadi dengan orang-orang dari beragam tata keyakinan di luar Buddha India, dan ini terjadi terutama di India Utara tengah sebelum Islam masuk ke wilayah itu. Tak ada penyebutan tentang keyakinan Islam di naskah filosofis Buddha Sanskerta, baik pada saat itu maupun sesudahnya.

Kepustakaan Kalacakra

Satu-satunya tulisan kuno Buddha yang menyebutkan adat atau keyakinan Islam adalah kepustakaan Tantra Kalacakra, yang muncul di akhir abad ke-10 dan awal abad ke-11. Namun, acuan sejarah ini tidak diperuntukkan bagi semua Muslim secara umum, tapi hanya mengacu pada pengikut Isma’ili Syiah timur pada akhir abad ke-10, sebagaimana diikuti di negara bawahan Fatimiyyah bernama Multan, di Pakistan utara-tengah masa kini.

Pada masa itu, Fatimiyyah Isma’ili di Mesir dan sekutu Multan mereka bersaing dengan Abbasiyyah Sunni untuk memperoleh kendali atas dunia Muslim. Oleh karena itu, mereka menebar ancaman berupa dua serbuan terhadap Kekaisaran Abbasiyyah yang mereka apit. Umat Buddha dan Hindu yang hidup bersama di negara bawahan Abbasiyyah bernama Ghaznawiyyah, di Afghanistan masa kini, terjebak di masa menakutkan ini. Bagian-bagian Tantra Kalacakra yang berkenaan dengan dunia luar kemungkinan besar ditulis sebagai tanggapan terhadap keadaan ini. Tulisan tersebut menyarankan kepada umat Hindu supaya menegaskan kembali nilai-nilai batin mereka dan bergabung bersama dalam satu kasta dengan umat Buddha dan sisa penduduk lainnya, sehingga tidak terserap ke dalam agama penyerbu akibat keluguan dan kurangnya persatuan.

Gambaran Kalacakra terhadap agama penyerbu hanya menandakan sebagian pemahaman terhadap aliran Islam pada masa itu. Gambaran ini mencakup adat semua aliran Islam yang berdoa lima kali sehari setelah membersihkan diri, bersujud ke arah tanah suci, menyembah satu Tuhan di surga, mencari tujuan batin berupa menikmati kebahagiaan surgawi, menghancurkan segala macam patung dewa, mengikuti cara halal dalam menyembelih hewan, makan hanya setelah matahari terbenam selama bulan Ramadhan, menjaga kebersihan umum, menghormati kesetaraan semua laki-laki dalam satu kasta tanpa menyatakan kaum brahmana sebagai kasta paling murni, sunat, perempuan mengenakan kerudung, menjaga budi pekerti ketat secara umum, dan, secara khusus, tidak mencuri, tidak berbohong, dan menjaga kesetiaan perkawinan. Keyakinan seluruh aliran Islam yang digambarkan oleh Kalacakra juga mencakup pernyataan-pernyataan tentang Tuhan Pencipta yang disebut “Rahman” , sifat atom dari zat, jiwa pribadi yang kekal dan memikul tanggung jawab atas tindakannya, dan Hari Penghakiman ketika, karena menyenangkannya, Rahman mengirimkan jiwa-jiwa untuk lahir kembali di surga dan, karena tidak menyenangkannya, lahir kembali di neraka.

Perincian khusus tertentu, seperti nabi-nabi Islam dan pernyataan bahwa hanya sebuah unsur dari jiwa yang menjalani kelahiran sementara dalam keberadaan duniawi, didasarkan terutama pada ajaran Isma’ili Syiah, yang dirumuskan oleh Abu Ya’qub al-Sijistani. Beberapa perincian, seperti kelahiran kembali di surga atau neraka dengan raga manusia, didasarkan pada teolog-teolog Islam lain pada masa itu. Perincian lain adalah semata usaha untuk menjelaskan keyakinan Islam dalam kerangka yang bisa dipahami oleh umat Buddha dan Hindu, seperti menggambarkan Muhammad sebagai penjelmaan Rahman, sebagaimana Krishna adalah penjelmaan (Skt. avatara) dewa Wisnu.

Kepustakaan Kalacakra juga menggarisbawahi pokok-pokok yang dimiliki bersama oleh ajaran Buddha dan Islam, antara lain sifat atom dari zat dan jiwa yang memikul tanggung jawab untuk tindakannya. Tanpa secara khusus mempermasalahkan penafsiran Muslim terhadap pokok-pokok itu, naskah-naskah Kalacakra menandakan cara mengarahkan umat Muslim menuju pemahaman terhadap pernyataan-pernyataan Buddha. Hal utama yang dipermasalahkan oleh naskah-naskah itu adalah kelahiran kembali di surga merupakan tujuan batin yang paripurna dan pencapaian terakhir yang bisa diraih seseorang. Ini dipermasalahkan karena bertentangan dengan pernyataan penting Buddha tentang pembebasan akhir dari karma dan kelahiran kembali. Kepustakaan Kalacakra juga menganggap ada kesalahan dalam cara halal penyembelihan, yang digambarkannya sebagai menggorok leher hewan sambil mengucapkan mantra Tuhan, Bismillah. Namun, dasar dari kritik ini adalah kesalahpahaman terhadap adat Islam tersebut, yang mereka anggap sebagai pengorbanan darah bagi sosok dewa tertentu.

Ketertarikan Muslim Lebih Lanjut terhadap Ajaran Buddha

Selama beberapa abad selanjutnya, tidak ada bukti tentang cendekiawan Muslim yang menjadi sadar akan atau memerhatikan wilayah-wilayah bermasalah yang disebutkan dalam kepustakaan Kalacakra. Bagaimanapun, ketertarikan akan ajaran Buddha tetap ada di antara mereka, seperti tampak dalam beberapa karya sejarah; sementara, di samping penafsiran Kalacakra, tidak ada ketertarikan lebih lanjut dari umat Buddha terhadap Islam.

Sebagai contoh, selama Dinasti Ghaznawiyyah, sejarawan Persia, al-Biruni, mendampingi Mahmud Ghazni dalam serbuan menuju anak-benua India di awal abad ke-8 M. Berdasarkan apa yang ia pelajari di sana, al-Biruni menulis Kitab tentang India (Ar. Kitab al-Hind). Di dalamnya, ia menggambarkan adat dan keyakinan dasar Buddha serta mencatat bahwa orang India menganggap Buddha sebagai seorang nabi. Ini tidak berarti, tentu saja, bahwa ia mengusulkan supaya umat Muslim menerima Buddha sebagai nabi Allah, tapi ini menandakan pemahamannya bahwa umat Buddha tidak melihat Buddha Shakyamuni sebagai Tuhan mereka. Kemudian, al-Shahrastani, yang melayani di bawah dinasti Seljuk, mengulang catatan al-Biruni tentang agama Buddha dalam karyanya Kitab Agama dan Kepercayaan (Ar. Kitab al-Milal wa al-Nihal), yang terbit pada abad ke-12.

Orang Mongol

Di akhir abad ke-13, Khubilai Khan, cucu Jenghis Khan dan Kaisar Yuan Cina, menerapkan bentuk Sakya dari Buddha Tibet. Ia mempekerjakan orang-orang Muslim Asia Tengah sebagai pengumpul pajak dengan maksud membangun sebuah pemisah antara orang-orang Cina yang menjadi subjek pajaknya dan penguasa Mongol mereka. Di awal pemerintahannya, Khubilai Khan mengizinkan umat Muslim melakukan semua adat mereka. Namun, dalam menanggapi dukungan sepupu dan musuhnya, Khaidu, terhadap umat Muslim, Khubilai membuat peraturan anti-Muslim. Pada tahun 1280, ia melarang sunat dan cara penyembelihan yang halal. Perintah yang terakhir ini segaris dengan aturan jasagh dari Jenghis Khan, yang melarang pencemaran bumi dengan darah hewan yang disembelih. Ini tidak berhubungan sama sekali dengan keyakinan Buddha, tapi hanya berkenaan dengan adat Mongol sebelum Buddha. Oleh karena itu, meskipun Khubilai Khan memeluk agama Buddha, interaksinya dengan subjek pajaknya yang Muslim tidak berhubungan dengan dialog doktrin umat Buddha-Muslim.

Agama Buddha bahkan disebarkan oleh orang Mongol ke wilayah yang telah dihuni Muslim sejak lama, tapi tetap saja umat Buddha tidak memiliki ketertarikan terhadap keyakinan penduduk asli tersebut. Secara khusus, selama sebagian besar masa Dinasti Ilkhanat, ketika orang Mongol memerintah Iran pada paruh kedua abad ke-13, orang Khan Mongol melaksanakan dan menyebarkan Buddha Tibet di sana. Sa’d al-Daula, menteri Arghun Khan, mengusulkan supaya unsur-unsur tertentu Islam dimasukkan ke dalam kebijakan kerajaan Khan. Ia menyarankan supaya Jenghis Khan dan garis keturunannya dikukuhkan sebagai nabi, sebagaimana garis imam-imam Syiah, dan supaya Arghun Khan mengikuti contoh Muhammad dan menentukan Buddha sebagai agama resmi serta mengubah Kabah menjadi candi Buddha. Meskipun Khan tersebut mengumumkan Buddha sebagai agama kerajaan dan mengundang banyak biksu dari Kashmir dan Tibet ke kerajaannya, ia tidak melaksanakan semua saran lain dari menterinya itu.

Penguasa Ilkhanat selanjutnya, Ghazan Khan, segera pindah agama ke Islam setelah naik tahta. Ketika ia memerintahkan menterinya, Rashid al-Din, untuk menulis Sejarah Semesta (Ar. Jami’ al-Tawarikh), ia menghendaki supaya karya itu memuat gambaran tentang tata keyakinan yang dianut beragam orang yang telah ditemui orang Mongol, termasuk ajaran Buddha. Selanjutnya, ia mengundang Bakshi Kamalashri, seorang biksu dari Kashmir, untuk datang ke kerajaannya dan membantu Rashid al-Din dalam pekerjaannya. Hasil kerja sama mereka adalah Kisah Hidup dan Ajaran Buddha, yang muncul dalam bahasa Arab dan Persia sebagai bagian ketiga dari Sejarah India, volume kedua dari Sejarah Semesta.

Sebagaimana karya-karya al-Kermani dan al-Biruni sebelumnya, Rashid al-Din menjelaskan ajaran Buddha dalam kerangka Muslim. Oleh karena itu, ia menyebut Buddha sebagai satu dari enam pendiri agama yang diterima sebagai nabi oleh orang India. Enam pendiri agama itu adalah tiga bertuhan―S iwa, Wisnu, dan Brahma―dan tiga tak bertuhan―Arhanta untuk agama Jain, Nastika untuk Charwaka, dan Shakyamuni untuk Buddha. Ia juga mengacu dewa sebagai malaikat, dan Mara sebagai Iblis, Setan. Naskah itu juga menyebutkan enam alam kelahiran kembali, hukum karma sebab dan akibat, serta bahwa kata-kata Buddha diabadikan di dalam Kangyur, kumpulan terjemahan Tibet dari kata-kata itu.

Rashid al-Din juga melaporkan bahwa di masanya, sebelas naskah Buddha dalam terjemahan Arab telah beredar di Iran. Naskah-naskah ini meliputi naskah Mahayana seperti Sutra tentang Larik dari Tanah Murni Sukacita (Skt. Sukhavativyuha Sutra) yang berkenaan dengan Tanah Murni Amitabha, Sutra tentang Larik Bagai Keranda (Skt. Karandavyuha Sutra) yang berkenaan dengan Avalokiteshvara, penjelmaan dari welas asih, dan Suatu Karangan tentang Maitreya (Skt. Maitreyavyakarana) yang berkenaan dengan Maitreya, sosok Buddha masa depan dan penjelmaan dari cinta. Bagaimanapun, beberapa hal dari gambaran Rashid al-Din sangat khayali. Sebagai contoh, ia menyatakan bahwa sebelum Islam, orang-orang Mekah dan Medinah adalah penganut Buddha dan menyembah sosok-sosok yang menyerupai Buddha di Kabah.

Lebih dari satu abad kemudian, di awal abad ke-15, Hafiz-i Abru, yang melayani kerajaan Shahrukh dari Dinasti Timurid di Samarkand, menyusun Kumpulan Sejarah (Ar. Majma at-Tawarikh). Salah satu bagian di dalamnya mengulas Buddha dan ajaran Buddha yang didasarkan pada karya Rashid al-Din.

Meskipun sejarah-sejarah India yang ditulis oleh cendekiawan Muslim memasukkan gambaran mengenai keyakinan Buddha, kita tidak menemukan catatan yang sebanding tentang keyakinan Islam dalam sejarah-sejarah India yang ditulis oleh pengarang Buddha Tibet atau Mongolia setelah penyebaran Islam di India. Sebagai contoh, dalam Sejarah Ajaran Buddha di India (Tib. rGya-gar chos-‘ byung) karya cendekiawan Tibet Taranatha pada awal abad ke-17, Taranatha melukiskan perusakan wihara-wihara Buddha di India Utara pada awal ke-13 oleh pasukan Muslim Guzz Turki selama Dinasti Ghuriyyah. Namun, Taranatha tidak menyebutkan apa pun tentang Islam itu sendiri. Kemudian, pada pertengahan abad ke-17, akibat kelaparan di tanah asal mereka, orang Muslim Kashmir menetap di Tibet dan membaur secara damai ke dalam masyarakat Buddha Tibet, dengan hak-hak istimewa yang diberikan oleh Dalai Lama Kelima. Meski demikian, tetap tidak ada dialog doktrin antara dua agama ini.

Selain itu, ketika membicarakan keyakinan-keyakinan di luar Buddha, naskah-naskah Buddha India, Tibet, dan Mongol tentang tata ajaran (Skt. siddhanta, Tib. grub-mtha’) berpusat terutama, kalau bukan hanya, pada tata India asli. Bahkan ketika semua naskah itu membahas di luar wilayah budaya India dan menghadirkan keyakinan Cina di luar Buddha dan Tibet asli, seperti Cermin Kristal Penjelasan Hebat yang Menunjukkan Sumber dan Pernyataan dari Semua Tata Ajaran (Tib. Grub-mtha’ thams-cad-kyi khungs-dang ‘dod-tshul ston-pa legs-bshad shel-gyi me-long) karya Tuken Lozang-chokyi-nyima, seorang cendekiawan pada paruh kedua abad ke-18, tidak ada yang membicarakan Islam.

Ada satu pengecualian terhadap kecenderungan ketidaktertarikan umat Buddha terhadap Islam, yakni Injannashi, penulis novel Mongol pada pertengahan abad ke-19. Dalam karya fiksinya tentang sejarah Mongol yang bernada anti-Cina dan anti-Manchu, Catatan Biru (Mong. Köke sudar), ia menunjukkan bahwa agama Islam dan Buddha memiliki kesamaan maksud: “ kebaikan”. Sebagai contoh, ia mengutip fakta bahwa tukang jagal Muslim dan Buddha menyembelih hewan sambil berdoa supaya hewan itu dilahirkan kembali di surga.

Penjelasan yang Disarankan tentang Kurangnya Minat Umat Buddha Kuno terhadap Doktrin Islam

Secara umum, para cendekiawan Buddha maupun Muslim tertarik terhadap tata agama lain ketika agama mereka menyebar ke wilayah yang telah memiliki agama asli yang mapan. Namun, jika sebaliknya, mereka tidak memiliki minat itu. Mereka tidak begitu berminat terhadap agama lain yang menyebar atau mencoba menyebar ke wilayah tempat agama mereka telah menjadi keyakinan utama.

Kadang-kadang, ajaran Buddha meminjam gagasan tertentu dari agama asli di wilayah yang dikunjunginya, atau menekankan pokok-pokok dalam Buddha India yang mirip dengan unsur dari agama itu. Sebagai contoh, cita-cita bodhisattwa, tanah murni, dan Amitabha, Buddha Cahaya Tak Terbatas, memiliki kesamaan dengan ajaran Zarathustra (Zoroastrianisme), yang hidup di wilayah budaya Iran. Bagaimanapun, naskah-naskah Buddha tidak ragu untuk menunjukkan adat di wilayah itu yang secara etika pantas dipertanyakan. Ulasan Agung (Skt. Mahavibhasa), misalnya, yang disusun di Kashmir pada abad ke-2, menggambarkan inses dan pembunuhan semut sebagai hal yang dilarang oleh ajaran Yonaka. Orang-orang Yonaka ini merujuk, secara harfiah, pada penduduk Yunani yang menetap di wilayah Bakhtar di Kerajaan Kushan, dan khususnya orang Indo-Skithia yang tinggal di sana, yang merupakan penganut ajaran Zarathustra dan Mithra. Guru Buddha India pada abad ke-6, Bhavaviveka, mengulang penggambaran ajaran-ajaran Yonaka yang pantas dipertanyakan itu dalam karyanya Nyala Penalaran (Skt. Tarkajvala), contoh paling awal dari naskah tata ajaran tersebut.

Dalam kasus penyebaran ajaran Buddha ke Cina, cara pertama yang digunakan dalam penerjemahan naskah disebut “mencapai maknanya” (Chin. geyi, Wade-Giles: ko-i). Ini mencakup pemakaian istilah teknis Dao dan Neo-Dao sebagai konsep sejajar untuk penerjemahan istilah Buddha. Beberapa guru Buddha Cina awal, seperti Zhidun di awal abad ke-4 dan Sengzhao di awal abad ke-5, bahkan menjelaskan kehampaan (kekosongan) dalam kerangka “makhluk” dan “ bukan makhluk”. Nilai-nilai dan cara berpikir Konfusius juga memengaruhi pemilihan istilah, seperti menggunakan “manusia” untuk “makhluk hidup” dan menjelaskan kesetiaan keluarga sebagai sebuah sifat baik Buddha. Semua ini menyiratkan, bila bukan sebuah dialog, paling tidak pengetahuan umat Buddha terhadap sistem yang dimiliki orang Cina pribumi tersebut.

Dalam banyak kasus lain, ketertarikan umat Buddha terhadap sistem di luar Buddha didorong oleh persaingan untuk memperoleh dukungan kerajaan. Kadang, kedua agama yang bersaing itu telah mapan di suatu wilayah. Inilah yang terjadi ketika cendekiawan Buddha di wihara-wihara di India Utara beradu-pendapat dengan cendekiawan dari berbagai agama dan sistem filsafat India di luar Buddha sejak awal abad ke-4 hingga akhir abad ke-12.

Di masa-masa lain, kedua belah pihak bersaing supaya dipilih oleh raja sebagai agama resmi yang bisa menyatukan kerajaan. Meskipun adu-pendapat di Wihara Samye (Tib. bSam-yas) di Tibet antara guru Madhyamaka India dan Chan Cina, yang terjadi pada tahun-tahun terakhir abad ke-8, adalah antara dua bentuk ajaran Buddha, adu-pendapat ini masuk ke dalam kelompok umum ini. Kasus yang lebih relevan adalah adu-pendapat antara umat Buddha dan Dao Cina yang diadakan oleh cucu-cucu Jenghis Khan untuk menentukan agama resmi bagi kerajaan-kerajaan Khan Mongol yang baru. Adu-pendapat pertama diadakan di mahkamah kerajaan Mongke Khan pada tahun 1255 dan yang kedua di kerajaan adiknya, Khubilai (Kublai) Khan, tiga tahun kemudian. Pokok pertengkaran yang terjadi adalah pernyataan penganut Dao bahwa Buddha pernah menjadi murid Laozi. Adu-pendapat itu hanya sedikit menyinggung keyakinan doktrin yang bersifat filosofis.

William dari Rubruck, seorang pewarta Alkitab Fransiskan dari Flanders, mengunjungi kerajaan Mongke Khan di abad ke-13. Dalam catatan perjalanannya, ia menggambarkan sebuah adu-pendapat tentang keberadaan hanya satu Tuhan yang terjadi di kerajaan pada 1254, terutama antara dirinya dan wakil dari agama “Tuin” atau “pemuja berhala”. Yang juga hadir di sana adalah wakil dari Kristen Nestorian dan agama “Saracen”, yaitu Islam.

Meskipun beberapa cendekiawan menganggap adu-pendapat itu mempertentangkan agama Kristen dan Islam melawan Buddha, kesimpulan ini patut dipertanyakan, berdasarkan catatan William dari Rubruck sendiri. Pertama, nama Tuin berasal dari kata Cina dao-ren, yang berarti orang-orang Dao. Tampaknya, biarawan Fransiskan itu bergantung pada penerjemah Cina di kerajaan Mongol. Lebih jauh, ia menggambarkan orang Tuin menerima pernyataan ajaran Mani (Manikheisme) bahwa semesta itu terbagi menjadi kebaikan dan kejahatan. Mereka percaya pada satu dewa tertinggi di langit, katanya, tapi dewa ini tidak mahakuasa, sepenuhnya roh, dan tak pernah mengambil bentuk manusia. Sepuluh dewa lainnya hidup di bawahnya, satu dewa lagi di bawah sepuluh dewa tersebut, lalu dewa-dewa yang jumlahnya tak terhingga yang ada di bumi. Meskipun orang-orangTuin memercayai kelahiran kembali, ia menjelaskan bahwa mereka menyatakan keberadaan jiwa. Mereka memiliki biksu-biksu yang hidup lajang, yang mendaraskan mantra, tapi sosok yang dipuji di candi adalah patung orang yang sudah meninggal dan bukan dewa tertinggi mereka.

Dengan demikian, hampir bisa dipastikan bahwa orang Tuin bukanlah penganut Buddha murni. Tampaknya, William dari Rubruck, dalam mencoba menjelaskan keyakinan orang Tuin di dalam kerangka Kristen, mencampurkan penganut Buddha, Dao, dan Manikheisme di Kerajaan Mongke Khan―semuanya disebut “pemuja berhala”. Selanjutnya, menurut catatan biarawan Fransiskan tersebut, umat Muslim dan Nestorian tidak benar-benar menyumbangkan sesuatu dalam adu-pendapat itu, tapi semata setuju dengan pernyataan dirinya. Oleh karena itu, kita tidak bisa melihat adu-pendapat ini sebagai sebuah dialog antara umat Buddha dan Muslim.

Sebagai ringkasan, kemudian, ajaran Buddha tertarik terhadap doktrin agama lain (1) ketika ajaran Buddha menyebar ke wilayah di luar Buddha yang di sana ada agama lain yang sangat berpengaruh; (2) ketika, bersama tata keyakinan lain, ajaran Buddha dipertimbangkan untuk ditetapkan sebagai agama resmi, atau (3) ajaran Buddha bersaing dengan agama lain untuk mendapatkan dukungan kerajaan. Kecuali selama masa yang sangat pendek di Iran di bawah kepemimpinan Ilkhan, Islam tidak termasuk ke dalam salah satu keadaan mana pun di atas sebagai “agama lain”. Namun pada masa kepemimpinan Ilkhan itu sekali pun, ketika orang Mongol menyebarkan agama Buddha ke Iran yang menganut Islam, umat Buddha juga tidak menunjukkan ketertarikan terhadap doktrin Muslim. Satu-satunya waktu ketika umat Buddha memerhatikan keyakinan Islam, di masa itu, adalah saat ada ancaman serbuan pasukan militan Islam.

Keadaan Saat Ini antara Penduduk Buddha dan Muslim di Asia

Contoh-contoh sejarah di atas tampaknya menempatkan letak ajaran Buddha di dunia saat ini berhadap-hadapan dengan tata keyakinan lain. Sejak paruh kedua abad ke-12, ajaran Buddha telah menyebar di banyak wilayah dunia yang di sana agama lain telah menjadi keyakinan secara turun-temurun. Ini lalu mengarah pada kecenderungan yang berkembang menuju dialog lintas-iman pemimpin Buddha dengan pemimpin dari keyakinan Kristen dan Yahudi. Namun, ajaran Buddha belum menyebar ke wilayah yang sejak dulu dihuni umat Muslim. Ketertarikan umat Buddha untuk melakukan dialog dengan umat Muslim lebih didorong oleh ancaman pergolakan, khususnya sejak awal abad ke-21. Sebagian ancaman ini berasal dari keadaan kekerasan yang diciptakan oleh serangan teroris kaum ekstrem Islam dan tanggapan militer yang kuat terhadapnya. Sebagian lagi berakar dari persaingan ekonomi sejak lama antara masyarakat Buddha dan Muslim di Asia, yang diperburuk oleh ancaman globalisasi ekonomi. Dalam beberapa kasus, keadaan tersebut menjadi lebih rumit akibat kebijakan dari penjajah di masa lalu dan kini. Seringkali, beberapa unsur tersebut bercampur satu sama lain.

Dalam keadaan berbahaya seperti itu, pendidikan dan dialog penting dilakukan, karena banyak orang secara keliru menyamakan kaum ekstrem dengan masyarakat Muslim secara keseluruhan, dan menyamakan kebijakan serta taktik kaum ekstrem dengan ajaran Islam. Selain itu, sebagian orang cenderung menyalahkan kekerasan semata kepada doktrin agama, dan mengabaikan unsur politik, budaya, sosial, sejarah, dan ekonomi yang terlibat di dalamnya. Kepicikan seperti ini memperburuk konflik yang ada.

Sebagai contoh, di Afghanistan, perusakan kaum Taliban terhadap patung-patung besar Buddha di Bamiyan pada 2001 lebih merupakan, mungkin, bentuk protes terhadap sanksi internasional dan penarikan bantuan kemanusiaan, bukan semata serangan terhadap agama dan umat Buddha. Bagaimanapun juga, tidak ada umat Buddha, yang hidup di Afghanistan, yang menyembah patung-patung itu.

Bangladesh, di sisi lain, memiliki penduduk yang satu persennnya adalah umat Buddha, yang hidup terutama di Bagian Chittagong dan Wilayah Bukit Choittagong. Akibat dari gerakan fundamentalis Islam Bangladesh sejak peristiwa 11 September 2001, sejumlah kekerasan yang dilakukan umat Muslim terjadi di dua wilayah itu, yang ditujukan kepada penduduk Buddha. Kekerasan macam itu, bagaimanapun, tidak terbatas pada umat Buddha atau wilayah itu saja, tapi juga meliputi umat Kristen di seluruh Bangladesh. Ini adalah contoh jelas mengenai meningkatnya kekerasan sejak “ Perang terhadap Teror” dan serbuan A. S. ke Afghanistan dan Irak. Meskipun perubahan undang-undang dasar telah disahkan pada 1988 yang menyatakan “cara hidup Islami” untuk Bangladesh, ketegangan antara penduduk Muslim dan Buddha di sana jauh lebih sedikit sebelum adanya peristiwa 11 September.

Malaysia dan Indonesia adalah contoh dua negara tempat unsur-unsur ekonomi ikut berpengaruh dalam menciptakan ketegangan masyarakat. Keduanya memiliki penduduk Muslim asli yang banyak, dengan kurang-lebih kaum minoritas Buddha Cina yang lebih kaya daripada mereka. Namun, hanya di Indonesia, hubungan di antara dua kelompok suku itu telah berkembang menjadi tegang. Ini mengikuti krisis ekonomi pada 1997-1998 dan kejatuhan pemerintahan Soeharto.

Di sisi lain, di Kashmir dan Ladakh serta di wilayah budaya Tibet yang dikuasai Republik Rakyat Cina, konflik-konflik antara umat Buddha dan Muslim tidak mencapai tahap kekerasan terbuka. Bagaimanapun, ketegangan itu ada, dan terutama disebabkan persaingan ekonomi di antara dua kelompok itu, bukan karena perbedaan doktrin. Dalam kasus wilayah budaya Tibet, keadaannya diperburuk oleh kebijakan Cina yang menggerakkan, mendukung, dan menyediakan sarana untuk perpindahan penduduk non-Tibet ke wilayah-wilayah tersebut.

Kebijakan pemerintah juga memengaruhi keadaan di Burma/Myanmar. Di sana, pertentangan suku terutama terjadi oleh umat Buddha terhadap umat Muslim Rohingya di Wilayah Rakhine Utara, Arakan. Kekerasan tersebut memcerminkan kekesalan hati umat Buddha secara umum terhadap orang di luar Buddha yang bermukim di antara mereka, terutama suku Bengali Muslim. Kekesalan hati ini berkembang sebagai tanggapan terhadap perlakuan khusus pemerintah kolonial Inggris terhadap warga di luar Buddha selama penjajahan. Pemerintah junta militer saat ini mengambil keuntungan dari kecurigaan ini dengan memberlakukan pembatasan ketat terhadap umat Muslim dengan menolak kewarganegaraan mereka, dan pemerintah sering disalahkan oleh penduduk Islam sebagai penyebab terjadinya serangan umat Buddha terhadap mereka.

Di Thailand selatan, kekerasan umat Muslim-Buddha berakar dari penaklukan wilayah Muslim Melayu Pattani untuk masuk ke dalam kekuasaan Thailand sebagai bagian dari Perjanjian Anglo-Siam pada 1909, dan kurangnya penyatuan lebih jauh dari wilayah ini ke negara Buddha tersebut.

Dialog Umat Buddha-Muslim Modern

Sebagai tanggapan terhadap keadaan genting di Thailand selatan dan beragam tantangan di sejumlah wilayah Asia Tenggara, Gerakan Internasional untuk Sebuah Dunia yang Adil dan Lembaga Santi Pracha Dhamma mengadakan pertemuan di Penang, Malaysia pada 1996, yakni sebuah dialog umat Buddha-Muslim yang bertajuk “Pilihan-Pilihan Politik untuk Asia”. Pertemuan ini menitiberatkan penggunaan kebijakan dan nilai rohani turun-temurun dari kedua agama untuk memecahkan masalah-masalah regional.

Pada 2004, pemerintah Thailand membentuk Dewan Rekonsiliasi Nasional sebagai usaha menemukan cara untuk mengakhiri kekerasan di masyarakat. Kemudian, pada November 2005, dewan ini, bersama Pusat Penelitian Perdamaian Universitas Mahidol, mendukung pertemuan “Dialog Agama Buddha-Islam: Kekerasan dan Rekonsiliasi” di Salaya, Thailand.

Kemudian, Gerakan Internasional untuk Sebuah Dunia yang Adil dan Lembaga Santi Pracha Dhamma, bersama Jejaring Internasional Umat Buddha, mendukung pertemuan tindak lanjut “Umat Buddha dan Muslim di Asia Tenggara: Bekerja Menuju Keadilan dan Kedamaian” di Bangkok, Thailand, pada Juni 2006. Pertemuan ini menghasilkan Pernyataan Dusit. Untuk mendorong pemahaman satu sama lain dan keselarasan antarmasyarakat di antara dua kelompok agama dan memberantas ketidaktahuan serta kecurigaan, Pernyataan itu mengusulkan peningkatan upaya di bidang pendidikan, penerbitan, penyebaran informasi melalui media elektronik, dan upaya-upaya oleh para pemimpin agama dan politik untuk memupuk hubungan yang selaras.

Pernyataan Dusit menyimpulkan:

Kekuatan kapitalisme global yang begitu besar adalah “agama” baru yang mengancam memperlemah nilai-nilai universal, rohani, dan susila serta pandangan duniawi yang dihadirkan oleh Buddha, Islam, dan agama lainnya. Inilah alasan umat Buddha, Muslim, dan yang lain harus membangun persatuan dan kesetiakawanan kuat yang akan bisa menawarkan pandangan lain akan peradaban universal yang adil, welas asih, dan manusiawi. Berbekal misi tersebut, dengan ini kami mengumumkan pendirian Komisi Warga Buddha-Muslim untuk Asia Tenggara yang bersifat tetap.

Bagaimanapun, seruan akan pilihan etika lain terhadap kapitalisme global bisa berisiko memberikan kekuatan terhadap sesuatu yang disebut Samuel Huntington sebagai “benturan peradaban”. Pandangan macam ini bisa benar-benar mempersulit dialog dengan kelompok-kelompok lain. Akibatnya, kelompok lintas-iman lain yang tertarik pada dialog umat Buddha-Muslim memusatkan diri pada pendekatan yang lebih universal.

Sebagai tanggapan terhadap perusakan patung-patung Buddha di Bamiyan, misalnya, Keluarga Global untuk Cinta dan Perdamaian, bersama dengan Museum Agama Dunia di Taipei, Taiwan, mendukung Rangkaian Dialog Umat Muslim-Buddha dengan pendekatan yang lebih mencakup banyak hal. Tiga pertemuan pertama diadakan secara berurutan di New York, A. S. pada Maret 2002, Kuala Lumpur, Malaysia pada Mei 2002, dan Jakarta, Indonesia pada Juli 2002. Rangkaian ini diikuti dengan “Pertemuan Dialog Umat Buddha-Muslim tentang Etika Global dan Tata Kelola Pemerintahan yang Baik” yang diadakan di Markas UNESCO di Paris, Prancis pada Mei 2003. Selanjutnya, sebuah simposium tentang “Dharma, Allah, dan Pemerintah: Dialog Umat Buddha-Muslim” diadakan pada Juli 2004 di Barcelona, Spanyol, sebagai bagian dari Parlemen Agama-Agama Dunia. Pada November 2005, “Simposium Dialog Umat Buddha dan Muslim” diadakan di Marrakesh, Maroko, yang diikuti dengan pertemuan umat Muslim-Buddha “Agama-Agama tentang Kehidupan dan Kematian” di Beijing, Cina pada Oktober 2006.

Seruan akan kerjasama damai di antara umat Buddha, Muslim, dan agama-agama lain untuk membangun etika global semua-agama juga menggema di tempat-tempat lain. Sebagai contoh, pada 1996, Daisaku Ikeda, presiden Soka Gakkai International, mendirikan Lembaga Toda untuk Perdamaian dan Kebijakan Global di Tokyo, Jepang dan Honolulu, Hawaii, A. S. Lembaga itu, yang memusatkan diri pada pembangunan “peradaban global” bagi perlindungan semua kehidupan manusia, pemeliharaan lingkungan, dan perkembangan yang selaras dari seluruh masyarakat manusia, mendukung sejumlah pertemuan dan penerbitan. Salah satu penerbitannya adalah Peradaban Global: Dialog Buddha-Islam.

Yang Mulia Dalai Lama Keempat belas juga berulang kali mengajak semua orang, baik pemeluk agama maupun “orang tanpa keyakinan”, untuk memikul “tanggung jawab universal” guna menciptakan dan memelihara dunia yang damai, yang berdasarkan “etika sekuler” yang diterima oleh semua agama dan sistem kemanusiaan. “Etika sekuler” ini berdasarkan pada penegasan kembali nilai-nilai kemanusiaan dasar, seperti harapan yang sama dari setiap orang untuk bahagia dan untuk tidak berduka, dan hak yang sama dari setiap orang untuk menikmati kebahagiaan dan untuk tidak menderita.

Dalam kerangka seruan ini, Yang Mulia ikut ambil bagian dalam sejumlah dialog lintas-iman. Di antaranya adalah dialog-dialog yang berpusat pada hubungan umat Buddha-Muslim, yang dimulai dengan sebuah pertemuan di Dharamsala, India, pada Maret 1995. Saat itu, beliau bertemu dengan Dr. Tirmiziou Diallo, kepala tarekat di Guinea, Afrika Barat, dan membahas welas asih dalam ajaran Buddha dan Sufi. Pertemuan-pertemuan selanjutnya antara lain “Perjumpaan Hati yang Menyinari Welas Asih” di San Fransisco, California, A. S. pada April 2006 dan “Risiko Globalisasi: Apakah Agama Menawarkan Jalan Keluar atau merupakan Bagian dari Masalah? ” di Praha, Republik Ceko, pada Oktober 2006.

Pertemuan-pertemuan terkait persoalan umat Buddha-Muslim juga diadakan para akademisi dengan tujuan mengembangkan pemahaman lebih baik melalui penelitian sejarah. Keikutsertaan saya dalam upaya kerjasama semacam itu dimulai pada Mei 1994 bersama para cendekiawan Muslim di beberapa universitas di Bishkek, Kyrgyzstan dan Alamty, Kazakhstan, yang diikuti dengan sejumlah diskusi di Istanbul, Turki pada Februari 1995. Tujuannya adalah menemukan perincian yang lebih objektif tentang hubungan agama Buddha dengan Islam di Asia Tengah dan anak-benua India, sambil menghindari paparan satu sisi yang hanya menekankan pada kekerasan dan perusakan terhadap wihara-wihara. Pembicaraan tersebut berkembang pada November 1995 dengan pertemuan lanjutan di Kairo, Mesir, Mafraq, Yordania, dan satu kali lagi di Istambul. Kemudian, putaran yang lebih panjang dilaksanakan pada Oktober 1996 dengan kunjungan ke berbagai universitas di Bishkek, Almatia, Kairo, Mafraq, dan Istambul, Konya, Kayseri dan Ankara, Turki. Wawasan yang didapat dari tukar-menukar pengetahuan ini muncul di buku elektronik saya Hubungan Sejarah antara Budaya Buddha dan Islam sebelum Kekaisaran Mongol.

Yang lebih baru, Kuliah-Kuliah Gerald Weisfeld tentang Islam dan Hubungan Lintas-Iman, yang diadakan di Glasglow, Skotlandia pada Oktober-November 2006, yang mencakup makalah berjudul “ Pandangan Muslim terhadap Buddha” dan “Pandangan Buddha terhadap Islam”. Juga dalam kerangka ini, Lembaga Warburg mengadakan pertemuan akademis di London, Inggris pada November 2006 tentang “Islam dan Tibet: Hubungan Budaya”. Dengan demikian, jelas bahwa banyak lembaga di dunia telah mengakui pentingnya memajukan pemahaman lintas-iman antara agama-agama dunia dan sistem kemanusiaan, termasuk Buddha dan Islam.

Harapan untuk Dialog Masa Depan

Menemukan atau menegaskan kembali etika bersama yang bisa membantu mencegah ledakan kekerasan antarmasyarakat di dunia telah menjadi salah satu pokok dalam dialog umat Buddha-Muslim saat ini. Dengan semangat ini, dalam sebuah kuliah umum berjudul “Welas Asih: Sumber Kebahagiaan” yang disampaikan di Madison, Wisconsin, A. S. pada Mei 2007, Yang Mulia Dalai Lama Keempat belas berbicara tentang perlunya menghindari pandangan ekstrem terhadap etika. Salah satu sisi dalam pandangan ini adalah mempertimbangkan etika sebagai wilayah tertutup dari suatu iman agama tertentu; sementara sisi lainnya mempertimbangkan bahwa jika seseorang tidak memiliki iman agama tertentu atau iman agama secara umum, ia tidak memiliki etika sama sekali. Yang Mulia menunjukkan bahwa sebagian Muslim, secara khusus, tampaknya memiliki pandangan ini. Ia lalu menekankan seruannya akan “etika sekuler yang didasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan dasar”, dengan menjelaskan bahwa etika semacam itu tidak meniadakan atau mengancam etika yang didasarkan pada iman. Namun, etika seperti itu memeluk nilai-nilai yang sama dari semua agama dan sistem kemanusiaan. Hal ini disebabkan oleh harapan akan kebahagiaan dan kebebasan dari duka yang berasal dari unsur-unsur biologis sejak lahir, tanpa mempertimbangkan persoalan apakah Tuhan menciptakan kehidupan atau tidak.

Penjelasan Yang Mulia mungkin disebabkan oleh tanggapan banyak pemimpin Muslim terhadap Pernyataan Universal tentang Hak Asasi Manusia, yang dinyatakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1948. Setelah pernyataan itu, Sudan, Pakistan, Iran, dan Arab Saudi mengecamnya karena tidak mempertimbangkan nilai-nilai agama dan budaya non-Barat. Keberatan mereka bermuara pada Pernyataan Kairo tentang Hak Asasi Manusia dalam Islam, yang disetujui oleh 48 negara Islam pada 1990 dalam Organisasi Konferensi Islam. Dokumen ini hanya mengakui hak-hak asasi yang sesuai dengan hukum Islam, Syariah.

Oleh karena itu, bila umat Buddha dan Muslim akan bekerja sama dalam memajukan perdamaian, keselarasan, dan keadilan sosial tidak hanya di antara keduanya, tapi juga di dunia secara luas, mereka perlu menyelidiki lebih lanjut dan membangun berdasarkan landasan bersama yang dimiliki ajaran etika mereka. Tantra Kalacakra telah menyiratkan landasan bersama ini: kedua tata keyakinan menerima bahwa setiap pribadi memikul tanggung jawab atas tindakannya dan bahwa pengikut kedua tata keyakinan menganut etika-etika yang ketat.

Patut dicatat bahwa meskipun naskah-naskah filosofis Buddha India sebelumnya memperdebatkan panjang-lebar keberadaan satu Tuhan Pencipta seperti yang dinyatakan oleh beragam tata keyakinan Hindu, Kalacakra semata mencatat keyakinan Muslim akan Rahman Pencipta, tanpa ada penjelasan lebih lanjut. Tanpa mengulas pertanyaan tentang keberadaan satu pencipta yang mahakuasa, naskah Buddha itu tahu bahwa tidak ada gunanya memperdebatkan apakah aturan etika yang mendasar tentang semesta berasal dari Tuhan atau apakah itu tidak diciptakan. Meskipun di Indonesia, untuk memenuhi syarat sebagai agama yang diakui secara resmi, umat Buddha menjelaskan bahwa Adibuddha dalam Kalacakra adalah sang pencipta, perincian mendalam tentang persoalan ini tampaknya tidak relevan di masa sekarang untuk mendorong kerjasama lintas-iman di hadapan adanya kekerasan yang terjadi sebagaimana di masa lalu ketika naskah-naskah Kalacakra muncul. Persoalan ini mengandung terlalu banyak semangat emosional dari kedua belah pihak dan, bagi sebagian besar umat kedua agama, pembicaraan itu bersifat terlalu filosofis dan kurang memiliki makna di dalam kehidupan dan pengalaman sehari-hari mereka.

Dialog doktrin umat Buddha-Muslim yang lebih relevan, mungkin, adalah persoalan perang suci. Dalam Islam, kata Arab jihad berarti perjuangan yang di dalamnya seseorang harus menanggung kesulitan demi Allah. Meskipun ada sejumlah pengelompokan jihad, sebagian besar Muslim setuju bahwa ada pembagian utama: jihad besar dan jihad kecil. “Jihad besar” adalah sebuah perjuangan batin di dalam jiwa seseorang melawan pemikiran dan dorongan yang bertentangan dengan ajaran Islam. “Jihad kecil” adalah perjuangan bersenjata melawan ancaman dari luar terhadap Islam dan pertahanan diri melawan penindasan yag ditujukan pada diri seseorang, keluarganya, atau masyarakatnya.

Cendekiawan dan ulama Islam memiliki banyak pendapat tentang mana dari dua jenis itu yang lebih mendasar, meskipun tak seorang pun bisa menyangkal bahwa terdapat izin dalam Qur’an untuk melakukan perjuangan bersenjata guna membela Islam. Bagaimanapun, topik doktrin untuk dialog dan kerjasama umat Buddha-Muslim yang mampu berhasil demi mengembangkan perdamaian regional dan global bisa jadi adalah jihad besar. Dalam membela keunggulan jihad besar, beberapa cendekiawan Muslim mengutip hadist:

Beberapa tentara pulang dari peperangan dan menemui Utusan Allah, semoga keselamatan dan kedamaian tercurah kepadanya, keluarganya, dan para sahabatnya. Ia berkata, “Kalian telah datang untuk yang terbaik, dari jihad kecil ke jihad besar. ” Seseorang bertanya, “Apa itu jihad besar? ” Jawabnya, “Perjuangan pelayan melawan nafsunya. ”

Guru India pada abad ke-8, Shantidewa, dalam Memasuki Perilaku Bidhisattwa (Skt. Bodhicharyavatara, bab 5, ayat 12) mengungkapkan pandangan serupa terkait keunggulan melakukan perang batin terhadap perasaan-perasaan mengganggu dalam diri, seperti kemarahan:

Makhluk kejam (ada di mana saja) seperti halnya ruang: tidak mungkin terjadi bahwa aku telah membinasakannya (semua) tapi jika aku membinasakan cita kemarahan itu sendiri ini sama saja aku membinasakan semua musuh itu.

Secara doktrin, agama Buddha berada di posisi yang baik untuk berdialog dengan Islam terkait dengan dua jenis jihad tersebut. Hal ini disebabkan ajaran Buddha juga memuat sesuatu yang mirip dengan jihad kecil. Oleh karena itu, Yang Mulia Dalai Lama Keempat belas telah mengatakan bahwa, bila semua cara damai dan nirkekerasan gagal, kadang kita perlu menggunakan cara paksaan untuk menghentikan kekerasan yang ditujukan pada pihak lain. Namun, dalam keadaan ekstrem seperti itu, dorongan untuk melakukan itu haruslah welas asih bagi korban dan pelaku kekerasan tersebut, bukan kemarahan dan kebencian. Karena, secara umum, kekerasan hanya melahirkan lebih banyak kekerasan, cara nirkekerasan selalu lebih baik.

Yang mungkin juga bisa membantu adalah memperluas wilayah dialog umat Buddha-Muslim terkait jihad untuk mencakup cara-cara guna menghadapi persoalan lingkungan. Sebagai contoh, meskipun cara-cara lahiriah diperlukan untuk memerangi dan menghentikan pemanasan global dan kemunduran lingkungan, perjuangan batin lebih penting untuk mengatasi sikap mementingkan diri sendiri dan keserakahan picik yang memperparah masalah tersebut.

Laku dan Cara Islam yang Bisa Bermanfaat bagi Umat Buddha

Seiring peningkatan dialog lintas-iman, para pengikut beragam agama di dunia mempelajari ajaran dan laku satu sama lain. Sebagian bahkan menemukan bahwa cara-cara tertentu dari agama lain selaras dengan tradisi mereka dan memberikan laku yang mungkin meningkatkan penerapan prinsip-prinsipnya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kerangka ini, sejumlah laku Muslim mungkin bisa bermanfaat untuk diperiksa lebih jauh oleh umat Buddha.

Satu dari lima rukun Islam adalah bagi semua Muslim yang mampu supaya ia melakukan peziarahan – h aji – ke Mekah setidaknya satu kali dalam hidupnya. Selama peziarahan ini, semua laki-laki diwajibkan berpakaian sama, mengenakan dua potong kain berwarna putih dan sandal. Untuk para perempuan tidak ada seperangkat aturan khusus, kecuali pakaian sederhana tradisional sebagaimana dikenakan di negara mereka. Pakaian para lelaki melambangkan kesetaraan semua Muslim, baik kaya maupun miskin, tak peduli aliran ataupun asal negaranya, serta mengingatkan para peziarah akan kesederhanaan, kerendahan hati, dan pemurnian dosa mereka melalui ibadah haji. Peziarah mengikuti seperangkat laku agama terjadwal selama haji dan diwajibkan menjauhkan diri dari tindakan negatif, seperti sengaja melukai orang lain, kegiatan seksual, bertengkar, atau mengumpat.

Banyak pengikut beragam aliran Buddha juga ingin melakukan peziarahan sekali dalam hidup mereka ke Bodh Gaya, tempat suci di India tempat Buddha mencapai pencerahan. Namun, tidak ada seperangkat aturan yang ditetapkan untuk pakaian dan perilaku mereka selama mereka di sana. Mungkin ini adalah gagasan yang menarik, terutama untuk mendorong persatuan di antara umat Buddha dari segala aliran dan negeri, supaya peziarah Buddha menerapkan beberapa aturan haji ke dalam keyakinan Buddha. Meskipun tidak perlu menetapkan ziarah tahunan pada waktu tertentu, semua peziarah awam bisa berpakaian sama secara sederhana saat berada di Bodh Gaya dan mengikuti laku upacara yang bisa diterima oleh semua aliran Buddha.

Rukun Islam lainnya adalah zakat kepada orang miskin sebanyak 2,5% dari semua pendapatan tiap tahun. Semua aliran Buddha, di sisi lain, mengajarkan kemurahan hati sebagai salah satu perilaku mulia atau penyempurna. Untuk menjalankan laku itu, umat awam Buddha sejak dulu memberikan makanan dan bentuk dukungan lain kepada biksu, biksuni, dan wihara mereka. Namun, kemurahan hati yang diarahkan kepada kaum miskin dan kaum yang membutuhkan di dalam masyarakat awam jarang dilakukan. Sejumlah gerakan Buddha mulai muncul akhir-akhir ini untuk mengatasi masalah itu, seperti Yayasan Bantuan Welas Asih Buddha Tzu Chi yang didirikan di Taiwan pada 1966 oleh Guru Cheng Yan dan Jejaring Internasional Keterlibatan Umat Buddha yang didirikan di Thailand pada 1987 oleh Sulak Sivaraksa. Adat Muslim berupa derma yang diatur secara baik menandakan bahwa ada lebih yang bisa dilaksanakan umat Buddha dalam hal ini.

Namun, ajaran Buddha mendorong pelakunya untuk mengembangkan kemurahan hati dan perilaku mulia lainnya berdasarkan dorongan dan inisiatif mereka sendiri. Derma wajib bagi orang miskin akan bertentangan dengan ajaran itu. Bagaimanapun, usulan-usulan terperinci tentang persentase tertentu dari pendapatan seseorang diberikan setiap tahun kepada orang miskin secara umum dan pendirian lembaga sukarelawan untuk membagikan bantuan ini akan sangat berguna.

Yang terakhir, cara bermanfaat lain yang bisa dipelajari umat Buddha dari umat Muslim adalah rehabilitasi pecandu obat-obatan. Di Zanzibar, misalnya, program rehabilitasi mencakup mengisi waktu peserta rehabilitasi dengan laku agama yang diatur, seperti salat lima kali sehari. Ini membantu mereka menghadapi kesulitan-kesulitan dengan raga dan perasaan mereka serta membantu mereka membangun arah yang baru dan lebih positif dalam hidup mereka.

Kecanduan obat-obatan dan penyalahgunaan alkohol meningkat di banyak masyarakat Buddha Asia. Penggunaan heroin yang tinggi tidak hanya di Segitiga Emas Burma/Myanmar, Thailand, dan Laos, tapi juga di tempat-tempat lain. Masyarakat pengungsi Tibet di India dan Nepal, misalnya, telah menyaksikan peningkatan penyalahagunaan obat di antara anak muda yang putus asa. Di Mongolia, kebergantungan alkohol menjadi masalah besar selama puluhan tahun, sementara kecanduan obat pun meningkat. Sebuah program yang mirip dengan yang ada di Zanziabar mungkin bisa bermanfaat untuk menyembuhkan pecandu. Dalam konteks Buddha Indo-Tibet-Mongol, program seperti itu bisa memasukkan laku sujud-sembah dan laku tingkat awal lainnya yang diulang sebanyak ratusan ribu kali untuk pemurnian.

Kesimpulan

Sejak dahulu, para cendekiawan dan pelaku Buddha menunjukkan sedikit ketertarikan atau tidak sama sekali terhadap ajaran Islam. Ini tidak disebabkan oleh sikap puas diri, tapi lebih karena umat Buddha saat itu tidak melihat kebutuhan akan dialog doktrin. Ini disebabkan, tidak seperti hubungan Buddha dengan agama-agama lain, ajaran Buddha tidak menyebar ke dalam wilayah yang banyak dihuni umat Muslim atau bersaing dengan Islam untuk memperoleh dukungan kerajaan. Umat Buddha bahkan tidak melihat perlunya dialog untuk menanggapi perusakan wihara mereka oleh pasukan Muslim di anak-benua India atau untuk menanggapi penyebaran damai agama Islam di wilayah yang banyak dihuni umat Buddha, seperti beberapa wilayah di Asia Tengah dan Indonesia. Umat Buddha selalu bebas untuk pindah agama dan, ketika wihara dihancurkan, dialog doktrin dengan pelaku perusakan itu dianggap tak bermanfaat. Tanggapan serupa dari umat Buddha bisa dilihat dalam peristiwa penindasan dan perusakan yang dilakukan oleh pemerintahan komunis di Rusia, Mongolia, Cina, Vietnam, Laos, dan Kamboja.

Satu-satunya peristiwa sejarah ketika umat Buddha menanggapi persoalan doktrin dengan Islam adalah ketika menghadapi ancaman serbuan dan kekerasan oleh kaum minoritas ekstrem Muslim di akhir abad ke-10. Bahkan dalam keadaan sangat buruk itu, naskah-naskah Buddha tidak mencoba mempermasalahkan keyakinan Islam apa pun, tapi malah berusaha menemukan landasan bersama di anatar dua agama ini supaya kelompk penyerbu itu memiliki pemahaman yang lebih baik tentang pandangan Buddha. Hal serupa, di masa kini, pendekatan yang paling manjur untuk dialog umat Buddha-Muslim mungkin adalah usaha mengenali landasan doktrin bersama untuk mengatasi ancaman kekerasan antarkelompok, konflik bersenjata, pemasanasan global, kemunduran lingkungan, dan penyalahgunaan obat-obatan yang semakin meningkat. Kita berharap, melalui kerjasama damai dan saling pemahaman, jalan keluar untuk masalah-masalah mendesak ini bisa ditemukan.

Catatan Penutup

Dalam sebuah kuliah berjudul “Welas Asih dalam Dunia yang Menjadi Global” di Hamburg, Jerman, pada Juli 2007, Yang Mulia Dalai Lama Keempat belas membicarakan persoalan lain yang sangat penting bagi keberhasilan dialog umat Buddha-Muslim: cara mengatasi perbedaan doktrin dalam beberapa agama yang menyatakan hanya ada satu kebenaran dan beberapa agama lain yang menerima sejumlah kebenaran. Yang Mulia menjelaskan bahwa agama adalah persoalan pribadi sehingga, untuk siapa pun, apa yang ia percayai, sesungguhnya, adalah satu-satunya kebenaran baginya. Namun, kenyatannya terdapat sejumlah agama di dunia dan sejumlah kebenaran yang diyakini oleh pengikut mereka. Ia kemudian mengulas pokok ini:

Teman-teman saya yang beragama Kristen dan Islam, kenyataannya adalah terdapat sejumlah agama dan sejumlah kebenaran yang diajarkan oleh agama tersebut. Ini merupakan kenyataan dan kenyataan lebih kuat daripada apa yang kita inginkan. Dengan demikian, dalam kerangka sejumlah orang dan sejumlah masayarakat, adanya sejumlah agama adalah hal yang tepat. Bagi mereka yang merasa bahwa hanya ada satu kebenaran, satu agama, simpanlah itu untuk diri Anda sendiri. Kemudian, hormatilah agama orang lain, karena agama itu memberikan bantuan besar bagi saudara-saudari kita.

Saya mengagumi, menghargai, dan menghormati semua agama lain―Kristen, Islam, Hindu, Yahudi. Beberapa orang Kristen menganggap saya sebagai seorang Kristen yang baik dan saya melihat beberapa orang Kristen sebagai orang Buddha yang baik. Saya menerima semua laku utama dalam ajaran Kristen: pengampunan, cinta kasih, amal, dan seterusnya. Tapi saya menganggap sebab dan akibat sebagai dasar dari agama, sementara mereka menganggap Tuhan sebagai dasar agama. Saya berkata pada mereka bahwa kemunculan yang bertalian dan kehampaan adalah urusan kami, bukan Anda, tapi semua unsur lain diyakini secara bersama oleh kita. Ini adalah dasar bagi semua keselarasan. 

Pokok-pokok terakhir yang menekankan nilai-nilai etika bersama ini juga relevan untuk keselarasan di antara umat Buddha dan Muslim.

Top