Seimbang Batin terhadap Cara Memperlakukan Diri

Ulasan

Sudah kita bahas cara menyetarakan sikap terhadap diri, agar mampu mengatasi perasaan gelisah yang mengarah pada diri sendiri. Banyak dari kita mengalami rasa rendah diri dan bersikap negatif terhadap diri sendiri. Perasaan gelisah yang pekat ini dapat berupa rasa tidak suka atau bahkan benci pada diri sendiri. Tetapi bukan itu saja perasaan gelisah yang dapat mengarah pada diri kita. Kita juga bisa melebih-lebihkan kehebatan diri (terobsesi dengan diri sendiri) atau bersikap tidak acuh dengan diri sendiri (mengabaikan atau menyangkal kebutuhan diri). Tadi juga telah dibahas seperti apa kita dapat menggunakan cara “menyetarakan dan menukari diri dengan orang lain” untuk mengatasi masalah ini, yang berdasar pada sebuah baris yang terdapat pada naskah Latihan Cita Tujuh Titik, yang berbunyi: “untuk laku memberi dan menanggung, mulailah dari diri sendiri.”

Salah satu pokok bahasan dalam pengembangan keseimbangan batin terhadap diri sendiri adalah pembedaan antara “aku” yang lazim dan “aku” yang palsu. Ingat, kita ingin seimbang terhadap diri sendiri. Itulah arti “keseimbangan batin” di sini. Kita memandang diri tanpa sikap negatif, tanpa sikap positif yang berlebihan “Aku hebat!”, dan tanpa sikap tidak acuh: tanpa keengganan, penolakan, atau rasa jijik, tanpa rasa tertarik, dan tanpa sikap abai.

Kita telah menelaah beberapa kejadian yang pernah kita alami: ketika kita gagal, ketika kita berhasil, dan ketika hal yang terjadi terkesan hambar, biasa-biasa saja. Setiap orang pernah berbuat salah. Setiap orang pernah berhasil. Keberhasilan itu tidak harus dramatis: bisa memasak hidangan yang enak juga bentuk keberhasilan. Dan hidup ini tidak harus dramatis, menakjubkan atau mengerikan. Kenyataannya, hidup rata-rata orang memang biasa-biasa saja.

Perlunya Menyanggah “Aku” yang Palsu

Demikian pula dengan rasa bahagia atau tidak bahagia. Kedua rasa ini tidak harus dramatis. Kadang kita berpikir ia harus pekat, baru bisa terasa. Cara pikir seperti ini membuat banyak orang menggandrungi olahraga ekstrem atau menindik tubuhnya, demi merasakan sensasi yang luar biasa. Kalau tidak, mereka merasa hambar. Tetapi sebetulnya ini berdasar pada keadaan terasing dari rasa. Kalau kita periksa lebih teliti keterasingan ini, kita lihat bahwa ada semacam gagasan rancu mengenai rasa – mengenai siapa kita dan apa arti pengalaman hidup yang sebenarnya. Kita tidak harus mengalami kejadian dramatis untuk merasa ada. Sikap pikir seperti itu adalah sikap pikir yang keliru. Itu mengapa kita harus bisa membedakan antara “aku” yang palsu dan “aku” yang lazim. Ini penting sekali.

Kita cenderung mengenali diri dengan peristiwa-peristiwa kecil dalam hidup kita, atau aspek-aspek kecil di dalam diri kita. Seringnya, peristiwa ini berupa kejadian dramatis, seperti kegagalan atau keberhasilan. Bahkan bisa jadi ekstrem: pengalaman dilecehkan, misalnya. Kita menjadikannya dasar untuk mengenali jati diri kita, atau kita menyangkal dan meredamnya. Namun, mengenali diri dengan sekeping peristiwa saja adalah contoh sempurna “aku” yang palsu. Kita anggap jati diri ini sebagai “aku” dan kita bayangkan ia padu dan nyata, dan seperti itulah selalu kita adanya. Tetapi “aku” yang palsu ini tidak nyata. Ia hanya bayang-bayang khayalan.

Itulah “aku” palsu, yang perlu kita sanggah. “Menyanggah” berarti menganggapnya tidak berarti, tidak nyata. Kita perlu menjauhkan diri dari pikiran yang sesat ini, walau memang tidak mudah untuk melakukannya. Tidak mudah karena kita terlanjur terbiasa membayangkan dan meyakininya. Untuk bisa menjauhinya, kita butuh banyak latihan, sila, semedi, kesadaran pembeda antara kenyataan dan khayalan, dll. dengan dorongan kuat untuk melakukannya. Latihan rohani dalam ajaran Buddha dikhususkan untuk hal-hal seperti ini.

Saat kita menyanggah “aku”, tidak berarti tidak ada lagi yang tersisa. Yang tersisa adalah “aku” yang lazim. Saya ada. Anda ada. Seorang guru Zen akan menunjukkan buktinya lewat cara ini: ia memukul Anda dengan tongkat dan Anda merasakan sakitnya. Jadi, jelas aku ada.

“Aku” yang lazim itu ada di seluruh rentang kehidupan kita. Bukannya ada aku yang seolah padu, terpaku pada sekeping atau sepenggal pengalaman saja, terpisah dari keseluruhan rentang hidup kita. Itu cara pandang yang berbahaya karena dapat menimbulkan perasaan terasing dan mengakibatkan masalah emosi. “Aku” yang lazim adalah “aku” yang ada di sepanjang arus peristiwa dan pengalaman hidup yang silih berganti. Itulah “aku”. Dan aku selalu berubah, tumbuh – makin tua, berubah dari waktu ke waktu – tidak jumud. “Aku” yang lazim berpijak pada seluruh pengalaman hidup kita.

Menghindari Dua Titik Lajat

Ada dua titik lajat (ekstrem) yang perlu kita hindari di sini. Yang pertama adalah nihilisme, penyangkalan atas adanya “aku”. Di titik ini, kita bersikap masa bodoh dengan diri sendiri: kita mengabaikan kebutuhan kita. Kita tidak menganggap diri ada. Kita menafikan keinginan atau kebutuhan kita. Kita tidak peduli dengan batas kemampuan kita, dalam hal hubungan dengan sesama, pekerjaan, dan seterusnya. Menyangkal “aku” yang lazim adalah titik lajat yang pertama. Nihilisme itu berarti: aku tidak ada, bukan siapa-siapa.

Yang kedua adalah sikap membesar-besarkan “aku” yang lazim, sehingga menjadi “aku” yang palsu, lalu mengenali diri dengannya. Di Barat kita menyebutnya “narsisisme”: “Aku ini orang penting. Pikiran dan perasaanku penting, dan semua orang harus tahu.” Seolah semua orang memang ingin tahu. Dewasa ini, sikap narsistik kental terasa di situs jejaring sosial, seperti Facebook dan Twitter. Orang merasa perlu menyiarkan perasaannya tentang semua hal yang terjadi dalam hidupnya. Perasaan yang menyertainya adalah “Aku penting. Aku istimewa. Aku luar biasa.”

Saat kita marah pada diri sendiri, rasa gelisah ini bisa mengarah pada salah satu dari dua titik lajat tadi. Di titik nihilis, kita menyangkal dan menafikan kebutuhan kita: “Aku bodoh dan jahat, tak pantas disukai. Aku tak pantas punya teman atau bahagia, karena aku tak ada baiknya.” Seperti itu wujudnya kalau di titik lajat nihilisme. Kita menyangkal “aku” yang lazim: “Aku tidak ada. Bukan siapa-siapa.”

Amarah yang mengarah pada titik lajat yang lain dapat berakibat timbulnya rasa bersalah yang hebat dan rasa harus menghukum diri sendiri. Secara psikis, wujudnya bisa macam-macam, dan seringnya tidak kita sadari. Salah satunya: secara tidak sadar kita merusak hubungan kita dengan orang lain, memastikan bahwa hubungan tersebut gagal dan selalu gagal. Itu seperti menghukum diri sendiri. Rasa bersalah seperti ini menunjukkan bahwa kita terobsesi dengan “aku”, yang kita lebih-lebihkan menjadi “aku” yang palsu, yang kita bayangkan benar-benar ada dan “jahat”. Kita terpaku pada pikiran “Aku jahat. Perbuatanku jahat” – kita terjerat di situ. Sindrom lain yang lazim terjadi adalah pola makan berlebihan. Tubuh kita jadi terlalu gemuk, tetapi memang itulah tujuannya: supaya orang tidak tertarik dengan kita. Lewat cara-cara seperti inilah sikap negatif terhadap diri sendiri dapat mengarah pada salah satu dari dua titik lajat ini.

Semua ini berkaitan erat dengan bahasan kita mengenai keseimbangan batin. Yang ingin kita capai adalah hal yang di dalam ajaran Buddha disebut “jalan tengah”. “Jalan tengah” bukan berarti setengah nihilis dan setengah narsistik. Bukan itu. “Jalan tengah” berarti melampaui kosokbali ini, menegaskan adanya “aku” yang lazim, dan berhenti mengenali diri dengan “aku” yang palsu. Kita melakukannya dengan mencoba menenangkan atau meredakan semua sikap dan perasaan gelisah terhadap aneka peristiwa dalam hidup kita dan “aku” yang berkaitan dengan peristiwa tersebut.

Seimbang Batin terhadap Cara Kita Memperlakukan Diri Sendiri Selama Ini

Sekarang, mari kita masuk ke latihan keseimbangan batin. Segi berikutnya yang akan kita periksa adalah cara kita memandang diri, cara kita memperlakukan diri – sikap kita terhadap diri secara umum, tidak terbatas pada satu kejadian tertentu saja. Jenisnya bisa tiga. 

Yang pertama, rendah diri. Sikap ini dapat berupa pekik olok-olok kasar di benak kita: “Aku goblok.” “Aku pecundang.” Atau mungkin bahkan lebih kasar dari itu.

Yang kedua, terlalu meninggikan diri – “Aku hebat. Aku istimewa” – sikap yang cenderung terlalu memanjakan diri kita sendiri. Tentu, sikap ini dapat mewujud dalam berbagai cara. “Aku harus selalu diperhatikan,” misalnya. “Aku harus selalu dianggap benar” – dan lain sebagainya. Kita memaksakan kehendak kita.

Yang ketiga, mengabaikan kebutuhan kita. Sikap ini dapat berupa perlakuan tidak adil terhadap diri sendiri. Sering muncul saat kita sedang punya bayi atau anak kecil. Wajar, kebutuhan bayi perlu kita kedepankan, dan kita mungkin perlu sedikit memaksa diri untuk begadang, misalnya. Bukan keadaan seperti itu yang kita maksud di sini. Yang kita maksud adalah sikap perfeksionis dan terlalu memaksakan diri: tidak bersikap makul (realistis) terhadap diri, kebutuhan, dan batas kemampuan sendiri.

Sekarang, mari kita terapkan cara yang kita gunakan kemarin, saat kita mengenang kembali berbagai peristiwa yang terjadi di hidup kita dengan cita yang lebih tenang dan seimbang.

Ketika Kita Merasa Rendah Diri

Pertama, coba bangkitkan kembali rasa rendah diri yang pernah kita alami. Sikap seperti “aku pecundang”, “aku goblok”, yang saya yakin pernah kita alami. Kita mengingat rasa tersebut untuk memeriksanya (bukan berlatih untuk merasakannya). “Aku tidak dicintai. Aku tidak pantas dicintai.” Wujudnya bisa bermacam-macam.

Lalu coba kita telaah: “Kalau aku benar-benar tidak ada baiknya, tidak pantas disayangi, maka setiap orang pasti bersikap seperti itu terhadap diriku. Semua orang tidak menyayangiku, anjingku tidak, ibuku pun tidak. Tapi tunggu dulu. Anjingku menyayangiku, jadi aku masih ada baiknya. Ibuku, semoga saja, juga masih menyayangiku.” Jadi kita lihat bahwa sikap yang selalu negatif terhadap diri sendiri itu tidak punya dasar yang kuat. Tidak ada landasannya, bukan?

Masalahnya begini: saat orang terjerat rasa rendah diri yang pekat, mereka tidak ingat satu pun segi positif dalam diri mereka atau satu orang pun yang sungguh menyayangi mereka – seperti anjing peliharaannya atau siapa pun itu dalam hidupnya – seolah mereka tidak pernah punya teman, hal yang hampir-hampir mustahil terjadi. Kita coba untuk menyeimbangkan sikap ini: “Tidak selamanya aku bersikap negatif terhadap diri sendiri. Kadang keadaannya baik-baik saja.” Pertanyaan tentang mana yang lebih kuat, sikap positif atau sikap negatif, akan kita jajaki nanti; itu persoalan lain. Tetapi kalau kita amati secara objektif, kita sadar bahwa kadang kita tidak berpikir buruk tentang diri sendiri dan malah memperlakukan diri dengan baik – sekalipun sekadar membeli cokelat dan memakannya, karena kita suka. Coba pikirkan hal-hal sederhana seperti itu.

Kita putuskan: “Sungguh tidak ada alasan bagiku untuk selalu merutuki diri, memperlakukan diriku dengan buruk, dan jengkel dengan diri sendiri. Aku bisa memperlakukan diriku dengan baik, contohnya saja, mentraktir diri sendiri makan cokelat.” Kita teguhkan niat, “Aku akan mencoba untuk tidak bermulut tajam atau memperlakukan diriku dengan buruk lagi.” Kita patut tahu bahwa tindakan seperti ini membuat kita tidak bahagia. Dan buat apa kita ingin tidak bahagia? Tidak ada yang ingin tidak bahagia. Kita sudah sering tidak bahagia. Buat apa memperparah keadaan dengan bersikap negatif terhadap diri sendiri?

[Jeda untuk laku]

Ketika Kita Terlalu Meninggikan Diri Sendiri

Lalu kita ingat lagi saat kita terlalu meninggikan diri sendiri, dan menghibur diri dengan tindakan yang berlebihan, makan cokelat berlebihan atau minum minuman keras berlebihan. Kita pikirkan, “Buat apa aku berlebihan seperti itu? Apa karena aku berpikir aku hebat? Tidak selamanya aku berpikir seperti itu, kan? Jadi tidak ada gunanya terlalu berlebihan menghibur diri atau merasa tak pantas.” Ini pokok masalahnya. Di satu sisi kita merasa tidak pantas, “Aku tidak layak menerimanya,” dan di sisi lain kita berlebihan menghibur diri, “Aku hebat, aku pantas makan kue cokelat sepuasnya, aku pantas malas-malasan seminggu penuh.”

[Jeda untuk laku]

Kita tidak ingin seekstrem itu: selalu makan es krim atau selamanya tidak makan es krim. Kadang-kadang boleh, semuanya pada takaran yang wajar. Jangan libur selamanya, jangan pula selamanya tidak libur. Sewajarnya saja. Tentu sebagian besar dari kita tidak sampai ke titik seekstrem itu, tetapi banyak dari kita yang mengarah ke sana. Singkatnya, tidak ada gunanya untuk terus merutuki diri sendiri, “Aku goblok. Aku goblok.” Dan di sisi lain, tidak ada gunanya pula untuk terus memuji-muji diri, “Aku hebat. Aku hebat.”

Ketika Kita Mengabaikan Kebutuhan Kita

Yang ketiga, kita ingat lagi saat kita mengabaikan kebutuhan diri sendiri, seolah kita orang yang tidak punya arti, yang bukan siapa-siapa, dan kita tidak adil dalam memperlakukan diri sendiri. Tentu kita dapat menelaahnya makin dalam lagi. Bisa jadi ada banyak alasan di balik, misalnya, enggan mengungkapkan kebutuhan atau keinginan kita. Bisa jadi kita takut, kalau kita mengungkapkannya, kita akan ditolak atau ditinggalkan. Alasannya beragam.

Selain itu, ketiga kecenderungan ini – merasa rendah diri ini, terlalu memuji diri sendiri, dan mengabaikan diri sendiri – tidak terjadi secara terpisah satu dengan yang lain. Sering ia berupa campuran, seperti dalam contoh ini: “Aku akan mengabaikan kebutuhanku dan diam saja atau tidak peduli dengan batas-batasku (sikap acuh tak acuh) karena aku takut ditolak (sikap rendah diri).”

Coba kita telaah: “Tapi, mengapa aku harus memperlakukan diri secara tidak adil? Aku bukan bukan siapa-siapa, kan? Aku juga punya kebutuhan, persis seperti semua orang lainnya. Aku juga punya batasan, persis seperti semua orang lainnya. Kalau ada kue, kenapa aku tidak boleh dapat sepotong, seperti semua orang lainnya?”

[Jeda untuk laku]

Ada satu pokok lagi yang perlu kita renungkan. “Kalau orang boleh menolakku, kenapa aku tidak boleh menolak orang?” Ini jauh lebih sulit. Tentu saja yang kita maksud dengan menolak di sini adalah menolak secara wajar, bukan menolak tanpa peduli perkaranya. Itu ekstrem namanya. Seperti tadi saya katakan, itu keadaan yang menarik dan sulit untuk ditelaah. “Apakah aku begitu haus akan kasih sayang sehingga takut menolak, karena aku benar-benar ingin disukai?” Apakah itu sikap batin yang mendasarinya? “Aku haus kasih sayang, aku ingin disukai, sehingga aku tidak mau menolak. Aku ingin lebih disayang lagi karena aku tidak cukup atau tidak pernah disayang. Aku sangat membutuhkannya, dan karena itu aku tidak bisa, tidak mau menolak. Aku tidak akan membatasi diri.” Maksudnya di sini batasan dalam hubungan kita dengan orang lain. Jadi saat kita dimanfaatkan orang atau diperlakukan buruk, kita tidak mau menolak karena kita haus kasih sayang, seperti kehausan di tengah padang pasir.

Tapi coba kita pikir, “Seperti apa jadinya kalau keinginan itu menjadi nyata?” Kalau ada orang yang menyayangi kita dan setiap detik ada di dekat kita, lama-lama kita jengkel juga, kan? Di satu sisi, kita merasa tidak pernah cukup. Di sisi lain, kalau berlebihan, jadi menjengkelkan. Bayangkan kalau anjing kesayangan menjilati wajah Anda sepanjang hari. Pasti jengkel rasanya. Anda akan menjauhkannya. Omong-omong, cara Buddha memang seperti ini. Kita pakai contoh yang muskil dan ekstrem untuk menunjukkan: Apa benar itu yang kumau, wajah dijilati anjing sepanjang hari? Kekasih kita berkata, “Oh, sayang, kau luar biasa!” lalu memeluk dan membelai kita sepanjang hari? Setelah beberapa saat, kita tentu berkata, “Sudah, sudah!”

Mungkin Anda merasa: “Kalau sedikit saja, apa tidak boleh?” Tapi sedikit saja tidak pernah cukup. Di situlah letak kepelikannya. Berapa banyak makanan kesukaan yang harus kita makan agar tetap terasa nikmat? Itu pertanyaan menarik. Apakah sesendok penuh cukup? Dari contoh itu, kita bisa lihat bahwa kita tidak pernah merasa puas. Coba renungkan.

[Jeda untuk laku]

Membayangkan Ketiganya

Terakhir, kita bayangkan diri mengalami ketiga suasana hati dan ketiga cara memperlakukan diri ini: memaki diri sendiri (“Aku goblok. Aku pecundang”) karena kita bersikap negatif terhadap diri sendiri, lalu terlalu meninggikan diri (“Aku luar biasa. Aku hebat. Aku istimewa”), dan menafikan kebutuhan kita (“Aku bukan siapa-siapa”). Kita coba untuk melihat ketiganya dalam kerangka “Yang ada hanya ‘aku’, ‘aku’ yang lazim.” Tidak ada gunanya menambahkan sikap negatif, sikap terlalu positif, atau sikap acuh tak acuh ke dalamnya. Cara kita memperlakukan diri adalah akibat dari menambahkan sikap seperti itu atau tidak.

Saat menelaah lebih jauh, kita dibawa ke tingkat yang lebih mendasar. Hidup ini naik dan turun, itu wajar. Kadang kita merasa tidak bahagia, kadang kita merasa bahagia – kendati mungkin tidak sampai teramat sangat bahagia – dan kadang seolah kita tidak merasakan apa-apa. Yang penting di sini adalah sadar bahwa ada “aku” dalam seluruh keadaan itu. Itulah dasar bagi “aku”, naik turunnya kehidupan ini. Begitu juga dengan naik turunnya suasana hati, rasa yang kita alami: bahagia, tidak bahagia, dan lain sebagainya. Tidak ada gunanya mengenali diri dengan salah satu darinya: “Aku tak bahagia, maka aku pecundang. Aku tak ada baiknya.” “Aku bahagia, maka aku hebat.” Atau “Aku merasa hambar, maka aku bukan apa-apa.”

Kita putuskan, “Aku tidak akan memperlakukan diriku dengan buruk, tidak pula berlebihan menghibur diri, dengan bermalas-malasan, atau selalu mendapatkan yang kumau, yang kubutuh.” Itu seperti memanjakan diri sendiri. Anak bisa manja kalau selalu dikabulkan semua keinginannya. Kita membuat diri kita manja.

Kita juga memantapkan hati, “Aku tidak akan mengabaikan kebutuhanku. Apa pun perasaan yang kualami – bahagia, tidak bahagia, atau seolah hambar saja – aku akan memperlakukan diriku dengan seimbang. Apa pun suasana hatiku, aku akan bersikap seimbang terhadap diriku. Aku tidak akan terjerat pada titik-titik lajat ini.”

[Jeda untuk laku]

Atas dasar keseimbangan batin inilah, saat tidak ada sikap gelisah, kita bisa mengembangkan sikap yang lebih positif dan sehat terhadap diri kita sendiri. Kita bisa menyadari daya dan kemampuan kita, tanpa menyangkalnya – yang dalam ajaran Buddha kita sebut “sifat-sifat-dasar Buddha” – tetapi tanpa melebih-lebihkannya, “Oh, aku hebat! Aku punya sifat-dasar Buddha. Aku punya daya.” Itu sikap yang berlebihan, “Aku, aku, aku, aku begitu hebat. Begitu istimewa.” Kita semua punya kemampuan – beratnya rintangan yang dihadapi tiap orang mungkin berbeda-beda, tetapi daya dan kemampuan dasar itu ada dalam diri setiap manusia. Kita perlu menyadari kenyataan itu tanpa terlalu mengistimewakannya (“Aku begitu istimewa. Ini begitu luar biasa!”). Seimbanglah menghadapinya. Daya gunakanlah ia dengan sikap yang seimbang, bukan yang gelisah.

Pertanyaan 

Menyemangati Anak untuk Jadi Lebih Baik

Perlukah kita mendorong anak kita agar mereka bisa lebih baik dari teman-temannya? Ataukah lebih baik kalau kita membantu mereka menyadari keterbatasannya dan menjelaskan bahwa mereka sudah baik adanya? 

Itu pertanyaan yang sulit karena, tentu saja, tiap anak pasti berbeda-beda. Membandingkan anak dengan anak lain – “Mengapa kamu di sekolah tidak sepintar abang atau kakakmu?” – kadang justru bisa jadi senjata makan tuan dan membuat anak merasa tidak berharga, sekalipun Anda tidak secara gamblang melakukannya.

Saya pernah lihat ada keluarga yang anak sulungnya bintang di sekolah. Dia pintar dalam olahraga, nilainya selalu bagus, dan sebagainya. Lalu adik-adiknya belajar di sekolah yang sama, dididik guru yang sama. Dan sekalipun orang tua mereka tidak pernah membanding-bandingkan mereka, justru si guru tadi yang melakukannya: “Kenapa kamu tidak sepintar abangmu?” Ini pelik dan sulit sekali.

Jadi, saat menyemangati anak agar tumbuh dan berkembang dengan membandingkan mereka dengan anak lain, kita harus sangat hati-hati supaya tidak kelewatan. Jangan sampai mereka jadi bersikap “Aku tidak cukup baik.” Tetapi saya rasa, saat kita menyemangati anak untuk lebih disiplin atau belajar lebih tekun, dan lebih terampil – baik itu untuk urusan sekolah atau hal yang lain (dan kalau si anak masih terlalu kecil, dia mungkin belum mengerti) – kalau Anda menjelaskan bahwa “Itu akan membuatmu lebih bahagia,” dan bukan “Itu akan membuatmu lebih berhasil” dan lain sebagainya, “Kamu nanti bisa jadi orang yang lebih bahagia,” mungkin itu cara yang lebih bijak. Dan jangan gunakan alasan “Nanti kamu bisa dapat uang banyak.” Kalau seperti itu, nanti jadi masalah. Sederhana saja: “Kamu akan lebih bahagia. Kalau ingin melakukan sesuatu, kamu nanti bisa lebih disiplin dan fokus.”

Sulit memastikan cara itu akan berhasil atau tidak, karena sekalipun Anda yang menjadi contohnya, anak dari orang tua yang sangat berhasil pun kadang merasa kalah. Jadi, sekali lagi, keseimbangan batin sangat penting di sini. Kalau Anda orang tua yang juga pengusaha sukses, jangan terlalu menonjolkan hal itu di depan anak Anda, karena mereka bisa merasa kerdil: “Mana mungkin aku bisa menyamai orang tuaku? Apalagi melebihi? Aku tidak sepintar orang tuaku. Orang tuaku tidak akan sayang kepadaku kalau aku tidak mampu menjadi seperti mereka,” masalahnya jadi pelik. Demikian pula masalahnya kalau Anda berkata, “Nak, Bapak/Ibu ini orang gagal; jadi jangan gagal seperti Bapak/Ibu.” Itu juga bisa aneh nanti. “Kalau aku anak orang gagal, aku pun harus jadi anak gagal agar setia pada tradisi keluarga.” Kacau sekali jadinya.

Jadi keseimbangan batin yang kita bahas di sini punya banyak penerapan positif.

Masalah Nihilisme

Kalau kita nihilis terhadap diri sendiri dan berpikir, “Aku tidak ada. Semua tak ada,” bukankah itu justru bisa menggiring kita ke titik ekstrem yang satunya. “Kalau semua tak ada, semua tak berarti. Aku bisa berbuat sesukaku dan makan es krim sebanyak kumau karena semua tak ada.”

Ya, benar sekali. Sikap acuh tak acuh bisa berakibat banyak hal. Tidak acuh dengan “aku” – “Aku tidak ada. Aku bukan siapa-siapa” (tidak acuh dengan kenyataan) – dapat berujung pada ketidakacuhan tentang sebab dan akibat: “Apa pun yang kuperbuat, tidak masalah. Tidak ada akibatnya.”

Jadi di dalam ajaran Buddha kita mengenal dua jenis ketidakacuhan, atau ketidaksadaran (ketidaksadaran atau kebodohan adalah istilah teknisnya). Yang pertama tentang sebab dan akibat – yang mengacu pada sebab dan akibat berperilaku, bukan hanya hukum fisika saja – dan itu berujung pada perilaku merusak, baik yang merugikan orang lain maupun diri sendiri, karena kita berpikir perbuatan kita tidak ada dampaknya. Lalu ada ketidaksadaran atau kebingungan mengenai kenyataan – caraku mengada, cara setiap orang mengada, cara dunia ini mengada – dan bahwa itulah sebab di balik kesulitan selalu naik-turunnya kehidupan, yang kita sebut “samsara”.

Top