Bagaimana Menjalani Hidup yang Dipersembahkan pada Laku

Seloka 17 sampai 28

Seloka 17: Hidup dalam Kesendirian

Biarlah aku beranjak untuk tinggal di tempat sunyi, di luar batas-batas (kota manapun), dan, seperti bangkai hewan buruan, aku sembunyi dalam kesendirian dan hidup tanpa kemelekatan.

Ini mirip sekali dengan yang dijelaskan Shantidewa dalam naskahnya di bab kedelapan:

(VIII.37) Biarlah aku hidup dalam kesendirian di hutan-hutan yang riang dan permai, dengan tidak banyak masalah, kebahagiaan dan kesejahteraan, meredakan segala gangguan.
(VIII.35) Biarlah raga ini tetap di sini dalam keterasingan, seorang diri, tanpa kawan dekat maupun pertikaian. Jika aku telah dianggap mati, takkan ada orang berkabung ketika aku benar-benar mati.

Di sini Atisha mengatakan bahwa jika kita mau memperbaiki diri, mau beranjak, dan sungguh-sungguh mengembangkan diri, paling baik kalau kita tinggal di tempat sunyi di luar batas-batas kota manapun – inilah makna kata "wihara" dalam bahasa Tibet: tempat yang sunyi di luar kota – dan menjadi seperti bangkai hewan mati. Itu berarti, seperti dijelaskan Shantidewa, kalau kita sudah dianggap mati, maka tidak akan ada lagi pelayat yang menyela kita dan bertingkah berlebihan di sekitar kita ketika kita sekarat.

Kita akan mampu menjalankan laku dengan benar demi kehidupan-kehidupan kita di masa depan apabila kita menyembunyikan diri dalam kesendirian dan hidup tanpa kemelekatan. Nah, tentu saja, tidak semua kita mampu melakukannya. Yang Mulia sering berkata bahwa hanya sejumlah kecil orang saja yang merasa cenderung mampu hidup dalam kesendirian dan membaktikan hidup mereka pada meditasi; bagi kebanyakan dari kita, lebih baik tinggal di dalam masyarakat dan terlibat sebanyak yang kita bisa dalam menolong orang lain. Namun, kadang-kadang ada baiknya kita mengikuti undur-diri sejenak – tinggal di tempat sunyi dan bermeditasi, mengerjakan penulisan hal-hal yang berkaitan dengan Dharma, atau melakukan kegiatan membangun lain yang ingin kita kerjakan. Memikirkan para guru besar di masa lampau – dan sebagian di masa kini juga – yang telah hidup seperti ini memberi kita ilham yang kuat.

Khususnya bagi para pemula, keadaan yang cukup sunyi kiranya lebih baik karena tidak banyak gangguan. Namun, jangan membayangkan hal-hal yang terlalu romantis tentang India dan Nepal, ini bukan tempat yang sunyi. Kedua tempat itu adalah Negeri Bunyi. Wihara-wihara Tibet riuh sekali dengan suara. Setiap orang menjalankan lakunya dengan suara lantang. Dan sekalipun kita berada di tempat yang sunyi sendiri, tentu kita bisa saja direcoki dengan suara-suara bising di kepala kita. Jadi tidak ada jaminan bahwa kalau di luar sunyi, maka di dalam diri kita akan sunyi pula. Tapi apabila di luar sunyi, keadaan ini akan berguna bagi banyak orang.

Seloka 18: Mengatasi Kemalasan

Menjalankan Laku Harian yang Mantap

(Di sana), biarlah aku senantiasa mantap bersama sosok-Buddhaku.

Di sana, – itu mengacu pada kesendirian, di tempat yang sunyi dan sepi – biarlah aku senantiasa mantap bersama sosok-Buddhaku. Inilah satu lagi petunjuk laku tantra yang diperkenalkan Atisha.

Ia berkata, "Biarlah aku senantiasa mantap." Yang kita perlukan untuk memperoleh kemantapan adalah laku meditasi harian, apapun laku meditasi harian itu. Khususnya ketika kita menjalani kehidupan yang sangat sibuk dan kita mengerjakan begitu banyak hal, maka akan sangat berguna kalau kita menjalankan satu laku yang tetap setiap hari. Tidak peduli apapun kegilaan yang sedang berlangsung dalam hidup kita, kita memiliki tataran batin yang mantap ini – tempat yang mantap untuk kita tuju. Ini memberi kita rasa keberlanjutan. Ini sangat penting bagi kemantapan.

Dan kalau kita berupaya dengan sosok-Buddha, “yidam,” seperti dalam tantra, yang kita kerjakan adalah meninggalkan citra-diri hidup sibuk kita yang lama, dan menganut citra-diri baru – tentu saja atas dasar pemahaman akan sunyata, bodhicita, dan penyerahan. Citra-diri seorang Buddha yang ada dalam rupa sosok-Buddha seperti Avalokiteshvara atau Tara, yang mengejawantahkan berbagai sifat yang kita perjuangkan untuk mencapainya.

Ketika kita beranjak ke tempat yang sepi, penting sekali bagi kita untuk “memisahkan,” seperti dikatakan Shantidewa, raga dan cita kita dari segala macam kesibukan.

(VIII.89) Setelah mempertimbangkan, dengan segi-segi seperti ini dan lainnya, manfaat dari memisahkan (diriku), sehingga meredakan sepenuhnya pikiran-pikiranku yang melantur, aku akan bermeditasi atas bodhicita.

Tidak hanya raga kita saja yang beranjak ke tempat sepi. Kita juga memisahkan cita kita dari semua hubungan, kemelekatan dan seterusnya. Kita memisahkan cita kita dari citra-diri yang kita miliki di tempat yang kita tinggalkan. Itulah mengapa berupaya dengan sesosok-Buddha sangat berguna untuk mengganti citra-diri samsarawi itu dengan citra-diri yang lebih "nirwanawi," jika boleh menggunakan kata itu, kita tidak lagi memiliki semua hubungan negatif, negatif dalam arti perasaan gelisah. Sosok Buddha melambangkan pencerahan kita di masa depan yang hendak kita capai dengan Bodhicita.

Mengingatkan Diri Sendiri akan Kekurangan Kita agar Bangkit dari Kemalasan

Dan kapanpun perasaan malas atau lelah muncul, biarlah kuhitung kekuranganku

Seperti yang kerap saya katakan, sampai kita menjadi seorang arhat, samsara akan terus naik dan turun. Itulah sifat samsara. Kadang kita merasa ingin bermeditasi, kadang tidak. Kadang keadaan berjalan baik, kadang tidak. Kadang kita merasa malas dan lelah, lain waktu tidak. Yang penting adalah kita lanjut terus saja. Seperti dinyatakan di seloka sebelumnya, kita menganggap semua itu sebagai khayalan. Jangan membesar-besarkan naik dan turun itu. Teruskan saja.

Untuk membantu kita melewati kemalasan dan rasa lelah itu, Atisha mengatakan untuk menghitung kekurangan kita. Dengan kata lain, kita mengingatkan diri sendiri bahwa kemalasan dan rasa lelah ini merupakan kekurangan. Itu adalah rintangan, sesuatu yang ingin kita atasi. Dengan begitu, kita ingatkan diri kita tentang dorongan kita untuk bermeditasi: kita ingin mengatasi hal-hal seperti kemalasan, lesu semangat, rasa lelah, dan rasa mengasihani diri, dan melatih cita kita agar tidak terusik oleh kemelekatan, amarah, dan sebagainya.

Dengan mengingatkan diri kita bahwa, "Hei, justru karena itulah aku duduk di sini. Justru karena itulah aku ingin bermeditasi – karena aku merasa malas dan tidak mau melakukan hal yang membangun," kita menegaskan kembali dorongan kita, dan itu memberi kita kekuatan untuk mendesak maju. Itu merupakan bagian dari kegigihan – kita menerima bahwa samsara akan naik dan turun; kita menerima kesulitan itu. Kita tidak memiliki khayalan tentang itu. Kita terus maju; kita mengerahkan upaya.

Begitu kita telah mengingatkan diri sendiri tentang dorongan kita untuk mengatasi kekurangan-kekurangan itu, kemudian:

Memperbaiki Diri Kita dengan Tertib-Diri

Dan biarlah kuingatkan diriku akan pokok-pokok inti dari penjinakan perilaku.

Itu mengacu pada sila, tertib-diri untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan kita. Yang dijelaskan di sini adalah bahwa kita perlu mengenali kesalahan-kesalahan kita, kekurangan-kekurangan kita, saat itu muncul dan kemudian ingat untuk memperbaikinya sendiri. Itulah yang kerap kita sebut sebagai "guru batin." Kita tidak butuh seorang guru luar untuk memperbaiki diri kita. Kita tidak butuh polisi atau ibu atau ayah. Kita sendiri bisa mengenali ketika kita bertindak dalam cara yang tidak sejalan dengan apa yang kita perjuangkan, ketika kita bertindak dalam cara yang tidak membangun.

Kemudian kita memperbaiknya. Jangan gentar, lakukan saja, seperti kata ibu saya, "lurus ke atas dan ke bawah." Lakukan saja. Ini ibarat kita hendak mandi tapi airnya dingin – “Lakukan saja; langsung guyur saja. Pilihannya mandi atau tidak mandi. Kalau kamu mau mandi, lakukan saja.

Seloka 19: Bersikap Ramah dan Bersahabat ketika Bertemu Orang lain

Tapi apabila aku kebetulan bertemu orang lain, biarlah aku bicara dengan tenang, lembut, dan tulus, menghindarkan diri dari sesungut atau raut tertutup, dan senantiasa tersenyum.

Ini lagi-lagi mengingatkan kita pada naskah Santidewa.

(V.71) Maka aku akan memiliki kendali-diri dan selalu menghadirkan wajah yang tersenyum. Aku akan berhenti bersungut dan menyeringai (untuk mencela), aku akan bersikap ramah pada makhluk-makhluk kelana, dan bersikap jujur.

Sekalipun kita hidup dan menjalankan laku dalam kesendirian, sudah pasti kita akan bertemu dengan orang lain. Ketika kita melakukan interaksi dengan mereka, penting bagi kita untuk tetap tenang dan lembut. Kalau kita mantap dalam laku kita, kita akan tenang, dan ini membuat orang lain tidak tegang.

Namun, penting bagi kita untuk tidak jadi kaku ketika kita bersikap tenang. Sebagai contoh, sekembalinya saya kembali ke Amerika setelah beberapa tahun pertama saya tinggal di India, saya menghabiskan beberapa waktu bersama kakak perempuan saya. Tanggapan kakak saya saat itu, "Kau tenang sekali, sampai aku mau muntah." Dia menganggap saya seperti mayat hidup, tenang sepanjang waktu dan tidak menunjukkan rasa girang atau semacamnya – kakak saya itu memang perempuan yang sangat emosional. Jadi, bersikap tenang dan lembut bukan berarti kita tidak punya raut apapun di wajah kita dan berjalan-jalan seperti mayat hidup.  Kita tetap perlu menunjukkan raut wajah dan menanggapi orang lain.

Berbicara tentang raut wajah, seloka ini mengatakan "menghindarkan diri dari sesungut atau raut tertutup. Ini terutama ketika kita jumawa – kita berpikir betapa menakjubkannya kita karena “Aku mengikuti jalan rohani." Kita memandang rendah orang lain dengan wajah masam, "Oh, kamu menggeluti bisnis?" atau hal-hal yang bersifat samsarawi. "Kamu masih minum bir?" "Kamu masih minum anggur?" Dan kita memasang tampang mencibir yang memandang rendah orang lain.

Jadi kita perlu selalu tersenyum. Ini bukan berarti senyum lebar dengan memperlihatkan gigi seperti yang kita lihat dalam iklan, senyuman yang sepenuhnya palsu. Alih-alih kita mesti, seperti dikatakan Atisha, bersikap tulus, bicara dari hati dan tidak berpura-pura, tidak berlagak dan tidak mencibir atau semacamnya. Seperti yang selalu dikatakan Yang Mulia, inilah sukacita bertemu manusia lain, manusia bertemu manusia.

Dalam latihan kepekaan, dalam salah satu bagiannya, kita mencoba mengamati raut wajah kita. Kita mencoba melihat apakah kita berwajah masam atau mengerutkan dahi atau mulut kita. Jika kita melihat bahwa otot-otot wajah kita tegang, kita mencoba mengendurkan wajah, mengendurkan raut kita. Ini penting sekali, karena kerap kita dapati bahwa dengan sendirinya wajah kita jadi sesungutan atau menunjukkan raut tidak setuju. Itu kentara. Kita tidak melihatnya, tapi orang lain melihatnya.

Di sisi lain, raut wajah kita bisa berubah ke lajat lainnya hingga jadi keterlaluan. Kita bisa melihat lajat itu pada orang lain ketika, misalnya, kita mengatakan sesuatu dan orang itu menanggapi berlebihan dengan raut wajahnya dan membuat Anda merasa sangat tidak nyaman, "Orang ini lebih kesal dengan perkataanku dibanding aku sendiri."

Seloka 20: Bermurah Hati dan Tidak Bersaing dengan Mereka yang Hidup dan Menjalankan Laku bersama Kita

Dan ketika aku terus bertemu orang lain, biarlah aku tidak menjadi kikir, tapi bersukacita dalam memberi, dan menghindarkan diri dari segala iri.

Kadang kita hidup besama orang lain, baik itu dalam keadaan undur-diri bersama orang-orang yang serupa-cita, atau dengan orang lain yang melakukan hal lain. Ketika kita terus bertemu mereka, maka penting bagi kita untuk tidak kikir dengan benda milik kita, "Ini punyaku; kau tak boleh memakainya," "Ini makananku yang di kulkas ini," dan "Ini kursiku" – itu terdengar seperti Tiga Beruang Kecil – "Ini kursiku; tadi ada yang duduk di kursiku, tadi ada yang tidur di kasurku!" Ini menyebabkan ketidaknyamanan dan memengaruhi hubungan dengan orang yang hidup bersama kita.

Tapi bersukacitalah dalam memberi – kita bersukacita dalam berbagi dengan orang lain. Kita juga menghindarkan diri dari segala iri. Ini berarti iri dengan yang dimiliki orang lain: "Aku ingin menggunakan semua punyamu karena lebih bagus dari punyaku" – hal-hal seperti ini. Nasihat ini tentu saja tidaklah gampang dijalankan karena kerap kali ada orang-orang yang ingin memanfaatkan kita, yang selalu ingin memakai barang-barang kita dan bukannya memakai barang-barang mereka sendiri dan seterusnya. Ini memerlukan kesabaran yang besar.

Ini sungguh sangat menarik: Dengan orang yang benar-benar kita suka dan dekat, kita bersedia berbagi segalanya, bahkan sikat gigi kita. Sementara, dengan orang yang kita rasa tidak begitu dekat, kita tidak mau berbagi. Kita bahkan tidak bersedia duduk semeja dengannya. Jadi, kemampuan kita untuk menjalankan nasihat ini akan bergantung pada menyetarakan sikap kita terhadap orang lain.

Ketika kita memang harus menarik garis batas tertentu, maka kita coba mendasarkan batas itu pada mana yang membangun dan mana yang merusak. Misalnya, kita tidak mau berbagi komputer dengan anak kecil, karena mereka pasti hanya akan merusaknya, atau berbagi dengan orang yang tidak bertanggung jawab yang juga bakal merusaknya. Namun, dalam batasan-batasan mana yang tidak merusak, maka berbagi itu penting. Seperti saya katakan, tidak mudah untuk sungguh-sungguh menjalankan ini ke dalam laku. 

Tapi bersukacita dalam memberi – itulah kuncinya. Kita bahagia karena berbagi. Sebagian besar dari kita tahu seperti apa rasanya, karena sebagian besar dari kita pernah mengalami itu. Ketika kita benar-benar mengasihi seseorang, kita bahagia sekali memberi mereka sesuatu. Kita sangat bahagia ketika mereka menerimanya dan melihat bahwa pemberian kita itu berguna. Maka, kita mencoba luaskan rasa ingin berbagi ini kepada mereka yang kita tidak merasa dekat. Dengan cara seperti ini – tidak kikir, tidak iri pada apa yang dimiliki orang, dan bahagia dalam memberi – kita menjadi sangat ramah.

Di sisi lain, kita harus kuat dan tegar layaknya seekor banteng dalam menjaga laku kita. Jika seseorang menginginkan semua waktu yang kita punya, sehingga kita tidak bisa menjalankan laku harian kita, kita harus menentukan batas-batas. Atau jika mereka ingin menggunakan mangkuk sesaji kita sebagai asbak, jangan dibiarkan; jangan berbagi seperti itu. Jadi kita harus tegar dalam hal laku kita dan tdak membiarkan orang lain melampaui batas-batas tertentu.

Geshe Ngawang Dhargyey mengutip ungkapan Tibet yang berbunyi: "Jangan berikan tali kekangmu kepada orang lain. Jagalah agar tali itu tetap di tanganmu." Seekor banteng atau kerbau punya cincin yang ditindikkan ke hidungnya. Ada tali yang melewati lubang cincin itu, dan banteng itu harus pergi ke manapun orang membawanya. Jadi ungkapan itu, "Jangan serahkan tali itu ke tangan orang lain. Genggamlah tali itu dengan tanganmu sendiri." Dengan kata lain, "Kau adalah tuan dari perbuatanmu sendiri." Sehubungan dengan ini, Atisha mengatakan:

Seloka 21: Bersabar pada Orang Lain

Untuk menjaga cita orang lain, biarlah aku menghindarkan diri dari segala pertikaian dan senantiasa memiliki tenggang-rasa penuh kesabaran.

Kita mencoba menyenangkan hati orang lain, membuat mereka bahagia dan tidak menentang mereka. Itulah arti pertikaian – menentang seseorang dan mendebat mereka. Tsongkhapa mengatakannya dengan sangat bagus, "Jika kau setuju dengan orang lain, berakhirlah silang-pendapat." Setujui saja, "Aku setuju denganmu, aku tidak akan membantahmu." Maka selesai sudah. Lagi-lagi, ini bergantung pada apa persoalannya. Namun pada umumnya, terutama jika orang itu tidak bersedia mendengarkan dan berpikiran tertutup – dan sekalipun mereka mengatakan sesuatu yang betul-betul menyakitkan – kita hanya berkata, "Ya, ya." Tidak ada gunanya berdebat.

Ini kembali balik ke baris tadi– yang aslinya dari Karangan Mulia (Skt. Ratnavali) karya Nagarjuna – "menerima kekalahan untuk diri sendiri dan memberikan kemenangan bagi orang lain." Ini merupakan salah satu kalimat pusat dalam Latihan-Cita 8-Seloka.

(5) Ketika orang lain, akibat iri, memperlakukanku secara tidak adil dengan cacian, hinaan, dan lainnya, semoga aku menerima kekalahan atas diriku ini dan memberikan kemenangan kepada orang lain.

Ini adalah nasihat yang amat penting dan berguna. Kita menerima kekalahan atas diri kita: “Baik, aku salah. Kau benar.” Apa bedanya? Kita tidak selalu memenangkan suatu perdebatan. Inilah inti dari baris terakhir dalam seloka di atas.

Bagaimanapun, ada batas-batas tertentu. Apabila seseorang hendak melakukan sesuatu yang merusak, maka kita harus membuat batasan. Jika seseorang berkata, "Ayo pergi menembak kanguru,” kita membuat batasan. Kita berkata, "Tidak." Kita tidak menyetujuinya. Namun, kalau mereka bilang, "Langit itu hijau," dan kita bilang, "Bukan, langit itu biru," tidak ada gunanya beradu-pendapat. Siapa peduli? Ini sesuai terutama ketika terjadi perselisihan politik atau agama, dan orang lain tidak mendengarkan apapun yang kita katakan. Buat apa? Itu kemudian jadi obrolan remeh tiada guna yang terus dan terus berlanjut. Jadi bilang saja, "Ya, ayo bicarakan hal lain saja." Lalu selesai sudah.

Bahkan ketika seseorang mengecam kita atau menunjukkan kesalahan atau kegagalan yang kita buat, kita jangan mendebat. Katakan saja, "Terima kasih. Terima kasih telah menunjukkannya," tanpa peduli yang mereka katakan benar atau tidak. Tidak ada gunanya kita membela diri. Dan seringkali, yang mereka katakan itu memang benar. Terutama jangan membela diri jika mereka mengatakan sesuatu untuk melukai hati kita, atau agresif, atau semacamnya. Jika balasan kita, "Terima kasih telah menunjukkan kesalahanku," maka itu akan menghapuskan semua sikap bermusuhan. Itu mengakhiri perselisihan.

Namun, jika seseorang menyalahkan kita karena melakukan suatu hal, jangan berterima kasih tanpa menelaah apakah yang mereka tuduhkan itu benar atau tidak. Tentu saja kita perlu menelaah hal-hal seperti itu, kita perlu menggunakan pembedaan. Kalau orang bilang, "Kamu mengambil pulpenku," padahal kita tidak mengambilnya, jangan bilang, "Terima kasih." Karena kemudian mereka akan berkata, "Kalau begitu, kembalikan," padahal kita tidak memilikinya. Jadi maksud kita di sini adalah orang yang mengecam kesalahan kita, menyebur kita serakah atau semacamnya. Maka kita berkata, "Maaf, terima kasih telah menunjukkannya. Aku akan memperbaikinya." Jangan membela diri.

Seloka 22: Menjadi Teman dan Guru yang Baik

Jangan Bersikap Plin-Plan dalam Persahabatan Kita

Biarlah aku tidak menjilat, atau plin-plan dalam persahabatan, tapi senantiasa tetap setia.

Ini penting dalam persahabatan. Dalam bahasa Inggris ada istilah fair weather friends (Ind. kawan di cuaca cerah), kawan yang hanya bersikap ramah ketika segala sesuatu berjalan lancar dan ketika kita sedang dalam keadaan baik; tapi ketika Anda sedang dirudung masalah dan tidak bersikap menyenangkan, mereka mencampakkan kita – mereka meninggalkan kita. Jadi, ketika orang mengatakan hal buruk, melakukan kesalahan, atau melukai kita, penting bagi kita untuk berkeinginan agar mereka bahagia.

Namun, kita juga jangan menjilat. “Menjilat” berarti memuji secara berlebihan. Kita memuji orang itu, terutama ketika mereka sedang baik – tapi kemudian kita meninggalkan mereka ketika mereka bersikap tidak menyenangkan.

Bersikap plin-plan dalam persahabatan berarti kita terus-menerus bergonta-ganti kawan. Kita meninggalkan kawan dan berpindah ke kawan lainnya. Itu seperti melakukan penaklukan baru, khususnya ketika ada unsur seksualitas terlibat di sana.

Semua ini menandakan bahwa persahabatan kita tidak mantap. Entah kita tidak yakin bahwa orang itu sahabat kita, atau kita tidak tulus. Jadi, dalam pengertian itu, kita harus tetap setia – tidak hanya ketika cuaca cerah melainkan juga ketika cuaca buruk, dan tidak hanya ketika mereka berlaku baik melainkan juga ketika mereka membuat kesalahan.

Menghormati Kawan Kita

Biarlah aku menghindarkan diri dari mencela orang lain, dan tetap bersikap hormat.

Sebagian orang hanya bersikap ramah dengan orang-orang kaya dan punya kuasa saja, orang-orang yang bisa mendatangkan manfaat. Kemudian, ketika ternyata mereka tidak dapat manfaat apa-apa dari mereka – rekomendasi, uang, peluang, seks, atau apapun – maka mereka mencampakkannya. Mereka mencela dan memandang rendah orang-orang yang tidak mendatangkan keuntungan bagi mereka, dan mereka tidak mau bersikap ramah dengan orang-orang itu.

Di sini, Atisha memiliki susunan kasta. Jangan menggolongkan orang ke dalam kasta-kasta: "Aku hanya bisa ramah dengan orang sekasta,” “Aku hanya bisa ramah dengan orang yang seusia atau orang yang sekelas sosial denganku" – atau apapun itu. Namun, tetaplah bersikap hormat kepada setiap orang. Siapa saja bisa jadi kawan dekat kita.

Apa yang kita lakukan ketika orang lain datang hanya untuk memanfaatkan kita – orang-orang yang hanya ingin memperoleh sesuatu dari kita, dan ketika mereka tidak lagi menganggap kita berguna, mereka pergi? Pertama-tama, kalau kita menjalankan laku sebagai seorang bodhisattwa, maka kita bahagia karena mereka datang kepada kita. Kita bahagia jika kita bisa membantu mereka. Jika mereka pergi – merekalah yang rugi. Mereka yang rugi. Dan sayang sekali mereka tidak lagi terbuka terhadap bantuan kita.

Ini khususnya berlaku bagi seorang guru. Ini merupakan masalah besar yang dihadapi banyak guru Dharma di Barat. Banyak orang datang dan menjadi muridnya selama beberapa waktu, tapi kemudian mereka pergi dan tidak datang lagi. Banyak guru jadi kesal karena hal itu. Mereka bertanya-tanya, "Mengapa mereka tidak datang lagi? Apa yang terjadi? Apakah aku melakukan kesalahan?" Dalam hal ini, kita harus berpikir dalam kerangka, "Ya, mereka sendiri yang rugi. Mereka diterima di sini, kalau mereka tidak datang, berarti itu karena karma mereka. Kalau mereka cuma mau memanfaatkan aku, itu kekurangan mereka. Aku ada untuk membantu mereka, terserah mereka hanya ingin memanfaatkanku atau tidak."

Nah, mengenai pemanfaatan ini – kita berikan yang sesuai saja. Jangan pernah memberi secara berlebihan, yang bisa membawa celaka bagi mereka atau bagi kita. Jangan biarkan mereka memeras kita sampai kering. Kita perlu menentukan batasan. Seperti yang pernah dikatakan Ringu Tulku dengan bagus sekali, begitu banyak orang meminta segala macam hal kepada kita, tapi hanya sedikit yang bisa kita penuhi – kita belum bisa memperbanyak diri kita menjadi jutaan rupa pada saat yang sama; kita belum menjadi seorang Buddha. Tapi, setidaknya kita mencoba memberi mereka sesuatu, sedikit hal, sehingga kita tidak sepenuhnya menolak mereka.

Ketika kita harus mengatakan kepada seseorang bahwa kita tidak mampu melakukan sesuatu, saya teringat sebuah baris yang bagus dari Miss Manners. Miss Manners adalah seorang ratu kolom etika di sebuah suratkabar Amerika tempat bertanya mengenai etika. Miss Manners, "Miss Good Manners" berkata bahwa dalam keadaan seperti itu bilang saja, "Maaf sekali." Kita jangan berdalih. Kita jangan memberi alasan kenapa kita tidak mampu membantu. Bilang saja, "Oh, maaf sekali. Saya tidak akan mampu melakukannya." Jangan jelaskan. Kalau kita ingin menjelaskan, maka mereka akan menyanggahnya, sehingga kita harus bersikap membela diri. Katakan saja, "Maaf sekali." Sungguh guru yang luar biasa Miss Manners ini.

Memberi Nasihat atau Ajaran dengan Dorongan Tunggal untuk Menolong

Lalu, ketika menyampaikan arahan pedoman kepada orang lain, biarlah aku memiliki welas asih dan cita untuk menolong.

Jika kita memberi nasihat dan ajaran pada orang lain – tidak harus secara resmi – lakukan itu secara cuma-Cuma, jangan lakukan itu demi uang atau ketenaran. Juga jangan lakukan itu karena kita ingin orang lain menyukai kita atau tergantung pada kita, ini merupakan kesalahan yang lebih berat. Nasihat kita akan menjadi lebih tulus jika kita menghindari semua hal itu.

Lalu, mengenai bagaimana sebetulnya kita memilih jenis laku Dharma untuk kita ikuti, Atisha berkata:

Seloka 23: Memilih Laku Apa yang hendak Dijalankan

Biarlah aku tak pernah menyangkal Dharma dan, mengatur niatku pada yang manapun yang sungguh kukagumi, biarlah aku berusaha untuk membagi hari dan malamku melalui gerbang-gerbang sepuluh tindakan Dharma.

Kita perlu menyadari bahwa Buddha mengajarkan begitu banyak cara, begitu banyak laku; oleh karena itu, kita jangan menyangkal satu pun ajaran itu. Kita jangan berkata, "Ini bukan ajaran Buddha," atau "Ini tidak berguna," atau "Ini hal yang tidak patut dijalankan." Kita harus bersikap terbuka dan menerima semua ajaran Dharma.

Dalam keseluruhan rentang laku Buddha, kita memilih yang sesuai untuk kita, yang betul-betul kita kagumi dan yang dirasa memiliki suatu hubungan dengan kita – baik itu gaya Tibet, gaya Theravada, atau gaya Zen, atau dalam ajaran Buddha Tibet itu sendiri, entah dari aliran ini atau aliran itu, entah itu Guru Rinpoche atau Tsongkhapa. Apapun itu tidak ada bedanya. Semua itu sama-sama mampu membawa kita menuju kebebasan dan pencerahan.

Kita perlu mencari mana yang paling cocok dengan kita dan mana yang bisa kita penuhi, mana yang bisa sungguh-sungguh kita kagumi. “Kagum” adalah kata yang juga berarti "keyakinan teguh." Kita yakin betul bahwa ini cocok dengan kita. Kita tidak akan terpengaruh dengan seberapa tenar itu, atau apakah teman-teman kita menyukainya, dan seterusnya. Kita benar-benar percaya tentang mana yang paling sesuai dengan kita, dan kemudian mengerahkan segenap hati kita untuknya.

Sepuluh Tindakan Dharma

Membagi siang dan malamku dalam menjalankan sepuluh tindakan Dharma ini – tidak berarti setiap hari kita harus melakukan kesepuluh tindakan itu.  "Siang dan malam" hanya berarti “waktu yang kita miliki.” Jadi, kita mencoba membaktikan waktu kita untuk jenis laku yang paling sesuai dengan kita. Laku apa yang dapat kita kerjakan? Ada sepuluh tindakan Dharma:

  1. “Menyalin kitab suci” – ini bukan berarti memfotokopinya. Di masa lampau, ini berarti menuliskan ulang kitab-kitab, karena pada waktu itu belum ada versi cetak sehingga membuat salinan tulisan tangan menjadikan naskah itu tersedia bagi lebih banyak orang. Kini pun ketika versi tulis tersedia, menuliskan atau mengetik ulang naskah-naskah itu bisa bermanfaat sekali untuk mengakrabkan kita dengan isinya, terutama kitab atau ajaran mengenai jenis laku yang kita minati.
  2. “Membuat persembahan kepada Triratna" ini selalu bagus untuk dilakukan, tapi kita juga bisa membuat persembahan berupa dorongan: "Semoga aku mampu menjalankan laku dengan baik."
  3. “Memberi kepada yang miskin dan sakit” – ini juga umum sifatnya, yang dalam laku Mahayana adalah hal yang akan kita lakukan dalam perkara apapun.
  4. “Mendengarkan ajaran” tentang pokok-pokok yang amat kita kagumi dan yakini.
  5. “Membaca kitab suci” tentang ajaran-ajaran yang kita kagumi.
  6. “Menyelami intisari ajaran lewat meditasi” – bermeditasilah dan jalankan jenis laku yang berkaitan dengan ajaran atau gaya yang cocok untuk kita.
  7. “Menjelaskan ajaran” – jika kita mampu menjelaskan suatu ajaran, atau jika kita mampu berbagi dan membahasnya dengan orang lain yang juga berminat dengan jenis ajaran itu.
  8. “Mendaras sutra” – ini juga sangat mengilhami. Mendaras naskah-naskah yang berkenaan dengan pokok yang kita minati – baik itu puja, puji, sutra, atau apa saja – sangatlah mengilhami, terutama ketika kita melakukannya dalam kelompok.
  9. “Merenungkan makna naskah-naskah” yang berkenaan dengan pokok yang kita minati, memikirkannya sepanjang hari, kapanpun kesempatan itu muncul.
  10. “Bermeditasi secara eka-pusat atas makna ajaran,” cobalah untuk sungguh-sungguh memusat pada itu.

Inilah cara kita menggunakan waktu kita untuk belajar dan menjalankan suatu jenis ajaran tertentu yang kita minati dalam ajaran Buddha. Dan kita melakukan semua itu tanpa menyangkal atau merendahkan jenis-jenis ajaran lain yang Buddha berikan.

Ada banyak hal yang dapat dicakup dalam daftar ini: menyalin ajaran, menuliskan ajaran yang telah kita terima, membuatnya tersedia bagi orang lain, dst. Itu juga tindakan-tindakan Dharma. Cara terbaik untuk mengakrabkan diri kita dengan ajaran adalah menuliskannya setelah kelas usai.

Seloka 24: Mempersembahkan Daya Positif Kita

Mempersembahkan Daya Positif bagi Pencerahan dan Orang Lain

Biarlah kupersembahkan pencerahan tiada-sanding yang agung sebanyak tindakan membangun yang telah kuhimpun di sepanjang tiga waktu itu, dan meluaskan daya positifku kepada para makhluk terbatas.

Kalau kita tidak mempersembahkan tindakan positif yang kita lakukan demi pencerahan, kita hanya akan membina karma positif untuk memperbaiki keadaan samsarawi kita. Oleh karena itu, penting sekali untuk betul-betul mempersembahkan tindakan-tindakan itu – apa yang telah kita lakukan dahulu, yang sedang kita kerjakan sekaran, yang akan kita perbuat kelak di hari depan – bagi pencerahan dan meluaskan daya positif itu kepada semua orang. Jadi kita tidak hanya mempersembahkan bagi pencerahan diri kita sendiri saja, tapi juga untuk pencerahan setiap orang lain.

Selain itu, apapun daya positif yang kita punya, bagikan itu dengan orang lain. Kalau kita telah belajar sesuatu sehingga kita memperoleh daya positif darinya, bagikanlah kepada orang lain. Jika kita punya kenalan di India, misalnya, dan kita tahu cara untuk bisa belajar di sana dan seterusnya, bagikan informasi dan hubungan itu kepada orang lain. Itulah arti berbagi daya positif, berbagi nasib baik yang kita punya, sehingga orang lain pun bisa memetik manfaat darinya.

Untuk membina daya positif ini, Atisha berkata,

Mempersembahkan Doa Tujuh-Dahan untuk Membangun Daya Positif

Maka, biarlah senantiasa kusampaikan doa agung dari laku tujuh-dahan.

Inilah yang juga ditekankan oleh Shantidewa. Laku tujuh-dahan ini terdiri dari (1) sujud-sembah, (2) sesaji, (3) secara terbuka mengakui hal-hal negatif yang telah kita perbuat dan menerapkan lawannya, (4) bersukacita dalam sifat-sifat positif, (5) memohon ajaran, (6) memohon agar guru kita tidak pergi, dan (7) persembahan.

Seloka 25: Mencapai Pencerahan dengan Melengkapi Dua Jejaring

Dengan berbuat demikian, biarlah kulengkapi dua jejaring daya positif dan kesadaran mendalamku, dan juga menguras habis dua pengaburanku.

Dalam menjalankan jenis laku ini – laku tujuh-dahan, meditasi lebih lanjut dan laku sepuluh tindakan Dharma, dan seterusnya – kita membina dua jejaring daya positif dan kesadaran mendalam, yang disebut “kumpulan pahala dan kebijaksanaan”; kita memperkuatnya. Sembari itu, kita juga menguras habis, mengenyahkan, dua pengaburan, pengaburan perasaan yang menghalangi kebebasan dan pengaburan pengetahuan yang menghalangi pencerahan.

Oleh karenanya, dengan membuat perolehan raga manusiaku jadi berarti, biarlah kuperoleh pencerahan tanpa-sanding.

Seloka 26 dan 27: Tujuh Permata Arya

Kemudian, di dalam seloka 26, Atisha menyebutkan tujuh permata arya, tujuh permata yang membawa kita ke tataran arya, tataran pengetahuan langsung mengenai sunyata. Ini adalah permata-permata yang ia sebutkan di awal tadi:

Daftar Tujuh Permata

Permata keyakinan pada fakta, permata sila, permata kemurah-hatian, permata mendengarkan, permata kepedulian pada betapa tindakan-tindakanku berdampak pada orang lain, permata martabat-diri yang berakhlak, serta permata kesadaran pembeda.

Permata-permata suci ini
adalah tujuh permata yang takkan pernah terkuras.

Permata-permata itu tidak pernah habis. Ketika kita bicara tentang permata, kita jangan sekadar berpikir tentang permata perhiasan, tapi seperti harta karun yang kita kumpulkan lebih dan lebih banyak lagi.

Semakin besar pemahaman kita mengenai Dharma dan ajaran-ajaran Dharma berkembang, semakin besar pula keyakinan kita pada fakta-fakta yang diajarkan dalam ajaran-ajaran itu - (1) permata keyakinan pada fakta – dan harta karun itu menjadi semakin berharga.

Kemudian (2) permata sila – menahan diri lebih kokoh lagi dari perbuatan negatif dan melibatkan diri semakin banyak dalam hal-hal positif dan membangun seperti bermeditasi dan membantu orang lain, mengumpulkan lebih dan lebih banyak lagi seperti seperti harta karun.

(3) Permata kemurah-hatian – memberi barang-barang bendawi pada orang lain, memberi mereka waktu dan tenaga kita dan seterusnya, memberi mereka ajaran dan nasihat, memberi mereka perlindungan dari rasa takut. Perlindungan dari dasar rakut bukan berarti menyelamatkan mereka saat tenggelam; tapi juga berarti meyakinkan mereka bahwa mereka tak perlu takut pada kita. Mereka tidak perlu takut bahwa kita ingin mendapatkan sesuatu dari mereka atau bahwa kita akan menolak atau mengabaikan mereka. Kita memiliki keseimbangan batin, jadi kita memberi mereka keseimbangan batin. Kita juga memberi mereka kasih, berharap agar mereka bahagia. Kemurah-hatian ini bisa kita bina lebih dan lebih lagi, meluaskannya lebih jauh untuk menjangkau lebih banyak orang.

(4) Permata mendengarkan. Semakin banyak ajaran yang kita dengar – dan yang kita pelajari, karena tentu kita perlu berpikir dan bermeditasi tentang itu – dan semakin banyak dari ajaran-ajaran itu yang dapat kita ingat dengan baik, semakin menjadi harta karun yang luar biasa.

Kemudian (5) permata kepedulian betapa tindakan-tindakanku berdampak pada orang lain dan (6) permata martabat-diri yang berakhlak. Itulah dua anasir – dua permata – yang membentuk dasar bagi sila. Itulah permata-permata yang selalu hadir dalam tataran cita yang membangun.

Pertama-tama, kita punya martabat-diri yang berakhlak, Kita menghormati diri kita sendiri, kita menghormati sifat-Buddha kita sendiri, dan oleh karenanya kita peduli tentang bagaimana perilaku kita memantul kembali pada diri kita: “Aku punya rasa hormat terhadap diriku sendiri dan sifat-Buddha sehingga aku tidak akan bertindak layaknya orang dungu; aku tidak akan bertindak merusak." Seringkali ketika orang tidak punya harga-diri, ketika harga-diri itu dirampas dari mereka – sering terjadi dalam pertikaian kedaerahan di seluruh dunia –mereka tidak peduli akan perbuatan mereka. Mereka menjadi pelaku bom bunuh diri atau apapun itu. Mereka tidak lagi punya rasa hormat-diri. Tidak punya rasa harga-diri, sehingga mereka pikir bisa jadi pelaku bom bunuh diri. Di sisi lain, kalau kita punya rasa harga-diri, martabat-diri yang berakhlak ini, maka kita menahan diri dari tindakan negatif. Kita berpikir, "Aku tidak akan merendahkan diriku dengan perbuatan seperti ini."

Lalu anasir lainnya adalah peduli betapa tindakan-tindakanku berdampak pada orang lain. Kita sangat menghormati orangtua kita, guru kita, kawan-kawan kita, agama kita, jenis kelamin kita, negara kita, atau apapun itu sehingga kita berpikir, "Kalau aku bertindak negatif, apa yang nanti orang pikirkan tentang keluargaku?" "Apa yang akan mereka pikirkan tentang ajaran Buddha – aku ini pelaku ajaran Buddha." "Apa yang akan mereka pikirkan tentang orang-orang yang berasal dari negaraku?"

Dua anasir itu membentuk dasar bagi sila, dan itu bisa tumbuh semakin kuat.

Kemudian (7) permata kesadaran pembeda adalah kemampuan membedakan, bukan hanya antara bagaimana segala sesuatu itu ada dan bagaimana segala sesuatu itu tidak ada, tapi juga membedakan antara mana yang berguna dan mana yang mencelakai, mana yang bermanfaat dan mana yang merusak, mana penggunaan waktu yang baik dan mana yang buang-buang waktu.

Itulah tujuh permata yang takkan pernah terkuras. Mereka tidak akan pernah habis. Dan mereka tidak bisa dicuri.

Menjaga Laku Kita sebagai Hal Pribadi

Ketujuh permata itu tidak boleh disebutkan kepada manusia-semu.

“Manusia-semu” maksudnya adalah hantu, hantu celaka yang bisa mengganggu. Pada dasarnya, yang dimaksudkan dengan ini adalah kita jangan jangan membual ke sana-sini, "Aku sudah belajar begitu banyak," atau "Aku punya banyak sila," atau "Imanku begitu besar," karena itu hanya akan mengundang gangguan. Kita jaga permata-permata itu dengan penuh rasa hormat dalam batin kita. Kita jangan sesumbar atau membual. Kita tidak perlu mengalungkannya ke leher seperti perhiasan untuk membuat orang lain terkesan. Cukup kita simpan mereka dalam batin.

Seloka terakhir tentu saja merupakan seloka yang paling terkenal dari naskah ini, dan ini sangat sering dikutip:

Seloka 28: Pokok-Pokok Terpenting Ketika bersama Orang lain dan Ketika Seorang Diri

Ketika di tengah-tengah keramaian, biarlah tetap kuperiksa wicaraku; ketika sendirian, biarlah tetap kuperiksa citaku.

Ini merupakan sepenggal nasihat yang paling mengagumkan. Apa yang harus kita awasi dan perbaiki jika mereka mulai mengarah pada hal-hal merusak?

Ketika kita bersama orang lain, jagalah wicara kita. Apakah kita mengatakan hal yang bodoh? Apakah kita mengatakan hal yang akan melukai perasaan orang lain? Apakah kita mengatakan sesuatu yang palsu? Apakah kita sesumbar? Apakah kita membual? Apakah kita mengeluh? Apa yang kita lakukan? Jadi, kita awasi wicara kita. Jika kita akan mengatakan sesuatu yang benar-benar bodoh, kita hendaknya memperbaiki apa yang akan kita katakan atau tutup mulut saja.

Ketika kita sedang sendiri, jagalah cita kita. Kita awasi apa yang kita pikirkan dan rasakan. Jadi, ini tidak berarti kita membatasi keawasan kita hanya pada apa yang kita pikirkan; tapi juga mengawasi suasana hati dan perasaan yang muncul. Dan ketika kita melihat ada sesuatu yang merusak, sesuatu yang mengusik, maka coba terapkan lawan-lawannya.

Ini adalah nasihat terbaik. Ini merangkup keseluruhan jalan ini. Seperti saya katakan, ini merupakan seloka yang sangat terkenal dan menyimpulkan naskah ini.

Bagaimana Memadukan Pokok-Pokok Ini ke dalam Kehidupan Kita Sehari-Hari

Perihal dari mana kita memulai untuk memadukan pokok-pokok ini ke dalam kehidupan kita sehari-hari, saya pikir yang bisa membantu, terutama karena naskah ini tidak terlalu panjang, adalah membacanya setiap hari, setiap dua hari sekali, atau semacamnya, untuk mengakrabkan diri kita dengan berbagai pokok ini. Kalau kita melakukan itu, maka ketika dalam kehidupan sehari-hari kita menemui keadaan seperti yang diacu seloka-seloka ini, kita mengingat pokok-pokoknya – karena telah kita membacanya berulang kali; kita telah mengakrabkan diri dengan itu.

Kita tidak bisa bilang bahwa satu pokok dalam naskah itu lebih penting dibanding pokok yang lain. Semua pokok tersebut berkaitan dengan belajar bagaimana mengembangkan bodhicita – belajar tentang hal-hal apa saja yang berguna dan, khususnya, hal-hal apa saja yang tidak berguna. Ketika kita dapat mengenali hal apa saja yang tidak berguna, maka kita coba menerapkan nasihat yang ada di sini. Jadi, ketika kita merasa amat kesepian dan melekat dengan orang lain, misalnya, kita berpikir betapa menghabiskan banyak waktu dengan mereka membuat kita terganggu dan mengusik laku kita. Di sisi lain, ketika ada banyak orang di sekitar kita, kita berpikir tentang bagaimana kita bisa membantu mereka. Tiap segi dari ajaran ini berhubungan dengan keadaan yang berbeda-beda. Jadi kapanpun keadaan itu muncul, terapkanlah.

Bagus sekali jika kita membaca sesuatu seperti ini tiap hari. Tidak harus naskah ini, tapi jika naskah ini kita anggap dapat membantu, kita membacanya. Kemudian, menurut bagaimana keadaan dalam hari-hari kita, salah satu pokok pasti dirasa sesuai dengan keadaan kita, di mana kita berhenti dan memikirkannya. Seperti itulah cara melakukannya. Ini seperti mengucap mantra dengan rosario. Kita bisa membuat putaran seloka-demi seloka atau pokok demi pokok. Dengan demikian, kita terus-menerus mengingatkan diri kita pada pokok-pokok tersebut. Hal ini, saya pikir akan membina keakraban yang baik dengan pokok-pokok ini.

Dan kemudian kita mengupayakannya. Ada banyak cara untuk melakukan itu. Cara saya pribadi adalah dengan menerjemahkan. Jika kita menerjemahkan atau menyalin ajaran atau semacamnya, kita dipaksa untuk memikirkannya. Jika kita mencatat selama berlangsungnya kelas, lalu, ketika di rumah, kita bisa menyalin tulisan itu lagi dengan lebih apik. Itu memberi kita kesempatan untuk memikirkannya, khususnya kalau kita berpikir dalam kerangka bahwa itu mungkin bisa membantu orang lain juga. Apakah itu dapat membantu orang lain atau tidak itu tidak jadi soal; yang penting adalah dorongan itu ada. Sebenarnya agak sulit kalau hanya duduk saja dan memikirkannya dalam meditasi dan untuk menjaga minat dan perhatian kita. Namun, menuliskan ajaran itu atau menerjemahkannya benar-benar memberi kita kesempatan untuk memikirkannya secara lebih mendalam.

Saya mendapati bahwa menerjemahkan adalah cara yang amat sangat membantu. Saya sedang mengerjakan terjemahan baru atas naskah Shantidewa dari bahasa Sanskerta dan Tibet. Sekalipun saya mengajarkannya, dan mengajarkannya dengan begitu pelan dan hati-hati beberapa tahun yang lalu, sekarang saya mencermati naskah itu lagi. Saya memperhatikan tiap katanya, baik dalam bahasa Sanskerta maupun Tibet, dan betul-betul berjuang untuk menentukan cara terbaik untuk menerjemahkannya dan mereka-reka bagaimana orang Tibet memahaminya, apa perbedaan di antara kedua corak bahasa tersebut dan seterusnya. Maka saya jadi jauh semakin akrab dengan naskah tersebut sehingga sekarang saya bisa mengingat banyak dari seloka-selokanya. Jadi, membaca sebuah naskah setiap hari atau sebagian dari naskah itu setiap hari dan mencermatinya lagi dan lagi seperti itu akan sangat membantu. Kita akan jadi jauh semakin akrab.

Ada banyak cara cerdik yang serupa itu. Ugyen Tseten Rinpoche memberi satu contoh yang amat sangat bagus. Ia berkata bahwa ketika ia menjalankan laku pendarasan ini, yang dilakukan oleh orang-orang Tibet, ia mendaras tiap baris atau tiap frasa tiga kali berturut-turut. Jika kita melakukan laku pendarasan seperti itu, maka kita betul-betul memikirkan tiap pokoknya. Kita bisa melakukan laku pendarasan dengan sangat cepat, terutama jika kita sudah melakukannya tiap hari selama bertahun-tahun. Tapi bahayanya adalah kita membacanya dengan secepat kilat dan tidak memikirkan apa-apa tentangnya. Tapi jika kita mengambil tiap frasa atau tiap baris dan mendaraskannya tiga kali sebelum beranjak ke baris berikutnya, maka kita betul-betul menyediakan waktu untuk memikirkannya atau mengejawantahkan apa yang dimaksudnya dan seterusnya. Ini merupakan sepenggal nasihat yang amat berguna dari seorang lama agung, Ugyen Tseten Rinpoche, yang kini berusia sekitar 90 tahun, ia bicara dari pengalaman hidupnya.

Jadi ketika membaca sebuah naskah seperti ini, kita dapat menerapkan nasihat yang sama. Kalau punya waktu, kita bisa mendaras tiap baris sebanyak tiga kali sehingga kita benar-benar memikirkan tiap-tiap barisnya. Kita tidak perlu membaca keseluruhannya jika terlalu sulit; cukup membaca beberapa seloka. Shantidewa berkata dalam dua selokanya yang pertama, "Aku menulis ini untuk mengakrabkan citaku dengannya, dan bila orang lain mendapati ini berguna, ya, baguslah." Jadi dalam laku kita, jumlah bukan hal yang penting; yang penting adalah mutunya.

Ringkasan

Saya sungguh sangat gembira punya kesempatan untuk berbagi ajaran dan penjelasan dari Geshe Ngawang Dhargyey. Sudah bertahun-tahun yang lalu – 1973 – ketika saya menerima ajaran ini. Untungnya, saya mencatat. Dan kalau Anda mencatat, maka tiga puluh tahun dari sekarang, Anda juga dapat menjelaskannya pada orang lain, pada generasi mendatang. Ini adalah ajaran yang sangat berharga, sangat berguna.

Baca dan dengarkan naskah aslinya “Karangan Permata Bodhisattwa” karya Atisha.

Top