Mengembangkan Rasa Peduli yang Sehat terhadap Insan Lainnya

Ulasan

Kehidupan Manusia yang Berharga dan Berupaya Menghilangkan Duka

Di atas jalan lam-rim, yang terdiri dari tingkat-tingkat bertahap, kita telah melalui lingkup awal dan madya. Kita telah melihat bahwa sebelum kita mulai membongkar diri yang palsu, penting sekali untuk membina diri yang lazim; atau dengan kata lain, rasa diri yang lazim, rasa menghargai atas keberadaan diri yang lazim. Kita menghargai bahwa kita bebas dari keadaan buruk dan rintangan besar; kita memiliki banyak kesempatan. Kita memiliki banyak kesempatan untuk melakukan perbuatan yang berarti dan bermakna dengan hidup kita.

Salah satu asumsi dasar dalam ajaran Buddha adalah bahwa setiap insan ingin bahagia; tidak ada yang ingin tidak bahagia. Seperti hal-hal yang hidup, yang bertumbuh, Anda tidak ingin layu; Anda ingin tumbuh. Jadi, setiap insan ingin bahagia. Dan dengan sikap menghargai kehidupan sebagai manusia yang berharga, kita menyadari bahwa adalah mungkin bagi kita untuk berbuat sesuatu untuk menjadi lebih bahagia. Ini membentuk sikap menghargai atas kemampuan kita untuk berbuat. Dengan kata lain, pertama-tama Anda harus peduli dengan diri sendiri, bersungguh-sungguh dengan diri sendiri. "Bersungguh-sungguh" berarti bahwa aku memang ada dan aku ingin bahagia. Tidak ada yang salah dengan hal itu. Aku peduli dengan hal yang kualami. Itulah diri yang positif, rasa diri yang sehat.

Kita memiliki kebebasan sementara dari duka yang mengerikan dan jika kita diam saja dengan kenyataan itu, kemungkinan besar kita akan mengalami duka yang buruk ini lagi. Jadi, kita ingin menghindari hal itu. Itu pun sangat sehat. Anda melihatnya dalam tumbuh-kembang anak-anak. Mereka harus sadar bahwa kalau mereka menyentuh api, kalau mereka lari sembarangan ke tengah jalan raya – semua hal itu berbahaya dan akan membuat mereka sakit dan menderita. Jadi dalam perkembangan rasa diri yang sehat pada seorang anak, si anak belajar untuk menghindari sebab-sebab penderitaan. Di sini, di dalam perkembangan lam-rim, kita melakukan hal yang sama tetapi dalam lingkung orang dewasa.

Dan kita sadar bahwa untuk menghilangkan duka, kita harus menghilangkan sebabnya. Pertama, kita berupaya untuk dapat mengendalikan diri, menghindari perilaku merusak, karena kita tahu bahwa itu akan berbuntut ketakbahagiaan. Di sini kita mencoba untuk menghentikan sebab-sebab duka dengan menghilangkan ketaksadaran hingga tingkat tertentu. Ketaksadaran yang dimaksud di sini adalah ketaksadaran atas sebab dan akibat berperilaku. Dalam menjalankan pengendalian diri dan kehendak kuat untuk menahan diri dari tindakan merusak, kita memeroleh kebahagiaan yang biasa. Tetapi kebahagiaan yang biasa itu tidak langgeng; ia tidak memuaskan, dan seterusnya.

Cara Mengada yang Mustahil: “Aku” yang Palsu Lawan “Aku” yang Lazim

Kita paham bahwa masalahnya di sini adalah karena aku berpikir dalam kerangka “aku” yang padu, yang akan mengendalikan dirinya dan akan mengendalikan diri yang nakal, dan seterusnya. Jadi ada kekeliruan di sini, dalam hal cara kita menganggap diri yang menjalankan sila tersebut. Sila, kehendak kuat, pengendalian diri, semua hal ini memang penting. Kesemuanya didasari “aku” yang lazim dan bukan suatu hal yang ingin kita buang; tapi yang kita ingin adalah menghilangkan kesalahkaprahan mengenai “aku” yang melakukan semua ini. Untuk itu, tentu kita perlu menghilangkan ketaksadaran yang merancukan pemahaman kita atas cara kita mengada, cara “aku” yang lazim sebenarnya mengada. Dan kita mesti membantah dan menghapuskan keyakinan bahwa aku mengada dalam cara-cara yang mustahil ini.

Nah, pertanyaannya adalah apa saja cara-cara mustahil yang kita bayangkan ini; dan kita mulai membantahnya serta melihat bahwa semua itu tidak mengacu pada kenyataan, langkah demi langkah, makin lama makin halus dan teliti. Dan semua ini didasari rasa “aku” lazim yang sehat, yang ingin bahagia. Aku tidak ingin mengalami duka. Dan pengalamanku adalah tanggung jawabku. Bukan tanggung jawabku semata; bukan aku satu-satunya anasir yang menjadi sebabnya, karena ada begitu banyak anasir lain [yang memengaruhi pengalamanku]. Tapi begitu pun, aku berperan besar dalam perbuatanku. Oleh karena itu, aku perlu pegang kendali atas hal yang terjadi – tapi bukan dalam arti si 'mandor' yang duduk manis di dalam kepala – dan berbuat sesuatu atas keadaan yang kuhadapi.

Tekad untuk Bebas

Masalah tidak akan pergi sendiri; aku perlu berupaya. Jadi,

  • aku mau menghilangkan duka ketakbahagiaan;
  • kebahagiaan yang biasa yang kuperoleh dan kualami ini – ia tidak pernah memuaskan dan aku tidak pernah puas. Aku benar-benar ingin menghilangkan itu juga, masalah itu juga;
  • dan aku ingin mencegahnya berulang kembali, kegandrungan dari naik dan turun pengalamanku ini, hal yang mendasarinya.

Jadi, kita menumbuhkan tekad yang kuat untuk bebas. Itulah “aku” yang lazim [yang ingin bebas] – kuat, sehat, dan mampu melihat dengan jernih apa yang bermanfaat besar, dan yang memiliki kehendak kuat untuk melakukannya. Tapi ia tidak akan berhasil kalau kita berupaya sebagai aku yang besar – yang di Barat kita istilahkan ego trip (diri yang besar dan kuat dan mengada secara sendiri) – “aku akan membebaskan diriku”. Itu tidak akan berhasil. Dan apa yang coba kita bebaskan? Kalau Anda mencoba membebaskan diri yang palsu, seperti telah kita jelaskan sebelumnya, diri yang palsu itu tidak ada. Jadi, itu sia-sia saja. Anda mesti membebaskan diri yang lazim.

Dengan kehendak kuat dan tekad diri yang lazim, kita berlatih sila, mengambil sumpah, dan seterusnya. Ini semua akan menata perilaku kita; dan atas dasar sila dan kehati-hatian dan kewapadaan yang kita kembangkan makin kuat dengan sila yang lebih tinggi dengan menepati sumpah kita, kita memiliki alat untuk mampu memeroleh daya pemusatan yang lebih tinggi dan benar. Kemudian, dengan daya pemusatan yang lebih tinggi, kita dapat tetap memusatkan perhatian kita pada kesadaran pembeda, yang kita gunakan untuk membantah segala macam keyakinan atas cara mengada “aku” yang mustahil ini, karena kita lihat dengan jelas bahwa ia tidak mengacu pada kenyataan apa pun. Itulah yang dimaksud dengan sunyata: ketiadaan mutlak sasaran nyata dari pembayangan yang mustahil.

Nah, apa lagi hal yang bersifat mustahil terkait diri? Yang mustahil adalah bahwa kita mengada dan kita hidup sepenuhnya terpisah dari setiap insan lainnya. Bukan hanya “aku” yang terpisah dari dasar tubuh, pikiran, perasaan, rasa, dll. saja yang tidak ada; “aku” yang terpisah dari setiap insan lainnya pun tidak ada. Tentu, kita ini insan perorangan. Jadi lazimnya kita terpisah dari yang lain. Saya memang bukan Anda. Kalau Anda makan, bukan perut saya yang kenyang. Jadi kita memang insan-insan tersendiri, tetapi bukan berarti kita sepenuhnya tidak saling terkait dan terpisah dari setiap insan lainnya. Itu keliru.

Mengembangkan Kasih dan Welas Asih terhadap Diri Sendiri dan setiap Insan, secara Perasaan dan secara Pikiran

Jadi, kalau kita benar-benar ingin mengembangkan rasa diri yang sehat dalam kerangka pengembangan diri yang sehat [melalui lam-rim], maka kita juga perlu menumbuhkan rasa peduli terhadap setiap insan lainnya – diri yang lazim dari setiap insan lainnya. Bagaimana kita mengembangkan rasa peduli yang sehat bagi insan lainnya begitu kita menyadari bahwa keberadaan kita ini tergantung pada kerja orang lain, kita dibesarkan oleh insan lain, dst., dst.? [Untuk itu] kita membuka cara pikir kita, kepedulian positif yang kita punya, bukan hanya sebatas “aku”, tetapi juga hingga ke setiap insan lainnya. Yang ingin kita kembangkan adalah, persis seperti diriku yang ingin bahagia dan tidak ingin tidak bahagia, demikian pula setiap insan lainnya. Yang ingin kita kembangkan bukan hanya keinginan agar diriku bahagia dan tidak tak bahagia, yang pada dasarnya merupakan makna dari kasih dan welas asih untuk diri sendiri, tetapi juga untuk setiap insan lainnya, agar mereka pun berbahagia dan tidak mengalami duka – yang berarti kasih dan welas asih untuk setiap insan.

Baru setelah kita memiliki rasa kasih dan welas asih terhadap diri sendirilah kita bisa dengan tulus mengarahkannya ke insan yang lain. Kita ingin meluaskan rasa tersebut. Jadi, kita meluaskan kasih dan welas asih kepada setiap insan, dimulai dari diri sendiri. Kalau tidak, kita berpikir “Ah, aku saja tidak pantas bahagia” atau semacamnya, mengapa pula orang lain pantas bahagia? Itu sangat gamang, sangat tidak sehat.

Nah, untuk mengembangkan kasih dan welas asih ini, ada dua caranya dan penting sekali bagi kita untuk menjalankan keduanya.

  • Yang pertama adalah mengembangkan kasih dan welas asih secara perasaan;
  • dan yang kedua adalah secara berakal.

Keduanya saling sokong; kalau satu saja, masih kurang. Di tingkat madya kita telah berupaya untuk menyingkirkan perasaan gelisah, tetapi kita belum benar-benar sampai ke tingkat seorang arhat, makhluk terbebaskan, yang sepenuhnya bebas dari perasaan gelisah. Biasanya, kita telah maju dengan mencoba mengembangkan lingkup Mahayana sebelum itu. Itu tidak berarti melewatkan lingkup awal dan madya. Tapi berarti belum menjalani sepenuhnya hingga titik akhir lingkup madya. Seperti inilah lam-rim dirumuskan.

Tugas kita sekarang adalah membuka diri dan menumbuhkan rasa peduli terhadap setiap insan, bukan hanya terhadap diri kita sendiri. Inilah lingkup Mahayana. Ia berarti luas; yang berarti setiap insan. Nah, yang menghalangi kita dari hal itu adalah karena kita tertarik pada sebagian, enggan terhadap sebagian, dan masa bodoh terhadap sebagian lainnya. Inilah yang disebut tiga “perasaan gelisah beracun”:

  • hasrat mendamba
  • amarah atau keengganan
  • dan sikap masa bodoh, keluguan – tidak mau tahu bahwa orang lain itu juga ada, kita mengabaikannya.

Nah, kalau kita memikirkan diri dalam kerangka tanpa awal dan tanpa akhir, maka tentu demikian pula adanya dengan setiap insan lainnya. Jadi, di suatu titik waktu, setiap insan pernah menjadi sahabatku, kadang setiap insan telah menjadi musuhku, dan kadang setiap insan pernah menjadi orang yang asing bagiku. Tidak masalah kapan; semua kedudukan ini telah senantiasa berubah-ubah. Ada cara untuk mengembangkan keseimbangan batin terhadap setiap insan, yang sama-sama terdapat dalam lingkup madya dan lanjut karena cara ini dikenakan pada ketiga perasaan gelisah yang mendasar tadi: ketertarikan, keengganan, sikap masa bodoh.

Pahami ini: cara tersebut juga ada dalam lingkup madya, dan ia berdasar pada perasaan gelisah yang kasar (dasar). Ia berdasar pada citra “aku” yang padu yang bersemayam di dalam kepalaku, dan agar bisa bahagia aku tertarik pada orang lain. “Kalau aku bisa mendapatkan sebagian untuk‘ku’, sehingga mereka bisa jadi sahabatku dan mereka menyukaiku dan memerhatikanku dan seterusnya – itu akan membuat si ‘aku’ yang padu itu bahagia. Dan kalau aku bisa menjauhkan sebagian dari‘ku’, itu akan membuat‘ku’ bahagia. Dan kalau aku bisa mengabaikan sebagian dan tidak harus berurusan dengan mereka, aku akan bahagia. Aku akan merasa lebih tenteram.” Ini semua berkenaan dengan upaya sia-sia untuk membuat diri yang duduk di belakang papan kendali ini tenteram.

Setiap insan pernah baik kepadaku; setiap insan pernah berbuat buruk dan menyakitiku; dan setiap insan pernah mengabaikanku. Jadi tidak ada alasan untuk menyukai, tidak menyukai, atau mengabaikan siapa pun karena setiap insan telah melakukan ketiga hal itu terhadapku.

Nah, jika demikian – kalau kini kita memiliki keseimbangan batin terhadap setiap insan – maka, setiap insan bukan saja pernah menjadi sahabat, musuh, dan orang yang tidak kita kenal di suatu titik waktu; tapi mereka juga pernah menjadi ibuku, yang paling baik hati terhadapku.

Kita telah meredakan perasaan gelisah terhadap setiap insan dan sekarang yang ingin kita bina adalah perasaan positif terhadap setiap insan. Hal itu kita lakukan karena setiap insan pernah menjadi orang yang paling berbaik hati terhadap kita di salah satu masa hidup kita. Dan dalam pengertian lazimnya, ini berarti setiap insan pernah menjadi ibu kita. Kalau bukan ibu, boleh jadi ayah, sahabat baik – yang mana pun bisa. Pokok yang kita garisbawahi di sini adalah insan yang paling berbaik hati terhadap kita, dan pokok paling mendasar di sini adalah bahwa ibu kita tidak mengaborsi kita.

Lalu, kita memusatkan perhatian pada kebaikan hati yang telah kita terima. Ibu kita mungkin pernah tidak baik terhadap kita, tapi tidak ada gunanya terpaku pada hal itu; jadi kita pusatkan perhatian pada kebaikan hati yang telah kita terima. Dan perasaan itu berujung pada rasa syukur, rasa terima kasih. Kita benar-benar berterima kasih atas segala kebaikan yang telah kita terima. Kita dapat menyokong rasa tersebut dengan berpikir betapa insan lainnya pernah baik terhadap kita sekalipun mereka bukan ibu kita. Mereka yang menanam tanaman untuk makanan kita; mereka yang mengangkutnya ke pasar; mereka yang membangun jalan; mereka yang membangun sarana listrik. Segala hal yang kita gunakan merupakan buah kerja insan lainnya. Mereka melakukan itu dengan sengaja demi kebaikan kita atau tidak, bukan di situ letak perhatiannya. Tapi atas kebaikan yang dihasilkan kerja mereka, kita bersyukur. Dan karena kita begitu mensyukuri dan menghargai kebaikan ini, lumrah kalau kita ingin menolong mereka juga. Kita ingin membalas perbuatan itu, supaya seimbang. Tetapi bukan karena rasa bersalah. Karena rasa bersyukur.

Penting bagi kita untuk menyadari maksud sebenarnya dari ungkapan membalas kebaikan orang lain. Membalas bukan karena Anda berutang dan karenanya Anda bersalah kalau tidak melunasinya, sehingga Anda terpaksa. Bukan seperti itu. Kita ingin memperbaiki dan mengurus segala hal yang salah dengan mereka. Inilah maksud istilah dalam bahasa Tibet yang digunakan di sini; bahwa kita begitu bersyukur sehingga, tentunya, kita juga ingin berguna bagi mereka, karena kita merasakan ada hubungan yang positif di sini. Itu lumrahnya berujung pada rasa kasih sayang yang hangat, yang membuat kita benar-benar bahagia saat bertemu siapa saja dan akan merasa sayang jika hal buruk menimpa mereka.

Dalam naskah, dikatakan bahwa Anda tidak perlu melakukan meditasi tersendiri untuk itu. Ia akan muncul dengan sendirinya. Jadi, ia akan muncul dengan sendirinya ketika Anda merasa berterima kasih atas kebaikan yang telah Anda terima. Tapi kalau “Aku berutang, jadi harus kulunasi,” pastinya Anda tidak senang bertemu siapa saja; “Ya ampun, aku harus baik sama orang ini karena dia pernah baik kepadaku lima juta masa hidup yang lalu.” Setiap ajaran mesti kita letakkan pada nalar.

Ini berujung pada berkembangnya kasih di tingkat perasaan – kita ingin mereka bahagia dan memiliki sebab-sebab kebahagiaan; dan welas asih – kita ingin mereka terbebas dari duka dan sebab-sebab duka. Dan kita benar-benar mencoba menolong mereka untuk bahagia dan bebas dari ketakbahagiaan dan duka. Kita melihat ini ada di dalam langkah-langkah untuk mengembangkan sikap-sikap tak terhingga: kasih, welas asih, suka cita, keseimbangan batin yang tak terhingga. Contohnya,

  • betapa menakjubkan kalau setiap insan berbahagia – itu langkah pertama.
  • Semoga mereka berbahagia – langkah kedua.
  • Semoga aku mampu membawa kebahagiaan bagi mereka; aku akan berbuat untuk itu.
  • Kemudian, “Oh guru rohani, para Buddha – ilhami aku untuk mampu melakukannya.” Jadi, mengemban tanggung jawab untuk berbuat sesuatu merupakan bagian dari kasih dan welas asih.

Baik, jadi inilah pengembangan di tingkat perasaannya; tapi itu perlu diperkuat lagi. Kalau perasaan saja, ia tidak stabil. Pertama, cerna dahulu perkataan saya mengenai pengembangan kasih dan welas asih di tingkat perasaan ini, yang Anda gunakan untuk berupaya mengatasi apa pun sisa perasaan gelisah yang kasar (ketertarikan, keengganan, sikap masa bodoh). Bersihkan itu semua, kemudian kembangkan perasaan positif kasih dan welas asih.

Dan, tentu saja, yang merasakan kasih dan welas asih di sini adalah “aku” yang lazim. Orang lain pernah baik terhadapku; siapa aku di situ? “Aku” yang lazim. Anda bahkan tidak bisa memikirkan tentang kebaikan yang pernah diberikan orang lain untuk Anda jika Anda tidak berpikir bahwa “aku” yang lazim itu ada. Kepada siapa kebaikan itu mereka berikan? Bukan siapa-siapa? Jadi meditasi ini menegaskan “aku” yang lazim.

Begitu, ya. Nah, ada perasaan gelisah yang halus. Jadi ada perasaan gelisah kasar dan ada perasaan gelisah halus. Kemudian, Anda perlu melihat apa saja perasaan gelisah yang halus ini. Perasaan gelisah yang halus adalah hal yang masih tersisa ketika kita telah membantah hal yang mustahil mengenai diri di tingkat awal ini. Kita telah memahami bahwa diri tidak mengada secara tidak dipengaruhi oleh apa pun dan secara tanpa bagian; tidak bergantung pada dasar apa pun; dan bisa dibebaskan dan mengada atas dirinya sendiri; dan yang dapat dikenali atas dirinya sendiri. Bantahan itu belum cukup untuk menyingkirkan semua perasaan gelisah. Menurut beberapa dalil, hal tersebut akan membantu kita menghilangkan perasaan gelisah yang kasar, tetapi yang halus masih akan tersisa.

Nah, Anda benar-benar harus berpikir dan mencoba mencari tahu apa sebenarnya perasaan gelisah ini, perasaan gelisah halus yang akan tertinggal ini. Perasaan gelisah yang halus ini tidak berdasar pada “aku”, mandor kecil yang duduk di dalam kepalaku yang ingin disukai sebagian orang, dijauhkan dari sebagian orang, yang tidak “aku” sukai. Kita sudah tidak menganggap diri kita seperti itu lagi. Kita sudah tahu bahwa itu khayalan; pepesan kosong saja. Aku tidak tertarik atau jijik atau acuh-tak-acuh terhadap siapa pun; tapi apa yang tersisa dari “aku” yang palsu ini? Yang masih tersisa adalah “aku” palsu yang mengada secara terpisah dari setiap hal lainnya, seolah ia dibungkus plastik. “Baik, aku paham bahwa ia disematkan pada semua gugusan dan hanya dapat dikenali dalam kerangka semua gugusan” dan sebagainya; tetapi ia terbungkus rapat – karena ia sendiri, jadi ia seperti terbungkus plastik – dan demikian pula setiap insan lainnya, terbungkus plastik [seperti bola ping-pong].

Bukan bahwa aku tertarik atau enggan dengan yang mana pun dari bola-bola ping-pong ini – semisal kita anggap mereka ibarat bola ping-pong. Tapi aku masih merasa sebagian dari mereka dekat dan sebagian lagi jauh dariku. Inilah perasaan gelisah yang halus itu: merasa bahwa sebagian dekat denganku sehingga akan kutolong terlebih dahulu; dan sebagian lagi jauh. Kita masih membeda-bedakan seperti itu. Inilah yang perlu kita upayakan untuk mengembangkan kasih dan welas asih di tingkat pikiran, yang akan mengatasi semua perasaan gelisah yang halus ini. Bukan perasaan yang kasar.

Pengembangan kasih dan welas asih di tingkat perasaan dipusatkan pada upaya mengatasi perasaan gelisah yang kasar, dan di tingkat berakal, ia diarahkan pada upaya mengatasi perasaan gelisah yang halus. Di tataran perasaan, tidak ada alasan untuk tertarik, enggan, atau abai dengan yang lain, karena setiap insan pernah berbaik hati terhadap kita, dan kita mengembangkan perasaan yang hangat ini. Tapi, karena kita masih melihat bahwa sebagian itu dekat dengan“ku” dan sebagian lagi jauh dari“ku”, kita memerlukan pendekatan yang berakal untuk mengembangkan sikap yang setara terhadap setiap insan. Ini kita lakukan atas dasar penalaran bahwa kita semua setara. Setiap orang sama-sama ingin bahagia dan sama-sama tidak ingin tidak bahagia. Jadi itulah alasan berakal untuk bersikap setara terhadap setiap insan, bukan perasaan bahwa, “Setiap insan pernah berbaik hati terhadapku”.

Dan ada sembilan sudut pandang yang dapat kita gunakan [untuk menunjukkan kesetaraan ini] secara sangat berakal. Waktu kita tidak cukup untuk menelusurinya satu demi satu, tapi ada sembilan sudut pandang untuk memeragakan secara berakal bahwa setiap insan itu setara. [Melalui sembilan sudut pandang itu] kita kembangkan keseimbangan batin yang membantu kita mengatasi semua perasaan gelisah yang halus ini. Kemudian, secara sangat berakal pula kita sadari bahwa ketakbahagiaan itu timbul dari sikap menyayangi diri sendiri; kebahagiaan timbul dari sikap menyayangi insan lainnya. Dan kita telah memiliki rasa diri yang sehat. Jadi, di sini bukan berarti kita tidak punya rasa positif terhadap diri sendiri dan kemudian kita timpakan [rasa negatif] “Aku jahat karena mementingkan dan menyayangi diri sendiri.” Kalau demikian, kita akan makin negatif dengan diri. Jadi, pergantian ini – menghilangkan sikap menyayangi diri sendiri dan menggantinya dengan sikap menyayangi insan lainnya – harus berdasar pada rasa yang sehat akan diri yang lazim.

Secara sangat masuk akal kita pahami bahwa tubuh ini berasal dari tubuh dua orang lainnya – sel sperma dan sel telur dari orang tua kita – dan begitu pula tubuh setiap orang lainnya. Jadi apa beda antara mengelap hidungku dan mengelap hidungmu? Tidak ada bedanya. Itu hidung dari tubuh yang berasal dari orang lain; sama. Saya cebok sendiri, saya menceboki orang lain, saya menceboki bayi saya, say menceboki bayi orang lain. Apa bedanya? Tetap saja cebok. Jadi, persis seperti saya merawat tubuh ini, saya bisa merawat tubuh siapa pun. Tetap saja tubuh. Nah, pengembangan rasa peduli terhadap sesama yang seperti ini bukan yang berada di tingkat perasaan, bukan? Tapi berada di tingkat pikiran, cara yang sangat masuk akal untuk mengembangkan rasa peduli itu.

Jadi demikianlah kita menjalankan laku menukar diri dengan yang lain; dan tonglen, memberi dan menanggung dengan kasih dan welas asih: “semoga engkau bahagia, semoga engkau terbebas dari duka.” Penting sekali bagi kita untuk menjalankan dua jenis pengembangan kasih dan welas asih ini. Kalau hanya di tingkat akal, sifat perasaannya hilang. Dan kalau hanya di tingkat perasaan, dia tidak kuat. Keduanya saling melengkapi.

Lalu kita kembangkan keputusan istimewa, “Aku tidak hanya akan menolong mereka – semoga engkau bahagia dan semoga engkau tidak tak bahagia.” Itu dalam kerangka dua jenis duka yang pertama: duka kebahagiaan kasar dan duka kebahagiaan yang biasa. Nah, keputusan istimewanya adalah “Aku ingin mereka terbebas dari semua duka yang serba-merembes – yang menyebabkan mereka mengalami kelahiran kembali yang berulang tanpa terkendali.” Dengan keputusan ini, aku akan menolong mereka mengatasi semua rintangan yang menghalangi kebebasan mereka. “Aku akan menolong mereka memeroleh kebebasan dan bahkan pencerahan.” Itulah keputusan istimewanya: [kita memutuskan untuk benar-benar melakukannya, bukan sebatas niat baik untuk menolong saja].

Jadi kita lihat bahwa kita memiliki rasa diri sehat yang makin lama makin kuat; bahwa “Aku akan menolong setiap insan. Semoga setiap insan berbahagia; semoga aku mampu membawa kebahagiaan bagi mereka. Dan aku akan melakukannya.” Itulah diri yang lazim. Dan kini “Aku tidak hanya akan melakukan itu saja; aku akan menolong mereka mencapai kebebasan dan pencerahan.” Jadi, Anda bisa lihat bahwa dimulai dari pengembangan kehendak kuat dan pengendalian diri di lingkup awal dengan “Aku akan menahan diri dari perilaku merusak; kemudian aku akan memeroleh kebebasan bagi diriku sendiri dan memeroleh daya pemusatan dan seterusnya; dan sekarang, aku akan menolong setiap insan lainnya.” Anda mengembangkan rasa diri yang sehat dan sangat berdaya.

Bodhicita dan Sifat-Sifat Diri yang Lazim

Tapi di proses yang sama kita harus membantah cara-cara mustahil yang kita bayangkan sebagai cara diri mengada, diri yang melakukan semua ini; ia bukanlah mandor yang siaga di dalam kepalaku, dan bukanlah sesosok “aku” yang seperti terbungkus bola ping-pong. Lalu kita melihat bahwa agar mampu menolong setiap insan memeroleh kebebasan dan pencerahan, aku sendiri harus tercerahkan. Dan karena itu, kita mengembangkan bodhicita. Dengan bodhicita, kita memusatkan perhatian pada pencerahan kita sendiri – bukan pencerahan Shakyamuni, bukan pencerahan secara umum, tetapi pencerahan kita sendiri, yang belum lagi terjadi tetapi yang bisa terjadi dengan berdasar pada anasir-anasir penyebabnya, hal-hal yang akan membuatnya terjadi. Itu meliputi yang diistilahkan dengan dua “jaringan daya positif dan kesadaran mendalam” yang biasanya diacu sebagai “dua kumpulan”. Inilah yang disebut dengan “anasir-anasir sifat-dasar Buddha”.

Daya positif itu adalah dasar bagi Raga Rupa seorang Buddha; kesadaran mendalam itu adalah dasar dari cita seorang Buddha. Waktu kita tidak cukup untuk membahas secara mendalam pokok mengenai sifat-dasar Buddha. Dan di sini juga ada sifat sunyata dari cita, yang akan mewujudkan perubahan, dan kenyataan bahwa kesinambungan batin itu dapat diangkat dan diilhami. Inilah anasir-anasir sifat-dasar Buddha.

Ini semua merupakan sifat-sifat diri kita, diri kita yang lazim. Diri dapat disematkan pada anasir-anasir ini. Ada daya yang positif. Bagaimana kita tahu bahwa kita punya daya positif? Karena kalau kita pernah mengalami kebahagiaan – pernah, dalam kadar tertentu – itu muncul dari daya positif. Jadi kita memiliki kumpulan pahala. Anda memiliki daya positif. Kalau tidak, Anda tidak akan pernah mengalami kebahagiaan. Dan kita punya daya untuk memahami, kalau tidak Anda tidak akan mengerti mana makanan, bagaimana cara makan, dan lain sebagainya. Hingga tataran tertentu, kita punya pemahaman. Jadi, jaringan kesadaran mendalam itu ada di dalam diri kita. Nah, kita dapat menyematkan “aku” pada dasar tersebut – pada dasar kesinambungan batin yang juga dapat disematkan pada kedua jaringan ini.

Penting bagi kita untuk memahami bahwa bukan “Aku ini sudah jadi Buddha, aku sudah tercerahkan, dan ia sudah bersemayam di dalam citaku. Aku tinggal menyadarinya saja.” Itu pandangan yang keliru mengenai diri. Itu titik ekstrem yang satu; dan titik ekstrem yang lain adalah “Aku tidak akan pernah bisa tercerahkan.” Tapi kalau kita paham bahwa kesinambungan batin dapat disemati – secara berakal, mantiki – sebab-sebab yang akan memampukan kita untuk tercerahkan, maka itu mungkin terjadi. Tapi ini semua didasarkan pada “aku” yang lazim. Pencerahan diri sendiri yang ingin kita capai belum lagi terjadi; tidak terjadi sekarang. Sesuatu yang belum lagi terjadi itu ada; kita bisa membayangkannya. Hari esok itu belum lagi terjadi; tidak terjadi hari ini, sekarang ini. Ia terjadi besok. Apakah besok itu ada? Ya.

Baik; lalu, atas dasar bodhicita, ini menjadi penegasan yang sangat kuat atas “aku” yang lazim. “Aku akan melakukannya.” Ini bisa dilakukan. Aku akan berupaya untuk menjadi tercerahkan.” Itulah tataran cita-citanya. Lalu, tataran ikrarnya – “Aku tidak akan pernah berpaling.” Jadi, ingatlah bahwa ada beberapa tataran keyakinan:

  • Aku meyakininya. “Aku akan berupaya untuk memeroleh pencerahan”;
  • dan kemudian keyakinan yang lebih kuat dan kokoh – “Takkan ada yang membuatku berpaling dari itu”;
  • lalu “Aku akan memasuki laku yang akan membawaku ke pencerahan.”

Nah, kata “memasuki” di sini menarik. Dalam bahasa Sanskerta, kata yang digunakan adalah avatara – dalam bahasa Hindi, avatar – jadi kita akan menjadi avatar dari seorang bodhisattwa. Kita akan mencoba membuatnya menubuh ke dalam diri sendiri dengan sikap-sikap yang menjangkau jauh. Sebagai seorang avatar yang memasuki perilaku bodhisattwa, apa yang akan kita perbuat? Kita mengambil sumpah [bodhisattwa]; yang kemudian membentuk pranata, rupa, dari avatar kita sebagai bodhisattwa. Dan untuk menepati sumpah-sumpah ini, yang menegakkan batas-batas dari rupa perilaku kita yang tidak akan kita lampaui, kita menerapkan enam sikap menjangkau jauh, yang disebut “kesempurnaan” atau paramita dan periaku yang dimunculkannya.

Enam Sikap yang Menjangkau Jauh

Enam sikap yang menjangkau jauh ini juga menguatkan rasa “aku” lazim yang sehat.

  • Kebaikan hati adalah sikap memberi; jadi “Aku punya sesuatu untuk diberi”, “aku” yang lazim itu punya sesuatu untuk diberikan. Bila Anda mampu memberi, Anda kemudian mengerti bahwa “Aku punya harkat, aku punya nilai. Ada hal yang dapat kuberikan.”
  • Sila – itu juga memperkuat “aku”yang lazim. “Aku akan mengendalikan diri, aku akan menahan diri dari perbuatan merusak; aku akan memasuki perilaku yang membangun.”
  • Kesabaran – tercerahkan itu membutuhkan waktu yang sangat panjang. Menolong insan yang lain itu sulit sekali. Jadi [kita hanya bisa mencapai semua tujuan ini atas dasar] “aku” yang lazim, bukan yang berpikir “Semua ini bisa terjadi dalam sekejap mata” dan semacamnya. Jadi kita tidak marah; kita mampu bertahan di bawah tekanan kesulitan yang mendera. Kesabaran juga membutuhkan rasa “aku” lazim yang sehat, yang mampu menanti.
  • Kegigihan, kata aslinya virya – sulit sekali diterjemahkan. Virya berkaitan dengan kata vira, yang berarti “pahlawan” dalam bahasa Sanskerta, sikap “pahlawan”. Ada juga kaitannya dengan kata dalam bahasa Latin vir, yang berarti “pria”; jadi, sikap jantan – rasa gagah-berani yang jantan. Perempuan juga bisa memiliki sikap ini; jangan pikir bahwa ini ungkapan yang seksis. Sikap kita sangat gagah-berani sehingga “Aku akan mengerahkan kekuatan dan tenagaku.” Butuh keberanian besar untuk berupaya meraih pencerahan. “Aku akan melakukannya; tak ada yang akan menghentikanku.” Dan ini membantu kita mengatasi rasa malas. Ada berbagai tataran cita yang akan menopang virya, kegigihan kuat yang terus terjaga dan “Aku menyukainya. Aku mau melakukannya.” Salah satu anasir penyokongnya – seperti ditunjukkan Shantidewa – adalah rasa bangga; rasa bangga atas diri sendiri, yang kalau Anda amati istilahnya dalam bahasa Tibet, nga-rgyal, ia berarti “Aku akan berjaya”. Jadi ini rasa percaya diri. Nga adalah “saya”, “aku” yang biasa; dan rgyal, “berjaya.” “Aku akan berjaya.” Untuk memiliki kekuatan yang penuh nyala semangat ini, untuk bersikap gagah-berani dalam upaya ini, orang harus percaya diri. Itulah yang dimaksud dengan rasa bangga di sini. Dan saat kita membahas rasa bangga dari sang dewa dalam tantra, kata yang digunakan sama persis. “Aku akan melakukan ini; aku bisa melakukannya – bisa menjadi seorang Buddha.” Jadi pada dasarnya kita menyematkan “aku” yang lazim dalam kerangka anasir-anasir pemadu di tiap saat yang memiliki anasir batin virya; “Akan kulakukan,” dan semua perilaku yang menyertainya. Itulah “aku”, “aku” yang lazim.
  • Kemantapan batin – yang meliputi bukan hanya daya pemusatan, tetapi juga kemantapan perasaan.
  • Kesadaran pembeda – untuk membedakan antara cara kita dan segalanya mengada dan cara kita dan segalanya tidak mengada. Membantah, menafikan, caranya mengada yang mustahil. Untuk memeroleh kebebasan atau pencerahan, kita sungguh perlu masuk lebih jauh dalam memahami apa yang mustahil. Dengan kata lain, cara-cara mengada yang mustahil yang kita kerahkan pada diri dan pada semua hal lainnya.

Apa yang Memastikan Bahwa Kita Ada?

Saya harap kita sudah memahami bahwa tidak ada diri yang tidak dipengaruhi oleh apa pun – tidak dipengaruhi oleh apa pun dan bersifat tanpa bagian. Ia tidak berdasar pada penyematan; dan bukan hal yang bisa dibebaskan dan terpisah sepenuhnya dari semua hal lainnya. Kita sudah memahami itu, dan kita sudah memahami bahwa diri tidak dapat diketahui atas dirinya sendiri. Kemudian, kita memahami apa yang dapat disematkan pada semua gugusan, pada dasar – tubuh, pikiran, rasa, perasaan, apa pun yang kita alami. Baik, kita telah memahaminya. Bukan “aku” yang padu yang disematkan padanya, yang kemudian dapat dipisahkan darinya dan mengada atas dirinya sendiri.

Lalu kita berpikir, bagaimana ia bisa disematkan pada setiap saat pengalaman ini? Ya, pasti ada ciri-ciri diri yang menjadikan“ku” aku. Apa ciri-ciri tersebut? “Aku” – aku disematkan pada tubuh, pikiran, dan seterusnya; jadi, kita mungkin berpikir bahwa ciri-ciri tersebut ada pada dasar bagi penyematan. Kita biasa berpikir dalam kerangka kesadaran kita, dalam kerangka cita kita, bahwa ada hal di dalam cita kita yang merupakan ciri yang menjadikannya citaku; yang memastikan ke-diri-anku; yang memastikan keberadaanku sebagai “aku”; yang memastikan bahwa itu “aku”.

Coba pikirkan itu. Maksud saya, ini hal yang sangat pelik dan halus. Anda bayangkan “aku” – “Aku tidak bisa membayangkan “aku” tanpa membayangkan citaku,” itu yang biasanya kita hubungkan dengan “aku”, karena ia suara yang berbunyi di sana dan seterusnya. Jadi kita berpikir “cita” adalah “aku”, sehingga ke-diri-an itu, ciri dari “aku” itu, pasti ada di dalam cita. Tentu, “Aku disematkan padanya, tapi ciri tersebut hanya dapat ditemukan di dalam cita, pada cita sebagai dasar penyematan.” Namun, Anda tidak bisa menemukan ciri-ciri tersebut – apa yang membuat citaku “aku”, citaku. Anda tidak dapat menemukannya pada cita. Inilah yang perlu kita bantah di tingkat yang lebih halus. Itu “aku” yang palsu – “aku” yang entah bagaimana bisa ditemukan dengan cirinya di suatu sudut di dalam cita.

Jadi kalau Anda telusuri lebih dalam, citra ini – bahwa cita memastikan ke-diri-annya sendiri – keliru. Persoalannya adalah – kalau Anda lihat pada istilahnya dalam bahasa Sanskerta maupun Tibet – yang dibicarakan bukanlah keberadaan sejati. Yang dimaksud di sini adalah keberadaan yang dipastikan secara sejati.  Jadi, apa yang memastikan sesuatu? Itu kata kuncinya [bahasa Tibet: sgrub, bahasa Sanskerta: siddha]. Apa yang memastikan bahwa aku ada? Bukan apa yang membuat bahwa aku ada, atau bagaimana aku tahu bahwa aku ada, tapi apa yang membuktikannya – dari mana datangnya kekuatan itu? Kata “memastikan” juga digunakan untuk makna “membuktikan” sesuatu. Dan yang tidak tepat adalah bahwa ada sesuatu di pihak “aku” yang atas kekuatannya sendiri memastikan bahwa aku ada; atau bahwa ada sesuatu di pihak dasar penyematan itu, cita, yang memastikan bahwa aku ada. Tidak ada apa pun, di mana pun, yang bisa Anda temukan, yang akan memastikan bahwa aku ada, atas dasar kekuatannya sendiri.

Jadi, diri yang memastikan dirinya sendiri oleh kekuatannya sendiri itu tidak nyata. Itulah yang tiada, yang tanpa, saat kita bicara soal sunyata: ketiadaan mutlak sasaran nyata atas bayangan kita – sesosok “aku” yang swa-daya yang memastikan dirinya sendiri. “Aku adalah aku; ini aku atas kuasaku sendiri memastikan bahwa aku ada. Hei! Ini aku.” Atau sesuatu di dalam benakku yang memastikan bahwa aku ada: “Hei! Ini Alex.” Itu khayalan.

Penyematan Batin

Jadi, apa sebenarnya yang memastikan bahwa kita ada? Penyematan batin. Apa artinya? Bukan berarti bahwa hanya ketika saya menyematkan secara batin “Alex, Alex, Alex,” “aku, aku, aku” – baru saya ada – dan kalau saya berhenti, saya tidak lagi ada. Tentu tidak seperti itu. Penyematan batin tidak menciptakan apa pun. Bagaimana kita memastikan bahwa ada “aku”, bahwa aku ada? Ada sematan, ada nama, ada kata yang dikaitkan dengannya; dan kenyataan bahwa ia mengacu pada sesuatu di atas dasar penyematan. Itulah yang memastikan bahwa sesuatu itu ada. Kata, citra, dan seterusnya mengacu pada sesuatu. Tapi, yang mereka acu tidak berdiri sendiri, secara swadaya memastikan keberadaannya. Ungkapannya, tak ada yang menyangga di baliknya.

Inilah alasannya mengapa saya membedakan – dan pembedaan ini juga ada dalam istilah bahasa Tibetnya – bahwa kata dan citra (sematan) kita mengacu pada sesuatu, tetapi tidak ada “hal” yang berkaitan dengan kata tersebut. Kata, citra – ingat yang kita bicarakan di sini adalah kategori, yang seperti kotak-kotak batin; jadi, ada kata, ada kotak untuk “kasih”, atau kotak untuk “merah”, atau kotak untuk “aku”. Kata menyiratkan kotak. Tapi semesta tidak mengada dalam kotak-kotak. Kita menganggap itu punya kaitan nyata dengan kata dan citra; bahwa seisi alam semesta – “aku”, setiap insan lainnya – mengada di dalam kotak ini atau kotak itu. Anda bisa menemukannya di kamus, pada kata ini. Padahal, segala hal tidak mengada dalam kotak-kotak, jadi tidak ada hal yang berkaitan dengan yang kita sematkan. Tapi sematan itu sendiri memang mengacu pada sesuatu, karena aku bergerak, aku berbuat, dan seterusnya. Ini pembedaan yang sangat teliti, sangat halus. Ada dua kata untuk itu dalam bahasa Tibet [btags-chos dan btags-don].

Agak pelik memang, dan karena itu kita perlu berupaya memahaminya. Tapi apa terjemahan hal itu dalam pengalaman kita yang biasa? Terjemahannya adalah kawan lama kita: “tak ada yang istimewa”. Tak ada yang istimewa dengan “aku” di pihak“ku” yang membuatku begitu istimewa; yang menjadikan“ku” aku. “Tak ada yang istimewa” ini dapat dipahami pada begitu banyak tingkat kedalaman; tapi semua itu dapat dicakup dengan pemahaman bahwa tidak ada yang istimewa dengan“ku”. Aku hanyalah salah satu dari setiap insan lainnya, jadi tidak perlu aku merasa resah. Tidak ada yang perlu aku amankan, tidak ada yang sedang terancam. Teruslah melangkah dalam kehidupan, dan khususnya, teruslah memperbaiki keadaan diri sendiri dan setiap insan lainnya. Lakukan saja. Tidak ada yang istimewa dengannya, tak ada yang istimewa dengan“ku”. Lakukan saja.

Kesimpulan

Itulah pokok bahasan tentang pengembangan diri yang sehat melalui lam-rim; proses menegaskan kembali dan memperkuat rasa “aku” yang sehat sembari, begitu itu telah terbangun hingga ke tingkat tertentu, mulai menjernihkan kesalahkaprahan mengenai pandangan kita atas cara “aku” yang biasa mengada, yakni “aku” yang palsu. Dan dari titik itu, kita masuk makin jauh, makin dalam, makin halus dengan segala kesalahkaprahan yang perlu kita bantah. Apakah ada pertanyaan?

Pertanyaan

“Tak Ada yang Istimewa” Lawan Sikap Acuh-Tak-Acuh

Di mana kita harus menarik garis pembeda antara sikap acuh-tak-acuh, santai saja dan tidak berbuat apa-apa – sikap menyayangi diri sendiri seperti itu dan "tak ada yang istimewa" dan menjalankan sila untuk berbuat sesuatu? 

“Tak ada yang istimewa” itu sangat berbeda dari “biar saja, peduli amat.” Dengan sikap “tak ada yang istimewa”, kita tidak membesar-besarkan hal yang sedang kita perbuat. Anda tidak harus memamerkannya; Anda tidak mengharap-harapkan ucapan terima kasih – tidak seperti itu. Saya beri contoh. Misalkan kita tinggal di gedung apartemen dan di lantai lobi setelah pintu masuk kertas dan sampah berserakan. Dan di situ ada tempat sampah. Tak ada yang istimewa, kita pungut sampah kertas itu dari lantai, dan kita buang pada tempatnya. Seperti dikatakan Shantidewa, masalah itu tidak ada pemiliknya. Jadi, bukan masalah saya, bukan pula masalah Anda, melainkan masalah saja. Ia cuma perlu dibereskan karena ia masalah. Jadi, kalau ada sampah kertas di lantai dan perlu dipungut, tak ada yang istimewa dengan hal itu, tak ada pula yang istimewa dengan diriku yang memungutnya. Kerjakan saja.

Jadi, tanpa harus memajang poster “sampah kertas ini dipungut oleh…” lalu Anda terakan nama Anda di sana; bukan dengan rasa “Aku korban kemalasan dan ketakberesan para penghuni gedung apartemen ini. Mengapa harus selalu aku yang memungut sampah mereka?” dan Anda memendam rasa dongkol terhadap setiap orang lainnya. “Aku ini istimewa, mau repot jadi tukang bersih-bersih.” Kerjakan saja. Buat apa dibesar-besarkan? Pungut saja kertasnya. Memangnya kenapa? Anda melakukannya karena memang perlu dilakukan. Itulah sikap “tak ada yang istimewa”. Jadi, bukan membiarkannya saja dan bukan dengan sikap menyayangi diri sendiri – “Kan bukan aku yang menyampah, jadi kenapa harus aku yang membersihkannya?” Anda mengerjakan saja hal yang perlu dikerjakan.

Kita melakukannya atas dasar rasa “aku” lazim yang sehat, bukan “aku” palsu yang harus ronda dan bersih-bersih setelah semua orang pergi “Aku ini orang baik” dan “Aku ini orang sempurna” dan “Semua yang lain malas saja”; “Aku ini bodhisattwa Buddha dan aku akan membersihkan sampah semua orang.” Bukan seperti itu.

Dan kalau kita melihat orang yang melakukannya, yang membuang sampah kertas di lantai?

Tergantung apakah orang tersebut mau menerima nasihat kita atau tidak. Anda harus menilai keadaan dengan baik.

Meskipun orang itu lebih kuat dari kita?

Keadaannya jadi sangat sulit. Misalnya begini: di stasiun metro, stasiun U-Bahn di Berlin tempat saya tinggal, ada aturan “dilarang merokok”. Tapi kadang ada pemuda yang tampak kuat dan agresif yang merokok di sana. Jadi kalau saya, laki-laki tua yang sudah ubanan ini, mendatangi mereka dan bilang “Hei, jangan merokok!” saya kemungkinan akan mendapat tinju di muka; jadi di sini kita mesti bersabar. Mereka merokok, tapi itu masih lumayan; tidak ada orang yang terbunuh gara-gara itu. Dan coba juga agar di dalam kepala kita tidak berkecamuk pikiran “Dasar pemuda tanggung ini!” dan begini dan begitu – cara pikir yang seperti itu merusak diri. Pada dasarnya, justru diri kitalah yang makin merasa tidak bahagia; itu saja akibatnya.

Tapi kemudian kalau keadaannya sungguh berbahaya, apakah Anda turun tangan untuk mencegah seseorang melukai orang lainnya, menghajar mereka, dan lain sebagainya? Anda nilai apakah Anda mampu menghentikan mereka atau bisakah Anda memanggil bantuan untuk menghentikannya. Kalau Anda mampu, lakukan; kalau tidak, cari cara lain. Ini pelik dan sulit sekali. Itu mengapa kita ingin menjadi seorang Buddha.

Saya ingat satu kejadian di dalam gerbong kereta. Ada sepasang pria dan wanita yang bertengkar, saling membentak, dan keadaannya memanas. Lalu ada orang yang ingin turun tangan dan bilang, “Hei, jangan mengganggu wanita ini.” Namun keduanya justru berbalik menyerang orang yang mencoba memperingatkan mereka tadi. Soalnya, mereka memang sepasang kekasih, dan mereka sedang bertengkar, dan saling membentak. Memang begitulah cara mereka berinteraksi, dan itu urusan mereka. Itu mengapa orang harus benar-benar menjadi seorang Buddha untuk tahu apa yang sebetulnya tengah terjadi.

Saya punya tetangga yang seperti itu. Suami-istri, orang Turki. Kalau mereka sedang bertengkar, suaranya bisa menembus dinding. Tapi, saat saya mengunjungi mereka dan mereka mengundang saya, saya lihat mereka ini pasangan yang sangat bahagia. Memang adatnya saja yang begitu, seperti itulah cara mereka bicara saat mereka saling tidak bersepakat. Kemahatahuan  akan sangat membantu kita.

Cara menarik lain mungkin kalau Anda lihat orang membuang sampah sembarangan, kalau Anda memungut sampah itu dan membuatnya pada tempatnya, kita memberi contoh yang bisa dilihatnya langsung.

Ya, tapi Anda harus sangat berhati-hati karena jangan sampai kita melakukan itu atas dasar “Nih, lihat aku,” dengan niat supaya orang itu merasa bersalah. Susah memang. Contoh yang terbayang di benak saya adalah bayi berusia setahun yang duduk di kursinya dan selalu melempar apa saja ke lantai. Bagaimana Anda mengajarkan anak bayi itu untuk tidak berbuat seperti itu? Tidak gampang. Butuh kesabaran yang panjang. Kalau kita bentak dia atau kita pukul dia karena berbuat seperti itu – namanya juga bayi, dia masih belum mengerti. Orang dewasa pun bisa seperti bayi. Meminjam istilah yang selalu digunakan Shantidewa: orang itu kekanak-kanakan. Akan membantu kalau kita mampu bersabar menghadapi mereka seperti kita menghadapi seorang bayi.

Ciri-Ciri “Aku” Lazim yang Sehat

Boleh Anda ulas kembali apa saja ciri-ciri “aku” lazim yang sehat?

“Aku” lazim yang sehat adalah yang:

  • bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri
  • peduli dengan akibat dari perbuatannya pada dirinya sendiri dan diri orang lain
  • berupaya secara makul (realistis) untuk mencoba memperbaiki mutu kehidupannya sendiri dan kehidupan orang lain sesuai kemampuannya
  • dan cukup kuat untuk mampu mengendalikan diri, menahan diri dari perbuatan yang merugikan
  • dan memiliki kehendak kuat untuk memasuki perbuatan-perbuatan yang membangun, yang mendatangkan manfaat.

Itulah rasa “aku” yang sehat, yang tidak membesar-besarkan “aku” menjadi sesuatu yang sama-sekali mustahil – ia yang harus selalu pegang kendali, selalu sempurna, selalu diperhatikan siapa saja, selalu disukai siapa saja.

Saya selalu merasa pernyataan berikut ini sangat berguna: “Tidak semua orang menyukai sang Buddha, jadi masa kita berharap disukai setiap orang?” Dan ketika kita berbuat kesalahan: “Itulah samsara.” Kita bukan makhluk terbebaskan, jadi mau bagaimana? Sudah pasti kita akan berbuat salah; kita akan tetap marah hingga kita menjadi makhluk terbebaskan. Jadi, tidak perlu merundung diri dengan rasa bersalah. Berupayalah, tentunya. Tapi jangan rundung diri dengan rasa bersalah ketika kita berbuat salah. Rasa bersalah adalah ketika kita mengenali perbuatan kita sebagai perbuatan yang begitu buruk dan “aku” sebagai makhluk yang begitu buruk karena berbuat itu. Lalu kita memegangnya kuat-kuat, dan tidak mau melepaskan itu. Itulah rasa bersalah. Seperti itulah berpikir dalam kerangka “aku” yang palsu, “aku” yang padu, yang jahat sekali. “Aku berbuat salah; aku dipengaruhi perasaan gelisah dan kebingungan. Sudah sewajarnya; aku belum menjadi makhluk terbebaskan tapi aku sedang berupaya.” Kemudian kita terapkan langkah-langkah penawarnya. Kita lakukan saja – tak ada yang istimewa.

Top