Membebaskan Aku yang Lazim dari Rasa Resah

Ulasan

Kita tadi membahas cara mengembangkan diri dengan sehat melalui tingkat-tingkat bertahap lam-rim. Dan telah kita lihat bahwa ada diri yang lazim, diri yang ada; dan itulah yang disematkan atau diwakili atau dipahami dalam semua pengalaman kita di tiap saat. Jadi, “aku” bukan hanya cara untuk mengacu tiap saat pengalaman, tetapi juga cara mengenali “aku” yang menjadi inti persoalannya. Bagaimana kita mengenali diri sendiri? Kita mengenali diri hanya dalam kerangka pengalaman, pengalaman saat demi saat dari sebuah masa hidup. Dan pemahaman kita atas cara kita mengada boleh jadi tepat, boleh jadi keliru. Bila kita anggap diri yang lazim ini mengada secara mustahil, kita berpikir dalam kerangka “aku” yang palsu – diri yang perlu dibantah. Untuk dapat mengatasi masalah dalam kehidupan, mencoba meningkatkan mutu kehidupan kita, dan mencoba mengatasi duka serta masalah, kita butuh rasa “aku” yang sehat – “aku” yang lazim. Kalau tidak, kita tidak peduli dengan hal yang kita alami dan tidak berupaya sedikit pun untuk merawat hidup kita.

Saat kita mulai memajukan pemahaman dan wawasan kita dalam lam-rim, yang berupa jalan bertahap, kita mulai dengan memahami dan menghargai kehidupan sebagai manusia yang kita miliki. Saat kita memahami bahwa kita bebas, setidaknya untuk sementara, dari berbagai keadaan yang lebih buruk yang dapat menghalangi kita dalam berbuat baik dalam hidup ini, dan ketika kita menyadari betapa hidup kita diperkaya dengan kesempatan untuk berbuat hal positif, kita akan sangat menghargai diri kita, “aku” yang lazim ini. Biar saya utarakan lagi dengan lebih jelas: kita menghargai keadaan yang kita miliki, dan karena itu kita bersikap lebih positif terhadap diri sendiri. Alih-alih selalu meratapi diri dan berkeluh-kesah, kita mensyukuri keadaan kita. Dengan kata lain, kita memperhatikan hal-hal baiknya, bukan hal-hal buruknya. Kita tidak menyangkal bahwa memang ada kekurangan dalam hidup kita. Hidup setiap orang pasti ada kekurangannya, tapi tidak ada gunanya kita mengeluh dan terpaku pada hal itu.

Ada pedoman yang kita jumpai dalam ajaran mengenai cara berhubungan dengan seorang guru rohani: kekurangannya tidak kita sangkal, tapi terpaku pada hal itu tidak ada gunanya. Alih-alih, kita melihat sifat-sifat baiknya karena sifat-sifat inilah yang mengilhami kita. Jadi, saat kita melihat sisi-sisi baik dari keadaan hidup kita dengan kehidupan sebagai manusia yang berharga ini, kita bisa terilhami untuk bersikap lebih positif terhadap diri sendiri.

Kita juga menyadari bahwa kehidupan sebagai manusia yang kita miliki sekarang ini tidak berlangsung selamanya. Kematian pasti datang dan sebelum itu – kalau umur kita cukup panjang – ada usia tua, mungkin sakit-penyakit, dll. Karena kita sangat mensyukuri kehidupan sebagai manusia yang berharga, yang kita miliki sekarang, dan kita merasa tenteram dengan diri sendiri dan sungguh ingin berbahagia, kita tidak mau hal tersebut berakhir jika kita mati. Kita ingin ia berlanjut karena kita melihat bahwa, baik secara sadar kita meyakini kelahiran kembali atau alam baka atau apa pun tata keyakinan yang kita anut, semua mengerucut pada kesimpulan bahwa kita akan abadi, sekalipun dalam kerangka pikir “sekarang aku mati”. Aku mati selamanya dan ada “aku” di situ yang mengalami keadaan mati atau keberadaan di dalam Ketiadaan Besar. Kita ingin bahagia di dalam Ketiadaan Besar itu tentunya.

Dan kita tidak ingin tidak bahagia, yang berarti tidak ingin mengalami kehidupan selanjutnya yang lebih buruk. Kita sudah mulai peduli pada diri sendiri, dan bukan hanya untuk saat ini saja, tetapi juga untuk ke depannya; dan bukan hanya di bagian lanjut dari masa hidup yang ini, tetapi juga di kehidupan yang selanjutnya. Ini sikap membangun yang lebih sehat dalam menjaga diri sendiri. Dan sikap yang paling sehat adalah mencari cara untuk menghindari duka, menghindari masalah.

Masuk kita ke dalam haluan aman, cara untuk menghindari duka di hari depan Karena “aku takut akan duka, aku benar-benar tidak menginginkannya”, kita menempatkan haluan itu dalam hidup kita. Haluan tersebut ditunjukkan oleh Buddha, Dharma, dan Sangha; dan pada tingkatnya yang terdalam, ia berarti memeroleh penghentian sejati dari sebab-sebab masalah, yang berarti penghentian duka, dan memeroleh pemahaman, jalan sejati yang akan membimbing kita ke jalan yang telah pungkas dilalui oleh para Buddha dan yang baru sebagian dilalui oleh para Arya Sangha.

Kita melihat bahwa hal pertama yang perlu kita perbuat untuk menempatkan haluan ini – haluan aman – adalah dengan menghindari sebab-sebab ketakbahagiaan, yang disebut “dukanya duka”. Artinya, ketakbahagiaan dan rasa sakit yang kasar, karena pada itulah perhatian kita pusatkan ketika kita berpikir tentang kelahiran kembali terburuk yang bisa kita alami; dan kita sungguh tidak ingin mengalaminya. Jadi, pertama-tama, kita mencoba menyingkirkan sebab-sebab dari pengalaman semacam itu, karena kalau kita sungguh peduli dengan diri kita, kita akan bersungguh-sungguh dengan diri dan pengalaman kita.

Ini berarti kita perlu memahami bahwa kalau kita tengah mengalami ketakbahagiaan, itu adalah akibat dari perilaku merusak. Dan jika kita mengalami kebahagiaan, itu adalah akibat dari perilaku membangun: menahan diri untuk tidak bertindak merusak saat kita merasa ingin melakukannya. Perilaku merusak di sini contohnya membunuh, mencuri, berbohong, memaksa orang lain untuk melakukan hubungan badan, dan lain sebagainya. Ini semua dipengaruhi oleh perasaan gelisah – baik itu nafsu, ketamakan, amarah, atau keluguan. Dan bila kita mengalami perasaan-perasaan gelisah yang menyebabkan kita bertindak secara gandrung dan merusak, maka dapat kita perhatikan, dari pengertian perasaan gelisah itu sendiri, bahwa ia berupa tataran cita yang membuat kita kehilangan rasa tenteram. Kita cemas – tidak bahagia – dan kita kehilangan kendali diri, sehingga bertindak secara gandrung. Itulah pengertian perasaan gelisah.

Jadi, jika kita bertindak merusak dengan tataran cita yang gelisah dan tidak bahagia, tidak damai, itu seperti – meminjam contoh yang diberikan penerjemah saya dalam diskusi kami saat beranjak ke sini – menaruh batu di pucuk tiang. Anda melakukan suatu perbuatan dan perbuatan itu menghasilkan, dari energi kinetik tindakan itu, energi potensial yang kini berada pada batu di pucuk tiang tersebut. Ada energi potensial di sana. Jadi, seperti dalam fisika – hukum kekekalan materi dan energi – energi kinetik tersebut kini menjadi energi potensial dan karena berbagai sebab dan seterusnya, tiang tersebut tersenggol dan energi potensial itu kini berubah kembali menjadi energi kinetik saat batu tersebut jatuh – ia menghasilkan panas, atau apa pun itu, ketika menumbuk tanah.

Energi kinetik itu – matangnya daya karma – akan menjadi perilaku merusak selanjutnya. Maksud saya, jika Anda renungkan perumpamaan proses berubahnya energi kinetik menjadi energi potensial dan kemudian kembali menjadi energi kinetik – itu semua bersifat merusak, sarat akan perasaan gelisah dan ketakbahagiaan. Jadi, mulai jelas bahwa kita mengalami ketakbahagiaan sebagai akibat dari perilaku merusak, karena perilaku merusak dilakukan dengan tataran cita yang tidak bahagia.

Kemudian, di tingkat awal ini, kita mengendalikan diri: saat kita merasa seperti ingin bertindak merusak – seolah Anda merasa tegang karena desakan ingin berbohong atau melukai orang lain atau berkata kasar dan seterusnya –kita menahan diri karena kita sadar bahwa itu hanya akan makin menebalkan ketakbahagiaan atau duka.

Jika kita bertindak seperti itu, setidaknya di kehidupan selanjutnya kita bisa menghindari – kita memang belum lagi sepenuhnya menyingkirkan sebab dari hal itu – tapi setidaknya untuk sementara kita bisa menghindari kelahiran kembali yang lebih buruk dan ketakbahagiaan yang kasar. Utamanya, di tingkat ini yang kita hindari adalah kelahiran kembali yang lebih buruk di masa hidup yang selanjutnya. Sekalipun kita terlahir kembali dengan kehidupan sebagai manusia yang berharga, tetap akan ada masa-masa tidak bahagia. Sebab-sebab duka memang belum tersingkirkan sepenuhnya, tapi setidaknya kita masih dapat berjuang dan memeroleh kelahiran kembali sebagai manusia lagi. Itulah yang sungguh kita inginkan – mampu melanjutkan langkah di jalan rohani ini.

Kebahagiaan Biasa yang Tidak Memuaskan

Nah, sekarang lingkup madya. Pada dasarnya kita memiliki kelahiran kembali yang bahagia. Tapi ingat apa yang terjadi di tingkat awal saat kita bertindak membangun. Kita bertindak membangun saat kita menahan diri untuk tidak gandrung melakukan perbuatan merusak ketika merasa seperti ingin melakukannya (ingin melakukan perbuatan merusak). Hal itu membutuhkan kehendak kuat dan kemampuan mengendalikan diri; itulah pengembangan diri yang sehat. Seperti contoh sederhana bangun di pagi hari dan berangkat kerja atau menjaga anak-anak kita – itu membutuhkan kemampuan mengendalikan diri untuk tidak berbaring saja di atas kasur, dan kehendak kuat untuk bangun. Saat Anda mau bertanggung jawab, itulah tanda pengembangan diri yang sehat. Tapi, di balik pengendalian diri dan kehendak kuat ini ada rasa “aku” padu yang sangat pekat – bahwa “aku harus mengendalikan diri, aku harus melakukannya”. Itu rasa “aku” yang sangat pekat dan “aku harusnya mampu mengendalikan diri sendiri”, dan kalau gagal, kita merasa bersalah dan seterusnya. Ini mengarah ke “diri” yang palsu.

Itulah citra “diri” yang harus tetap pegang kendali apa pun keadaan dan sebab lain yang terjadi; ia harus bertindak secara mandiri, lepas dari segala sebab dan keadaan. Mustahil. Ini, istilahnya, “sikap yang gelisah” terhadap diri sendiri: sikap yang gelisah mengenai cara kita memandang diri: bagaimanapun juga, aku harus pegang kendali. Dan walaupun dalam tataran cita yang seperti itu pada dasarnya kita lebih tenteram, tidak berada dalam pengaruh perasaan gelisah seperti amarah atau nafsu dan seterusnya – “sekarang aku yang pegang kendali dan aku dapat bertindak secara terkendali” – sikap itu bersifat gandrung. Masih ada karma di situ; kita gandrung dengan “aku harus mengendalikan diriku”. Contoh yang kemarin kita gunakan adalah perfeksionisme yang gandrung: gandrung membersihkan rumah, gandrung sehingga bersikap sangat kaku dengan budi pekerti kita.

Kebahagiaan yang seperti apa yang kita alami sebagai akibat dari hal itu? Kebahagiaan yang tidak langgeng. Jadi, misalnya, Anda perfeksionis dalam urusan bersih-bersih rumah, Anda membersihkan rumah tapi tidak pernah puas sehingga Anda ulangi lagi, dan lagi, dan lagi. Atau Anda mengoreksi sebuah makalah dan Anda perfeksionis – Anda tak tahu kapan harus berhenti karena Anda tidak pernah merasa puas. Kebahagiaan itu, istilahnya, “duka perubahan”. Dan kemudian itu meluas wilayah-wilayah pengalaman kita yang lain: semua jenis kebahagiaan yang kita alami selalu tidak langgeng. Ia berubah; Anda makan dan sangat menikmati hidangannya, tapi kalau Anda terus makan tanpa henti, Anda jadi sakit. Inilah duka perubahan kita, kebahagiaan kita yang biasa.

Membongkar Kesalahkaprahan tentang Diri

Kita telah membina rasa diri yang sehat, dalam kerangka diri yang lazim: aku bertanggung jawab atas tindakanku; aku bertanggung jawab atas pengalamanku; aku mesti berbuat sesuatu agar dapat menghapuskan sebab dari ketakbahagiaan. Sekarang, kita ingin menghapus sebab-sebab dari jenis kebahagiaan yang tidak memuaskan ini juga. Jadi, apa masalahnya di sini? Apa sebab dari masalah itu? Kita harus mulai membongkar kesalahkaprahan yang membuat kita memandang diri dalam kerangka “aku” yang palsu ini.

Biar saya jelaskan dengan cara yang lebih sederhana. “Aku” yang palsu – kita menganggap “aku” yang lazim (seperti dalam “aku melakukan ini,” “aku melakukan itu”; “aku mengalami ini,” “aku mengalami itu’) sebagai suatu ihwal “aku” yang padu di dalam benak kita, sebagai si empunya suara yang terdengar di dalam kepala kita. Suara yang berbunyi “Sekarang aku harus bagaimana, dan seperti apa anggapan orang terhadap diriku?” dan dia pula yang selalu khawatir dengan diri ini. Dia yang berdiam di situ hampir seperti mesin penggerak tubuh – “Sekarang aku harus apa?” Oh, aku begini saja,” dan dia seolah menekan tombol-tombol untuk membuat tubuh melakukan ini atau mengucapkan itu, dan dia mendapatkan semua informasi dari layar video dengan pengeras suara dari pancaindra kita; duduk di pusat kendali di dalam otak kita dan berbicara melalui mikrofon di dalam kepala kita sehingga hanya kita saja yang bisa mendengarnya.

Itu khayalan belaka. Tidak ada yang seperti itu. Kita tidak mengada seperti itu; tapi, karena itulah yang kita yakini – bahwa ada “aku” yang berdiam di sana – seperti apa kita mengalaminya? Kita mengalaminya sebagai rasa resah. Tentu saja resah karena ia sama sekali tidak ada. Jadi bagaimana kita bisa merasa tenang dengannya? Kita punya aneka cara untuk membuat si “aku” kecil ini tenang.

“Kalau aku bisa memberikan sesuatu untuk si “aku”, itu bisa membuat“ku” tenang.” Karena itu kita memiliki hasrat merindu dan, kalau kita memilikinya, kita tidak mau melepasnya – itulah kemelekatan; dan sekalipun kita sudah memilikinya kita ingin lebih – itulah keserakahan. “Aku” akan tenang – “Kalau uangku cukup,” “Kalau ada cukup banyak jempol di laman Facebook-ku” dan lain sebagainya – itu akan membuat“ku” tenang. Padahal, tentu saja, tidak. Sama sekali tidak.

Lalu, siasat lain – dan di sini kita bahas perasaan gelisah. Siasat lainnya adalah dengan menjauhkan hal-hal tertentu dari “aku”, hal-hal yang mengancam rasa tenteramku. Jadi, kita marah, ogah, bersikap bermusuhan – perasaan gelisah yang semacam itu. Atau kita lugu – “aku nggak mau mikir tentang hal yang membuatku merasa terancam”. Penyangkalan – memasang tembok penghalang di sekeliling diri. Di balik tembok penyangkalan dan keluguan, aku tenang. Dan tentunya tidak begitu. Kita selalu merasa resah: dinding itu akan diterobos.

Inilah semua perasaan gelisah yang ada dalam diri kita; kita merasa resah sehingga kita menggunakan mekanisme ini dan semua itu berujung pada perilaku merusak yang gandrung, seperti mencuri untuk mendapatkan keinginan; membunuh untuk menghancurkan apa pun yang tidak kita suka; atau bersikap masa bodoh, karena lugu. Ini semua berdasar pada kesalahkaprahan tentang diri – berpikir bahwa kita mengada sebagai “aku” yang palsu ini.

Keyakinan terhadap “aku” yang palsu juga ada di balik perilaku membangun kita, perilaku membangun yang gandrung dan obsesif. Ada perilaku membangun yang tidak bersifat gandrung, yang tidak didasari keyakinan pada “aku” yang palsu ini, tetapi di sini yang kita bahas adalah yang bersifat karma, yang gandrung. Dan yang ada di balik perfeksionisme gandrung dan obsesif ini – contoh perilaku membangun di sini – adalah keyakinan terhadap “aku” yang palsu.

Sikap-Sikap Gelisah

Tidak harus perasaan gelisah, tapi bisa jadi sikap gelisah. Sikap gelisah dapat melandasi perasaan gelisah atau berdiri sendiri. Yang paling menonjol dari semua sikap gelisah ini memiliki nama teknis yang sulit: “pandangan khayali terhadap suatu jaringan selintas”. Saya akan jelaskan maksudnya.

  • “Jaringan” adalah gugusan kita – semua hal yang membentuk tiap saat pengalaman.
  • Sifatnya “selintas”, yang berarti ia selalu berubah.
  • Dan kita ber“pandangan khayali” terhadapnya – suatu cara pandang yang tidak tepat terhadap pengalaman kita; ia senantiasa berubah.

Dan apa sebenarnya sikap ini? Kalau Anda lihat pengertian dan gambarannya di dalam naskah, ia seperti – saya suka menggunakan perumpamaan jala, seperti nelayan dengan jalanya, dan Anda melempar jala “aku” atau jala “aku sebagai pemilik sesuatu”,  “aku sebagai pemilik sesuatu yang ‘milikku’”.

Biasanya kita berpikir seperti ini tentang, katakanlah, tubuh yang belia. Kita melemparkan jala “aku” yang berkenaan dengannya – itu “aku”. Dan kita memegangnya kuat-kuat – dengan sikap gelisah yang khayali lainnya seperti “selamanya ia tetap seperti ini” dan Anda melihat bayangan Anda di cermin dan ternyata ada rambut putih di kepala dan Anda bilang “Itu bukan aku.” [Karena sikap gelisah ini] kita membayangkan citra “aku” yang tetap. Jadi, kita melemparkan jala “aku” itu ke suatu hal di dalam pemadu – misalnya, tubuh kita – dan mengenali diri dengannya. Seperti “aku, aku gemuk,” dan kemudian dengan gandrung Anda diet dan mencoba menurunkan berat badan. Lalu, Anda berhasil turun satu kilo dan Anda cukup senang, tapi kebahagiaan itu tidak langgeng, dan Anda harus mengurangi satu kilo lagi. Atau (sikap) ini juga bisa menyertai kegandrungan dengan pola makan sehat. Tidak ada yang salah dengan pola makan sehat, tapi ketika ia bersifat gandrung, berlandaskan pada gagasan “aku harus kurus”, di Barat kita menyebutnya agak neurotik.

Demikian pula halnya dengan “milikku”: “aku, aku pemiliknya, yang menguasainya.” Ini sesuai dengan contoh yang tadi kita bahas: kita melemparkan jala “aku” ke keadaan yang kita alami dan “aku harus mampu mengendalikannya”. “Aku” yang padu ini menjadi tuan di dalam benak kita – “aku harus mampu mengendalikannya, dan kalau tidak, aku bersalah.” Jadi, inilah sikap gelisah di baliknya, melemparkan jala “aku” – “aku” si pengendali, “aku” si pemilik – pada apa pun hal yang tengah kita alami.

Kita membayangkan, “Kalau semua bisa kukendalikan, aku merasa tenteram.” Mungkin Anda merasa tenang dan sedikit senang untuk beberapa saat, tapi itu tidak berlangsung selamanya, bukan? Karena mustahil kita mampu mengendalikan semuanya. Anda lemparkan jala “aku” ini – “aku akan mengoreksi semua orang, aku akan mengoreksi kesalahan setiap orang.” Memang itu sifatnya baik, positif; tapi agak berlebihan, bukan? Dan mustahil kalau kita mengira bahwa kesalahan itu tidak akan pernah ada lagi, bukan? Karena kesalahan pasti terjadi, atau segala hal bisa jadi kacau dan seterusnya – itu semua dipengaruhi oleh begitu banyak sebab dan keadaan. Kita bukan Tuhan yang Maha Kuasa. Itu khayalan namanya.

Jadi perasaan gelisah di balik perilaku merusak ini – perilaku merusak yang gandrung – dan sikap-sikap gelisah yang tidak hanya ada di balik perilaku merusak tetapi juga di balik perilaku membangun kita yang positif – semua ini berdasar pada keyakinan, kesalahkaprahan kita tentang diri. Kita yakin bahwa kita mengada sebagai “aku” yang palsu – atau lebih sederhananya si mandor kecil di dalam benak kita. Dan karena yakin bahwa itu “aku”, kita merasa resah. Jadi, kita mencoba memberikannya sesuatu, menjauhkannya dari sesuatu, membentenginya dengan tembok penghalang, atau mengekangnya, menjalanya, untuk mengendalikan segala sesuatu di sekelilingnya. Dan tidak satu pun dari semua siasat ini berhasil. Yang dihasilkannya justru samsara yang berulang, naik dan turun, tanpa terkendali – ketakbahagiaan, kebahagiaan, ketakbahagiaan, kebahagiaan – di dalam masa hidup yang sekarang ini dan di kehidupan selanjutnya. Itulah samsara.

Coba renungkan sejenak hal yang kita sebut dengan “diri yang palsu” ini, diri yang perlu dibantah ini. Ia berdasar pada kesalahkaprahan dan pengerahan khayalan pada diri yang lazim, dalam hal caranya mengada. Diri itu ada, tapi bukan si mandor kecil yang duduk di dalam kepala kita, di belakang papan kendali. Dan hal pentingnya di sini adalah bahwa “aku” yang biasa itu ada. Hanya saja, dia tidak duduk di ruang kendali. Tapi “aku” yang biasa itu ada. Itulah yang penting sekali, yang telah kita bina melalui tingkat-tingkat sebelumnya. Kalau Anda naik ke tingkat ini tanpa mengerjakan tingkat-tingkat sebelumnya, Anda menyingkirkan si mandor di dalam kepala Anda, maka tidak ada yang tersisa. Dan karena itu, “Buat apa repot-repot? Aku tidak ada.” Itu keliru. Jadi, penting sekali bagi kita untuk melalui langkah-langkah ini sebelumnya untuk membina rasa “aku” yang sehat, yang bertanggung jawab atas kehidupan dan pengalaman kita.

Cara Kerja Karma dan Kelahiran Kembali

Baik; sekarang, kita mulai mengembangkan “penyerahan”. Ini berarti tekad untuk bebas dari naik-turunnya samsara. Untuk dapat memutus sindrom ketakbahagiaan ini dan kemudian kebahagiaan yang tidak memuaskan dan kelahiran kembali yang menyokongnya dan seterusnya, kita perlu mengatasi dasar dari itu semua. Mengapa semua itu berlanjut? Ada jenis – jika kita berpikir dalam kerangka lam-rim – kelahiran kembali dan seterusnya yang akan terus menjadi dasar bagi kita untuk mengalami ketakbahagiaan dan kebahagiaan tak memuaskan yang naik turun ini. Untuk ini, kita lihat seperti apa cara kerja kelahiran kembali, sindrom yang berulang ini, dan hal tersebut digambarkan dengan “dua belas tautan kemunculan bergantung”.

Kali ini tidak perlu kita bahas seluruhnya, tapi yang cukup menonjol di sini adalah tautan yang akan menggiatkan daya karma. Ada gagasan yang biasanya diterjemahkan menjadi “mendamba”, tapi kalau Anda lihat kata aslinya dalam bahasa Sanskerta, kata tersebut bermakna “haus”. Nah, yang terjadi di dalam kehidupan kita setiap hari dan – dengan kelahiran kembali – dari kehidupan yang satu ke kehidupan yang lain adalah bahwa kita mengalami ketakbahagiaan dan kebahagiaan yang tak memuaskan, dan memandang diri sebagai “aku” padu yang ada di dalam kepala kita. Kita kehausan, seperti itu istilahnya. Maksud saya, benar-benar merasakan dahaga yang amat sangat.

Seperti itulah, ketakbahagiaan itu benar-benar seperti rasa haus yang sangat dan Anda begitu ingin segera menghilangkannya; rasa haus ini, ketakbahagiaan ini yang ingin kita hilangkan. Tentu saja, boleh jadi ada kadar atau jenjang sekuat apa haus itu kita rasakan dan keinginan untuk menghilangkan ketakbahagiaan seperti rasa haus yang tidak menyenangkan. Inilah sikap batin yang muncul ketika kita tidak bahagia, karena setiap orang ingin bahagia dan tidak ada yang ingin tidak bahagia.

Dan saat kita amat sangat haus, kalau hanya menyeruput sedikit air, rasanya tidak cukup, bukan? Anda tidak ingin terpisah dari seruput air minum itu, dari botol air minum itu. Anda ingin tetap memilikinya. Jadi, inilah tataran cita yang ada – sungguh berupa perasaan gelisah – bersama kebahagiaan dan ketakbahagiaan yang kita alami. Kita terus merasa haus.

Kemudian ada hal yang kadang disebut “menggenggam”, tapi yang secara harfiah sebetulnya berarti sikap pemeroleh – yang memeroleh kelahiran kembali – yang kita kerahkan [sebagai sikap gelisah]. Panjang daftarnya, tapi butir yang utama adalah bahwa kita melemparkan jala “aku”, bahwa “aku harus mengendalikan dan menghadapi keadaan ini; aku harus menyingkirkannya”. Dan kita mengenali diri kita dengannya, “aku” – “Aku sangat tidak bahagia”; “Aku begitu menderita”; “Malangnya diriku”; dan rasa tertekan dan semua hal yang mengikutinya. Atau, “Aku selalu luput dari kebahagiaan, ia selalu berkelit dariku” – kita melemparkan jala “aku” ini dan “aku, yang memiliki, yang mengalami, yang mengendalikan” kebahagiaan dan ketakbahagiaan ini.

Keduanya itulah – rasa haus dan sikap pemeroleh itu, yang melemparkan jala “aku” pada segala hal –yang menggiatkan daya karma. Akibatnya, seperti digambarkan melalui cara kerja dua belas tautan itu, kita secara gandrung memeroleh kelahiran kembali. Tapi Anda pun bisa memahami ini dalam kerangka masa hidup yang sekarang: dengan gandrung kita bertindak untuk menyingkirkan rasa haus ini; dengan satu atau lain cara kita mencoba memuaskan dahaga, padahal tidak pernah bisa. Jadi, akar dari semua ini tentunya adalah ketaksadaran mengenai tautan pertama kemunculan bergantung: ketaksadaran kita mengenai diri, mengenai cara kita mengada. Jadi kita harus berupaya menyingkirkan keyakinan bahwa kita mengada sebagai diri yang palsu – “aku” kecil yang bersemayam di dalam kepala kita, yang begitu haus; haus dan resah. Coba renungkan.

Menarik sekali kalau kita telaah seperti apa sikap kita terhadap ketakbahagiaan dan kebahagiaan. Sungguh sangat menarik. Bagaimana caraku menghadapinya? Apakah aku sama seperti musafir yang kehausan di tengah padang gurun? Tentunya, pertama-tama kita harus peduli. Kalau tidak peduli, kita tidak akan berbuat apa-apa; tapi, kita telah mengembangkan rasa diri yang sehat, yang membuat kita peduli dengan hal yang kita alami. Tapi apakah kita terlalu peduli seperti si musafir di tengah gurun yang sangat kehausan ini? Di situ letak persoalannya. Ibarat orang putus asa yang begitu hausnya sehingga ia akan merenggut apa saja yang bisa diminum, dan berharap itu akan memuaskan dahaganya, membuatnya bahagia. Sangat menarik, kalau Anda jelajahi lebih jauh gambaran ini. Mungkin film ini akan membuatku bahagia; mungkin situs web ini akan membuatku bahagia; mungkin orang ini akan membuatku bahagia; makanan ini akan membuatku bahagia. Kita selalu haus.

Atau Anda membangun tembok penghalang dengan terus-terusan mendengarkan musik dari iPod, sehingga Anda tidak mesti memikirkan apa pun. Seperti keluguan yang terlalu – membentengi diri dengan dinding penghalang sehingga aku tidak harus mengurus persoalan hidupku; mungkin itu akan membuatku bahagia. Supaya aku tidak harus benar-benar memikirkan keadaanku dan mungkin, kalau aku menyangkal semuanya dan lari ke musik, itu akan membuatku bahagia – padahal, tentu, tidak. Anda harus mendengarkan lagu berikutnya; satu lagu saja tidak cukup.

Pertanyaan

Menafikan “Aku” yang Palsu Saja

Kalau kita pahami istilah “haus” ini dengan agak harfiah, tentu kita akan haus. Kita manusia yang memang butuh minum. Jadi apa yang sebenarnya kita maksud di sini, semacam sikap neurotik yang obsesif mengenainya atau apa? 

Ini mengapa penting sekali untuk tidak menafikan “aku” yang lazim. Yang kita nafikan adalah “aku” yang palsu saja. Cara sementara untuk menghadapi sindrom bahagia/tidak bahagia dan haus dan seterusnya adalah sikap “tak ada yang istimewa”. “Aku tidak bahagia” – tak ada yang istimewa; namanya juga hidup. “Aku bahagia dan rasa ini akan berlalu” – Ya, tak ada yang istimewa; memang begitu.

Jadi Anda tidak membesar-besarkan rasa tak bahagia atau bahagia. Rasa haus itu jangan dibesar-besarkan; kalau saya haus dan ada yang bisa diminum – baik, saya minum. Saya tidak berharap tidak pernah haus lagi. Tentu saya akan haus lagi. Jadi tak ada yang istimewa dengan minum; tak ada yang istimewa dengan haus, dalam hal “aku” yang lazim. Kita hadapi saja, tapi tidak dengan “aku” yang palsu, “Oh, kalau aku punya minuman sempurna ini, segalanya akan hebat, dan jangan berani ambil itu dariku!” – seperti seekor anjing dengan mangkuk makanannya, selalu mengawasi kalau-kalau ada yang akan mengambil itu darinya. Jangan tertipu dengan iklan TV; mereka pamerkan sebotol minuman ringan atau apa pun itu: “Penghilang dahaga!” – minuman ini akan membuat Anda begini dan begitu. Yang benar saja!

Memeroleh Pemahaman yang Lebih Dalam

Soal diri yang lazim, tadi Anda katakan kita perlu tahu seperti apa diri yang lazim ini mengada, tapi saya rasa tahu saja tidak cukup. Seperti apa sebetulnya cara kita memeroleh pemahaman yang lebih dalam, pemahaman yang benar-benar menggerakkan kita untuk berubah? Bagaimana kita bisa memeroleh hal itu?

Saya rasa masalahnya di sini adalah cara kita membayangkannya. Ada pemahaman yang sifatnya cendekia dan ada pemahaman yang sifatnya rasa, dan apa sebetulnya ukurannya di sini? Ini yang perlu kita periksa. Saya rasa salah satunya adalah “kepastian”. Seberapa yakin kita? Seberapa yakin kita bahwa inilah “aku” yang lazim dan inilah caranya mengada dan inilah caranya tidak mengada. Jadi pertama-tama, kita harus benar-benar yakin bahwa inilah yang benar.

Ada serangkaian anasir batin yang berperan di sini. Kita perlu membedakan antara caranya mengada dan caranya tidak mengada; kemudian kita kembangkan kesadaran pembeda – Anda benar-benar yakin dengan hal itu; dan keyakinan ini kokoh, sehingga tak ada yang bisa menggoyahkannya. Jadi ada rangkaian maju menuju ke arah itu.

  • Pertama, kita kenali caranya mengada dan caranya tidak mengada.
  • Kemudian kesadaran pembeda – Anda bedakan, sehingga itu menambah kepastian.
  • Lalu keyakinan kokoh, yang tak bisa digoyahkan. “Aku benar-benar yakin.”

Nah, kalau Anda katakan “Yakinnya masih di pikiran saja”, apa yang hilang di sana? Anda masih perlu menjalankan pemahaman tersebut, dan di situlah terletak persoalan “menjadi yakin” tadi. Menjadi yakin bahwa jika saya berbuat dengan keyakinan bahwa saya adalah diri yang palsu, hal itu berbuah ketakbahagiaan dan duka; jika saya menyingkirkan hal itu dan bertindak atas dasar “aku” yang lazim, saya tidak akan menghasilkan duka seperti ini. Jadi, untuk benar-benar menjadi yakin akan hal itu, Anda mesti betul-betul menjalankannya dan kemudian Anda lihat bahwa hasilnya sesuai dengan yang dikatakan di dalam ajaran. Lalu, Anda benar-benar menjadi yakin.

Jadi kalau Anda sungguh memahaminya dengan benar, mengapa tidak dicoba? Mengapa tidak dijalankan? Coba Anda telaah: “Mungkin aku masih belum mantap hati. Belum yakin betul. Aku masih ragu.” Anda belum benar-benar yakin. Nah, Anda bisa mencobanya saja dahulu: “Sepertinya sih benar, jadi aku akan coba dahulu.” Jadi kenapa tidak Anda lakukan? Malas – lalu Anda lihat dan periksa semua bentuk kemalasan dan alasannya: takut, pengaruh buruk dari orang-orang di sekitar yang berkata “Oh ini konyol” dan seterusnya.

Jadi, perolehan pemahaman yang menggerakkan kita untuk berubah ini timbul dari begitu banyak sebab dan keadaan. Jangan dibuat bingung atau dimistiskan – “memistiskan” saya rasa istilah yang tepat – jangan dimistiskan “Oh, ini dia, perubahan rasa yang mendalam.” Ini bukan pengalaman yang mistis sama sekali. Sampai ke titik pemahaman itu merupakan rangkaian maju yang sangat masuk akal, dan saya rasa ukuran utamanya di sini adalah seberapa yakin Anda, seberapa yakin Anda bahwa ini benar.

Penyerahan, Kesadaran Pembeda, dan Sila

Baik, berikutnya kita kembangkan penyerahan. Sekarang kita telah memahami mekanisme kelahiran kembali yang berulang tanpa terkendali dan bahkan naik-turun “bahagia” dan “tak bahagia” yang berulang tanpa terkendali di dalam kelahiran kembali ini. Penyerahan berarti “aku muak dan lelah dengan semua ini; aku bosan, bosan sekali, dan ingin berhenti, ingin keluar”. Ini membutuhkan rasa “aku” lazim yang sangat kuat, yang memiliki kehendak kuat dan tekad untuk benar-benar berbuat sesuatu demi memeroleh kebebasan. Tanpa rasa “aku” lazim yang sehat dan kuat, Anda tidak akan berbuat apa pun. Tolong pahami hal itu. Butuh kehendak yang teguh dan kuat untuk berupaya menuju kebebasan. “Akan kulakukan” – kira-kira seperti itu; dan keyakinan bahwa aku bisa melakukannya.

Nah, untuk memeroleh kebebasan, kita paham bahwa kita membutuhkan kesadaran pembeda yang kita gunakan untuk yakin bahwa diri yang palsu ini – cara diri, “aku”, ini mengada – tidak mengacu pada kenyataan. Ada “aku” yang lazim: ia hal yang dapat disematkan pada [kesinambungan] saat-saat pemadu yang selalu berubah. Ia kekal; tapi bukan itu masalahnya. Ia tidak mengada secara mustahil. Mengada secara mustahil – inilah yang perlu kita bantah. Kita harus menyingkirkan keyakinan itu.

Dan kita harus memiliki daya pemusatan yang lebih tinggi untuk tetap terpusat pada kemampuan membedakan dan memahami tersebut. Dan kita perlu memiliki sila, yang kita gunakan untuk mengembangkan kehati-hatian – kehati-hatian adalah lem batin – untuk tetap merekat pada tataran cita ini; dan keawasan untuk selalu memeriksa diri: aku menyimpang atau tidak? Anda kembangkan itu dengan sila, terkait perilaku tubuh dan wicara Anda yang lebih kasar; lalu, dengan kekuatan yang telah Anda tempa darinya, Anda mengembangkan daya pemusatan; dan kemudian gunakan itu untuk tetap terpusat pada cara mengada kita yang sebenarnya – pada sunyata, tiadanya cara mengada yang mustahil. Jadi, untuk sila yang lebih tinggi, daya pemusatan yang lebih tinggi, kesadaran pembeda yang lebih tinggi, kita perlu memiliki rasa “aku” sehat yang kuat.

“Aku” yang Seperti Apa yang Coba Kita Bebaskan?

Persoalan pokoknya di sini: “aku” seperti apa yang coba kita bebaskan? Kita harus memahami seperti apa “aku” yang ingin kita bebaskan itu mengada. Kita tidak ingin membebaskan “aku” yang palsu sehingga “aku” yang palsu yang terbebaskan. Kita ingin membebaskan “aku” yang lazim. Inilah mengapa tingkat pemahaman pertama yang perlu kita miliki, bantahan yang perlu kita lakukan, berkenaan dengan diri yang dinyatakan dalam aliran India tan-Buddha lainnya, karena mereka juga mengajarkan cara-cara memeroleh kebebasan. Tapi ternyata yang ingin mereka bebaskan adalah “aku” yang palsu.

Sosok “aku”, diri, yang terpisah dari segala tata – inilah yang mereka [aliran-aliran India tan-Buddha itu] peroleh: pembebasan diri yang terpisah dari segala tata samsara naik dan turun dan yang dapat memegang kendali untuk membebaskan dirinya sendiri. Menarik sekali kalau kita coba merenungkannya: ada “aku” yang mengendalikan semuanya; dan sekarang aku akan membebaskan diriku dari ketakbahagiaan dan kebahagiaan yang tak memuaskan ini, dan di situ aku akan keluar dari kepalaku, karena siapa yang mau duduk di depan papan kendali konyol ini? Dan aku akan terbebaskan.

Tidak terdengar begitu janggal karena kalau kita periksa diri kita, biasanya itulah citra yang kita miliki mengenai siapa yang coba kita bebaskan, bukan begitu? Kita mencoba membebaskan “aku” yang palsu, diri yang palsu.

Jadi, mari kita lihat ciri-ciri diri yang palsu. Kita ingin memiliki diri yang tidak dipengaruhi perasaan gelisah dan kegandrungan karma. Baik. Tapi, kalau kita berpikir dalam kerangka “aku” yang palsu, yang ingin kita peroleh adalah “aku” yang tidak dipengaruhi oleh apa pun.

Yang kita maksud di sini adalah tiga ciri pandangan keliru mengenai diri, yang didasarkan pada dalil agama. Yang pertama adalah bahwa ia jumud. Dikatakan bahwa ia “tetap” tapi kita lihat bahwa dalam agama Buddha sekalipun kita berpikir dalam kerangka diri yang abadi, jadi “tetap” tidak berarti abadi di sini. Ia berarti jumud (statis); tidak dipengaruhi apa pun. Pokok pentingnya adalah bahwa ia tidak dipengaruhi oleh apa pun: ia merupakan gejala yang tidak bersyarat.

Nah, di sini letak kerancuannya: bukan bahwa diri itu tidak dipengaruhi oleh apa pun; tapi yang kita inginkan adalah agar diri tidak dipengaruhi oleh perasaan gelisah dan sikap gelisah. Tentu saja kita tetap dipengaruhi oleh welas asih dan kepedulian terhadap sesama; ada banyak hal lain yang tetap memengaruhi kita. Kesalahkaprahannya adalah bahwa diri yang palsu itu sendiri bisa tidak dipengaruhi oleh apa pun. Dan itulah jenis diri yang, di dalam berbagai tata tan-Buddha, ingin mereka bebaskan; diri yang tidak dipengaruhi oleh apa pun, yang [bila terbebaskan] akan sepenuhnya terpisah dari keseluruhan tata, sepenuhnya terpisah dari segalanya.

Yang kita lihat di sini, bantahan awalnya, berkenaan dengan diri yang – biasanya diterjemahkan sebagai – (1) “tetap”, (2) “tunggal”, dan (3) “mandiri”. Kita lihat lebih dekat.

(1) “Tetap” sebetulnya berarti jumud, tidak dipengaruhi oleh apa pun. Namun, [dalam ajaran Buddha] kita hanya ingin dia tidak dipengaruhi oleh, pada dasarnya, kebodohan dan perasaan gelisah, ketaksadaran. Tapi tidak mungkin dia tidak bisa dipengaruhi oleh apa pun.

(2) Ciri kedua adalah “tunggal”. Apa artinya? “Tunggal” berarti tidak memiliki bagian – ihwal yang esa. Jadi, tata ajaran utama yang tengah dibantah di sini, tata tan-Buddha itu, adalah Samkhya dan Nyaya Vaisheshika. Kaum Samkhya dan Nyaya menyatakan bahwa diri tidak memiliki bagian, esa, dan manunggal bersama semesta; seukuran seluruh alam semesta. Dan kaum Vaisheshika berkata bahwa diri itu ihwal esa yang tidak memiliki bagian, tapi seukuran partikel kecil, seperti percik kehidupan. Jadi, tanpa bagian. Nah, coba pikirkan, apa makna dari tanpa bagian, apa makna esa? Apa kaitannya di sini?

Jadi, kita masukkan “tanpa bagian” ke dalam mesin penelusuran batin kita dan muncul pernyataan Vaibhashika mengenai jenis gejala sejati yang terdalam dan lazim. Di situ mereka membahas “tanpa bagian”, jadi seperti inilah umat Buddha memahami makna “tanpa bagian”. Vaibhashika adalah salah satu dari tata ajaran Buddha. Nah, pengertiannya adalah bahwa ketika Anda menelaah sesuatu yang tanpa bagian, ia mempertahankan jati dirinya, tanda pengenalnya yang sejati. Sesuatu yang memiliki bagian, kalau kita telaah, tidak lagi mempertahankan jati dirinya. Ini ada meja, dan meja ini memiliki bagian-bagian. Bila saya lihat dan bongkar meja ini, dan mengamati bagian-bagiannya, tidak satu pun dari bagian-bagian itu disebut meja. Jadi ia tidak lagi mempertahankan jati dirinya sebagai meja.

Tapi sesuatu yang tanpa bagian – dan contoh yang akan digunakan adalah, misalnya, partikel terkecil yang ada – tidak dapat dibagi lagi. Kalau Anda coba menelaahnya, sekeras apa pun Anda mencoba, ia tetaplah partikel karena ia tidak memiliki bagian. Jadi ia mempertahankan jati dirinya. Nah, kalau Anda terapkan itu pada diri, diri yang terbebaskan, maka di mana letak kekeliruannya? Kekeliruannya adalah ia menyiratkan bahwa diri tidak disematkan pada suatu dasar yang memiliki bagian. Diri, diri yang lazim, disematkan pada tubuh dan pikiran dan perasaan dan segala hal yang senantiasa berubah. Jadi, dalam pengertian itu, diri memiliki bagian, seperti citra meja yang disematkan pada semua bagian ini. Semua bagian ini, tubuh, pikiran, perasaan, dll., ada pada diri kita.

Tapi kalau diri merupakan ihwal yang tunggal, tanpa bagian, ia tidak bisa memiliki suatu dasar anggapan bahwa ia memiliki bagian. Tidak bisa ada “aku” yang berusia enam tahun, atau enam belas tahun, atau dua puluh lima tahun, dst. Tidak bisa ada “aku” dalam tubuh, pikiran, perasaan, yang kurasakan dan seterusnya. Ia menjadi ihwal esa yang tanpa bagian. Itu mustahil; yang coba mereka bebaskan adalah sesuatu yang tidak memiliki bagian, yang tidak terbuat dari unsur-unsur penyusun ini (dalam tata Samkhya, ada tiga unsur: raja, tama, dan sattva). Jadi bukan itu. Di dalam tata Buddha, dikatakan bahwa ia disematkan bukan pada ketiga guna, ketiga unsur penyusun ini, tetapi pada gugusan. 

Kalau kita ungkapkan dalam bahasa sederhana, tata-tata yang lain ini berkata bahwa diri tidak terbuat dari apa pun; ia tanpa bagian. Jadi jangan berpikir bahwa itulah diri yang coba kita bebaskan, diri yang tidak terbuat dari apa pun. Diri itu terbuat dari tubuh dan pikiran dan perasaan dan ia berubah, dipengaruhi usia dan seterusnya. Ia terbuat dari banyak hal. Bila Anda kaji, apakah tubuh itu diri? Apakah pikiran itu diri? Tidak. Ia tidak lagi mempertahankan jati dirinya di tingkat bagian-bagiannya.

(3) Hal ketiga yang ingin kita bantah adalah diri yang mandiri dari tubuh atau pikiran apa pun; diri yang dapat mengada secara terpisah dari tubuh dan pikiran, dari dasar penyematan – itulah yang ingin dibebaskan dalam aliran Samkhya dan Nyaya. Kalau begitu, ada diri yang sepenuhnya terpisah dari semesta, terpisah dari tubuh dan pikiran, terpisah dari segalanya – ia tidak memiliki suatu dasar penyematan. Supaya jelas saja, bagian kedua dari pengertian diri yang palsu ini adalah menghilangkan atau menyangkal bahwa ia memiliki suatu dasar penyematan; di sini dinyatakan bahwa ia sepenuhnya terpisah dari apa pun.

Nah, menarik sekali kalau kita perhatikan betul apa yang dimaksud semua tata tan-Buddha ini. Samkhya berkata bahwa diri itu kesadaran pasif yang tidak terbuat dari zat – zat utama yang mereka maksudkan. Jadi ia tidak sama dengan unsur ragawi untuk pengindraan, yang dalam istilah Barat kita sebut otak. Ia tidak sama dengan otak. Otak mengalami kebahagiaan dan ketakbahagiaan, atau samsara. Otaklah dasar ragawi yang mengalaminya. Tapi diri, bebaskan saja dia. Diri itu kesadaran pasif yang tidak berkaitan dengan otak. Jadi, seperti itulah aku akan terbebaskan dari duka dan dari kebahagiaan yang tidak memuaskan ini. Sadari saja bahwa aku terpisah dari otak; tubuhlah yang mengalami semua ini, dan aku tak mau itu. Dan seperti itulah caraku menjadi diri yang terbebaskan; diri yang tidak merasakan apa pun. Diri yang terbebaskan adalah kesadaran pasif, tapi ia tidak benar-benar tahu apa pun. Ia cuma ada saja.

Terkesima?

Bukan terkesima, karena itu tetaplah rasa. Tidak ada rasa sama sekali. Otaklah yang mengalami rasa. Ini menarik karena kenyataannya banyak dari kita yang menginginkan itu, terkesima saja. Tapi rasa itu bersifat ragawi. Dari sudut pandang Samkhya, rasa hanyalah reaksi elektron dan neuron dan seterusnya; jadi ia hanya berupa proses elektrokimia yang terjadi di dalam otak. Ia bersifat ragawi. Tapi diri tidak bersifat ragawi, sehingga ia terpisah dari semua itu.

Dalam pandangan Nyaya dan Vaisheshika, diri tidak memiliki kesadaran. Aliran Samkhya berkata bahwa diri memiliki kesadaran pasif; Nyaya, tidak berkesadaran. Ia tidak memiliki sifat apa pun. Dikatakan bahwa sebetulnya yang memiliki kesadaran adalah sesuatu yang disebut “partikel cita”, dan diri tidak berkaitan dengan partikel cita. Saya membayangkan tata Nyaya Vaisheshika ini seperti – di Amerika ada yang namanya Erector Set, dengan palang kecil dan bola-bola yang Anda hubungkan di ujung palang itu. Ada lubang kecil di bola-bola ini dan Anda bisa menghubungkan banyak benda dengan palang ini. Seperti inilah kira-kira cara Nyaya Vaisheshika merangkainya: ada diri, lalu ada partikel cita; dan ada tubuh dan ada rasa; segalanya hanyalah bola-bola kecil yang dihubungkan dengan palang, dan palang ini berupa hubungan yang berbeda-beda – memiliki atau memeroleh, dan semacamnya. Jadi ini merupakan cara pandang yang bersifat sangat ragawi atas hubungan segala sesuatu. Dan dikatakan, “Diri adalah sesuatu yang tidak terkait dengan apa pun; tinggal diputus saja.” Jadi putuskan ia dari partikel cita, putuskan ia dari segalanya – cabut stekernya – dan seperti itulah, ia bebas. Anda cabut semua steker sehingga tidak ada lagi kesadaran; seperti itulah Anda berhenti merasakan ketakbahagiaan atau kebahagiaan yang tidak memuaskan. Cabut stekernya.

Jadi, bukan ini yang ingin kita bebaskan, bukan diri yang palsu ini. Diri yang ingin kita bebaskan, diri yang lazim, adalah yang memang dipengaruhi berbagai hal. Ia tidak lagi dipengaruhi perasaan gelisah tetapi ia tetap dipengaruhi yang positif, dan ia tetap bisa bersinggungan dengan yang lain. Ia tidak tanpa bagian. Ia tidak tanpa tubuh dan pikiran dan seterusnya. Ia tetap akan memiliki tubuh dan pikiran dan perasaan – rasa dan perasaan yang positif. Dan ia tetap mengalami; ia tidak akan mengalami ketakbahagiaan atau kebahagiaan yang tidak memuaskan, tetapi ia mengalami kebahagiaan yang murni atau bisa juga – kalau kita semata-mata membahas kebebasan saja – jenis rasa yang netral seperti yang Anda rasakan ketika terserap ke dalam meditasi. Jadi ia tetap mengalami rasa – rasa yang murni.

Ini penting sekali. Ketika kita berjuang memeroleh kebebasan, kita membebaskan “aku” yang lazim, bukan “aku” yang palsu, yang sama sekali tidak ada. Dan tingkat yang lebih dalam yang mesti kita bantah di sini adalah bahwa ada diri yang dapat diketahui atas dirinya sendiri, tanpa suatu dasar apa pun yang juga muncul secara bersamaan. Istilah teknis untuk hal ini adalah “diri yang dapat diketahui secara sendiri”. Tidak ada yang seperti itu.

Contoh yang selalu saya gunakan adalah: aku ingin orang menyayangi“ku” karena “aku,” karena diriku saja; bukan karena tubuhku, bukan karena uangku, bukan karena ini dan itu – kasihi “aku” karena “aku”, seolah-lah “aku” serupa objek yang dapat dikasihi karena dirinya saja. Padahal ia tidak bisa dikenali dengan dirinya saja. Ia tidak bisa dikasihi karena dirinya saja. Ia selalu memiliki dasar.

Saat kita berupaya mengenali diri – bagaimana Anda bisa mengenali diri sendiri hanya dengan diri sendiri? Anda mengenali diri dalam kerangka pengalaman dan pikiran dan tubuh, dan sebagainya. Seperti itulah cara Anda mengenali diri. Diri disematkan pada hal-hal tersebut. Begitu pula, seperti apa aku membebaskan diriku? Jangan anggap ia diri yang dapat diketahui secara terpisah dari semua hal ini. Ia selalu memiliki dasar. Ingatlah, kita memulai sesi belajar ini dengan mencoba memikirkan diri kita. Dan satu-satunya cara untuk memikirkan diri kita adalah dengan suara batin dari kata “aku” atau gambar batin atau rasa atau suatu hal lainya. Anda tidak bisa langsung berpikir “aku”, tanpa sesuatu apa pun yang menjadi dasarnya. Demikian pula, Anda tidak bisa membebaskan “aku” dengan dirinya saja tanpa mengupayakan “aku” yang disematkan pada suatu dasar dan diketahui secara bersamaan dengan dasarnya.

Hal ini menyiratkan apa? Menyiratkan bahwa ketika aku berupaya memeroleh kebebasan, aku harus berpikir dalam kerangka pengalamanku setiap hari; dan dalam kerangka masalah yang benar-benar aku hadapi, perasaan gelisah yang aku hadapi, dan “aku” yang disematkan padanya. Seperti itulah cara kita berupaya memeroleh kebebasan diri. Bukan dengan semata-mata memikirkan diri yang niskala tanpa hal lainnya – suatu hal yang mustahil – dan itulah yang ingin kubebaskan. Kalau begitu, Anda tidak benar-benar mengaitkan meditasi Anda dengan kehidupan, kehidupan sehari-hari.

Jadi, penting sekali ketika kita menjalankan tiga latihan tinggi untuk memeroleh kebebasan – walau kita membutuhkan rasa diri yang lazim yang memiliki kehendak kuat dan tekad untuk bebas dan seterusnya – kita perlu berhati-hati bahwa ia bukanlah “aku yang akan mengendalikan pikiranku”, “aku yang akan mengendalikan perilakuku”, dan “aku yang akan membebaskan diriku” – seolah ada “aku” yang padu, yang melakukan semua ini dan membebaskan dirinya sendiri. Seolah ada “aku” yang padu dan terpisah dari segalanya.

Coba sejenak kita renungkan itu. Tentu banyak sekali yang perlu kita cerna. Tapi kita bisa rangkum secara sederhana dan mencoba mencernanya. Maksud saya, Anda bisa merangkumnya ke dalam satu kalimat sederhana: jangan mencoba membebaskan diri yang palsu, karena ia sama sekali tidak ada; yang kita coba bebaskan adalah “aku” yang lazim.

Baik, kita akhiri di sini. Semoga apa pun daya positif, apa pun pemahaman yang telah timbul dari ini, dapat merasuk lebih dan makin dalam serta berlaku sebagai sebab yang berperan bagi pencerahan setiap insan – “setiap insan” yang biasa, bukan “setiap insan” yang mustahil.

Top