Membongkar Kecemburuan: Berbagai Citra Mewarnai Hubungan

Saya berpikir untuk memulai dengan beberapa pertanyaan, jika Anda punya.

Andrea mengatakan bahwa ia akan setuju bahwa ia tak punya hak untuk menuntut, tetapi bagaimana dengan seorang anak? Bukankah seorang anak punya hak untuk dikasihi, atau bukankah setiap manusia punya hak untuk setidaknya punya sedikit hal yang diperlukan untuk hidup? Dalam kerangka apa yang dapat kita harapkan. . .

Jika kita hendak memandang persoalan itu dalam cara yang objektif, saya pikir kita perlu melihatnya tidak semata-mata pada dunia manusia, jika kita ingin melihat apakah ada suatu hal bawaan yang asli. Tetapi jika kita melihat dalam dunia binatang, maka ada banyak bayi binatang, maksud saya Yang Mulia selalu menggunakan contoh ini, kura-kura laut yang meletakkan telur-telurnya di pantai dan kemudian pergi. Dan mereka menetas dan bayi-bayi kura-kura itu pada dasarnya merawat diri mereka sendiri. Jadi saya pikir akan sulit untuk membuktikan bahwa ada hak yang asli.

Sekarang, sebuah pertanyaan yang sepenuhnya berbeda adalah apakah benar atau tidak sebagai orang tua kita memiliki tanggung jawab untuk merawat anak-anak kita dan untuk mengasihi mereka sebaik yang kita bisa. Untuk hal itu saya pikir kita memilikinya, jika kita memutuskan untuk menjadi orang tua. Tetapi saya tidak melihat bagaimana Anda dapat menetapkan, atau membuktikan, hak asli tertentu dalam diri anak kecil sekalipun. Adalah tanggung jawab kita sebagai orang tua untuk mengasihi dan merawat mereka, terlepas dari apa yang mereka lakukan. Mereka tidak harus mendapatkannya. Tetapi Yang Mulia tidak menggunakan contoh kura-kura laut dalam kasus ini. Ia berbicara tentang hal ini dalam kerangka persoalan kasih sayang, bahwa ada kasih sayang alami untuk anak-anak. Itulah mengapa Yang Mulia mengatakan ini akan menjadi percobaan menarik untuk menyatukan induk kura-kura laut dengan anak-anaknya setelah mereka menetas untuk melihat apakah ada kasih sayang alami yang ia tunjukkan kepada mereka, atau apakah kura-kura laut adalah perkecualian dalam hal ini.

Yang Mulia juga menggunakan contoh bahwa semua orang ingin bahagia, tidak ingin tak bahagia, dan semua orang punya hak untuk bahagia dan untuk tidak tak bahagia. Tetapi saya pikir kita harus memeriksa hal itu sedikit lebih dekat. Saya pikir itu secara lazim adalah benar, tetapi jika kita mencari lebih dalam ke persoalan itu, saya pikir kita harus menyimpulkan secara sedikit berbeda. Saya pikir dalam pencarian saya untuk menjadi bahagia dan tidak tak bahagia, saya tidak berhak melakukannya dengan mengorbankan kebahagiaan orang lain dan menyebabkan mereka tak bahagia. Ini bukan berarti mereka harus bahagia, tetapi saya tidak punya hak untuk membuat mereka tak bahagia dan menghalangi kebahagiaan mereka demi mendapatkan kebahagiaan saya. Itu saya pikir lebih sesuai dengan cara yang lebih mendalam untuk melihatnya dari sudut pandang Buddha. Dalam pencarian kita untuk menjadi bahagia, di mana semua orang ingin bahagia.

Jadi jika seseorang datang dan berkata kepada saya, “Kebebasan-kebebasan yang kamu dapatkan membuatku tak bahagia,” kemudian, ia berkata, menjalankan gaya hidupnya sendiri, tentu ia menemukan kesulitan-kesulitan karena mustahil membuat semua orang bahagia.

Jadi, pertama-tama dalam pembahasan ini kita harus memahami bahwa kita tidak memiliki hak yang asli – “asli,” ini adalah kata yang digarisbawahi – hak yang asli untuk bahagia terlepas dari apa yang kita lakukan. Bukan berarti kita tidak punya hak untuk bahagia. Dan bahwa kita tidak bisa bahagia – itu tidak boleh. Kita tidak mengatakan itu. Jangan salah paham. Segala sesuatu bergantung pada sebab dan akibat; pada bagaimana kita berperilaku, apa yang kita lakukan, dan seterusnya. Jika kita hanya mengambil dan berharap mendapatkan lebih dan kita tidak memberikan sesuatu sebagai balasannya, itu tidak sepantasnya. Atau jika kita hanya memberi dan orang lain tidak memberi apapun sebagai balasannya kepada kita, itu tidak sepantasnya. Sekarang kita tidak berbicara tentang anak kecil, kita berbicara tentang pasangan. Dan kita mengacu pada kedua keadaan itu: jika saya hanya memberi dan Anda hanya menerima atau Anda hanya memberi dan saya hanya menerima. Ini sama dalam kedua kasus itu.

Sebagai contoh, saya memberikan sumbangsih saya pada hubungan, sumbangsih saya untuk membesarkan anak-anak, dan dalam arti lazim saya mendapat hak untuk memiliki waktu istirahat. Dan Anda juga harus memberikan sesuatu. Jadi itu adil. Itu bukanlah hukum yang asli, tetapi secara nisbi seperti inilah hal-hal bekerja. Dan jika orang lain tidak mau menerima itu, maka kita harus mempertimbangkan kembali seluruh aturannya. Tetapi itu tidak berarti kita harus menjadi martir dan korban dan menyerah. Itu bukan pemecahan yang ideal. Karena “Aku tidak punya hak untuk bahagia; aku cuma menjadi pelayan sepanjang waktu.” Bukan itu yang kita maksudkan di sini, sama sekali bukan. Mudah untuk mendapatkan gagasan yang salah dari apa yang kita bicarakan, jadi terima kasih karena menjernihkan itu.

Ajaran Buddha selalu berusaha untuk menghindari dua keekstreman, dan kadang-kadang ketika Anda menunjuk satu keekstreman, Anda lupa menunjuk keekstreman lainnya. Ini seperti menyangkal bahwa orang yang berpakaian Sinterklas ini adalah Sinterklas, tetapi kemudian lupa untuk menegaskan kembali bahwa ia adalah orang.

Cara Anda mengungkapkan pendapat Anda mengenai demokrasi, ia pasti tidak sependapat dengan itu karena Anda seperti menilai-ulang tentang itu, dan menurut pengetahuannya tak ada cara yang lebih baik daripada membiarkan orang ambil bagian dalam kekuasaan. Kemudian Anda sepertinya menempatkan itu semata-mata ke dalam kecemburuan dan persaingan.

Ya. Lagi-lagi saya menunjuk satu keekstreman tanpa menunjuk keekstreman lainnya. Jadi terima kasih karena menyampaikan itu. Ini bukan berarti saya menganjurkan tata kerajaan atau despotisme atau apapun semacamnya, atau kekacauan. Tetapi yang saya katakan adalah keadaan yang sangat sulit yakni sebuah kampanye pemilihan yang berdasar pada menjatuhkan orang lain dan menghabiskan seluruh waktu Anda untuk berusaha mencari gunjingan dan segala macam hal yang sangat berlebihan mengenai betapa buruknya orang lain dibandingkan dengan Anda. Ada perbedaan besar antara pemilihan yang berdasarkan pada apa yang kita sebut dalam Bahasa Inggris Amerika “kampanye hitam” – Anda tahu, yang berusaha membuat orang lain terlihat buruk – sebagai lawan dari kampanye yang semata-mata berdasarkan “Inilah mutu-mutu baik saya.” Dan Anda menyajikan mutu-mutu baik Anda tanpa menjatuhkan orang lain. Kemudian orang-orang dapat memilih. Dan jika ini adalah masyarakat seperti kaum Tibet, di mana akan sangat tidak sopan mengatakan mutu-mutu baik Anda sendiri, maka orang lainlah yang melakukan itu untuk Anda.

Sekarang tentu saja ini mungkin menjadi sedikit – tidak sedikit, tetapi banyak – idealis tentang keseluruhan tata itu. Tetapi Anda bertanya apa yang saya bayangkan untuk menjadi tata yang ideal. Sekarang tentu yang mendasari itu semua adalah orang yang mengejar kedudukan itu benar-benar jujur tentang apa mutu-mutu baik mereka dan tidak menyembunyikan titik-titik lemah mereka. Dan itu akan sangat sulit untuk ditemukan, tetapi maksud saya dari sudut pandang yang benar-benar jujur, pada hal inilah itu didasarkan. Tak ada orang yang sempurna, jadi berpura-pura bahwa Anda sempurna adalah muskil. Dan mengatakan, “Ya, saya merokok mariyuana ketika saya berumur dua puluh tahun, tiga puluh lima tahun yang lalu,” lalu kenapa? Kita tidak berusaha menyembunyikan itu. Ya, saya melakukan itu. Saya tidak melakukan itu sekarang.

Tetapi, Anda tahu, seringkali para politikus yang mengejar kedudukan itu, meskipun mereka tidak menjatuhkan orang lain, terdengar seperti penjual mobil bekas yang tak dapat dipercaya yang berusaha menjual mobil bekas yang sebenarnya rusak dan mengatakannya sebagai benda terhebat di dunia. Sama sekali tidak makul. Jika demokrasi berdasarkan itu, dan Anda memilih siapa penjual mobil bekas terbaik, itu menyedihkan. Dan, ya ampun, menghabiskan sepanjang tahun untuk melakukan semua hal ini, dibandingkan dengan hanya melakukannya beberapa minggu atau satu bulan atau berapapun itu. Lalu hal itu menjadi permainan. Kita mungkin juga punya gladiator-gladiator. Saya tidak mengatakan ada yang salah dengan demokrasi; intinya adalah bagaimama membuat itu berbudi pekerti dan tidak berdasarkan pada perasaan-perasaan yang gelisah.

Pertanyaannya adalah bagaimana menyampaikan kritik dalam kerangka menjadikan sesuatunya lebih baik, bukan dalam kerangka menjatuhkan orang-orang atau menjelek-jelekkan mereka, melainkan hanya untuk menyampaikan keadaan sebenarnya atau memperbaiki keadaan untuk mengutarakan kritik Anda. Bagaimana cara melakukan itu?

Saya pikir pertama-tama kita perlu meyakinkan orang itu bahwa, jika mereka mudah tersinggung terhadap kritik, “Dengar, aku ingin memberimu sedikit kritik yang membangun, apakah boleh? ” Dan bahkan jika Anda harus mengatakan, “Tentu, aku masih mengasihimu, aku tidak menganggapmu buruk.” Tetapi maksud saya, Anda mengatakan pada mereka apa yang Anda lakukan. Kemudian Anda bisa memberikan kritik itu.

Dan ada perbedaan antara memberikannya sebagai cacian dan memberikannya sebagai sebuah saran tentang bagaimana membuat hidup orang itu lebih baik, mengerjakan tugas itu dengan lebih baik – nada suara dan dorongan. “Kamu tahu, aku sangat marah karena kamu tidak mengerjakan tugasmu dengan baik,” dan kemudian kita mengkritik mereka, itu sangat berbeda dengan, “Baik, aku memintamu melakukan sesuatu, karena aku terlalu malas atau sibuk untuk mengerjakannya sendiri, jadi tak sepantasnya aku berharap kamu akan melakukannya dengan caraku…” Namun, dengan kesabaran, Anda memberi saran kepada mereka cara untuk memperbaikinya. “Itu tidak seperti yang saya pikirkan. Bisakah kamu melakukan ini? ” Nada suara dan dorongan, sangat penting.

Secara pribadi, saya mencoba mengikuti nasihat yang diberikan dalam pelatihan Buddha yang kadang-kadang disebut “latihan cita.” Saya lebih suka menyebutnya “pembersihan sikap,” memperbaiki sikap-sikap kita, yakni menerima kekurangan pada kekalahan diri kita sendiri dan memberikan kemenangan pada orang lain. Dan maksud dari hal ini adalah mengatakan bahwa, “Ini salahku tidak menerangkan dengan jelas apa yang kuinginkan.” Saya menempatkan kesalahan pada diri saya sendiri. Dan kemudian menjelaskan kepada mereka, “Aku tidak mengatakan bahwa ini salahmu; ini salahku, aku tidak menerangkan dengan cukup jelas.” Maka orang-orang dapat menerima – biasanya. Atau setidaknya lebih mudah menerima bahwa mereka perlu memperbaiki, tanpa menyalahkan mereka. Ya, itu tidak langsung; itulah cara Orang Tibet melakukannya, secara tersirat. Tak perlu mengatakannya, tak perlu mengatakan bahwa orang itulah yang melakukan kesalahan. Salahkan diri Anda sendiri.

Saya akan memberi sebuah contoh. Saya meminta seseorang untuk menerjemahkan beberapa bagian dari situs web saya dan mereka tidak punya banyak pengalaman. Itu adalah kali pertama mereka menerjemahkannya. Dan mereka menerjemahkannya, dan setelah orang ini menyerahkan pekerjaannya kepada saya, saya mengirimkannya kepada orang lain yang bekerja di bagian bahasa tersebut dan mereka mengirimkannya kembali dengan banyak perbaikan – banyak sekali. Dan kemudian, saya dapat mengatakan bahwa ini adalah kesalahan saya. Saya tidak menerangkan dengan cukup jelas bahwa ini adalah usaha pertama Anda dan saya tidak mengharapkan terjemahan itu sempurna dan saya akan mengirimkannya kepada orang lain untuk memeriksanya sehingga Anda bisa belajar. Jadi ini adalah kesalahan saya tidak menerangkan segala sesuatunya dengan jelas tentang bagaimana alurnya. Secara tidak langsung, penerjemah baru ini memahami pesannya, dari perkataan saya bahwa ini adalah sebuah pembelajaran, yang saya harap ia akan bertambah baik.

Ia mengatakan bahwa ia bisa sangat menerima apa yang Anda katakan pada tingkat perorangan, di antara dua orang. Yang ia maksudkan dengan pertanyaannya adalah pada tingkat yang lebih luas, seperti di antara organisasi, misalnya suatu organisasi yang berorientasi lingkungan harus berdiri melawan perusahaan-perusahaan industri, dan terutama jika ada hal-hal yang tidak bersih. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana melakukan itu, bagaimana mengutarakan kritik Anda dengan cara yang benar?

Saya pikir ada perbedaan antara pencarian fakta dan menyalahkan pihak lain atas keburukan yang mereka lakukan. Pencarian fakta adalah pencarian fakta; hanya menyajikan itu sebagai keterangan yang objektif. Dan kemudian berusaha agar mereka menerapkan itu dan bertindak atas dasar itu. Tetapi menyerukan cacian, “Kamu pembikin kotor yang buruk,” dan Anda tahu, orang-orang jahat – mereka yang berada di pihak yang menerima dampaknya tentu akan membela diri dan kemungkinan besar akan balas menyerang. Apa tanggapan yang Anda harapkan dari orang lain jika Anda bersikap menyerang.

Tetapi jika Anda hendak mengutarakan titik-titik kelemahan orang lain, apa yang mereka lakukan, pertama-tama Anda harus memahami gambaran besarnya, bukan hanya melihat satu unsur kecil dari hal itu, karena mereka tentu juga memiliki maksud – bahwa jika Anda menghentikan industri kayu di suatu daerah, tak seorangpun di kota itu yang akan punya pekerjaan lagi. Lalu bagaimana orang-orang itu harus memberi makan anak-anaknya? Jadi Anda harus datang dengan suatu tindak lanjut, tentang bagaimana menghadapi masalah itu, meskipun seandainya semua orang itu terlibat dalam pembuatan senjata, dan kemudian mereka kehilangan pekerjaan mereka.

Ya, jangan terlalu idealis. Datanglah dengan jalan keluar yang bisa dijalankan yang akan memecahkan akibat-akibat dari hal yang Anda tawarkan. Jika tidak, Anda akan diserang balik, jika Anda semata-mata secara idealis mengatakan, “Tak ada lagi senjata, dan tak ada lagi apapun.” Bagaimana orang-orang akan hidup? Jadi Anda perlu kemudian muncul dengan rencana untuk mereka. Ini disebut kritik yang membangun. Kemudian ini memungkinkan mereka untuk melaksanakannya; Anda memberi mereka pilihan lain. Itu makul. Sehingga kemudian kita melihat bahwa masalah-masalah semacam itu tidak mudah untuk dipecahkan.

Baik. Sekarang mari melanjutkan pembahasan kita.

Kita telah mulai memasuki pokok yang sangat penting, yang saya akan bawakan selanjutnya, yaitu persoalan tentang kelompok – membagi dunia dan diri kita ke dalam pemenang dan pecundang. Karena ini masuk ke pokok yang dalam ajaran Buddha disebut “cap batin,” yang berhubungan sangat erat dengan pembahasan tentang sunyata. Sekarang, ini tidak terbatas pada pembahasan tentang pandangan berganda – Anda tahu, membagi dunia ke dalam pemenang dan pecundang. Itu hanya sebuah bentuk kecil dari pokok bahasan yang jauh lebih besar, seperti yang saya katakan, dalam kata sederhana yang paling mudah bagi sebagian besar orang di Barat untuk memahaminya, yakni “kelompok-kelompok.” Kelompok-kelompok apa saja yang kita gunakan untuk memandang dunia?

Ketika kita meninjau kelompok-kelompok, kelompok-kelompok adalah cara yang pada dasarnya kita gunakan untuk memahami dunia dan pengalaman kita. Dan kelompok-kelompok adalah hal-hal yang hanya dibuat oleh cita; ini dibangun secara batin. Jadi, mari kita menggunakan contoh yang saya sering gunakan karena saya pikir cukup mudah untuk dipahami, yaitu persoalan warna. Jika kita melihat secara umum, ada keseluruhan spektrum – saya bukan seorang ilmuwan, jadi mohon maaf jika saya tidak sepenuhnya tepat – tetapi ada keseluruhan spektrum panjang gelombang cahaya. Sekarang, bagaimana kita membagi spektrum warna itu? Ini sepenuhnya tak beraturan; Anda dapat membaginya dengan cara apapun, cara apapun, terserah; ini tidak baku dari sisi spektrum itu. Sehingga satu kebudayaan tertentu memutuskan – mereka membuat arti sendiri mengenai sebuah kelompok: antara panjang gelombang ini dan panjang gelombang itu akan menjadi satu kelompok warna. Ini sepenuhnya tak beraturan.

Entah Anda menetapkan dengan cara nomor ini ke nomor itu atau Anda menetapkannya dengan cara menunjuk, kemudian mengatakan, semua yang lebih gelap daripada ini adalah merah dan semua yang lebih terang daripada ini adalah oranye. Itu tak masalah; Anda membuat batasan, Anda memberi arti. Inilah persoalannya, “Apakah arti-arti ada secara asli pada apapun, atau apakah arti dibuat oleh budaya, oleh cita? ” dan mereka dibuat oleh budaya atau cita kita. Jadi, kita menetapkan batasan-batasan, ini adalah arti: di antara titik ini dan titik itu saya akan menjadikannya ke dalam sebuah kelompok. Atau budaya kita akan membagi itu ke dalam kelompok-kelompok, ke dalam sebuah warna. Tidak ada garis-garis di luar sana di alam semesta, atau dinding yang memisahkan merah dengan oranye. Jadi, bahkan dalam kerangka pencerapan indrawi, tetap ada batasan; apa yang akan masuk dalam satu kelompok, apa yang akan masuk dalam kelompok lainnya. Tak masalah apa dasar dalam membuat kelompok itu, ini tidak berhubungan. Intinya adalah batas-batas itu ditetapkan secara tak beraturan.

Dan kemudian, yang dilakukan oleh budaya adalah terdapat pola-pola bunyi. Sebuah pola bunyi seperti O, eR, Ah, eN, Ju. Sekarang, pola bunyi itu, suara-suara itu, tidak memiliki arti yang asli di dunia ini. Dan budaya menyatukan itu, dan mengatakan “pola bunyi ini memiliki makna. Dan ini adalah arti yang kita telah tetapkan di antara titik ini dan titik itu dari sebuah warna.” Sekarang, saya pikir orang-orang tidak duduk dan, “Aha, mari kita lakukan itu.” Tetapi jika Anda berbicara dalam kerangka proses batin, ini adalah suatu proses batin. Kita membuat kata-kata – itu hanyalah bunyi-bunyi; itu adalah pola-pola bunyi. Apakah Anda pernah mendengarkan sebuah bahasa yang tidak Anda pahami sedikitpun, yang bahkan Anda tak bisa membedakannya ke dalam kata-kata. Itu hanyalah bunyi? Ini jelas. Bunyi tidak memiliki arti asli apapun dalam diri mereka.

Jadi, kita menetapkan kelompok-kelompok ini, dan tiap-tiap masyarakat membuat pembagian-pembagian; sebagian mungkin membuat pembagian yang sama, tetapi masyarakat tidak membagi hal-hal dalam cara yang sama. Sehingga Anda dapat memiliki satu masyarakat, satu budaya, yang memiliki kelompok “merah,” “oranye” dan “kuning,” dan budaya lain hanya memiliki kelompok “merah” dan “kuning.” Separuh dari oranye berada di dalam merah, separuhnya lagi berada di dalam kuning. Dan mungkin “merah” mereka mengarah sedikit ke dalam kelompok yang kita anggap sebagai “cokelat. ”

Ada beberapa percobaan menarik yang dilakukan di Harvard ketika saya berada di sana, dengan menunjukkan gambar-gambar warna kepada orang-orang dari budaya-budaya yang berbeda dan menanyakan kepada mereka warna apakah itu. Dan sebagian mengatakan “biru,” sebagian mengatakan “hijau.” Tidak ada yang asli dalam diri warna itu. Budaya-budaya yang berbeda menentukan wawasan yang berbeda mengenai kelompok dan warna; batasannya berbeda-beda, artinya berbeda-beda.

Jadi, apa yang tampak pada mata manusia, batasan-batasannya berbeda dari apa yang tampak pada mata burung elang. Ini nisbi. Sehingga, hal yang saya coba lakukan adalah memperkenalkan arti dalam ajaran Buddha dalam kerangka “wawasan.” Berpikir dengan wawasan – apa yang terlibat? Dan yang terlibat adalah berpikir dalam kerangka kelompok-kelompok. Dan kelompok-kelompok berhubungan sangat erat dengan bahasa, meskipun tidak selalu, karena pasti binatang berpikir dalam kerangka kelompok-kelompok, tetapi mereka mungkin tidak punya kata-kata untuk itu. Anjing tentu merumuskan kelompok “majikanku,” dan berpikir dalam kerangka kelompok ini ketika misalnya ia sendirian, terkunci dalam rumah, dan merindukan majikannya dan menangis. Anjing memiliki wawasan “wilayahku”; anjing memiliki wawasan “musuh” atau “penyusup.” tetapi tak satupun dari itu yang merupakan kelompok-kelompok berwicara, namun mereka adalah kelompok, dan Anda harus mengatakan bahwa anjing berpikir dengan wawasan dalam kerangka kelompok-kelompok itu.

Jadi, jika kita dapat memahami ini dalam kerangka warna, maka kita dapat menerapkan ini pada hal-hal yang lebih halus seperti perasaan. Tentu saja, apa yang oleh satu budaya disebut “kecemburuan,” budaya lain dapat memaknainya dengan sedikit berbeda. Dan mungkin itu tidak akan sesuai dengan wawasan kaum Tibet yang ditunjukkan oleh kata yang berbeda. Ini tidak selalu tumpang tindih; ini adalah gagasan-gagasan batin. Ini tidak hanya perasaan-perasaan yang gelisah, perasaan apapun – batasan-batasannya tidak selalu tumpang tindih. Dan, maksud saya, seperti yang kita bahas pada waktu makan siang, bahkan perbedaan dalam bahasa Inggris antara “kecemburuan” dan “iri” tidak sama persis dengan perbedaan pada dua kata dalam bahasa Jerman “Eifersucht” dan “Neid.” Anda mengatakan, dalam bahasa Jerman, bahwa yang satu lebih mengarah pada perorangan dan hubungan dan satunya lebih mengarah pada benda berwujud.

Dan dalam bahasa Inggris tidak seperti itu?

Tidak.

Anda cemburu bahwa seseorang punya es krim?

Tentu.

Maka ini berbeda. . .

Jadi kita tidak berbicara tentang perbedaan antara sudut pandang Eropa dan Asia. Bahkan dalam budaya-budaya Eropa, kelompok-kelompok ini – terutama ketika ini menyangkut perasaan – diartikan cukup berbeda dan kata-kata kita, meskipun mereka tumpang tindih dalam banyak kasus, mereka tidak bersesuaian secara persis. Bahkan dalam satu bahasa, di sana bisa terdapat perbedaan pemahaman kata dan penggunaan kata, mereka diartikan secara berbeda.

Sehingga, itu berarti bahwa pada sisi rentang perasaan tak ada garis-garis padu di sana yang membuat kelompok-kelompok. Ada sesuatu yang ditentukan atas dasar – kata yang digunakan dalam uraian Buddha adalah “kelaziman.” Ini adalah kelaziman, sebuah persetujuan atas dasar kelaziman. Bahkan kita membuat kelaziman kita sendiri ketika kita menyebut sesuatu. Ini adalah kelaziman. Ini memudahkan; dalam bahasa Inggris kata “memudahkan” (convenient) berhubungan dengan kelaziman (convention). Ini memudahkan untuk berkomunikasi dan untuk memahami apa yang terjadi.

Pikirkan ini, kita mungkin berbicara dengan bahasa yang sama, tetapi dua insan dalam sebuah hubungan mungkin memaknai secara sangat berbeda apa arti “setia” atau apa arti sebuah “hubungan” atau apa arti “hubungan yang baik,” apa arti “bertanggung jawab.” Dan apa yang membuat kelaziman kita lebih sah daripada kelaziman orang lain? Ambil contoh sederhana seperti “sopan.” Apa arti sopan dan apa arti tidak sopan? Itu sangat berbeda dalam budaya-budaya yang berbeda. Apa yang membuat adat kita, pengartian kita, benar? Dan yang lain salah? Tetapi kesalahannya adalah berpikir bahwa kelompok-kelompok ini ada di luar sana; bahwa dunia sebenarnya ada dalam kelompok-kelompok dari dirinya sendiri. Asli, itulah arti dari asli – kelompok-kelompok ini terbentuk dari diri mereka sendiri.

Penggambaran yang saya pikir membantu di sini adalah buku mewarnai anak. Kita cenderung berpikir – tidak secara sadar – tetapi ini seperti kita membayangkan bahwa seluruh dunia ada seperti gambar dalam buku mewarnai, dengan garis hitam, garis padu di sekelilingnya, Anda tahu, dan ini adalah ini atau ini adalah itu. Apakah Anda pernah melakukannya, melukis menurut angka? Ada angka kecil di dalamnya – melukis kotak kecil ini warna ini. Kelompok-kelompok itu ada di luar sana, dengan garis besar padu di sekeliling mereka. Itu jelas adalah – jika menggunakan kata yang kita gunakan pagi ini, Quatch – sampah. Angkanya ada di dalam kotak, itu gambar yang dilukis-menurut-angka, angka-angka itu adalah contoh dari arti yang asli pada diri bendanya. Anda tahu, ada sebuah arti, “Ini angka satu,” lukis warna ini, makna ini, ke dalam kotak ini, karena angka itu asli dari halaman itu. “Ciri penentu” adalah istilah teknisnya.

Sekarang ini sangat, sangat halus, dan sangat, sangat mendalam. Jadi mari kita luangkan waktu lebih lama untuk coba memahami ini. Tetapi ini pasti apa yang ada di balik semua tentang pemenang dan pecundang, bukan?

[meditasi]

Nah, apa yang kita katakan mengenai tidak adanya garis-garis asli di sekeliling hal-hal di luar sana, tidak adanya kelompok-kelompok asli di luar sana – itu tidak berarti bahwa seluruh alam semesta adalah semangkuk sup besar dengan isi yang seragam. Itu adalah sebuah kesalahan umum, sebuah kesimpulan yang keliru dari ini. Dan kita semua adalah Satu, Anda tahu, ini semua adalah Satu. Bahwa di sana tidak ada pemisahan antara “aku” dan “kamu,” tidak ada batas-batas, jadi saya bisa menggunakan semua milik Anda yang saya inginkan. Bukan itu kesimpulannya.

Jadi, kita perlu membuat pembedaan: kelompok-kelompok dan kata-kata ini, mereka berhubungan dengan arti hal-hal; mereka menjelaskan sesuatu, mereka mengacu pada sesuatu, tetapi alam semesta tidak sesuai dengan kata-kata dan kelompok-kelompok ini. Mereka mengacu pada sesuatu, tetapi apa yang mereka acu tidak sesuai dengan hal-hal ini. Ada perbedaan. Karena kelompok-kelompok ini, kata-kata ini, adalah kelaziman. Jadi secara lazim ini benar. “Ini rumahku; ini bukan rumahmu.” Secara lazim, “ini pasanganku, bukan pasanganmu.” Ketika kita menggunakan kata-kata ini, ketika kita menggunakan kelompok-kelompok ini, ini mengacu pada sesuatu – kelaziman. Jadi, kelaziman itu, kebenaran lazim itu, adalah benar. Bagaimanapun, itu bukan berarti bahwa, seperti ternak, ada cap kepemilikan, “Milikku,” seolah-olah mereka muncul seperti itu dari perut induknya; bahwa hal-hal sebenarnya sesuai pada kelompok padu yang tetap; bahwa mereka sebenarnya sesuai dengan itu. Karena kelompok-kelompok itu sudah ditetapkan, sebuah kelompok adalah hal yang tetap. Anda tahu, “Ini dia, lihat, di dalam kamus, kata ini. Artinya sudah ditetapkan.” Alam semesta tidak sesuai dengan itu.

Namun ketika kita menggunakan bahasa, itu mengacu pada sesuatu, dan kita memerlukannya, jika tidak kita tak dapat berkomunikasi. Dan kita tidak dapat memahami apapun yang kita alami jika kita tidak memiliki kelompok-kelompok; jika kita tidak mengenali bahwa ini adalah pintu, dan itu juga adalah pintu, meskipun mereka berbeda, bukankah begitu? Dan itu adalah tempat Anda masuk untuk menuju ruang di baliknya. Bagaimana kita berfungsi? Kita tidak hanya berbicara tentang kata-kata di sini; kita berbicara tentang makna. Ajaran Buddha membedakan “keumuman-keumuman kata” dengan “keumuman-keumuman makna.” Bahwa ada hal-hal seperti “pintu,” diartikan dengan cara seperti ini dan seperti itu – ya, ini adalah kelaziman. Maksud saya, alam semesta tidak bermula dengan pintu. Namun, kita semua tahu apa arti pintu, terlepas dari kata apa yang kita gunakan untuk itu; bahkan sapi pun tahu apa arti pintu. Sapi tidak berjalan ke dinding ketika ia ingin masuk ke dalam kandang. Dan sapi dapat mengenali pintu di banyak bangunan. Jadi kita memerlukan hal-hal ini; Anda tidak ingin membuangnya, “Ah, ini hanya gagasan, lupakan itu.” Ini memudahkan, kita memerlukannya. Tetapi alam semesta tidak sesuai dengan mereka. Tetapi kita memerlukan mereka, jika tidak kita benar-benar tidak dapat berfungsi.

Itu contoh yang bagus: peta bukan sebuah wilayah; peta jalan bukan jalan. Maksud saya ini sangat menarik bahwa dalam banyak budaya mereka tidak memiliki peta. Dan untuk coba menjelaskan wawasan tentang peta kepada seseorang dari suku terpencil di Papua Nugini atau manapun, ini sangat sulit. Kita menerimanya begitu saja, bukan? Tetapi peta jalan itu berguna; ia mengacu pada tata-letak jalan dalam sebuah kota. Tetapi ini bukan warna yang sama, bukan ukuran yang sama, tidak tertulis namanya di tengah-tengah jalannya. Bukankah begitu? Jadi itu adalah contoh yang bodoh, tetapi wawasan dan bahasa dan kelompok, itu sama. Jadi mari resapi hal ini, untuk memahami pokok ini. Ini adalah pokok-pokok yang halus. Kita berjalan sangat cepat di sini, karena ini seperti, ungkapan Inggrisnya menarik karpet dari bawah seseorang, ini benar-benar seperti, “Oh, aku tak pernah memandang dunia seperti itu.” Dan Anda harus benar-benar memastikan bahwa Anda tidak salah memahami dan berpikir, “Oh, ini semua adalah semangkuk sup yang isinya seragam. ”

Keterkaitan dari semua ini – supaya Anda tidak kehilangan keterkaitannya di sini – adalah kita menempatkan “aku” ke dalam kelompok tertentu: pemenang, pecundang, sukses, tidak sukses, hal-hal semacam ini. Hal-hal tersebut hanyalah kelompok. “Wajar, aku kalah dalam lomba ini. Kamu memenangkan perlombaan ini.” Ini benar. “Kamu mendapat kenaikan pangkat di kantor, aku tidak.” “Pasanganku sekarang bersamamu dan tidak bersamaku.” Secara lazim itu benar; ini menjelaskan keadaan itu. Tetapi yang dilakukannya hanyalah menggambarkan keadaannya. Itu tidak berarti saya berada dalam kelompok padu “pecundang,” “gagal,” dan Anda berada dalam kelompok padu “pemenang.” Dan yang terpenting, “Anda tidak pantas mendapatkan itu. ”

Ketika itu sangat meresap dan kita benar-benar dapat memahami itu, dan kita mengerti, “Ya, itu benar,” tanggapan perasaan kita terhadap keadaan itu sepenuhnya berbeda. Kita tidak memiliki garis besar di antara pemahaman kecendekiaan dan pemahaman perasaan. Ini juga dibuat dalam kelompok-kelompok. Ketika kita benar-benar memahami sesuatu, kita merasakannya; rasanya seperti itu. Terdapat pemahaman perasaan yang lebih dalam. Tidak ada suatu “Ahh, aku harus beralih dari satu pemahaman ke pemahaman lainnya; dan ini hanya begini dan bukan begitu; ini hanya kecendekiaan, bukan perasaan.” Itu adalah rentang, hanya bagaimana Anda menggambarkannya. Pemahaman memengaruhi perasaan, tentunya.

Mari kita gunakan beberapa menit terakhir untuk mencerna pokok-pokok tersebut.

[meditasi]

Perbedaan antara benda itu sendiri dan wawasannya, kenampakan dari suatu benda dan kenampakan yang berhubungan dengan wawasan yang saya buat, dan mungkin saya membuat wawasan yang lebih baik dan semakin baik sejalan waktu, tetapi adakah upaya untuk menuju ke benda itu sendiri, melampaui wawasannya untuk mencapai gejala itu sendiri?

Ini adalah pertanyaan menarik dan persoalan yang jelas ada dalam filsafat Barat; “hal itu sendiri” dalam filsafat Jerman. Tetapi pasti dalam kerangka wawasan, kelompok, ada yang lebih tepat dibandingkan lainnya; kelompok-kelompok yang tepat, kelompok-kelompok yang tidak tepat. Dan terdapat banyak patokan yang berbeda dalam melihat ini tepat atau tidak. Itu adalah pembahasan yang panjang – keabsahan pengetahuan.

Dan juga jawaban untuk pertanyaan Anda, jika saya memasukkannya pada bagaimana ini dirumuskan dalam cara Buddha, yang memang saya lakukan, dapatkah Anda menemukan sasarannya, benda itu sendiri,melampaui wawasannya? Dan ini adalah pertanyaan yang ditinjau secara sangat bersungguh-sungguh dalam filsafat Buddha, dan di sini terdapat tingkat-tingkat penjelasan berbeda. Jadi Anda tidak langsung melompat ke penjelasan halus yang paling mutakhir; Anda memahaminya secara bertahap, dan ini membutuhkan bertahun-tahun. Dan seluruh persoalan mengenai sunyata adalah, pada tingkat terdalam, berurusan dengan persoalan apakah suatu hal dapat ditemukan.

Jadi, tak ada jawaban sederhana untuk pertanyaan Anda. Persoalannya di sini dengan sunyata adalah apa yang membuktikan sesuatu itu ada? Dan “ada” berarti, dalam pengartian Buddha, bahwa itu dapat diketahui secara sah. Saya dapat berpikir bahwa ada penyerbu dari dimensi kelima di bawah tempat tidur saya, tetapi itu bukan pemikiran yang sah. Anda tidak akan menemukan penyerbu dari dimensi kelima di bawah tempat tidur saya, hanya karena saya berpikir itu ada. Dan kemudian ada pembahasan panjang tentang apa arti dari “dapat diketahui secara sah.” Jadi meskipun saya memikirkan itu, tidak membuktikan bahwa hal itu ada.

Penjelasan-penjelasan kurang mutakhir mengatakan – karena ini adalah penjelasan yang tepat di bawah pemahaman terdalam – bahwa, “Anda tahu, baik, saya akan menerima semua hal yang Anda katakan tentang kelompok-kelompok dan seterusnya, bahwa itu hanyalah kelaziman.” Tetapi, meskipun begitu, Anda sebenarnya dapat menemukan apa yang diacu oleh kata-kata dan wawasan-wawasan itu; sasaran acuan itu dapat ditemukan. Itu membuktikan bahwa ia ada. Saya dapat menemukannya. Ketika saya mengatakan “bunga,” pasti, itu sebuah kelompok dan sebuah kelaziman, hal-hal semacam ini, dan ini diterima secara luas. Tetapi ketika saya mengatakan “bunga,” ini mengacu pada bunga, di sana. Ini dia. Dari sisi sasaran itu sendiri, maknanya, tumbuh dari tanah, bagaimanapun kita ingin mengartikan bunga. Itulah yang mereka maksud bahwa itu membuktikan bahwa ia ada, ia dapat ditemukan, ada acuan dari kata itu.

Sehingga, kita tidak hanya berbicara pada tingkat yang sangat sederhana bahwa, “aku tak bisa menemukan penyerang dari dimensi kelima di bawah tempat tidurku, tetapi aku bisa menemukan seekor kucing di bawah tempat tidurku, dan jika aku melihat ke mana kucing itu pergi, aku dapat menemukannya di bawah tempat tidurku.” Kita tidak berbicara pada tingkat itu dalam menemukan sesuatu. Jika kita tidak bisa menemukan kuncinya; kita tak pernah bisa menemukan jalan pulang.

Jadi, intinya adalah ketika kita menguraikan, apakah ciri-ciri penentu yang dapat ditemukan pada diri sasaran tentang sesuatu di bawah tempat tidur saya, yang membuatnya seekor kucing, yang membuktikan ada kucing di sana? “Ekor panjang dan mengeluarkan suara khusus ketika Anda mengelusnya, dan hal-hal seperti itu. Di mana ciri-ciri penentu itu, dapatkah saya menemukannya? Apakah ada di dalam sel ekornya ini, apakah di dalam sel itu, di mana? Dan Anda melihat lebih dalam dan lebih dalam, di bawah mikroskop elektron, Anda tak dapat menemukannya, bukan?

Dan apakah ada sesuatu yang Anda dapat temukan pada diri sesuatu di bawah tempat tidur saya yang menjadikannya sasaran yang dapat diketahui? Apakah ada garis di sekelilingnya yang memisahkan ia dengan apa yang berjarak satu atom darinya? Ruang di antara bulu-bulunya, itu bukan kucing? Terdapat garis di sekelilingnya, yang memisahkan dan menjadikannya sebuah sasaran yang padu? Anda tidak dapat menemukan garis itu. Di mana atom kucing itu berakhir dan atom udara di sampingnya berawal? Tak ada garis. Di mana garis tempat medan-medan tenaga dari dua atom itu memisah? Di sisi dinding inilah kucing itu dan di sisi dinding itulah udara itu.

Ini masuk semakin dalam melampaui kelompok-kelompok. Kelompok-kelompok, itu bukan tingkat terdalam dari apa yang kita citrakan. Kita mencitrakan bahwa ciri-ciri penentu pada diri sasaran itu, lepas dari kelompok, dan kita bahkan mencitrakan bahwa ada garis di sekelilingnya, bahwa itu merupakan sasaran yang dapat diketahui; bahwa terdapat sesuatu pada diri sasaran yang menjadikannya berdiri sendiri, sasaran yang dapat diketahui dengan garis di sekelilingnya, tak peduli kita memasukkannya ke kotak apa. Bahkan itu tersusun secara batin. Jadi tidaklah cukup sekadar berhenti berpikir secara biasa bahwa itu ada adalah pemikiran bersekat dan berpikir bahwa kemudian kita telah mendapatkannya. Ini lebih dalam daripada itu. Jadi, Anda tak dapat menemukan suatu hal; tak ada sesuatu di luar sana yang menjadikannya sebuah benda, benda yang dapat diketahui, sesuatu.

Bisakah kita tidak mengukur ketebalan rambut kucing?

Itu adalah sebuah kelaziman, bahwa Anda mengatakan, “Di atas nomor ini adalah ini dan di bawah nomor ini adalah itu.” Itu kesepakatan; semua hal itu adalah kesepakatan. Kita tidak mengatakan bahwa segala sesuatu adalah semangkuk sup yang seragam – ingat, itu adalah keekstreman yang lain – tetapi keekstreman ini menyatakan bahwa sebenarnya ada sesuatu yang dapat ditemukan di luar sana, asli pada diri sasaran itu. Tidak sekadar sebuah kelaziman. Membangun kelompok di mana kucing itu berakhir atas dasar kepadatan rambut kucing itu lagi-lagi – kita masih berbicara tentang angka – apakah itu empat puluh enam koma tiga atau empat puluh enam koma dua? Di mana garisnya? Itulah tepatnya benda itu, ini adalah kelaziman. Dan sebagai kelaziman ia berfungsi, kita tidak menyangkal itu.

Jadi, itu tidak membuktikan bahwa sesuatu ada, bahwa ia dapat ditemukan. Itu seperti mengatakan, Anda tahu, yang membuktikan bahwa saya ada adalah saya bisa pergi ke dimensi kelima. Itu adalah alasan yang konyol, Anda tidak bisa pergi ke dimensi kelima; Anda tidak dapat menemukan sesuatu, jadi bagaimana Anda bisa mengatakan itu membuktikan bahwa sesuatu ada. Jadi pada akhirnya Anda tidak dapat mengatakan apapun, apa yang membuktikan bahwa sesuatu ada pada diri sasaran. Yang Anda dapat katakan hanyalah bahwa kita memiliki kelaziman ini, dan ini semata-mata kelaziman, bahwa itu adalah kucing, dan bahwa batasannya adalah seperti ini, dan puaslah dengan itu, karena atas dasar itu segala sesuatu berfungsi. Itulah sunyata. Dapat ditemukan adalah mustahil. Jadi pada akhirnya Anda tidak dapat membuat pernyataan apapun dalam kerangka apa yang membuktikan pada diri sasaran bahwa sesuatu ada. Itulah sunyata.

Kucing, ya, tentu, itu adalah kelaziman, ia mengacu pada sesuatu yang ada di bawah tempat tidur. Tetapi, di mana saya akan menemukan benda ini? Di atom ini, di sel itu? Anda tidak bisa. “Aku kehilangan pasanganku;” “Aku kehilangan pekerjaanku.” Memang, itu mengacu pada sesuatu, tetapi tak ada hal pada sisi “aku” yang dapat saya temukan yang membuat saya seorang pecundang, dari kekuatannya sendiri, ada sesuatu yang secara asli salah pada diri saya. Mengerti? Kita akan menjelajah topik ini lebih banyak besok karena kemudian, ya, apakah “aku” hanyalah sebuah wawasan? Apa maksudnya?

Seekor kucing bukan semata-mata sebuah wawasan. Segala sesuatu tidak secara harfiah sebuah khayalan, hanya ada dalam kepala saya. Tetapi kita harus sangat peka di sini. Dan bahasa itu rumit. Bahasa itu rumit. Itulah mengapa kita perlu melampaui bahasa, pada akhirnya. Bahasa selalu memberi gagasan yang salah. Namun kita pelu bekerja dengan bahasa, kalau tidak kita tak bisa berkomunikasi.

Kita tidak mengatakan bahwa segala sesuatu hanyalah wawasan; wawasan berguna sebagai cara bagi kita menggambarkan hal-hal. Dan segera setelah kita mulai menempatkannya ke dalam bahasa, kita terlibat dengan wawasan. Dan itulah mengapa akhirnya kita perlu melampaui kata-kata. Tetapi itu tidak berati kita melupakan kata-kata, kita tidak pernah menggunakan bahasa lagi.

Jadi, mari kita akhiri dengan persembahan, kita berpikir pemahaman apapun yang kita peroleh pada awalnya, semoga itu masuk lebih dalam dan semakin dalam sehingga pada akhirnya benar-benar meresap dan mulai membuat perbedaan. Karena itu pasti akan terjadi, dalam kerangka pengalaman hidup kita, khususnya pengalaman perasaan kita. Dan bahwa dengan itu, kita tidak hanya mengatasi masalah-masalah kita sendiri, tetapi kita akan berada pada kedudukan lebih baik untuk membantu semua orang.

Top