Lima Latihan dari Pengembangan Bodhicita Harapan Tersumpah
Naskah kita lanjut berbunyi:
(8) Sekalipun aku telah mengembangkan keputusan ini saja, jika kurang di dalam diriku kebiasaan tiga jenis sila (tertib-diri berbudi pekerti), aku akan tak mampu memperoleh sebuah tataran yang (agung) termurnikan. Aku memohon ilham untuk dengan usaha keras berlatih dalam sumpah-sumpah bodhisatwa.
Saat kita memiliki keinginan atau cita-cita untuk mencapai pencerahan supaya mampu membawa manfaat bagi orang lain, inilah yang dikenal sebagai "hati berbakti penuh harapan". Ketika kita berikrar bahwa kita tidak akan pernah meninggalkan cita-cita tersebut sampai kita betul-betul mencapai tataran pencerahan, inilah yang disebut dengan "bodhicita harapan tersumpah". Ketika kita memiliki hati berbakti penuh harapan tersumpah semacam itu, ada lima pokok yang kita latih.
Yang pertama adalah memikirkan lagi dan lagi manfaat-manfaat membaktikan diri kita kepada yang lain dan terhadap pencapaian pencerahan demi mereka. Sudah dikatakan bahwa manfaat-manfaat membaktikan hati kita untuk ihwal seperti ini jauh lebih luar biasa dari daya positif yang mungkin terbina dengan mempersembahkan seluruh dunia yang penuh permata pada semua Buddha dari segala macam alam di sepuluh penjuru. Semua manfaat membaktikan hati kita pada orang lain dan pada penerahan telah digambarkan di dalam sutra-sutra.
Berikutnya adalah bahwa tiga kali tiap hari dan tiga kali tiap malam kita baktikan ulan hati kita pada orang lain dan pada pencerahan. Kalau kita lakukan ini dengan mendaraskan ayat empat-baris: "Aku mengambil haluan aman, sampai kepada tataran termurnikan, dari para Buddha, sang Dharma, dan Majelis Tertinggi. Dengan daya positif pemberianku dan seterusnya, semoga aku dapat mewujudkan keBuddhaan untuk menolong mereka yang kelana," itu sudah cukup.
Selain itu, kita latih diri kita untuk membina lumbung melimpah kita atau jaringan daya positif kita, "kumpulan pahala" kita, dengan membuat persembahan bagi Tiga Permata, ikut serta dalam kegiatan-kegiatan amal bagi orang miskin, dan seterusnya. Sebagai segi lain dari pokok tersebut, juga penting bagi kita untuk membina lumbung melimpah atau jaringan dari kesadaran mendalam kita, "kumpulan kewaskitaan" kita, lewat memikirkan lagi dan lagi tentang pandangan kenyataan yang benar.
Pokok berikutnya untuk latihan ini adalah bahwa kita berjanji untuk tidak pernah meninggalkan makhluk terbatas manapun. Kita tidak bilang bahwa orang atau makhluk manapun itu keterlaluan atau kita tidak bisa berupaya demi mereka. Itulah pokok berikutnya: tidak pernah meninggalkan siapapun.
Lalu pokok berikutnya adalah meninggalkan empat tindakan suram dan bersandar pada empat tindakan gemilang. Yang pertama dari yang suram dan kelam itu adalah memperdaya, membodohi, atau mencurangi guru rohani atau orangtua kita, biarpun itu cuma candaan saja. Alih-alih, kita terapkan laku tindakan gemilang dengan selalu jujur pada mereka, khususnya mengenai dorongan kita dan pertolongan yang kita berikan bagi yang lain.
Tindakan suram kedua adalah melontarkan kata-kata jahat atau kasar atau marah pada makhluk berbakti, bodhisatwa. Karena kita tidak pernah betul-betul tahu siapa bodhisatwa berbakti itu, maka jangan kita berkata-kata kasar pada siapapun. Tindakan gemilang yang merupakan kebalikan dari hal itu adalah mencoba melihat setiap orang dengan penampilan murni dan mengenali serta menganggap setiap orang sebagai guru kita.
Jenis tindakan suram berikutnya adalah membuat orang lain, siapapun itu, menyesalkan hal-hal positif yang mungkin pernah mereka perbuat. Tindakan gemilang yang merupakan kebalikan dari hal itu adalah, kalau kita bertemu seseorang yang boleh jadi dapat kita tolong atau 'jinakkan', kita menyemangati dan mengajar mereka dengan cara Mahayana bercita-luas.
Tindakan suram keempat adalah menyimpan maksud tersembunyi terhadap makhluk lain. Dengan kata lain, alih-alih memiliki keputusan istimewa yang disertai rasa hormat pada mereka, kita bertindak munafik dan penuh kepura-puraan, pamer dan membual bahwa kita mampu menolong mereka padahal tidak. Tindakan gemilang yang merupakan kebalikannya adalah selalu jujur dengan orang lain dan mengakui keterbatasan-keterbatasan kita.
Hati Bodhicita Laksana yang Berbakti
Begitu kita telah betul-betul mengembangkan suatu tataran tersumpah dari hati berbakti penuh harapan, kita perlu mencoba beranjak ke tingkat berikutnya, yaitu mengembangkan sebuah hati bodhicita laksana yang berbakti. Di titik ini kita tidak sekadar bercita-cita untuk mampu menolong setiap orang dan mencapai tataran pencerahan agar mampu mewujudkannya, dan berikrar untuk tidak akan pernah berpaling dari tujuan-tujuan itu, tapi juga betul-betul melaksanakan berbagai laku yang akan membawa kita menuju tataran tersebut dan betul-betul menolong orang lain. Hal ini mencakup melatih diri untuk memiliki enam sikap bercakupan-luas (enam penyempurnaan) – kebaik-hatian, sila, kesabaran, keteguhan penuh sukacita, kemantapan batin, dan kesadaran pembeda – dan juga melatih diri dalam empat cara yang menghimpun orang lain di bawah pengaruh positif kita – bersikap murah hati, berbudi bahasa, memberi dorongan semangat mengenai pokok-pokok Dharma, dan menjadikan diri kita teladan lewat tindakan yang sesuai dengan pokok-pokok tersebut.
Tidak hanya itu, tapi penting juga bagi kita untuk melatih diri dalam tiga jenis sila. Yang pertama adalah sila untuk bekerja demi kebaikan orang lain. Kita mencoba melakukan apapun yang mungkin bisa kita lakukan agar dapat memberi pertolongan bagi yang lain. Yang berikutnya adalah sila yang dengannya kita menahan diri dari segala jenis tindakan keliru. Ini berupa tertib-diri dalam menepati berbagai sumpah yang mungkin telah kita ambil. Yang ketiga adalah sila yang dengannya kita mencoba melatih dan melakukan setiap hal positif dan membangun yang kita bisa, seperti belajar dan bermeditasi. Inilah tiga jenis sila itu.
Kalau kita perhatikan makna suku-suku kata dari kata dalam bahasa Tibet untuk bodhisatwa, chang-chub-sem-pa – secara harfiah berarti "pemurnian pertumbuhan makhluk bercita" – masing-masing dari tiga suku kata utama ini menunjukkan salah satu dari tiga jenis sila. "Pemurnian" menunjukkan sila dalam menahan diri dari tindakan-tindakan keliru. "Pertumbuhan" menunjukkan tertib-diri dalam melakukan segala hal yang membangun; sementara "yang bercita" menyiratkan tertib-diri dalam hal menolong yang lain. Dengan demikian, ketiga-tiganya dapat dipahami dari suku-suku kata dari kata dalam bahasa Tibet untuk kata bodhisatwa.
Kalau kita ingin betul-betul mengembangkan hati bodhicita laksana yang berbakti, ini mensyaratkan pengambilan sumpah menahan-diri untuk makhluk berbakti – sumpah-sumpah bodhisatwa. Terdapat delapan belas sumpah akar untuk menghindari delapan belas tindakan yang memicu terjadinya kejatuhan akar, dan empat puluh enam sumpah kedua untuk menghindari empat puluh enam jenis perilaku keliru. Keempat puluh enam sumpah tersebut dibagi menurut pedoman untuk latihan dalam enam jenis sikap bercakupan-luas. Pokok bahasan dari berbagai kekang tersumpah ini dibahas dalam bab mengenai sila dalam Bodhisattvabhumi (Byang-chub sems-dpa'i sa, Tingkat-Tingkat Cita Bodhisatwa) karya Asanga. Anda bisa mempelajarinya dengan para guru Anda, para Geshe terpelajar di sini; pokok tersebut terlalu luas untuk bisa saya bahas secara rinci sekarang ini.
Pendeknya, tidaklah cukup bagi kita kalau hanya mengembangkan suatu hati bodhicita berbakti penuh harapan, yang dengannya kita hanya bercita-cita untuk mampu menolong setiap orang mencapai pencerahan. Kita juga perlu melibatkan diri dalam laku yang akan memampukan kita mencapai tujuan itu. Cara melakukan hal ini adalah dengan mengabdikan diri kita untuk membina tiga jenis sila ini sebagai kebiasaan kita, khususnya, enam sikap bercakupan-luas tersebut. Ini merupakan hal yang amat sangat penting dilakukan.
Enam sikap bercakupan-luas (enam penyempurnaan) itu, yang perlu kita latih, sekali lagi, adalah kebaik-hatian bercakupan-luas, sila, kesabaran, keteguhan penuh sukacita atau gelora positif, kemantapan batin atau daya pemusatan, dan kesadaran pembeda atau kebijaksanaan. Penting bagi kita untuk melatih khususnya dua sikap yang terakhir ini, kemantapan batin dan kesadaran pembeda. Ini dilakukan dengan mencoba mengembangkan suatu tataran cita yang tenang dan mantap (shamatha, ketenangan batin, kemantapan yang tenang) dan sebuah tataran cita yang istimewa tanggapnya (vipashyana, kewaskitaan istimewa) yang dengannya kita melihat dengan jernih dan memahami bahwa hal semacam jati diri yang sebenarnya bagi apapun itu tidak ada. Secara khusus, kita mencoba mengembangkan jalan cita yang menggabungkan keduanya – sebuah cita, yang ditujukan pada sunyata dan yang keduanya tetap, tenang, dan juga luar biasa tanggap. Inilah yang dibahas di sini, di ayat berikutnya:
(9) Aku memohon ilham untuk segera mengembangkan di atas aliran-citaku sebuah jalan yang memadukan cita yang tenang tetap dan cita yang luar biasa tanggap, dengan menghentikan kelana batin ke arah sasaran-sasaran pemiuh dan dengan tepat mengetahui maknya yang benar (dari sunyata).
Cita Shamatha yang Tenang dan Tetap
Untuk mengembangkan tataran shamatha yang tenang dan tetap, kita perlu melatih diri melalui sembilan tingkat penetapan cita. Untuk melakukan ini kita bersandar pada enam daya dan empat jenis perhatian dan seterusnya. Inilah berbagai pokok dan rincian yang perlu kita pelajari.
Untuk mampu benar-benar menolong yang lain sebaik mungkin, kita perlu memiliki KIT, ketanggapan inderawi tambahan. Begitu kita memiliki berbagai jenis KIT, kita akan benar-benar mampu menolong yang lain dengan cara yang paling ampuh. Untuk mengembangkan berbagai jenis KIT, kita perlu mencapai suatu tataran cita yang tenang dan tetap; KIT adalah buah dari pemerolehan luar biasa tersebut. Untuk mengembangkan tataran yang tenang dan tetap ini, kita perlu mengumpulkan semua unsur-sebab dan keadaan yang paling mendukung bagi pengembangannya. Begitu kita mengumpulkan semua keadaan tersebut, tataran cita ini dapat betul-betul diperoleh dalam waktu enam bulan.
Tidaklah cukup untuk memiliki tataran cita yang tenang dan tetap serta tanggap luar biasa ini saja. Itu karena tataran cita ini dapat diarahkan pada sasaran apapun. Yang perlu kita kembangkan adalah tataran cita dengan pasangan tergabung ini yang dipusatkan pada pemahaman yang benar akan kenyataan. Dengan tataran cita seperti itu, kita memiliki kesadaran pembeda yang benar dari fakta bahwa jati diri yang sejati itu tidak ada – dengan kata lain, sebuah pemahaman yang benar atas sunyata (kekosongan), ketiadaan mutlak cara-cara mengada yang mustahil.
Tiadanya Jati Diri yang Sejati
Segala sesuatu itu tak memiliki jati diri yang sejati. Ini mencakup baik insan manusia dan segala gejala. Oleh karena itu, ada penyajian tentang tiadanya jati diri yang sejati bagi manusia dan tiadanya jati diri yang sejati bagi segala gejala pada umumnya.
Biasanya, kita mengidap suatu sikap berpegang pada jati diri yang sejati yang bersifat muncul dengan sendirinya. Ini berakar dari suatu kesalahkaprahan akan kenyataan. Lebih khusus lagi, pegangan itu salah kaprah dalam memandang bahwa sesuatu itu mengada, padahal tidak pernah ada sama sekali. Oleh karena itu, amat sangat penting bagi kita untuk mengenali sasaran dari kesalahkaprahan tersebut – apa yang salah kaprah dipandangnya, apa yang dibayangkannya ada – dan untuk mengenali sasaran itu dengan benar sebagai sesuatu untuk dibantah. Sasaran mustahil semacam itu tidak ada sama sekali.
Ada dua jenis sasaran yang terlibat dalam cita yang berpegang pada jati diri yang ssejati dari "diri' atau "aku" kita, dan penting sekali bagi kita untuk membedakannya. Ada sasaran dimana kesadaran terarahkan dan ada sasaran yang muncul terhadap kesadaran tersebut. Sasaran dimana kesadaran terarahkan itu adalah "aku" yang sebetulnya memang ada – "aku" yang lazim dan lima anasir gugusan pengalaman yang di atasnya "aku" dicapkan. Akan tetapi, yang muncul adalah suatu penampakan jati diri yang sejati dari "aku" yang semacam itu. Yang muncul itu justru tidak ada sama sekali. Itulah yang mesti dibantah – jati diri yang sejati dari "diri" atau "aku" kita itu.
Meskipun berbagai anasir gugusan pengalaman kita itu tidak ada dari sisinya sendiri, kita tetap saja berpegang pada mereka seolah ada. Contohnya, kalau kita berjalan di sepanjang jalan dan hari semakin gelap dan ada seutas tali di atas tanah, tali itu bisa saja tampak seolah itu ular, padahal kenyataannya tidak ada ular di sana. Tali itu bukan ular, tapi muncul di hadapan kita seolah itu ular. Atas pemunculan itu, rasa takut yang luar biasa tumbuh dalam diri kita. Dari sisi seutas tali tadi, tidak ada ular – ia tidak mengada sebagai seeokor ular. Jadi pemunculan palsu atau kesalahkaprahan bahwa ada ular itulah yang mesti dibantah. Sama saja seperti kita membayangkan bahwa ada sesosok "aku" dengan jati diri yang sejati yang ada dan terbangun dari sisi berbagai anasir gugusan pengalaman kita itu – si "aku" itu, dengan demikian, adalah sasaran yang mesti dibantah.
Jika kita ingin menyingkat semua anasir gugusan kita, kita dapat menyingkatnya ke raga dan cita kita. Kita dapat membayangkan, misalnya, bahwa raga kita itu "aku"; raga kita itu adalah "diri" kita. Tapi, jikalau raga kita itu "aku", maka ketika raga itu tidak lagi ada, "aku" pun dengan demikian tidak lagi ada. Lalu, yang berikutnya adalah bahwa "aku" tadi tidak akan terlahir kembali; tidak akan ada hal semacam "aku" itu yang terlahir kembali di alam surgawi sebagai seorang dewa atau yang semacamnya. Itu semua tidak terjadi.
Tapi, jika "aku" itu adalah cita, maka karena saya duduk dan berjalan dan melakukan berbagai hal, kita tak bisa bilang, "Cita itu makan dan berjalan. " Jadi, akan tak masuk akal kalau "aku" itu hanya cita saja. Lebih jauh lagi, karena ada ungkapan "citaku", itu menyiratkan bahwa "aku" dan "cita" itu berbeda. Keduanya tak mungkin sama, persis seperti saat saya berkata "bajuku", itu menyiratkan bahwa ada dua hal, "aku" dan "baju".
Kalau "aku" itu adalah raga dan cita, maka "aku" itu ada dua. Kalau "aku" merupakan gabungan dari raga dan cita, maka masalah lain muncul. Gabungan dari raga dan cita hanyalah dasar bagi pencapan "aku", sementara "aku" itu sendiri hanyalah hal yang diacu kata atau cap "aku" ketika dicapkan di atas dasar bagi pencapan tersebut. Kalau hal yang diacu oleh cap itu – yaitu, "aku" yang sebetulnya ada – dan dasar bagi pencapan "aku" itu sama persis, ada banyak kekeliruan di sana. Yang diacu oleh "aku" tidak bisa sama dengan dasar bagi pencapannya.
Mengkaji hal ini dengan cara demikian, kita bisa saja menyimpulkan, "Aku tak ada sama sekali!" dan kemudian kita jadi amat ketakutan. Tapi mengatakan, "Aku tidak ada sama sekali" pun dengan demikian tidak juga benar. Itu karena sasaran sebetulnya, dimana kesadaran kita terarahkan ketika kita memikirkan tentang diri kita – "aku" dalam "aku berjalan" dan "aku makan", pastilah ada, dan itu tidak usah diragukan lagi. Bagaimana "aku" itu ada? Ia ada hanyalah di atas dasar kumpulan raga dan cita yang dapat kita perbincangkan tentang "aku". "Aku" itu hanyalah kata atau cap yang diacu "aku" ketika dicapkan di atas dasar pencapannya: yaitu, raga dan cita yang bekerja bersama.
Penting bagi kita untuk memeditasikan dan membina, sebagai kebiasaan positif cita, sikap melihat baik itu kebenaran lazim tentang segala sesuatu (kebenaran permukaan yang menyelubungi sesuatu yang lebih mendalam) dan juga kebenaran terdalam untuk diyakini betul (kebenaran hakiki). Kita perlu melihat bahwa kedua kebenaran tentang segala sesuatu ini – yang lazim dan yang terdalam – tidak saling tubrukan atau membahayakan satu sama lain. Demikian pula, kita perlu memahami jalan tengah yang menghindari dua kutub: kenihilan dan kemutlakan. Dengan kata lain, kita perlu memperoleh pandangan yang benar atas sunyata. Inilah yang diacu oleh baris terakhir dari ayat "dengan tepat memahami makna yang benar (dari sunyata). "
Inilah latihan dari dua pokok terakhir dari enam sikap bercakupan-luas: kemantapan batin dan kesadaran pembeda. Penting bagi kita untuk mengembangkan semua ini. Pokok masalah ini, khususnya pandangan yang benar atas sunyata, dibahas dengan mendalam di dalam bab mengenai tataran cita yang tanggap luar biasa dalam Lam-rim chen-mo oleh Tsongkhapa. Di situ kita dapat menemukan penjelasan luas akan hal ini di bagian yang berjudul terpisah, Sebuah Penyajian Besar dari Tataran Cita yang Tanggap Luar Biasa (Lhag-mthong chen-mo). Sebetulnya, kalau kita mempelajari empat naskah dari Tsongkhapa berikut ini, kita akan mendapatkan pemahaman yang amat jernih tentang pandangan yang benar atas kenyataan:
- Sebuah Penyajian Besa dari Tataran Cita yang Tanggap Luar Biasa (Lhag-mthong chen-mo)
- Sebuah Tinjauan Besar atas "(Bait-Bait) Akar (mengenai Jalan Tengah, yang Disebut) 'Kesadaran Pembeda' (karya Nagajurna)" (rTsa-she tik-chen).
- Menjernihkan Makna Termaksud dari "Tambahan Chandrakirti bagi ('Ayat-Ayat Akar Karya Nagajurna mengenai) Jalan Tengah" (dBu-ma dgongs-pa rab-gsal)
- Hakikat Penjelasan-Penjelasan Unggul dari Makna-Makna yang Dapat Ditafsirkan dan yang Pasti (Drang-nges legs-bshad snying-po).
Dengan mempelajari empat naskah ini, kita bisa memperoleh pandangan yang benar atas kenyataan atau sunyata tanpa kerancuan apapun lagi.
Memasuki Tantra
Penting kiranya untuk melatih diri kita untuk mengembangkan berbagai jalan cita ini, yang sama-sama dilaksanakan dengan orang dengan tingkat dorongan awal dan menengah, dan kemudian mengembangkan juga berbagai jalan cita yang merupakan pokok yang sebetulnya di sini. Inilah jalan cita dari orang dengan cakupan lanjut – utamanya, sebuah hati berbakti dan pemahaman yang benar atas sunyata, dan kemudian keduanya digabungkan sebagai pasangan. Meskipun yang terbaik itu, tentu saja, mengembangkan berbagai jalan cita ini di atas aliran-cita kita, tapi sekalipun kita tak mampu melakukannya, kita setidaknya perlu memperoleh semacam pemahaman umum tentang syarat bagi berbagai jalan ini.
Begitu kita mencapai ini, kita memiliki jenis cita yang dipersiapkan dengan benar untuk memasuki laku tantra, langkah-langkah tersembunyi untuk melindungi cita. Jalan masuknya adalah lewat menerima pemberdayaan (sebuah pembayatan) dari seorang guru rohani yang sepenuhnya mumpuni. Tanpa pemberdayaan, tidak mungkin kita memasuki laku-laku untuk melindungi cita ini. Ini disebut di sini di bait berikutnya dari naskah kita:
(10) Bila aku telah melatih diri melewati jalan-jalan yang umum dan menjadi sebuah wadah, aku memohon ilham untuk dengan mudah menaiki wahana sekuat-Intan, yang teragung dari segala wahana, arung lintas suci bagi mereka yang bernasib baik.
Menepati Sumpah-Sumpah Tantrawi
Begitu kita siap dengan tataran cita persiapan yang benar dan telah memasuki tantra lewat penerimaan pemberdayaan yang patut dari seorang guru rohani yang sepenuhnya mumpuni, kita diberitahu pada saat pemberdayaan bahwa hal terpenting adalah untuk menjunjung sumpah-sumpah tantrawi – kekang tersumpah dari langkah-langkah tersembunyi ini. Ini mencakup empat belas sumpah akar untuk menghindari empat belas kejatuhan akar, dan delapan sumpah kedua untuk menghindari delapan jenis perilaku keliru.
Kecuali kita menjunjung dan murni menepati sumpah-sumpah ini dan laku-laku pengikat erat ini (dam-tshig, Skt. samaya), mustahil kita mencapai dua jenis pemerolehan yang sebetulnya (siddhi) lewat laku-laku tantra tersembuyi ini. Ada delapan pemerolehan umum yang sebetulnya dan pemerolehan pencerahan unggul yang sebetulnya. Maka, untuk mencapai pemerolehan ini, amat sangat penting bagi kita untuk menepati semua kekang tersumpah dan ikatan erat kita dengan laku-laku kita.
Ini dijelaskan di dalam ayat berikutnya:
(11) Lalu, ketika aku telah menemukan kepastian yang tak dibuat-buat pada apa yang telah dikatakan, bahwa sokoguru bagi kesadaran atas dua jenis pemerolehan yang sebetulnya adalah laku-laku pengikat erat dan kekangan-kekangan sumpah yang dijaga murni sepenuhnya, aku memohon ilham untuk menjunjungnya sekalipun dengan taruhan nyawa.
Dua Tingkat Laku Tantra
Masing-masing dari empat golongan laku ilahi tantra ini punya dua tingkat laku. Tiga golongan yang lebih rendah memiliki tingkat-tingkat laku dengan sebuah tanda dan tanpa sebuah tanda. Golongan tantra tertinggi, anuttarayoga, memiliki tingkat pembangkitan dan tingkat sempurna. Dengan tiap golongan tantra, penting bagi kita untuk maju melewati dua tingkatnya, dengan urutan yang benar, mengikuti tatacara yang sebetulnya dari golongan laku tersebut, supaya dapat mencapai hasil. Ini diacu dalam bait berikutnya:
(12) Kemudian, memahami benar pokok-pokok hakiki dari dua tingkat yang merupakan hakikat dari golongan-golongan tantra, aku memohon ilham untuk mewujudkannya sejalan dengan wicara mencerahkan dari Yang Suci, tidak tersasar dari pelaksanaan empat babak (harian) yoga.
Permohonan dan Persembahan Terakhir
Kemudian kita memohon ilham dan memanjatkan doa agar semua guru rohani yang telah menunjukkan jalan-jalan cita yang sempurna ini, dan dengan demikian pula semua kawan Dharma kita yang telah menolong kita dengan laku mereka, tetap teguh dan berumur panjang. Demikian pula, kita berdoa agar berbagai jenis rintangan dan gangguan dalam dan luar diri ditenangkan. Gangguan luar diri dapat berupa sakit-penyakit dan kawan yang menyesatkan, sementara gangguan dalam diri dapat muncul dari berbagai perasaan dan sikap gelisah di diri kita. Ini diacu dalam ayat berikut ini:
(13) Aku memohon ilham agar kaki-kaki para guru rohani yang menunjukkan jalan sempurna seperti ini dan kaki-kaki para sahabat laku yang benar senantiasa kokoh, dan agar gemuruh gangguan luar dan dalam ditenangkan.
Naskah ini kemudian menyimpul dalam sebuah persembahan. Kita mempersembahkan semua daya positif yang terbina dari hal ini, agar kita tidak pernah terpisahkan dari para guru rohani yang murni dan sempurna di sepanjang hidup kita. Kita juga mempersembahkannya supaya kita mampu mempergunakan dengan benar langkah dan laku rohani mutlak sempurna ini, untuk memperoleh segala sifat baik dari berbagai tingkat cita, dan dengan segera mencapai tataran tercerahkan Vajradhara, sang Pemegang Segala Sesuatu yang Sekuat-Intan – rupa Buddha dalam tantra. Ayat tersebut berbunyi:
(14) Semoga aku tak pernah terpisah selama hidupku dari para guru sempurna; semoga aku memanfaatkan dengan baik Dharma sempurna yang ada di mana-mana; dan dengan mencapai sepenuhnya segala sifat baik dari pelbagai tingkat dan jalan, semoga aku dengan segera mencapai tataran agung Vajradhara.