Menenangkan Pikiran

07:54
Pikiran bercitra itu sangat diperlukan. Tanpanya, kita tidak akan mampu mengenali benda-benda di toko sebagai apel dan pir; tidak pula kita dapat memahami ungkapan “Tolong beri saya dua tiket untuk pertunjukan ini.” Akan tetapi, kendati kita butuh pikiran bercitra di kehidupan sehari-hari, kadang ia bisa jadi penghalang. Contohnya, untuk memusatkan perhatian di dalam meditasi, kita perlu menenangkan semua celoteh batin dan purbasangka dari hal yang kita alami.

Menenangkan Cita

Untuk memperoleh daya pemusatan, kita perlu menenangkan cita kita, sehingga, sebagaimana digambarkan beberapa arahan meditasi, kita sampai pada keadaan cita yang lebih alami. Begitupun, tujuannya bukanlah bercita kosong melompong, seperti radio yang dimatikan. Kalau tujuannya demikian, Anda bisa tinggal tidur saja! Tujuannya adalah untuk menenangkan semua keadaan cita yang gelisah. Perasaan-perasaan tertentu dapat bersifat sangat gelisah, seperti misalnya gugup, risau, atau takut; tujuan kita adalah menenangkan yang gelisah ini.

Ketika kita menenangkan cita, tataran cita yang akan kita capai bersifat jernih dan awas, di mana kita mampu membangkitkan kasih dan pengertian, atau mengungkapkan kehangatan alami manusiawi yang kita semua miliki. Hal tersebut membutuhkan pengenduran (relaksasi) yang mendalam, bukan sekadar pengenduran otot-otot tubuh tapi juga pengenduran ketegangan batin dan perasaan yang dapat menghalangi kita merasakan kehangatan alami dan kejernihan cita, atau bahkan menghalangi kita merasakan apa pun juga.

Sebagian orang salah memahami bahwa meditasi berarti kita harus berhenti berpikir. Meditasi bukan berarti berhenti berpikir, melainkan mesti menghentikan pikiran asing dan tak perlu, seperti pikiran-pikiran mengusik tentang masa depan (Makan apa aku malam nanti?), dan pikiran yang negatif (Kau jahat padaku kemarin. Kau orang yang menyebalkan!). Semua hal itu masuk pada golongan pikiran batin yang lasak dan gelisah.

Akan tetapi, memiliki cita yang tenang itu hanyalah alat; bukan tujuan akhirnya. Bila kita memiliki cita yang lebih tenteram, lebih jernih, dan lebih terbuka, kita dapat menggunakannya secara lebih membangun. Kita dapat menggunakannya dalam hidup sehari-hari, dan kita juga dapat menggunakannya sembari duduk dalam meditasi untuk mencoba memperoleh pemahaman lebih tentang keadaan hidup kita. Dengan pikiran yang bebas dari perasaan-perasaan gelisah dan pikiran-pikiran asing, kita mampu berpikir dengan lebih jernih tentang pokok-pokok penting seperti: Apa yang sudah aku kerjakan dalam hidupku? Apa yang sedang terjadi dengan hubungan yang penting ini? Apa hubungan ini sehat atau tidak sehat? Kita jadi analitis – ini yang disebut mawas diri. Untuk dapat memahami jenis-jenis persoalan ini dan menjadi mawas diri dalam cara yang produktif, kita butuh kejernihan. Kita butuh cita yang tenteram dan tenang dan meditasi adalah alat yang dapat membawa kita ke tataran itu.

Video: Dr. Alan Wallace — ”Meditasi bagi Orang Sibuk”
Untuk menyalakan subtitle, klik ikon Subtitel di sudut kanan bawah layar video. Untuk mengubah bahasa subtitel, klik ikon “Setelan”, lalu klik “Subtitel” dan pilih bahasa yang Anda inginkan.

Tataran Cita Bercitra dan Nircitra

Banyak naskah meditasi mengajarkan kita untuk membersihkan diri dari pikiran-pikiran bercitra dan menetap dalam tataran nircitra. Pertama-tama, arahan ini tidak berlaku untuk semua meditasi. Hal tersebut mengacu secara khusus pada suatu meditasi tingkat lanjut untuk memusatkan pada kenyataan. Bagaimanapun juga, ada satu bentuk kebercitraan yang perlu dibersihkan dari semua jenis meditasi. Tapi untuk memahami berbagai bentuk kebercitraan yang dibahas dalam naskah-naskah meditasi, kita perlu memahami apa yang kita maksud ajaran Buddha dengan “bercitra”.

Pikiran Bercitra Tidak Semata Mengacu Pada Suara di Dalam Benak Kita Saja

Sebagian orang berpikir bahwa bercitra berarti mengacu pada pikiran wajar dan lisan yang tiap hari melintas di cita kita – yang disebut dengan “suara di dalam benak kita” – dan bahwa nircitra itu berarti menenangkan suara itu. Menenangkan suara di dalam benak kita hanyalah sebuah awalan – awalan yang sangat penting memang – tapi hanya jadi langkah pertama. Langkah itu merupakan bagian dari menenangkan cita dari pikiran-pikiran asing yang gelisah agar dapat bercita lebih jernih dan tenteram. Sebagian orang yang lain berpikir bahwa untuk betul-betul memahami sesuatu, kita harus memahaminya secara nircitra, dan bahwa pikiran bercitra dan pemahaman yang tepat itu saling tidak berhubungan. Bukan begitu perkaranya.

Untuk mengurai kekusutan mengenai kebercitraan, kita pertama-tama harus membedakan antara melisankan sesuatu di dalam pikiran kita dengan memahami sesuatu itu. Kita dapat melisankan sesuatu yang ada di dalam pikiran kita dengan atau tanpa memahaminya. Misalnya, dalam hati kita bisa mendaraskan sebuah doa dalam bahasa asing, dengan atau tanpa memahami artinya. Demikian juga, kita dapat memahami sesuatu dengan atau tanpa menjelaskannya secara batin lewat kata-kata, misalnya, bagaimana rasanya jatuh cinta.

Akan tetapi, persoalan pemahaman bercitra dan nircitra dalam meditasi bukanlah persoalan memahami atau tidak memahami sesuatu. Dalam meditasi, dan juga dalam hidup sehari-hari, kita selalu harus menjaga pemahaman kita, entah yang bercitra atau nircitra, dan entah kita melisankannya secara batin atau tidak. Kadang-kadang pelisanan memang membantu; kadang-kadang tidak membantu sama sekali atau bahkan tidak perlu. Misalnya, mengikat sepatu: kita paham cara mengikat sepatu kita. Apa Anda betul-betul perlu melisankan apa yang Anda lakukan dengan tali yang ini atau yang itu ketika Anda mengikatnya? Tidak. Malah, saya pikir sebagian besar dari kita bakal kesusahan menggambarkan dengan kata-kata cara mengikat sepatu. Akan tetapi, kita paham. Tanpa pemahaman, Anda takkan dapat melakukan apa pun dalam hidup kita, bukan? Membuka pintu saja pun kita tak bisa.

Dari berbagai sudut pandang, pelisanan pada kenyataannya memang membantu; kita membutuhkan pelisanan untuk mampu bersambung-wicara dengan sesama. Akan tetapi, pelisanan dalam pikiran kita tidaklah mutlak perlu; pelisanan itu sendiri bersifat tawar (netral). Faktanya, ada beberapa meditasi berguna yang melibatkan pelisanan. Misalnya, merapal mantra berulang-ulang di dalam hati merupakan bentuk pelisanan yang membangkitkan dan menjaga suatu jenis irama atau getaran tertentu di dalam cita. Irama mantra yang teratur sangatlah membantu; irama tersebut membantu kita tetap terpusat pada suatu tataran cita tertentu. Contohnya, ketika membangkitkan welas asih dan kasih; jika Anda melafalkan mantra seperti OM MANI PADME HUM, sedikit lebih mudah untuk tetap terpusat pada tataran kasih itu, walau tentu saja kita dapat tetap terpusat pada suatu tataran kasih tanpa mengucapkan apa pun dalam hati. Jadi pelisanan itu sendiri bukanlah masalahnya. Di lain sisi, tentu saja, kita pasti perlu menenangkan cita kita ketika cita tersebut berceloteh dengan limpahan kata-kata tak berguna.

Pikiran Bercitra Berarti Menyekat Segala Sesuatu ke Dalam Kotak-Kotak Batin

Jadi, jika persoalan kebercitraan bukanlah persoalan mengenai pelisanan atau pemahaman, maka soal apa dia? Apa itu cita bercitra dan apa maksud ajaran meditasi ketika kita diarahkan untuk membersihkan diri darinya? Apakah ajaran ini berkaitan dengan semua tahapan dan tingkatan dalam meditasi, dan juga dengan hidup sehari-hari? Adalah penting untuk menjernihkan pokok-pokok masalah ini.

Cita bercitra berarti berpikir dalam kerangka sekat-sekat, dengan cara menaruh segala sesuatu ke dalam “kotak-kotak”, seperti “baik” atau “buruk”, “hitam” atau “putih”, “anjing” atau “kucing”.

Tentunya, saat berbelanja, kita mesti mampu membedakan antara apel dan jeruk, atau antara buah mentah dan buah matang. Dalam perkara harian, berpikir dalam sekat-sekat bukanlah masalah. Tapi ada jenis-jenis sekat yang merupakan masalah. Salah satunya ialah yang kita sebut “purbasangka”.

Satu contoh purbasangka adalah seperti ini: “Aku anggap kau selalu jahat padaku. Kau orang jahat karena dulu kau melakukan ini dan itu, dan sekarang aku bisa duga bahwa, entah bagaimanapun juga, kau akan terus menjadi orang jahat.” Kita berpraduga bahwa orang tersebut menyebalkan dan akan terus begitu terhadap kita – itu namanya purbasangka. Di dalam pikiran kita, kita menaruh orang itu dalam sekat atau kotak “orang menyebalkan”. Dan, tentunya, jika kita berpikir demikian, dan kepada seseorang kita arahkan pikiran seperti: “Dia jahat; dia selalu jahat padaku,” kemudian ada dinding tinggi menjulang di antara diri kita dan orang itu. Purbasangka kita mempengaruhi cara kita berhubungan dengannya. Maka, purbasangka ialah suatu tataran cita dalam mana kita menyekat-nyekat; kita menaruh segala hal ke dalam kotak-kotak batin.

Menjadi Nircitra

Ada banyak tingkatan kenircitraan, salah satunya ialah bersikap terbuka saja terhadap suatu keadaan saat keadaan itu muncul. Tetapi ini tidak berarti menanggalkan semua pemahaman bercitra. Misalnya, kalau ada seekor anjing yang telah menggigit banyak orang, kemudian karena kita berpikir tentang anjing itu dalam sekat “anjing yang suka menggigit”, kita jadi berhati-hati saat berada di sekitarnya. Kita jadi memiliki kewaspadaan yang beralasan ketika berada di sekitar hewan itu, tapi kita tidak memunculkan purbasangka seperti: “Anjing itu pasti akan menggigitku, jadi mendekatinya pun aku tak mau.” Ada keseimbangan yang lembut di sini antara menerima keadaan yang sedang muncul, sembari tidak berpurbasangka yang akan menghalangi kita untuk mengalami keadaan itu secara sepenuhnya.

Tingkat kenircitraan yang dibutuhkan di dalam semua meditasi adalah suatu cita yang bebas dari purbasangka.

Salah satu ajaran yang paling umum diberikan ialah bermeditasi tanpa harapan dan tanpa kekhawatiran apa pun. Bentuk purbasangka di dalam sesi meditasi dapat berupa harapan bahwa sesi meditasi kita akan berjalan menakjubkan, atau kekhawatiran bahwa kaki kita akan sakit, atau pikiran: “Aku takkan berhasil.” Pikiran-pikiran yang berisi harapan dan kekhawatiran itu adalah purbasangka, entah kita lisankan secara batin atau tidak. Pikiran-pikiran semacam itu menaruh sesi meditasi kita ke dalam kotak atau sekat batin “pengalaman menakjubkan” atau “pengalaman menyakitkan”. Sebuah pendekatan nircitra terhadap meditasi dapat berupa tindakan menerima saja apa pun yang terjadi dan menghadapinya menurut ajaran-ajaran meditasi, tanpa menaruh penilaian apa pun terhadap keadaan itu.

Video: Khandro Rinpoche — ”Laku bagi Pemula”
Untuk menyalakan subtitle, klik ikon Subtitel di sudut kanan bawah layar video. Untuk mengubah bahasa subtitel, klik ikon “Setelan”, lalu klik “Subtitel” dan pilih bahasa yang Anda inginkan.

Ringkasan

Tanpa memahami berbagai jenis pikiran bercitra, kita dapat keliru membayangkan bahwa semua itu bersifat merugikan bagi meditasi dan bahkan untuk kehidupan kita sehari-hari. Sering sekali dalam meditasi, kita perlu menenangkan suara di dalam benak kita dan menanggalkan semua purbasangka. Namun, kecuali untuk para pelaku pada tingkat paling lanjut, upaya memahami sesuatu itu, baik di dalam maupun di luar meditasi, harus dibarengi tindakan mencocokkannya ke dalam suatu kelompok batin tertentu, entah itu kita menuangkannya ke dalam kata-kata atau tidak.

Top