Menghindari Sepuluh Tindakan Merusak

11:11
Jika kita ingin membangun hubungan yang lebih sehat dan lebih memuaskan dengan orang lain, serta meningkatkan kesejahteraan kita sendiri, kita perlu mengembangkan pengertian kita tentang budi pekerti. Itu berarti menahan diri dari perilaku yang merugikan dan merusak dan, alih-alih, bertindak secara membangun dalam cara-cara yang bermanfaat. Kita berperilaku secara merusak ketika berada dalam pengaruh perasaan-perasaan yang gelisah, seperti kemarahan dan keserakahan. Kita kehilangan kedamaian cita dan pengendalian-diri, dan secara gandrung melakukan kebiasaan-kebiasaan negatif. Kita sering menyakiti orang lain, tetapi yang pasti, kita akhirnya menyakiti diri kita sendiri. Bertindak secara merusak adalah sebab dari ketidakbahagiaan jangka panjang. Di sisi lain, jika kita melatih pengendalian-diri atas dasar membedakan secara benar antara apa yang merugikan dan apa yang bermanfaat, dan alih-alih bertindak dengan kasih dan welas asih, kita akan menjalani kehidupan yang lebih bahagia. Kita akan menjadi teman yang dapat dipercaya bagi orang lain dan diri kita sendiri.

Pengertian Perilaku yang Merusak

Tiap-tiap tata budi pekerti memiliki daftar jenis-jenis perilaku yang merusak, tetapi masing-masing mendefinisikan perilaku itu secara berbeda sehingga memasukkan dalam daftar tindakan yang berbeda pula. Tata-tata agama dan masyarakat berasaskan hukum-hukum yang berasal dari kekuasaan surgawi, kepala negara atau legislatif. Ketika kita tidak taat, kita bersalah dan akan dihukum; tetapi jika kita taat, kita akan mendapatkan pahala, baik di surga maupun di kehidupan ini dengan masyarakat yang aman. Tata-tata kemanusiaan bertumpu pada asas tidak merugikan orang lain, akan tetapi sulit untuk menilai apa yang merugikan atau bermanfaat bagi orang lain. Membentak seseorang mungkin menyakiti perasaan mereka atau bisa juga membantu orang itu menghindari bahaya.

Penekanan utama dalam budi pekerti Buddha adalah menahan diri dari perilaku yang merusak diri sendiri, terutama bertindak dengan cara-cara yang akan merugikan kita dalam jangka panjang. Membentak seseorang, ketika seorang pengemudi secara ugal-ugalan menyalip kita di jalan, mungkin dapat membuat kita merasa lebih baik untuk sesaat, tetapi itu mengacaukan cita kita dan menggoncang tenaga kita; kita kehilangan kedamaian cita. Ketika membentak dijadikan kebiasaan, kita tidak dapat bersikap sabar pada ketidaknyamanan tanpa menjadi marah; dan itu merusak kesehatan kita dan hubungan kita dengan orang lain.

Di sisi lain, ketika perilaku kita didorong oleh kepedulian terhadap orang lain, dengan kasih, welas asih dan pengertian, kita tentu menahan diri untuk membentak, meskipun kita merasa ingin melakukannya, dan kita dengan tenang membiarkan pengemudi itu mendahului kita. Orang itu merasa senang dan kita pun merasakan manfaatnya: kita tetap tenang dengan tataran cita yang damai dan bahagia. Ini tidak berarti bahwa kita merasa gusar karena menahan dorongan untuk membentak orang itu. Sebaliknya, karena kita melihat kesetaraan semua orang di jalan untuk sampai tujuan secepat mungkin, kita mengerti bahwa tak ada gunanya membuat perjalanan kita jadi adu repat.

Ajaran Buddha mengartikan perilaku merusak sebagai bertindak secara gandrung di bawah pengaruh perasaan-perasaan gelisah dan kebiasaan-kebiasaan negatif. Kita tidak membedakan dengan benar antara apa yang merugikan dan apa yang berguna, baik karena kita tidak tahu apa yang terbaik atau mungkin kita tahu tapi tidak punya pengendalian-diri. Perasaan-perasaan gelisah yang utama adalah keserakahan dan kemarahan, ditambah keluguan tentang akibat dari cara-cara kita bertindak, berbicara dan berpikir ketika itu didorong oleh perasaan-perasaan gelisah tersebut. Selain itu, karena kita tidak memiliki nilai-diri, kita sama sekali tidak peduli bagaimana kita berperilaku. Kita memiliki sikap "terserah": tidak ada yang penting, kecuali mungkin hal-hal dangkal seperti pakaian apa yang kita kenakan atau bagaimana penampilan rambut kita. Dan kita pasti tidak peduli betapa perilaku kita mencerminkan seluruh generasi kita, atau jenis kelamin kita, suku kita, bangsa kita, agama kita, atau golongan apa pun yang mewakili jati diri kita. Kita tidak memiliki martabat dan harga diri.

Top