Pengantar
Saat pertama sekali menelisik ajaran Buddha, sebaiknya kita melihat empat Kebenaran Mulia. Dan ini langkah yang tepat pula karena seperti itulah Buddha memulai ajarannya. Di masa Buddha hidup, sudah ada banyak agama dan tata filsafat, dan di zaman sekarang ini kita dihadapkan dengan ajaran-ajaran rohani yang lebih beragam lagi. Jadi, ketika melihat agama Buddha, penting bagi kita untuk mencoba mengenali hal yang khas dari pendekatan agama ini. Sudah lumrah, ajaran Buddha punya banyak kesamaan dengan ajaran-ajaran agama lainnya: menjadi manusia yang baik dan penuh kasih, berupaya untuk tidak mencelakai siapa pun, dan seterusnya. Kita dapat melihat semua unsur ini ada di hampir setiap agama dan filsafat, dan tidak perlu berpaling ke ajaran Buddha untuk mempelajari hal-hal itu, walau ajaran Buddha memang cukup kaya dalam hal cara mengembangkan kebaikan, kasih, dan welas asih. Kita dapat memetik manfaat dari cara-cara ini, terlepas dari kita menerima atau tidak semua hal lain yang terdapat di dalam ajaran Buddha.
Akan tetapi, kalau kita bertanya, "apa yang khas dari ajaran Buddha?" maka kita perlu melihat Empat Kebenaran Mulia. Dalam membahas pokok ini pun sebetulnya kita menemukan banyak kesamaan dengan tata atau ajaran lainnya.
Nah, di sini ada istilah "Kebenaran Mulia", tetapi ini terjemahan yang agak aneh. Kata mulia mungkin mengingatkan kita pada kebangsawanan abad pertengahan, tetapi sebenarnya kata ini mengacu pada orang yang berkesadaran tinggi. Empat Kebenaran Mulia karenanya merupakan empat fakta yang dipandang benar oleh mereka yang telah melihat kenyataan secara nircitrawi. Walaupun empat fakta ini benar, sebagian besar orang tidak memahaminya, dan kebanyakan bahkan tidak menyadarinya.
Kebenaran Mulia yang Pertama
Fakta pertama biasanya disebut "duka". Buddha berkata bahwa hidup kita sarat akan duka, dan bahwa bahkan hal yang kita anggap sebagai kebahagiaan biasa itu pun sesungguhnya merupakan masalah yang berkaitan dengan duka. Kata bahasa Sanskerta duhkha adalah akar dari kata duka dalam bahasa Indonesia. Ada sukha, kebahagiaan, dan duhkha, ketakbahagiaan. Dalam istilah kebahasaannya, kha berarti 'ruang' dan duh adalah sebuah awalan yang bermakna ketakpuasan, ketaksenangan. Kita tidak semestinya menggunakan kata-kata yang bernada menghakimi seperti 'buruk', tapi arahnya memang ke sana. Duhkha menyiratkan bahwa ada yang salah dengan ruang ini, dan ruang di situ merujuk pada ruang batin, dan ruang hidup kita secara umum. Duka adalah keadaan yang tidak menyenangkan.
Jadi, apanya yang tidak menyenangkan? Pertama-tama, kita mengalami duka yang bersifat kasar, seperti rasa sakit, ketakbahagiaan, dan kesedihan. Ini semua merupakan hal yang dapat kita pahami, dan setiap insan, bahkan binatang, pun ingin terhindar darinya. Tidak ada yang khas dari ajaran Buddha dengan mengatakan bahwa rasa sakit dan ketakbahagiaan merupakan keadaan yang tidak memuaskan dan sebaiknya kita hindari. Jenis duka yang kedua disebut duka perubahan, dan ini kaitannya dengan kebahagiaan biasa yang kita alami sehari-hari. Apa masalahnya kebahagiaan yang seperti ini? Masalahnya adalah bahwa kebahagiaan itu tidak langgeng; ia berubah setiap saat. Kalau kita anggap kebahagiaan biasa kita itu merupakan kebahagiaan sejati, maka semakin kita merasakannya semakin bahagia pula kita jadinya. Maka, kalau kita merasa bahagia karena makan cokelat, semakin banyak kita makan cokelat, selama mungkin, semakin kita bahagia. Namun kita tahu tidak seperti itu adanya! Atau bayangkan orang yang Anda cintai membelai tangan Anda selama berjam-jam. Rasa nikmatnya akan segera berubah jadi rasa sakit, atau rasa aneh. Ini terjadi karena pada kenyataannya kebahagiaan biasa itu berubah. Dan tentu saja, kita tidak pernah merasa cukup; kita tidak pernah merasa puas. Kita selalu ingin makan cokelat lagi, mungkin tidak langsung, tetapi setelah beberapa saat.
Menarik untuk dipikirkan: "Berapa banyak makanan kesukaan yang perlu saya makan supaya saya menikmatinya?" Sesuap kecil mestinya sudah cukup, tetapi sebetulnya kita selalu ingin lebih dan lebih lagi. Nah, keinginan untuk mengatasi masalah kebahagiaan bersifat biasa dan duniawi ini juga bukan merupakan tujuan yang khas Buddha. Ada banyak agama lain yang mengajarkan kita untuk melampaui kenikmatan duniawi, mencari semacam surga dengan sukacita abadi.
Jenis duka yang ketiga disebut "duka serba-merembes", dan ini khas Buddha. Bisa juga kita menyebutnya "masalah serba-merembes". Duka ini merembes ke segala pengalaman kita, dan ia mengacu pada kelahiran kembali kita yang tidak terkendali, yang merupakan dasar sesungguhnya bagi naik-turun pengalaman hidup kita setiap hari. Dengan kata lain, terlahir kembali berulang-ulang, dengan jenis cita dan raga yang kita miliki ini, adalah dasar dari dua jenis duka yang pertama tadi. Pokok mengenai kelahiran kembali disebut di sini, dan ini dapat kita pelajari nanti.
Tentu saja, ada banyak tata filsafat India lain yang mengajarkan tentang kelahiran kembali; jadi, lagi-lagi, ini bukan hal baru yang ditawarkan Buddha. Akan tetapi, ia memahami dan menggambarkan cara kerja kelahiran kembali secara lebih mendalam dibanding filsafat dan agama lain di saat itu. Buddha memberikan penjelasan yang amat menyeluruh mengenai cara kerja kelahiran kembali, dan seperti apa cita dan raga kita mengalami naik-turun rasa sakit, ketakbahagiaan, dan kebahagiaan yang biasa ini.
Kebenaran Mulia yang Kedua
Kebenaran kedua berkenaan dengan sebab sejati dari semua ketakbahagiaan yang kita alami. Tidak perlu kita membahas kelahiran kembali di titik ini; kita bisa mencoba memahami penjelasan Buddha secara sederhana dan logis. Tadi kita bahas soal duka dan kebahagiaan biasa, dan keduanya punya sebab, tetapi Buddha menyelisik "sebab-sebab sejatinya". Mungkin kita berpikir bahwa kebahagiaan dan rasa sakit itu kita alami sebagai hadiah atau hukuman atau sejenisnya, tetapi Buddha berkata bahwa sebab sejatinya adalah perilaku merusak dan perilaku membangun.
Apa maksudnya perilaku merusak? Apa sekadar mencelakakan saja? Yang kita maksud dengan mencelakakan di sini dapat berkaitan dengan mencelakai orang lain atau mencelakai diri sendiri. Sebetulnya, sulit sekali untuk mengetahui sifat akibat dari perilaku kita terhadap orang lain: apakah mencelakakan atau berbuah kebaikan. Misalnya, bisa saja kita memberi sejumlah besar uang kepada seseorang dan, akibatnya, orang lain hendak mencuri uang tersebut dan membunuh orang itu. Tujuan kita mungkin memang hendak membantunya, tetapi sebetulnya tidak ada jaminan soal itu. Yang sudah pasti adalah perilaku-perilaku yang bersifat merusak bagi diri sendiri. Inilah yang dimaksud Buddha dengan perilaku merusak – akibatnya merusak diri sendiri.
Yang kemudian dimaksud sebagai perilaku merusak itu adalah berpikir, bertindak, dan berbicara di bawah pengaruh perasaan gelisah. Perasaan gelisah itu ya membuat gelisah! Perasaan ini membuat kita kehilangan rasa damai dan kehilangan kemampuan mengendalikan diri. Jenis-jenis perasaan gelisah adalah amarah, keserakahan, kemelekatan, kecemburuan, dan keluguan, dan seterusnya. Saat pikiran kita terjerat salah satu dari perasaan ini, dan kita berbicara atau bertindak dalam pengaruhnya, semua itu akan berbuat ketakbahagiaan bagi diri kita sendiri. Ketakbahagiaan itu mungkin tidak langsung kita rasakan, tetapi dalam jangka panjang ketakbahagiaan itu tercipta karena ia membina kecenderungan untuk terus seperti itu.
Di lain pihak, ada perilaku membangun, yang berarti perilaku yang kita perbuat tidak atas pengaruh perasaan gelisah ini dan bahkan boleh jadi didorong oleh perasaan positif, seperti kasih, welas asih, dan kesabaran.
Tindakan membangun berbuah kebahagiaan. Cita kita lebih santai, dan kita lebih tenang. Kita jadi lebih mampu mengendalikan diri, sehingga kita tidak bertindak bodoh atau mengatakan hal bodoh yang dapat menyebabkan masalah. Lagi-lagi, akibatnya mungkin tidak segera terwujud, tetapi dalam jangka panjang, kebahagiaanlah yang tercipta. Akan tetapi, di balik semua itu ada keluguan mengenai cara kita mengada, cara orang lain mengada, dan cara kenyataan pada umumnya mengada.
Kebahagiaan biasa dan ketakbahagiaan kita bukanlah hadiah atau hukuman yang diberikan oleh sosok pihak ketiga yang bertugas seperti hakim. Semua akibat ini muncul hampir seperti hukum fisika. Apa dasar pijakan bagi hukum sebab dan akibat berperilaku? Dasarnya adalah kebingungan kita, khususnya kebingungan mengenai diri kita sendiri. Kita pikir, "Aku ini orang paling penting, dan semua harus berjalan sesuai caraku. Harusnya aku yang berdiri di baris pertama antrean di swalayan ini. Harusnya aku yang pertama." Kita serakah untuk selalu jadi yang pertama sehingga kita marah dengan orang-orang di depan kita. Kita tidak sabar karena orang di depan begitu lamban dan lama, dan benak kita penuh dengan berbagai macam pikiran tak senang dengan mereka. Sekalipun kita bertindak secara membangun, ada banyak kebingungan mengenai "aku" di balik perbuatan kita itu. Misalnya, kita bisa saja menolong orang lain karena kita ingin orang itu suka kepada kita, atau membalas kebaikan kita. Atau karena hal itu membuat kita merasa dibutuhkan. Setidak-tidaknya, kita dapat ucapan terima kasih!
Walaupun menolong orang dengan cara seperti ini bisa membuat kita merasa bahagia, di baliknya ada perasaan tidak nyaman. Kebahagiaan yang mungkin kita alami ini tidak akan langgeng. Ia akan berubah menjadi hal yang tidak memuaskan. Hal ini terus berlanjut di sepanjang hidup kita, dan dari sudut pandang Buddha, ke kehidupan kita yang selanjutnya juga.
Ketika kita amati lebih dekat, kita dapat melihat bahwa kita bingung dengan segala sesuatunya. Misalnya, saat kita begitu mencintai seseorang, kita melebih-lebihkan sifat-sifat baiknya. Atau ketika kita begitu tidak menyukai seseorang, kita melebih-lebihkan sifat negatifnya dan buta terhadap hal baik yang ada di dalam dirinya. Semakin kita selidiki, semakin kita mendapati bahwa kebingungan ini mendasari semua pengalaman kita.
Lebih dalam lagi, kita bisa melihat bahwa dasar dari hal ini adalah keterbatasan kita sendiri. Cita dan raga yang kita miliki ini punya keterbatasan. Saat kita memejamkan mata, seolah semua isi dunia ini tidak ada, dan yang tinggal hanyalah aku. Ada suara di dalam kepala kita yang tampaknya merupakan "aku", seolah ada seorang aku di dalamku. Memang agak aneh. Akan tetapi, kita pikir itulah kita karena dia itulah yang selalu mengeluh, "Aku harus di depan; aku harus melakukan ini." Dia itulah yang selalu khawatir. Bagi kita, tapaknya suara di dalam kepala kita ini istimewa dan khas dan ada terlepas dari semua orang lain, karena ketika kita menutup mata, yang lain tidak ada, kecuali "aku".
Ini cara pikir yang amat sarat dengan kebingungan karena, sudah jelas, kita tidak ada terlepas dari setiap orang lain; dan sebetulnya tidak ada yang istimewa dari siapa pun juga. Kita semua ini manusia. Coba bayangkan seratus ribu penguin berjubel di dinginnya Antartika: apa yang membuat satu penguin lebih istimewa dari yang lainnya? Mereka semua itu sama. Begitu pula kita. Bagi penguin, mungkin semua manusia tampak sama saja! Begitupun, karena berpikir "Aku ini istimewa dan terlepas dari setiap orang lainnya," kita jadi orang yang harus diutamakan, dan kita marah kalau tidak seperti itu.
Pada dasarnya, peranti keras cita dan raga kita ini sangat cocok untuk menjadi inang bagi kebingungan ini. Mungkin tampak ganjil, tetapi dunia ini kita alami sebagian besar melalui dua lubang di depan kepala kita ini. Aku tidak bisa melihat hal di belakangku. Aku hanya bisa melihat apa yang ada; aku tidak bisa melihat apa yang tadinya ada atau yang nantinya ada. Memang terbatas. Lalu, semakin tua, kita semakin kehilangan pendengaran kita. Kita salah mendengar ucapan orang, dan kita marah karena kita pikir dia mengucapkan hal itu. Agak menyedihkan kalau dipikir-pikir.
Kita mengalami masalah serba-merembes ini karena kita terus menerus terlahir kembali, lagi dan lagi, dengan jenis raga dan cita yang ini juga, yang justru melanggengkan kebingungan kita. Karena kebingungan ini, kita bertindak secara merusak, atau secara membangun tetapi biasa, dan inilah yang membuat kita mengalami ketakbahagiaan dan kebahagiaan yang biasa.
Kalau kita telusuri lebih dalam lagi, akan semakin rumit dan untuk kesempatan ini kita tidak perlu sampai ke hal itu, tetapi yang jelas kebingungan itu sendirilah yang mendorong terjadinya kelahiran kembali yang berulang tanpa terkendali ini. Inilah sebab sejati dari masalah sejati kita. Kebingungan ini, ketaksadaran ini, sering diterjemahkan sebagai "kebodohan". Saya lebih suka tidak menggunakan kata tersebut, karena seolah kita ini bodoh; padahal bukan di situ titik masalahnya, dan bukan itu makna yang ingin kita bahas. Ketaksadaran itu berarti kita tidak tahu cara kita dan segala gejala ini mengada. Dalam pengertian inilah kita memahami ketaksadaran, seperti berpikir bahwa kita ini orang terpenting – pusat semesta – padahal kenyataannya sama sekali berbeda. Kenyataannya kita semua ada di sini, setara. Jadi bukan karena kita bodoh, tetapi raga dan cita kita membuat kita berpikir seperti itu.
Itulah mengapa kita sebut ini "Kebenaran Mulia". Mereka yang melihat kenyataan punya pandangan yang berbeda dari setiap orang lainnya. Kita yakin betul bahwa kebingungan dan bayangan kita itu berkaitan dengan kenyataan. Kita yakin bahwa itu semua benar. Semua itu terjadi secara alami saja karena naluri kita adalah "Aku yang terpenting, semua harus berjalan sesuai keinginanku, setiap orang harusnya menyayangiku." Atau, ada juga sebagian yang berpikir sebaliknya, "Aku ini tak ada guna, semua orang membenciku." Sama saja, hanya kebalikannya. Inilah sebab sejatinya.
Kebenaran Mulia yang Ketiga
Kebenaran ketiga dapat disebut sebagai "penghentian sejati". Biasa diterjemahkan sebagai "penyudahan sejati" dan mengacu pada fakta bahwa menghentikan dan mengenyahkan kebingungan ini hingga ia tidak pernah muncul lagi itu merupakan hal yang mungkin. Jika kita mengenyahkan sebab sejatinya, kebingungan ini, itu sama dengan mengenyahkan masalah sejati pula, naik turun pengalaman hidup kita dan kelahiran kembali yang berulang tanpa terkendali yang menjadi dasarnya ini. Kalau kita melakukannya, kita memperoleh "kebebasan". Saya yakin Anda semua pasti sudah mendengar kata-kata dalam bahasa Sanskerta untuk keduanya: samsara untuk kelahiran kembali yang berulang tanpa terkendali dan nirvana untuk kebebasan.
Pada masa Buddha hidup, ada tata India lainnya yang bicara soal kebebasan dari samsara. Bebas dari samsara adalah tema umum di India. Akan tetapi, Buddha melihat bahwa semua tata yang lain ini tidak cukup dalam dalam mengenali sebab sejati. Anda bisa saja jeda dari masalah kelahiran kembali tanpa terkendali, misalnya dengan terlahir di alam surga di mana cita Anda kosong, dan itu berlangsung selama berlelaksawarsa, tetapi tetap saja itu akan berakhir juga. Semua tata yang lain itu tidak menyajikan kebebasan tulen.
Buddha mengajarkan tentang penghentian sejati, dan penting bagi kita untuk memahami dan meyakini bahwa pengenyahan kebingungan sampai bersih itu betul-betul mungkin. Kalau tidak, buat apa kita mencoba mengenyahkannya? Kalau Anda tidak peduli dengan penghentian kebingungan ini demi kebaikan Anda sendiri, Anda lebih baik diam saja, menerima keadaan dan menjalaninya sebaik mungkin. Banyak jenis terapi kejiwaan yang tujuan akhirnya seperti itu: jalani saja, atau minum pil ini!
Kebenaran Mulia yang Keempat
Kebenaran keempat biasanya diterjemahkan menjadi "jalan sejati", dan ini membantu kita memahami kebenaran ketiga. Kebenaran keempat mengacu pada tataran cita yang, kalau kita kembangkan, menjadi jalan menuju kebebasan. Kita dapat juga menyebutnya "cita jalan", tetapi istilah ini sulit diterjemahkan ke bahasa lain.
Cita kita membayangkan sampah melulu. Namun, pembayangan yang sampah melulu ini punya tingkatannya. Yang paling gawat itu skizofrenia atau paranoia: kita berpikir bahwa setiap orang menentang/memusuhi kita. Bisa juga kurang dari itu, seperti dalam pikiran "sepotong kue cokelat paling menakjubkan yang pernah kulihat; kalau kumakan, aku akan sangat bahagia." Saya mengalaminya dalam penerbangan ke Bukares, ketika singgah di Wina. Saya pikir, "Kue strudel apel Wina pastinya yang terbaik sedunia." Saya pesan sepotong, dan ternyata tidak juga. Bayangan saya tentang seperti apa itu semestinya itulah yang sampah. Kue strudel apelnya ada – bukan bayangan dari cita saya; tetapi cara kue itu semestinya mengada (sebagai kue paling enak yang akan membuat saya bahagia) merupakan bayangan yang dihasilkan cita saya.
Begitu juga, saya ada dan Anda ada. Ajaran Buddha tidak bilang bahwa kita tidak ada. Yang dinyatakan itu adalah bahwa kita membayangkan cara mengada yang sama sekali tidak berkaitan dengan kenyataannya. Kita sungguh-sungguh berpikir bahwa semua ini ada mandiri, terpisah dari segala hal lain; dan itu mustahil. Segala sesuatu timbul dari sebab dan keadaan, dan semuanya berubah setiap saat. Akan tetapi, kita tidak melihat ini; kita hanya melihat apa yang ada di depan mata. Misalnya, kita sudah ada janji bertemu orang, dan orang ini tidak datang. Yang muncul di pikiran kita itu seolah orang ini jahat, mengecewakan, dan tidak lagi menyukai kita. Kita pikir hidup mereka terpisah dari yang namanya kemacetan, kerja lembur di kantor, dan lain sebagainya. Namun karena segala sesuatu itu timbul dari sebab dan keadaan, mustahil mereka orang yang jahat tanpa sebab sama sekali, terlepas dari apa pun juga. Tetap saja, cita kita membayangkan hal ini dan berpegang teguh padanya, yang kemudian menyulut amarah, perasaan yang bersifat merusak. Lalu, di lain kesempatan ketika kita bertemu mereka, cara pandang kita sudah berbeda, cara bicara kita sudah tidak lagi ramah, dan bahkan kita tidak mau mendengarkan penjelasan mereka. Dalam keadaan seperti itu, yang tampak menyedihkan dan tidak bahagia itu kita ini, kan?
Jadi, kita ada, tetapi cara mengada yang kita sangka itu – sebagai orang yang istimewa dan terlepas dari setiap insan lainnya – merupakan bayangan semata. Bayangan itulah yang sampah. Ia tidak sesuai dengan kenyataan apa pun. Inilah yang kita sebut sebagai "sunyata" dalam ajaran Buddha, yang sering diterjemahkan menjadi "kekosongan". Dalam bahasa Sanskerta, kata ini sama dengan "nol" yang artinya "tidak ada", nihil dari segala yang nyata. Seperti saat kita membayangkan bahwa pasangan baru kita itu pangeran atau putri sempurna yang naik kuda putih seperti dalam cerita dongeng – mustahil itu. Tidak ada satu orang pun yang mengada seperti itu, tetapi kita masih saja mencarinya. Kemudian, ketika orang ini tidak sama dengan bayangan kita, kita kecewa dan mencari yang lain, sekalipun kita sebetulnya mencari sesuatu yang mustahil.
Karena itu, jalan cita sejati berarti memahami bahwa ini semua sampah, bahwa semua bayangan kita tidak berkaitan dengan suatu kenyataan apa pun. Kalau kita perhatikan sebab sejatinya, duka itu timbul dari rasa percaya bahwa bayangan kita itu berkaitan dengan hal yang nyata. Jalan sejati berarti memahami betul bahwa bayangan kita tidak berkaitan dengan kenyataan. Bayangan khayali kita dan kenyataan itu berbeda sama sekali. Saya ulangi – kebingungan berarti berpikir bahwa bayangan ini sesuai dengan kenyataan, dan pemahaman yang benar adalah mengerti bahwa hal seperti itu tidak ada. Sederhananya, ia sesuai atau tidak sesuai dengan kenyataan. Iya atau tidak; tidak bisa dua-duanya.
Nah, sekarang kita bisa telaah mana yang lebih kuat bagi kita: yang "ya" atau yang "tidak"? Kalau kita telaah dengan mantik, maka sudah jelas "tidak", karena "ya" tidak masuk di akal. Ketika saya memejamkan mata, apakah setiap orang lainnya tidak lagi ada? Tentu saja tidak. Apakah benar bahwa semua harus sesuai keinginanku karena aku ini orang paling penting di seluruh dunia ini? Tidak, itu konyol namanya. Semakin kita selidiki, semakin kita bisa mulai mempertanyakan si "aku" kecil di dalam kepala kita ini. Kalau Anda mulai menelaah otak, di bagian mana terletak di otak kita si "aku" yang bicara dan membuat keputusan di benak kita tadi? Apa yang sebenarnya terjadi? Bila diurai, "aku" tidak bisa kita temukan. Tentu saja aku bekerja, berbuat, bicara. Ini tidak kita sangkal. Yang kita sangkal adalah bahwa ada "aku" yang padu yang mesti selalu diikuti keinginannya itu, karena tidak ada mantik yang menyokong keberadaan si "aku" itu. Melalui nalar dan penyelidikan, kita bisa lihat bahwa hal seperti itu tidak ada, dan bahwa kebingungan kita yang mengira bahwa ia sesuai dengan kenyataan itu tidak didukung oleh bukti apa pun.
Apa akibatnya kalau kita berpikir kita ada secara mustahil? Kita menderita! Apa akibatnya kalau kita berpikir bahwa hal seperti itu tidak ada? Kita membebaskan diri dari semua masalah ini. Saat aku berpikir, "Hal seperti itu tidak ada, itu sampah saja", mustahil kita, pada saat yang sama, berpikir bahwa itu sesuai kenyataan. Pemahaman yang benar dapat mengatasi dan menggantikan pemahaman yang salah. Kalau kita bisa senantiasa memusatkan perhatian pada pemahaman yang benar, maka kebingungan itu tidak akan pernah muncul lagi.
Di sini pun, ajaran Buddha bahwa pemahaman yang benar akan kenyataan dapat menggantikan kesalahkaprahan dan menghasilkan kebebasan dari duka dan kelahiran kembali itu bukan hal yang khas juga. Tata ajaran India lainnya juga menyatakan hal yang sama. Yang khas adalah pemahaman khusus yang dapat selamanya mengenyahkan tingkat kebingungan terhalus akan kenyataan. Untuk memperoleh daya pemusatan sempurna melalui meditasi, untuk menanamkan pemahaman yang benar ini di dalam cita kita dan memperoleh penghentian sejati dari kebingungan, Buddha menggunakan cara-cara yang juga ada di semua aliran India lainnya. Melalui itu semua, kita dapat mencapai penghentian sejati dari sebab sejati, dan karenanya penghentian sejati dari duka.
Yang membuat cita kita kuat untuk bisa tetap berpegang pada pemahaman yang benar akan kenyataan, menerabas semua perasaan merusak, adalah dorongan kita. Di titik inilah kasih, welas asih, dan seterusnya berperan. Karena kita melihat bahwa kita semua ini saling terhubung, dan bahwa setiap insan itu sama dalam hal menginginkan kebahagiaan, kita mesti mengenyahkan kebingungan kita untuk mampu menolong mereka sepenuhnya.
Inilah penyajian dasar Empat Kebenaran Mulia. Untuk memahaminya lebih mendalam lagi, kita perlu belajar sedikit lebih lagi tentang pemahaman Buddha akan cita dan karma.
Ringkasan
Kendati ajaran Buddha berbagi banyak kesamaan dengan tata filsafat dan agama-agama besar lainnya, Empat Kebenaran Mulia, ajaran pertama Buddha, merupakan suatu penyajian khas tentang cara kita mengada, duka yang kita alami, dan cara kita mengatasi masalah-masalah kita.
Buddha sering diumpamakan seperti seorang dokter. Seorang dokter akan menyatakan bahwa kita sakit, seperti Buddha menunjukkan aneka duka yang dialami semua makhluk di mana saja. Seorang dokter akan mencari penyebab penyakit kita, seperti halnya Buddha menunjukkan bahwa sebab sejati duka kita adalah kebingungan mengenai cara kita mengada. Lalu dokter akan memberi tahu kita bisa disembuhkan atau tidak, dan bila bisa, kita akan diberi obat. Demikian juga, Buddha mengajarkan penghentian sejati, dan cara untuk mencapainya. Pada akhirnya, terserah kita: mau atau tidak meminum obat itu, atau melalui jalan tersebut, jika kita ingin mengatasi duka kita.