Lam-rim: Dharma-Sari dan Dharma yang Sejati

Persiapan untuk Menyimak Ajaran-Ajaran

Mari kita mulai dengan beberapa persiapan. Pertama, untuk menenangkan diri, kita pusatkan perhatian pada nafas. Kita bernafas seperti biasa lewat hidung. Kalau cita kita amat terusik, kita hitung kitaran nafas kita. Kalau cita kita cukup tenang, kita cukup pusatkan perhatian pada rasa nafas mengalir masuk dan keluar hidung.

Kemudian kita tegaskan dorongan kita, yang berarti bahwa kita tegaskan kembali tujuan kita. Kedatangan kita ke sini merupakan langkah menuju haluan yang aman dan positif dalam hidup, arah upaya diri untuk mengatasi permasalahan kita dan sebab-sebabnya dan menyadari semua daya yang kita punya. Kita mau belajar tentang jalan bertahap, lam-rim, untuk membantu kita mencapai tujuan ini. Kita boleh melakukan ini sebagai bagian dari lingkup "Dharma-Sari", dalam mana kita mau memperbaiki kehidupan ini sebagai batu loncatan untuk pada akhirnya memperbaiki kehidupan mendatang, dan memperoleh kebebasan dan pencerahan. Itu kalau, tentu saja, kita memiliki pemahaman yang belum sempurna atas makna kehidupan mendatang, kebebasan, dan pencerahan, atau setidaknya pengakuan akan pentingnya memahami hal-hal tersebut dan niat untuk berupaya memahaminya. Atau kita bisa melakukan ini dengan niat "Dharma Sejati": mencapai kebebasan dari kelahiran kembali yang berulang tanpa terkendali dan meraih tataran tercerahkan seorang Buddha sehingga kita mampu menolong setiap yang lain untuk mencapai tataran serupa. Yang manapun lingkup yang kita masuki, kita mau melakukan ini bukan hanya untuk mendatangkan manfaat bagi diri sendiri, tapi untuk menjadi pertolongan terbaik bagi setiap makhluk.

Lebih khusus lagi, kita di sini untuk belajar tentang tingkat-tingkat bertahap dari sang jalan sebagai cara untuk menuju haluan aman sang Buddha, Dharma, dan Sangha. Dengan kata lain, kita menuju ke arah perlindungan Dharma. Perlindungan Dharma mengacu pada penghentian yang sebenarnya (gencatan yang sebenarnya) dari permasalahan kita dan sebab-sebabnya dan menuju jalan cita yang sebenarnya (jalan yang sebenarnya), yaitu pemahaman yang benar akan kenyataan yang akan mendatangkan penghentian yang sebenarnya dan yang akan memampukan kita untuk menyadari dan menggunakan segala daya kita sepenuhnya. Belajar tentang tingkat-tingkat bertahap ini akan menolong kita menuju ke haluan ini, cara yang telah diikuti sepenuhnya oleh para Buddha dan dilakukan sebagian oleh Arya Sangha (mereka yang telah memandang kenyataan secara nirsekat). Kita melakukannya dengan welas asih, dengan berharap mampu menolong yang lain mengatasi permasalahan mereka yang sebenarnya dan sebab-sebab yang sebenarnya dari permasalahan itu. Untuk menolong mereka sebanyak mungkin, kita mesti menjadi Buddha. Oleh karena itu, kita juga ada dorongan bodhicita. Singkatnya, kita ingin belajar tentang tingkat-tingkat jalan ini untuk memberi pertolongan terbaik bagi setiap makhluk.

Dengan tujuan semacam itu di dalam cita kita, kita persembahkan doa tujuh-dahan. Pertama, kita bayangkan kita bersujud-sembah. Kita curahkan diri sepenuhnya ke arah ini dengan rasa hormat bagi mereka yang telah menjalaninya dan benar-benar mencapai tujuan-tujuan ini, dengan rasa hormat bagi pencerahan kita sendiri yang hendak kita capai dengan bodhicita, dan dengan rasa hormat bagi daya-daya sifat-Buddha kita sendiri yang akan memampukan kita mencapai tujuan itu.

Kita persembahkan itu sebagai sesaji. Kita bersedia memberikan segalanya – waktu kita, tenaga kita, hati kita – untuk mampu mengembangkan diri lebih dan lebih jauh lagi sehingga kita mampu betul-betul memberi pertolongan terbaik pada yang lain.

Dalam cara yang digagas oleh seorang guru Sakya, Chogyel Pagpa (Chos-rgyal 'Phags-pa), kita buat sesaji pemusatan perhatian, yang mengacu pada persembahan berbagai segi dari laku kita. Kita persembahkan semua yang telah kita baca dan pelajari untuk manfaat orang lain, dan kita persembahkan dalam rupa air. Apapun yang kita pelajari, kita gunakan untuk mampu menolong yang lain. Berikutnya, semua pengetahuan yang telah kita peroleh dari bacaan dan pembelajaran kita, kita persembahkan dalam rupa bunga-bunga. Tata tertib untuk bermeditasi atas dasar pengetahuan ini, kita persembahkan dalam rupa asap wangi dupa. Waskita yang kita perloleh dari laku yang tertib ini, kita persembahkan dalam rupa cahaya lilin dan lampu mentega. Keyakinan teguh yang kita peroleh dari waskita ini, kita persembahkan dalam rupa minyak kolonye yang menyegarkan. Pemusatan perhatian yang mampu kita terapkan atas dasar keyakinan teguh ini, yang bebas dari keragu-raguan, kita persembahkan dalam rupa pangan. Kemudian penjelasan kita pada yang lain, atas dasar semua ini, kita persembahkan dalam rupa musik.

Berikutnya, sepenuhnya jujur pada diri kita sendiri, kita secara terbuka mengakui bahwa kita mengalami kesukaran dalam mengikuti jalan ini dalam hidup kita. Kerap kita merasa seperti enggan melakukannya. Kita tidak paham mengapa kita perlu melakukannya. Kita marah, kita bertindak secara mementingkan diri sendiri, kita jadi serakah dan melekat, dsb. Kadang kita tidak sungguh-sungguh tahu apa yang kita perbuat dengan hidup kita. Kita menyesalinya. Kita benar-benar berharap bahwa kita tidak akan seperti itu. Kita akan mencoba sebaik mungkin mengatasi dan tidak mengulangi hal-hal ini. Maka kita tegaskan kembali haluan positif yang kita tuju dan, apapun yang kita pelajari tentang jalan bertahap ini, kita akan mencoba untuk menerapkannya sebagai tandingan bagi kesukaran dan permasalahan yang kita hadapi.

Kita bersukacita atas fakta bahwa kita punya sifat-Buddha, kita punya kemampuan untuk mengembangkan dan mengatasi kesukaran-kesukaran dan sebab-sebabnya, dan menyadari segala daya kita. Sifat cita itu murni. Kesukaran atau kebingungan kita tidaklah dalam. Keduanya ibarat bau tembakau di nafas seorang perokok. Palsu. Sifatnya sementara dan akan berlalu. Keduanya bukanlah sifat terdalam kita. Kita semua punya sifat-Buddha; kita semua punya kemampuan untuk mengembangkan diri kita. Kita bersukacita karenanya.

Kita juga bersukacita atas para Buddha dan guru-guru luar biasa yang telah mampu menyadari segala daya sifat-Buddha mereka. Kita bersukacita atas fakta bahwa mereka telah mengajarkan kita cara untuk betul-betul mengikuti jalan itu sendiri: "Itu sungguh menakjubkan. Terima kasih!"

Kita mohonkan ajaran: "Tolonglah, saya ingin belajar. Saya sungguh butuh belajar. Saya mau belajar untuk mampu menolong yang lain dan diri saya sendiri."

Kita mohon mereka untuk tetap tinggal: "Saya bersungguh-sungguh tentang hal ini. Jangan pergi. Tolonglah, jangan berlalu. Saya ingin mencurahkan diri menuju pencerahan. Saya bukan sekadar pelancong Dharma."

Akhirnya, apapun pemahaman atau daya positif yang terbina dari laku persiapan ini dan dengan mendengarkan ajaran-ajaran berikut dan melakukannya, semoga hal-hal tersebut dapat menyebabkan kita menjadi Buddha sehingga kita dapat benar-benar memberi pertolongan terbaik bagi setiap makhluk. Semoga semua itu tidak sekadar menjadi sebab bagi perbaikan samsara kita.

Kita lalu memutuskan untuk menyimak dengan pemusatan perhatian. Jika perhatian kita melantur, kita bawa ia kembali. Jika kita mengantuk, kita coba untuk menggugah diri. Untuk membantu cita agar lebih jernih, kita betulkan sikap tubuh kita dan duduk tegak, tapi tidak sampai kaku.

Kemudian kita angkat tenaga kita kalau meredup, kita pusatkan pada titik di antara alis mata, dengan kedua mata melihat ke atas dan kepala tegak rata.

Kemudian akhirnya jika kita merasa sedikit gugup atau tegang, kita perlu membumikan tenaga kita. Untuk melakukan itu, kita pusatkan perhatian pada rongga hidung dengan kedua mata melihat ke bawah tapi kepala tetap tegak rata dan, saat kita menarik nafas seperti biasa, kita tahan nafas sampai kita merasa harus menghelanya.

Jika kita betul-betul memahami hakikat dari persiapan ini dan tidak sekadar melakukannya sebagai upacara kosong, kita akan mampu menghayatinya dan mendapat ilham darinya. Persiapan itu bukanlah laku kebaktian untuk memuja siapapun, tapi sebuah laku yang benar-benar menggerakkan tenaga kita ke arah yang positif dan membuat kita bersedia berupaya atas diri kita, pelajaran kita, dan kemajuan kita. Itulah pokoknya. Itu mengapa semua tadi disebut "persiapan". Saat kita belajar dan berupaya dengan tingkat-tingkat bertahap dari jalan ini, kita senantiasa menekankan bahwa meditasi kita mesti diawali dengan persiapan ini. Persiapan itu membuat kita jadi benar-benar bersifat menerima. Kita jadi benar-benar mau mencoba memahami sesuatu, mempelajari sesuatu. Jadi, lewat laku persiapan ini, kita menghayatinya. Sekalipun jika kita tidak mampu melakukan meditasi lebih lanjut, persiapan-persiapan ini sendiri sudah amat berguna untuk dilakukan sebagai laku sehari-hari.

Menyusun Ajaran-Ajaran Buddha

Pokok bahasan untuk malam hari ini adalah pranata lam-rim, tingkat-tingkat bertahap dari sang jalan. Lebih tepatnya, lam-rim berarti cita jalan bertahap; yaitu, tingkat-tingkat pemahaman maju yang berlaku sebagai jalan-rintis untuk membawa kita ke tujuan kebebasan dan pencerahan. Tapi kita bisa istilahkan secara sederhana sebagai tingkat-tingkat bertahap dari sang jalan.

Dari mana datangnya ajaran tentang lam-rim. Buddha mengajarkan banyak pokok yang berbeda-beda, dan ini dibagi ke dalam cara sutra dan cara tantra. Cara sutra adalah cara mendasar. Kata sutra, dari bahasa Sanskerta, berarti suatu tajuk dari laku. Tantra merupakan ajaran-ajaran tingkat lanjut, yang berdasar pada sutra, yang memampukan kita untuk menyadari segi-segi sifat-Buddha kita dengan menyatukan bermacam-ragam ajaran sutra sekaligus.

Buddha mengajarkan cara-cara sutra dengan beragam cara pada murid-murid yang beragam pula. Banyak dari ajaran-ajarannya berbentuk percakapan: Buddha bicara, yang lain bertanya, Buddha menjawab, dan seterusnya. Karena itu, sutra-sutra tersebut tidak terlihat tertata rapi sekali. Hal-hal yang Buddha katakan di satu tempat tampak bertolak belakang dengan yang dikatakannya di tempat lain. Sukar sekali melihat bagaimana semuanya itu saling-suai. Juga, karena tidak ada yang ditulis pada masa Buddha, kebiasaan yang dilakukan adalah menghafal dan mendaraskan apa yang dikatakannya. Jadi ada sutra-sutra itu diulang berkali-kail, untuk membantu orang mengingat pokok-pokok yang penting.

Lebih lagi, dari sutra-sutra itu sendiri, cara untuk menerapkan ajaran ke dalam perbuatan tidak dipaparkan dengan amat jelas. Karena ini, para mahaguru dari India menulis berbagai tinjauan atas sutra-sutra, yang menjelaskan dengan lebih rinci apa maksud Buddha dan mengatur bahan-bahan tersebut supaya sedikit lebih mudah dicerna dan diterapkan dalam perbuatan. Contohnya, ada lima naskah oleh Maitreya, Buddha masa depan. Ajaran-ajarannya diungkapkan pada Asanga, yang kemudian menuliskannya. Di dalamnya, kita mulai mendapatkan pranata yang nanti akan kita pandang sebagai cara-cara bagi penyajian ajaran Buddha yang berevolusi. Pranata ini merupakan semacam pengantar, sebuah penyajian ringkas dari ajaran tersebut, sebuah penyajian yang dijelaskan lebih lanjut, dan kemudian sebuah resume. Penyajian-penyajian yang dijelaskan lebih lanjut tersebut berupa beragam-macam daftar. Buddha sendiri membuat daftar hal-ihwal, jadi kita seharusnya tidak berpikir bahwa hal tersebut sepenuhnya direka sejak awal oleh adat Tibet. Kita menemukan jenis pranata ini dalam banyak penyajian bahan lam-rim.

Pokok-pokok pikiran dasar tertentu merupakan pelatihan sutra yang mendasar, dan ada banyak cara untuk menyusunnya. Ada "empat pemikiran yang mengubah cita jadi Dharma", contohnya, yang ada pada aliran Nyingma, "empat pokok pikiran Gampopa" dalam aliran Kagyu, dan "pisah dari empat jenis ketergantungan" dalam aliran Sakya. Aliran Sakya kadangkala juga menyusun bahan yang sama menurut empat kebenaran mulia. Dalam aliran Kadam yang bermula dengan Atisha, dan setelahnya aliran Gelug, dan di dalam aliran Shangpa Kagyu juga, terdapat penyajian bahan ini yang disusun menurut tiga lingkup dorongan. Inilah yang kita sebut "lam-rim". Kita jangan berpikir bahwa lam-rim merupakan cara satu-satunya dalam menyajikan bahan yang terkandung di dalamnya; ada banyak cara lain untuk menyajikan ajaran-ajaran serupa.

Tiga Lingkup Dorongan Bertingkat

Apa manfaat istimewa dari penyajian bahan – hidup manusia yang berharga, perlindungan, karma, penyerahan, bodhicita, kehampaan, dan seterusnya – dalam lingkung tiga lingkup dorongan lam-rim? Saya rasa salah satu keuntungan utamanya adalah bahwa cara tersebut menyediakan jalan masuk ke ajaran-ajaran dengan menyarankan langkah-langkah yang mendahului "Dharma Sejati". Biar saya jelaskan hal ini lebih rinci.

Ketika kita bicara tentang ajaran Buddha, kita bicara tentang perlindungan, yang suka saya istilahkan "mengambil haluan aman dalam kehidupan". Apa yang sebetulnya menandakan haluan ini? Permata Dharma. Permata Dharma mengacu pada kebenaran mulia ketiga dan keempat, yaitu penghentian sejati atas permasalahan dan sebab-sebabnya dan jalan cita sejati dari pewujudan nirsekat atas kehampaan. Para Buddha telah mencapai semua ini secara seutuhnya dalam kesinambungan batin mereka. Dengan kata lain, para Buddha memiliki serangkaian lengkap penghentian sejati dan jalan cita sejati pada kesinambungan batin mereka. Sangha arya, di lain pihak, telah mulai memperoleh beberapa dari penghentian dan jalan cita sejati ini, namun mereka belum memiliki rangkaian lengkapnya.

Contohnya, kalau kita bayangkan sebuah TV lama yang sudah rusak dengan bermacam tabung di dalamnya, pemindahan tabung yang galat dari TV itu ibarat penghentian sejati dan pemasangan tabung baru penggantinya itu sama dengan jalan cita sejati. Dengan pencerahan, para Buddha telah menyingkirkan semua tabung galat dan memasang tabung baru penggantinya. Para arhat telah menyingkirkan beberapa saja tabung galat dan menggantikannya: itulah kebebasan. Dengan pengetahuan nirsekat akan kehampaan, kita menjadi arya dan menyingkirkan serta menggantikan tabung galat pertama dari diri kita. Seluruh kisaran pemerolehan itu, dari pemerolehan seorang arya, seorang arhat, sampai seorang Buddha, membentuk perlindungan Dharma.

Empat pemikiran yang mengarahkan cita pada Dharma – kehidupan manusia yang berharga, kematian dan ketaktetapan, karma, dan kemalangan samsara – bicara tentang pengarahan cita kita pada perlindungan Dharma. Secara khusus, keempatnya bertitik-berat pada langkah-langkah untuk memperoleh penyerahan, keinginan untuk terbebaskan. Jika kita terjemahkan empat pemikiran yang mengarahkan cita pada Dharma ke dalam lingkung lam-rim, kita bisa lihat bahwa keempatnya bermula dengan dorongan tingkat menengah: dengan penyerahan, berupaya menuju kebebasan. Empat pemikiran tersebut kemudian selalu diikuti oleh ajaran-ajaran tentang pengembangan bodhicita dan pemahaman kehampaan, untuk memperoleh pencerahan. Keuntungan khas dari penyajian lam-rim atas tingkat bertahap dari sang jalan ini adalah bahwa ia memiliki tingkat dorongan yang bersifat awal-mula, yang berupaya untuk mendatangkan manfaat bagi kehidupan mendatang sebagai batu loncatan untuk upaya menuju kebebasan dan kemudian pencerahan. Oleh karena itu, ia menandakai sebuah batu loncatan untuk upaya menuju tujuan-tujuan ajaran Buddha yang sesungguhnya: kebebasan dan pencerahan.

Dalam aliran Sakya, mengenai pemisahan diri dari empat ketergantungan, ada juga pengalihan cita dari ketergantungan terhadap kehidupan ini ke pemikiran tentang kehidupan mendatang, jadi hal ini tidak cuma ada dalam penyajian lam-rim. Tapi, fakta bahwa berupaya untuk membawa manfaat bagi kehidupan mendatang itu dilihat sebagai satu dari tiga tingkat dorongan dalam lam-rim menandakannya jauh lebih jernih sebagai sebuah batu loncatan. Saya pikir ini amat berarti bagi kita, orang Barat, dalam mendekati Dharma.

Dharma-Sari sebagai sebuah Batu Loncatan

Dalam lam-rim, lingkup dorongan yang lanjut adalah lingkup yang tersendiri ada dalam Mahayana, namun sama-sama ada dalam sutra Mahayana dan tantra Mahayana. Ia mengacu pada upaya untuk pencerahan. Lingkup menegahnya sama-sama ada dalam semua aliran ajaran Buddha, baik Hinayana maupun Mahayana, yaitu: upaya untuk kebebasan. Lingkup awal-mulanya ialaha sekadar upaya untuk memperbaiki kehidupan-kehidupan mendatang, dan inilah langkah yang sama-sama ada di dalam banyak agama lain pula.

Banyak naskah-naskah Buddha berkata bahwa batas antara Dharma dan non-Dharma adalah apakah kita berbuat sesuatu untuk membawa manfaat bagi kehidupan mendatang kita atau tidak. Lebih lagi, seorang penganut ajaran Buddha dijelaskan sebagai seseorang yang menempatkan haluan aman dalam hidupnya, seseorang yang beranjak menuju perlindungan. Seperti yang telah kita sebutkan, perlindungan sejati ialah Permata Dharma, dan Permata Dharma mengacu pada kebebasan dan pencerahan atau tingkat-tingkat arya yang mendekati kebebasan dan pencerahan. Bagaimana pokok-pokok ini dapat saling cocok? Jawabannya terletak pada fakta bahwa ajaran-ajaran perlindungan disajikan dalam lingkup awal-mula.

Ketika kita bicara tentang upaya bagi kehidupan mendatang sebagai garis pembagi Dharma, saya pikir kita tidak bisa bilang bahwa upaya seorang Kristen atau Muslim menuju surga adalah Buddhadharma. Fakta bahwa perlindungan ada dalam lingkup awal-mula ini bagi saya tampak menandakan bahwa ketika kita bicara tentang manfaat bagi kehidupan mendatang sebagai garis pembatas yang memisahkan Dharma dari yang lain, kita secara khusus bicara tentang upaya membawa manfaat bagi kehidupan mendatang sebagai batu loncatan untuk mampu melanjutkan jalan upaya kita menjadi seorang arya dan kemudian memperoleh kebebasan dan, pada akhirnya, pencerahan. Dengan cara pandang seperti itu, kita tidak lagi melihat adanya semacam pertentangan bahwa membawa manfaat bagi kehidupan mendatang merupakan tujuan yang juga ada pada agama-agama non-Buddha. Itulah garis pemisah bagi Dharma Buddha.

Dorongan lingkup awal-mula merupakan batu lompatan dalam arah sejati dari upaya menuju pemerolehan penghentian sejati, Permata Dharma. Dari penyajian lingkup awal-mula sebagai sebuah batu loncatan inilah saya menurunkan gagasan "Dharma-Sari", sebagai batu loncatan yang lebih jauh lagi sebelum itu. Saya rasa pranata lam-rim memungkinkan adanya suatu jenjang sebelum lingkup awal-mula, yang dapat memungkinkan adanya jalan yang lebih mudah bagi orang Barat untuk memasuki jalan bertahap. Jenjang tersebut berisi dorongan untuk berupaya memperbaiki masahidup yang sekarang ini, sebagai sebuah batu loncatan untuk upaya memperbaiki kehidupan mendatang. Dengan Dharma-Sari, kita berupaya dengan dorongan tersebut sebelum mengembangkan tingkat awal-mula dari dorongan lam-rim.

Dharma itu seperti bus yang sedang bergerak dan sukar sekali bagi kita untuk melompat masuk ke dalamnya. Kalau kita lihat lam-rim, tujuan lingkup awal-mula dari memperbaiki kehidupan mendatang mensyaratkan pemahaman dasar dan keyakinan terhadap kehidupan mendatang itu. Naskah-naskah turun-temurun bahkan merasa tidak perlu menjelaskan keberadaan kehidupan masa lalu dan mendatang atau mencoba membuktikan keberadaan kedua kehidupan tersebut. Setiap orang dianggap sudah yakin tentangnya. Sukar sekali bagi orang Barat yang tidak berasal dari latar belakang ini untuk menerima begitu saja kehidupan masa lalu dan mendatang, apalagi bahwa kedua kehidupan itu tidak punya awal. Naskah-naskah turun-temurun ajaran Buddha tidak menunjukkan kesulitan ini, tapi Yang Mulia Dalai Lama menjelaskannya secara lisan seperti ini.

Persis seperti lingkup awal-mula tersebut ada juga pada agama-agama lain, jika kita beranjak ke langkah yang lebih mula, langkah Dharma-Sari itu, upaya memperbaiki masahidup yang sekarang itu sama-sama ada dalam Mahayana dan Hinayana, pengobatan, filsafat duniawi, filsafat kemanusiaan, dan seterusnya, juga dalam agama-agama lain. Ia merupakan dasar umum yang lebih luas. Sebuah laku menjadi laku Dharma-Sari jika dilakukan sebagai batu loncatan menuju upaya bagi kehidupan mendatang, kebebasan, dan pencerahan, di dalam pranata umum perlindungan dan haluan aman. Kita bisa mulai beranjak ke haluan tersebut lewat laku Dharma-Sari. Kalau haluan aman itu ibarat jalan raya, Dharma-Sari itu bagai lerengan masuk menuju ke jalan raya itu.

Makna Dorongan

Pranata tingkat bertahap dari dorongan itu amat penting. Dorongan tidak mengacu pada alasan-alasan perasaan untuk berbuat sesuatu. Kita bicara tentang sasaran kita, tujuan kita. Apa niat dibalik upaya kita belajar dan berlatih; apa tujuan yang berniat kita raih dengannya? Pranata lam-rim menunjukkan sebuah jalan pertumbuhan dan kita perlu mulai dari titik awalnya. Kesalahan besar yang dibuat banyak orang ialah bahwa mereka melewatkan tingkat-tingkat awal-mula dan langsung beranjak ke tingkat lanjut, Mahayana. Dengan bangganya mereka mendaku, "Aku berupaya bagi seluruh makhluk berindera untuk mencapai kebebasan dan pencerahan." Akan tetapi, kalau kita tidak memiliki dorongan tingkat awal-mulanya sebelum ini, hal tersebut meremehkan upaya untuk semua makhluk berindera itu sendiri dan membuat laku kita jadi Dharma-Sari. Kita tidak sungguh-sungguh bekerja untuk seluruh makhluk berindera untuk mencapai pencerahan, karena kita bahkan tidak tahu apa artinya itu; kita tak tahu-menahu apa artinya pencerahan. Kita pasti sekali tidak berupaya untuk membebaskan setiap serangga di alam-raya ini dari kelahiran kembali tanpa terkendali kalau bahkan tidak percaya pada kelahiran kembali itu sendiri! Kalau kita periksa diri kita dengan jujur, kita berupaya untuk menolong beberapa makhluk saja, dan kita menolong mereka untuk memperbaiki kehidupan mereka, di kehidupan yang sekarang ini. Walau dorongan semacam itu amat-sangat positif dan bermanfaat; akan tetapi, menyebut dorongan itu sebagai dorongan tingkat lanjut Mahayana sama saja dengan mengerdilkan Mahayana. Saya pikir penekanannya sungguh harus ada pada pengembangan tujuan tiap tingkat dorongan lam-rim dengan amat tulus dari hati kita, satu per satu, dengan terus maju, tanpa berlagak bahwa kita punya dorongan yang tingkatnya lebih lanjut padahal tidak.

Melakukan Dharma-Sari dan lingkup awal-mula sebagai batu-batu loncatan berarti bahwa kita punya pengertian yang amat jernih tentang pentingnya pemahaman kelahiran kembali, kebebasan, dan pencerahan. Kita mengakui bahwa kita tidak memahami hal-hal ini sekarang, tapi kita mengenali pentingnya pemahaman atas kesemua itu dan kita sepenuhnya berniat untuk mencoba memahaminya. Jika kita belum siap untuk menerima kelahiran kembali dan seterusnya, kita tangguhkan dulu, tapi kita bergerak ke arah menuju pemahaman tentang hal-hal itu.

Kita bisa melalui semua ajaran-ajaran lam-rim dengan Dharma-Sari atau bahkan dorongan tingkat awal-mula sekalipun. Tidak ada masalah dengan hal itu. Kedermawanan, kebaikan hati, menolong yang lain, memahami perasaan gelisah, sejumput gagasan tentang kehampaan, dan seterusnya itu semua berguna bagi hidup ini, bukan? Kita tidak akan mampu memiliki pemahaman terkokoh atas hal-hal ini tanpa unsur kelahiran kembali yang tunamula dan seterusnya, tapi kita bisa memiliki corak Dharma-Sari dari kesemua itu.

Contohnya, tanpa kehidupan masa lalu dan mendatang, karma (ajaran tentang sebab dan akibat berperilaku) jadi tidak masuk akal. Ini karena kita bisa saja seumur hidup kita berbuat baik tapi tewas dalam bencana gempa. Hal-hal semacam itu tidak masuk akal kalau yang ada hanyalah kehidupan yang sekarang ini saja. Itu tidak berarti bahwa ajaran-ajaran karma tidak berguna di masahidup yang sekarang ini. Ajaran-ajaran itu ada gunanya. Tapi kita tidak akan memperoleh pemahaman mendalam tentang karma kecuali kita pikirkan kehidupan masa lalu dan mendatang. Lebih jauh, tanpa memahami kelahiran kembali, mengenali seluruh makhluk sebagai ibu kita di masa lalu jadi tampak muskil, dan banyak ajaran bodhicita yang berdasar pada hal itu. Demikian juga, kecuali kita betul-betul berupaya dengan gagasan bahwa cita itu tidak berawal dan tidak berakhir, kita tak bisa untuk benar-benar memahami kehampaan secara mendalam. Cita yang tunamula itu menyiratkan kelahiran kembali, bukan?

Dengan tulus merasakan dorongan pada tiap tingkatnya itu penting sekali. Melewatkan tingkat motivasi awal ini berarti melewatkan inti sejati dari lam-rim. Contohnya saja pokok-pokok lingkup awal-mula. Kehidupan manusia yang berharga, kematian dan ketaktetapan, dan seterusnya turun langsung dari sutra-sutra, dan berbagai aliran Buddha Tibet dan banyak guru menyajikannya dalam bagan penyusunan yang berbeda-beda. Kesemuanya itu bukanlah khas lam-rim semata. Yang khas lam-rim adalah penyajian hal-hal tersebut dalam pranata lingkup dorongan bertahap.

Memahami Lingkung Lam-rim

Aliran-aliran Tibet yang berbeda-beda menjelaskan hubungan sehat dengan guru rohani di berbagai tempat dalam penyajiannya atas bahan ajaran lam-rim. Contohnya, lam-rim aliran Gelug menempatkan hubungan sehat sebelum penyajian tingkat bertahap.

Sebagai tambahan, saya perlu nyatakan bahwa lam-rim itu bukan hanya satu naskah saja. Di dalam aliran Gelug, terdapat tujuh atau delapan corak besar lam-rim. Tsongkhapa sendiri menulis tiga corak. Ada juga corak-corak dari Dalai Lama Ketiga, Dalai Lama Kelima, Panchen Lama Keempat, dan Panchen Lama Kelima. Satu dari yang terbaru adalah corak dari Pabongka. Ada beberapa lagi di antara naskah-naskah dari Panchen Lama Kelima dan Pabongka. Kita bisa bahas perkembangan sejarawi lam-rim ini secara menyeluruh, tapi kita tidak akan melakukannya di sini. Akan tetapi, satu pokok yang penting dipahami adalah bahwa gaya penyajiannya berubah-ubah seiring waktu.

Lebih jauh di samping itu, ada sesuatu yang saya pikir bisa berguna dan perlu saya paparkan tentang corak lam-rim dari Pabongka Rinpoche, seperti dituliskan oleh muridnya Trijang Rinpoche. Meski naskah itu yang pertama sekali diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan oleh karenanya cukup ternama, corak dari Pabongka tersebut merupakan pendekatan yang agak fundamentalis terhadap lam-rim. Fundamentalis dari sisi aliran Gelug. Bukan berarti itu baik atau buruk, tapi sekadar mengenali sifatnya saja. Jangan pikir bahwa naskah tersebut mewakili seluruh tata-cara lam-rim atau seluruh aliran Gelug. Ada beberapa pernyataan yang amat tajam terhadap penganut Bonpo, contohnya. Juga, penekanan terhadap hal-hal seperti terlahir kembali sebagai binatang dengan penyakit sesak nafas kalau melakukan sujud-sembah dengan tangan terkepal menandakan pendekatan yang dipakai bersifat fundamentalis. Bukan kita yang menghakimi sesuatu itu baik atau buruk, tapi kita cukup tahu saja sifatnya. Bagi banyak orang, paham fundamental itu pantas, bagi yang lain tidak. Akan tetapi, lam-rim Gelug yang arusutama adalah Lam-rim chen-mo dari Tsongkhapa. Kalau Anda mau mengenal aliran Gelug, inilah dia. Yang Mulia Dalai Lama selalu menekankan corak yang ini. Naskahnya pun sekarang sudah tersedia dalam bahasa Inggris.

Kembali ke pokok saya tadi, di bagian awal lam-rim Gelug ada ihwal tentang persiapan dan hubungan dengan guru rohani. Dalam beberapa corak, hubungan dengan guru rohani muncul terlebih dahulu, baru persiapannya. Tapi, dalam corak lain yang terjadi kebalikannya. Yang manapun itu, mengapa dua ini yang lebih dahulu? Kalau kita pikirkan, jelas sekali dari sikapnya bahwa penyajian ini bukanlah untuk pendatang baru yang masuk ke sebuah pusat Dharma, tanpa pengetahuan secuilpun tentang ajaran Buddha. Bagaimana mungkin seorang pendatang baru dapat memulai dengan sujud-sembah, perlindungan, bodhicita, dan doa tujuh-dahan? Apakah seorang pendatang baru sepatutnya melihat seorang guru sebagai Buddha segera setelah dia memasuki pusat Dharma? Jelas bahwa pendatang baru dari Barat bukanlah khalayak yang disasar dalam lam-rim. Yang bahkan lebih menegaskan hal ini adalah bahwa dalam pembahasan mengenai anggapan terhadap guru sebagai Buddha, naskah-naskah lam-rim mengutip tantra-tantra. "Vajradhara berkata. . ." Ada yang terjadi di sini yang perlu kita pahami.

Di mana ajaran-ajaran ini aslinya diberikan dan apa lingkungnya? Khalayak yang dituju di sini adalah para biksu yang mencurahkan diri di jalan ajaran Buddha, yang telah disumpah, dan seterusnya. Mereka sedang dipersiapkan untuk mengambil pemberdayaan tantra, sebuah pembayatan. Pemberian pemberdayaan tantra itu mestilah didahului dengan pemberian ulasan mengenai jalan sutra, yang merupakan landasan bagi laku tantra. Jadi, lam-rim diberikan sebagai sebuah ulasan mengenai ajaran-ajaran sutra dasar bagi para biksu yang hendak mengambil pemberdayaan tantra. Juga, khalayak ini berasal dari sebuah lingkung budayawi dimana kelahiran kembali itu diterima; mereka telah memiliki hubungan tertentu dengan gurunya; dan mereka telah dipersiapkan untuk mengambil pemberdayaan tantra dengan gurunya ini. Dalam lingkung tersebut, semua ajaran tentang hubungan dengan guru jadi masuk akal. Dan persiapan tersebut jelas sekali masuk akal karena mereka itu biksu; mereka, bagaimanapun juga, pasti melakukan jenis upacara semacam itu.

Petunjuk lain ialah bahwa Tsongkhapa menyebut hubungan yang sehat dengan guru rohani sebagai "akar bagi sang jalan". Hal pertama yang tumbuh pada sebuah tanaman bukanlah akar: tanaman tumbuh dari benih. Ia tidak menyebut hubungan dengan guru sebagai "benih bagi sang jalan." Ketika sesuatu itu telah tumbuh, akar adalah hal yang menyokong dan menyediakan asupan makanan baginya. Seorang guru rohani bukanlah benih penumbuh sang jalan. Jadi, walau hubungan dengan guru rohani itu hal yang pertama ada dalam penyajian Tsongkhapa, ini tidak berarti bahwa ia mesti ada pertama sekali bagi pendatang baru. Tsongkhapa menyajikan sang jalan bagi orang-orang yang sudah berada di atasnya. Bagi mereka, sokongan, asupan makanan bagi jalan tersebut, adalah hubungan yang telah mereka miliki dengan gurunya. Itu mengapa ia menempatkannya di urutan pertama.

Inilah beberapa pemikiran awal saya tentang apa yang kita perlu ketahui tentang pranata lam-rim; yaitu, mengapa ada tingkat-tingkat bertahap, bahwa suatu tingkatan boleh jadi ada sebelum tiga tingkat baku, bahwa cara tiga tingkat baku ini disusun memungkinkan adanya tingkat persiapan tambahan ini, dan apa yang dimaksud dari pranata ini dalam kaitannya dengan guru dan persiapan-persiapan tersebut.

Apa yang Diperlukan sebelum Masuk ke Tingkat Awal yang Baku dari Lam-rim

Pemahaman dan laku seperti apa yang perlu kita miliki dan laksanakan sebelum memasuki tingkat pertama dari dorongan lam-rim?

Sonam Tsemo (bSod-nams rtse-mo), salah satu dari lima pendiri silsilah Sakya, memaparkan suatu daftar berisi tiga hal yang dibutuhkan untuk memasuki ajaran. Yang pertama adalah pengenalan akan duka. Yang kedua adalah keyakinan diri bahwa keluar dari duka itu mungkin dilakukan. Dan ketiga, bahwa Dharma menunjukkan cara melakukan hal itu. Jika kita renungkan, ini sangat masuk akal. Jika kita tidak melihat adanya permasalahan dalam hidup kita, kita tentu tidak akan mencari Dharma. Jika kita melihat permasalahan tapi tidak berpikir bahwa ada jalan keluarnya, kita juga tidak akan mencari Dharma. Dan jika kita tidak berpikir bahwa Dharma menawarkan penyelesaian, kita tentu tidak akan mencarinya di dalam Dharma. Tiga ini adalah hal yang membuat kita benar-benar ingin mencari dan mengikuti jalan rohani Buddha. Pokok ketiga menyiratkan bahwa kita perlu terlebih dahulu belajar Dharma supaya punya petunjuk bahwa Dharma menawarkan jalan keluar yang layak. Jadi, sebelum kita benar-benar menghayati Dharma, kita perlu mempelajarinya.

Bisakah Anda paparkan lebih jauh tentang perumpamaan benih dan akar dalam hubungannya dengan guru rohani tadi? Apa itu benih? Bagaimana benih itu berkembang menjadi akar? Jika Anda bilang bahwa kita mesti punya pengetahuan tentang Dharma sebelum membaktikan diri pada Dharma, bagaimana kita membaktikan diri pada seorang guru rohani pada awalnya?

Saya jelaskan lewat contoh. Tiga pokok yang dijelaskan Sonam-tsemo itu ibarat sebuah benih. Keputusan untuk memasuki Dharma tumbuh dari tiga pokok tadi. Tapi untuk memahami bagaimana akar dapat tumbuh dari benih tersebut, mari kita tengok pokok ketiga dari Sonam-tsemo – perlunya mempelajari Dharma dan meyakini kemampuan Dharma dalam memberi penyelesaian bagi permasalahan kita dalam kehidupan.

Saya pribadi belajar agama Buddha selama tujuh tahun di perguruan tinggi, secara sangat profesional, mempelajari bahasa-bahasa kuno yang utama. Meski saya punya rasa naluriah bahwa inilah haluan yang benar, hanya ketika saya ke India dan bertemu Yang Mulia Dalai Lama sajalah, dan kemudian bertemu beberapa guru beliau sajalah saya memandang agama Buddha sebagai sebuah adat yang hidup. Bukan cuma suatu pokok bahasan mati dalam rupa naskah-naskah, yang ibarat teka-teki yang coba dipecahkan oleh para guru besar. Seperti itu memang pendekatannya pada tahun 1960an dulu. Di sini ada guru yang masih hidup; ajaran-ajarannya hidup; dan mengikuti keduanya bisa benar-benar mendatangkan hasil. Yang saya alami adalah tujuan dan guna utama dari seorang guru seperti dijelaskan pada naskah-naskah dulu: memberi ilham. Melihat bahwa laku Buddha itu mungkin dan hidup merupakan hal yang membawa saya sampai pada titik benar-benar melibatkan diri dalam laku dan menghayati ajaran Buddha.

Untuk alasan ini, guru rohani amat berguna dan perlu supaya kita bisa benar-benar masuk ke dalam ajaran. Saya pikir kita tidak bisa sungguh-sungguh masuk ke dalam ajaran sepenuh hati hanya atas dasar membaca buku tentang Dharma, meski kita bisa tertarik ke arah itu karena buku dan memetik sedikit ilham darinya. Ilham terkuat datang dari contoh hidup seorang guru. Lalu, belajar dari seorang guru (pokok ketiga Sonam-tsemo) sebagai benih menjadi untaian akar, karena ilham dari guru rohani melestarikan upaya kita di sepanjang jalan rohani. Namun supaya pertemuan dengan guru rohani itu menjadi benih dan kemudian akar, guru tersebut haruslah benar-benar mumpuni, bukan penipu yang pintar bicara.

Kalau kita cuma bertemu seorang guru yang tak mumpuni yang "menghenyakkan kita" dan kita tak tahu apa-apa tentang ajaran Buddha, apa itu cukup bagi kita untuk masuk ke jalan rohani? Saya yakin tidak. Persis seperti membaca buku tentang ajaran Buddha tanpa contoh hidup dapat menggiring kita ke arah Dharma dan memberi sedikit ilham, begitu pula dengan bertemu seorang guru, bahkan yang tidak mumpuni sekalipun. Tapi pemergian kita ke haluan yang benar itu tidak akan mantap kecuali kita belajar sesuatu dari buku atau guru tersebut, bukan cuma sekadar terlihami saja.

Mana yang lebih berbahaya, memulai hanya dengan membaca tentang ajaran Buddha atau memulai hanya karena terkesan oleh seorang guru Dharma. Keduanya punya bahayanya sendiri. Kalau kita cuma baca, kita bisa saja menafsirkan Dharma seenaknya, yang mungkin tak ada hubungannya dengan ajaran yang sesungguhnya. Kalau kita cuma ikut seorang guru, ada bahaya besar kita membebek pada orang yang mengilhami kita semata, meskipun ia bukan guru yang mumpuni. Kita bisa tersesat. Bahkan jika orang tersebut mumpuni, kita bisa saja membayangkan begitu banyak khayalan padanya sehingga kita disesatkan oleh khayalan kita sendiri.

Terlepas dari cara kita memulainya, kita perlu mencoba untuk belajar dan memperoleh ilham. Ilham awalan dari seorang guru tidak sama dengan hubungan yang sehat dengan seorang guru rohani. Hal tersebut datangnya belakangan, ketika seseorang sudah mapan mantap di jalan rohani dan cukup berbakti dan telah menelaah guru tersebut dengan amat baiknya. Naskah-naskah berkata bahwa yang menandakan hubungan resmi dengan seorang guru rohani ialah pengambilan sumpah darinya, entah itu sumpah pratimoksha, bodhisatwa, atau tantra. Untuk sampai pada titik itu kita perlu cukup banyak perkembangan terlebih dahulu sehingga kita tidak cuma mengambil sumpah karena kita tertekan oleh kelompok kita saja, atau karena alasan menggebu-gebu saja, dan sehingga kita tidak cuma melewati saja upacaranya tanpa tahu-menahu apa maksudnya itu. Ketika kita bisa sungguh-sungguh menghayati ikatan tersebut, baru kita bisa mulai bicara tentang hubungan dengan guru rohani seperti dibahas pada naskah-naskah dahulu. Acapkali dikatakan bahwa guru rohani itu penting ada pada awal, tengah, dan akhir jalan rohani kita. Tapi, kita perlu paham apa maksud dari tiap tingkat tersebut. Tidak semerta berarti bahwa kita menganggap guru itu sebagai Buddha sedari awal kita melangkah di atas jalan rohani.

Menghargai Kehidupan Manusia Kita yang Mulia

Kita tak punya waktu di sini untuk masuk ke berbagai pokok lam-rim secara rinci. Maka dari itu, mari kita telusuri pranata tingkat bertahap itu saja, dan mari kita lakukan hal tersebut dengan membandingkan saja dua cara mendekati tingkat-tingkat tersebut: cara Dharma-Sari, yaitu pendekatan yang sebagian besar dari kita lakukan, dan Yang Sejati.

Kita mulai dengan menghargai kehidupan manusia mulia yang kita miliki ini. Kata bahasa Tibet untuk mulia di sini sama dengan kata yang dipakai dalam istilah Tiga Permata Mulia. Makna kedua dari kata inia dalah bahwa sebuah kehidupan manusia yang diberikan utuh itu bukan saja berharga, tapi juga langka. Jika kita renungkan keadaan kita sekarang ini, sungguh luar biasa. Bisa saja keadaan itu jadi jauh lebih buruk dari yang sekarang ini. Sungguh luar biasa betapa kita tidak terlahir dengan keterbelakangan mental, cacat, serba kurang, atau gila, dsb. Kita tidak tinggal di wilayah perang yang biadab, atau mati kelaparan, disiksa di kamp pemusatan, dan seterusnya. Banyak orang yang telah dan sedang berada di dalam keadaan-keadaan semacam itu. Sungguh luar biasa bahwa kita terbebas dari semua itu, tapi kita tidak mau ambil pusing.

Keadaan dunia sekarang ini sebetulnya amat bermanfaat untuk memperoleh pewujudan kehidupan manusia kita yang mulia. Cara-cara untuk mengupayakan diri kita sudah tersedia dan kita sungguh-sungguh berminat untuk mempelajarinya dan melakukannya. Akan tetapi, sekalipun cara-cara ini tersedia, kebanyakan orang tidak menaruh minat padanya. Dan banyak orang yang bahkan tak memiliki cara-cara tersebut. Juga, amat menakjubkan bahwa, selain minat kita, kita juga punya kesempatan untuk belajar dan melakukan cara-cara ini. Dengan membandingkan keadaan kita dengan bagian-bagian lain dunia ini, tampaklah pada kita bahwa segala sesuatu bisa jadi amat sangat buruk.

Ketika kita tahu bahwa kita memiliki kesempatan yang berharga untuk mengupayakan diri, hal itu mendorong kita untuk memanfaatkannya. Penting sekali bagi kita untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan semacam itu. Sifatnya amat ringkih dan amat langka. Menyia-nyiakan kesempatan itu dengan menghabiskan sebagian besar waktu kita main ke bar, menonton tivi, atau apapun itu, sungguh merupakan kesia-siaan yang tak bisa dipercaya. Kita begitu teristimewa karena punya kebebasan untuk melakukan lebih banyak hal berguna dan bermanfaat dalam hidup kita. Sebagian besar dari kita ini punya cukup uang. Kita bukan budak. Kita punya kesehatan. Kita teristimewakan. Entah itu kita sedang menjalankan Dharma-Sari atau Dharma-Sejati, titik ini sama persis.

Inilah titik awalnya. Ia hadir sebelum tingkat-tingkat bertahap dari dorongan sejati. Meski kita bisa menyelesaikan dan mempelajari jalan tersebut, kalau titik awal ini tidak benar-benar menyetuh hati kita dan mutlak menjadi nyata dalam perasaan kita dan bukan dalam akal kita semata, maka akan amat sukar untuk mengalami kemajuan berarti. Jika tidak sepenuh hati dan tulus, seluruh jalan rohani itu dengan mudahnya menjadi sekadar olahraga saja. Jadi seperti kegiatan bermain boling atau gerak badan saja. Kita tidak melihat keterkaitan mendalam yang dimilikinya dengan kehidupan kita. Tapi nyatanya, mengupayakan diri itulah yang seharusnya menjadi kehidupan itu sendiri!

Ini tidak berarti bahwa kita berhenti di titik ini dan tidak belajar hal lainnya di jalan bertahap sampai pemahaman tentang kehidupan manusia kita yang mulia ini meresap dalam-dalam. Akan butuh bertahun-tahun sampai pemahaman tersebut merasuk ke dalam hati kita. Pokok yang ingin ditonjolkan adalah bahwa kita tidak menyepelekannya. Walau kita benar-benar harus berupaya memahami dan dengan tepat memanfaatkan kehidupan kita yang mulia, kita juga tidak perlu jadi semacam penggila Dharma. Kegagalan sudah siap menerpa jika demikian. Tentunya, kita perlu sedikit santai.

Kesempatan langka ini kita punya; kehidupan manusia yang mulia ini kita punya. Jika kita telah memiliki kesempatan untuk belajar dan bertemu dengan guru yang mumpuni, titik ini jadi semakin nyata lagi. Bagaimana mungkin kita menyia-nyiakannya saja? Sungguh suatu keistimewaan bagi kita untuk bisa belajar dan bertemu dengan guru semacam itu.

Lingkup Menengah

Dengan dorongan lingkup menengah, kita mengarah menuju pembebasan dari kelahiran kembali yang berulang tanpa terkendali. Jika kita tidak paham atau yakin pada kelahiran kembali, bagaimana mungkin kita ingin memperoleh pembebasan darinya? Cuma bergurau itu namanya. Corak Dharma-Sari dari dorongan lingkup menengah ini berupa mengarahkan diri untuk terbebas dari masalah jenis apapun di hidup ini, tapi itu masih agak samar. Dalam Dharma Sejati, pada tingkat awalan kita hanya berpikir menghindari duka tingkat kasar, khususnya duka dari tataran kelahiran kembali yang lebih buruk. Di sini di tingkat menengah ini, kita pikirkan permasalahan kebahagiaan biasa kita, yang dicirikan sebagai duka alam-alam yang lebih tinggi. Bahkan di alam dewata atau sebagai manusia sekalipun, kita ada segala jenis duka. Kita juga melihat "duka serba-mencakup", yaitu keadaan samsara secara umum: bahwa apapun yang kita alami di kelahiran kembali manapun itu ada karena kebingungan, disertai kebingungan, dan melestarikan serta menciptakan lebih banyak kebingungan. Tapi, dengan Dharma-Sari, kita bisa lihat dua jenis duka ini secara lebih umum, sehingga keduanya tetap berkenaan dengan masahidup yang sekarang juga.

Kebahagiaan-kebahagiaan yang biasa itu tidak cukup. Mengapa? Karena kebahagian tersebut tidak memuaskan. Kita tak pernah merasa cukup. Kita merasa tak cukup hanya dengan sanggama sekali saja. Kita merasa tak cukup hanya dengan makan sekali saja. Kita ingin lagi dan lagi dan lagi. Yang benar-benar mengerikan adalah bahwa kadangkala kita bahkan tidak menyukai hal-hal yang kita gemari. Tidak ada jaminan bahwa kita akan suka kalau makan hidangan yang sama setiap waktu atau bahwa kita akan menikmati setiap sanggama yang kita lakukan. Yang bahkan lebih mengerikan lagi adalah bahwa kita tidak tahu sama sekali tentang apa yang akan terjadi berikutnya. Di satu waktu kita berada pada suasana hati yang menakjubkan dan di waktu berikutnya suasana hati kita bermuram-durja. Amat sangat tidak memuaskan.

Kita benar-benar perlu melampaui tataran cita yang berpikir untuk mencoba memperoleh kenikmatan apapun yang kita bisa, dengan segala cara. Biasanya, yang ada dibaliknya ialah mitos, khayalan, bahwa kita akan menemukan semacam kebahagiaan sempurna dalam hal makanan, hubungan badan, persahabatan, uang, atau apapun. Tapi keyakinan semacam itu muncul dari kebingungan, menyertai laju langkah kita memburu segala hal ini, dan, ketika kita alami bahwa hal-hal ini ternyata tidak memuaskan kita, tambah lestari pulalah kebingungan kita tadi. Kita berpikir bahwa mungkin ketika lain kali kita memilikinya, maka kebahagiaan sempurna itu akan datang. Kita perlu sampai pada titik di mana kita melakukan "penyerahan". Bukan hanya tekad-bulat untuk bebas dari lingkaran swalestari ini; tapi sebuah penyerahan yang berdasar pada rasa muak dan jijik dengan semua itu. Betapa bodoh dan membosankannya kalau kita antukkan kepala kita ke dinding dan mencoba mendapatkan kebahagiaan abadi dari hal-hal semacam ini. Dengan penyerahan, kita bertekad untuk bebas dan hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa ada kemungkinan untuk bebas; kita punya pilihan lain.

Dengan penyerahan, kita sadar bahwa tidak ada tempat di semesta ini yang benar-benar ingin kita datangi. Semuanya kurang-lebih sama saja. Beberapa tempat lebih menyenangkan dari tempat lain, tapi itu semua sampah. Tidak ada pusat Dharma tertentu yang kita rasa harus kita peluk dan anut supaya kita memperoleh kebahagian. Kita sadar bahwa tidak ada pusat yang akan sempurna dan bahwa, tak terelakkan, pusat Dharma manapun akan terseret dalam sampah politik dalam diri mereka sendiri. Tidak ada wihara yang ingin kita masuki untuk jadi bagian darinya selamanya. Wihara manapun tak terelakkan akan terseret dalam sampah politik dalam dirinya juga. Tidak ada persahabatan tertentu yang ingin kita olah, karena persahabatan manapun tak terelakkan akan diisi dengan permasalahan dan kesukaran.

Akan tetapi, ini tidak berarti bahwa kita cabut saja dan bunuh diri karena semuanya terasa begitu menyedihkan. Alih-alih, karena kita tidak tertarik pada apapun dan tidak ada mitos bahwa kita akan dapat menemukan pusat Dharma, wihara, kawan, tempat tinggal, pekerjaan, atau pasangan paling baik maka kita hanya mencari hal-hal yang paling mendukung untuk mampu membuat kemajuan lebih jauh di jalan menuju kebebasan. Dengan demikian, kita memilih pusat Dharma, wihara, tempat tinggal, dsb. itu tanpa memperamatkannya sebagai yang paling menakjubkan di dunia. Tak satupun dari hal itu merupakan yang terbaik. Itulah samsara itu. Keadaan-keadaan samsara tidak pernah memuaskan, tidak pernah sempurna; selalu naik dan turun. Kita perlu memahami penyerahan dengan cara seperti ini.

Corak Dharma-Sari dari penyerahan adalah keinginan untuk keluar dari duka dalam kehidupan ini. Dalam corak Dharma-Sejati dari penyerahan ini, kita juga pikirkan kehidupan masa mendatang, bukan kehidupan sekarang ini saja. Tiga jenis duka itu akan terus dan terus dan terus ada di tiap-tiap kehidupan mendatang, kecuali kalau kita melakukan sesuatu untuk keluar dari kitaran berulangnya yang tak terkendali itu.

Kita bisa lihat di sini betapa semua ajaran itu layaknya kepingan-kepingan teka-teki untuk disatukan dengan setiap kepingan lain dengan berbagai cara. Contohnya, kalau kita tidak menggabungkan keping teka-teki kehidupan manusia yang berharga dengan keping penyerahan, kita sampai pada titik di mana kita merasa tak ada tempat yang baik, kita tidak mau ke mana-mana lagi, semuanya sampah, dan kita merasa tidak ingin berbuat apa-apa lagi. Bukan itu pokok dari penyerahan. Penyerahan menolong kita untuk lebih baik lagi memanfaatkan kehidupan manusia kita yang berharga ini.

Hal berikut yang perlu kita perhatikan ketika dorongan kita merupakan dorongan lingkup menengah adalah hal yang menyebabkan semua permasalahan, kesukaran, dan perasaan gelisah ini. Semuanya itu muncul dari kebingungan. Dharma memberikan penjelasan yang kerumitannya hampir-hampir tak dapat dipercaya tentang bagaimana semua itu berawal dari kebingungan. Sebagai contoh sederhana, mitos Pangeran dan Putri Menawan yang menunggang kuda putih itu membuat kita mengarahkan segala jenis keterbaikan pada orang lain. Lalu kita jadi melekat, dan menjadi marah ketika orang tersebut tidak hidup seperti harapan mustahil kita, atau kita jadi iri karena orang lain yang akan mendapatkan Pangeran atau Putri kita. Ajaran Buddha menyediakan uraian lengkap tentang dari mana ini datangnya. Luar biasa.

Corak Dharma-Sari dari hal ini adalah memandang sebab-sebab dari gejala-gejala ini dalam lingkung masahidup sekarang ini saja, dan mungkin mencakup sejauh sebab-sebab dari pengaruh yang berasal dari generasi masa lalu. Oleh karena itu, corak Dharma-Sari ini cenderung menjadi uraian kejiwaan, yang tidak cukup mendalam. Corak Dharma-Sejati memandang gejala-gejala ini dan sebab-sebabnya dalam kerangka pola-pola dari masahidup lampau. Menimbang hal ini hanya dari apa yang terjadi pada kita di masahidup sekarang ini tidaklah cukup untuk benar-benar menjelaskan segala sesuatu sepenuhnya. Cuma sepenggal-penggal saja.

Pokok berikutnya dalam pembahasan lam-rim adalah dua belas tautan kemunculan bergantung. Ini merupakan uraian yang berseluk-beluk nan pelik tentang cara kerja kelahiran kembali; bagaimana perasaan gelisah dan karma bersama-sama menghidupkan pola-pola tertentu yang kemudian berulang sebagai kecenderungan, sebagai watak pribadi dalam berbagai masahidup, dan seterusnya. Hanya dengan gambaran lengkap inilah kita bisa benar-benar mengetahui betapa menjijikkan dan muskilnya semua seluk-beluk kelahiran kembali dalam samsara itu. Walau kita bisa sedikit tahu tentang bagaimana pola-pola kita ini berulang di masahidup ini lewat sudut pandang Dharma-Sari, Dharma-Sejati sudah bicara sampai ke bagaimana kelahiran kembali itu berlaku. Di situlah kedalamannya terletak.

Untuk keluar dari kitaran mengerikan ini, kita membutuhkan tiga latihan lebih lanjut: dalam tertib-diri berbudi-pekerti, pemusatan perhatian, dan kesadaran pembeda (kebijaksanaan). Di sini, tertib-diri berbudi-pekerti itu mengacu pada pengambilan sumpah bagi kebebasan diri sendiri (baik itu awam maupun kewiharaan). Karena kita benar-benar mau keluar dari samsara, kita baktikan diri untuk menghindari hal-hal tertentu yang dapat menghalangi kebebasan kita. Kita tidak perlu bahas panjang-panjang tentang sumpah ini di sini. Mengambil sumpah untuk kebebasan diri sendiri itu menyiratkan bahwa sebelumnya kita perlu berpikir bahwa kebebasan itu mungkin dan bahwa sebuah akad-bulat mutlak untuk menghindari perilaku merusak itu akan menolong kita menuju ke arah itu. Ini amat kuat berdasar pada penyerahan, meninggalkan perilaku merusak, karena kita lihat bahwa bertindak, berbicara, dan berpikir secara merusak itu justru memelesetkan kita dari arah benar ini.

Fakta bahwa pembahasan tentang pengambilan sumpah itu ada setelah pembahasan tentang perasaan dan sikap gelisah menyiratkan bahwa kita tidak boleh mengambil sumpah karena alasan-alasan menggebu seperti "Aku mau jadi orang baik", "Aku mau menyenangkan hati guruku," dsb. Ketika kita mengambil sumpah, itu karena kita tahu bahwa kebebasan itu mungkin terjadi dan bahwa sumpah itu menggambarkan batas-batas yang jangan sampai kita langgar untuk meraih tujuan tersebut, kita tidak lagi bingung atau plin-pan tentang bagaimana cara kita bertingkah-laku. Contohnya, kita tak mau minum arak karena kita tahu itu mengaburkan cita kita sehingga kita tidak bisa memusatkan perhatian. Kita perlu mencanangkan batas-batas kita. Ini bukan perkara jadi orang patuh atau penurut. Mengambil sumpah itu berdasar pada kesadaran pembeda yang pekat bahwa mengikuti panduan sumpah itu amat bermanfaat sifatnya. Kemudian, atas dasar tertib-diri berbudi-pekerti, kita mengembangkan pemusatan dan, dengan kesadaran pembeda, kita pusatkan perhatian pada kehampaan, pandangan terdalam akan kenyataan, untuk mengenyahkan kebingungan yang menjadi sebab terjadinya kelahiran kembali yang berulang tanpa terkendali yang kita alami itu. Pemusatan perhatian dan kehampaan itu tidak dibahas dengan rinci di lingkup menengah: keduanya hanya disebutkan saja.

Lingkup Lanjut

Dorongan lingkup lanjut ini adalah upaya menuju pencerahan. Begitu kita telah sampai pada titik dimana kita berupaya memperoleh kebebasan, mengenyahkan kelahiran kembali kita sendiri yang tak terkendali, kita perlu lanjut ke titik dimana kita mau maju lebih jauh dalam perkembangan kita sehingga kita juga mampu menolong setiap orang. Dalam corak Dharma-Sari dari dorongan ini, kita sekadar ingin bersikap baik pada setiap orang dan menolong setiap orang. Bukan itu yang kita maksud (dalam corak Dharma-Sejati). Kita mau menolong mereka mengatasi kelahiran kembali yang berulang tanpa terkendali juga. Hal itu jauh lebih dalam dibanding sekadar bersikap baik saja.

Pemusatan dan pemahaman kita akan kehampaan itu memerlukan tenaga yang besar di baliknya supaya keduanya mampu mendatangkan pencerahan, dan hal itu muncul dari bodhicita. Diutarakan dengan sederhana, bodhicita itu adalah tataran cita yang berpikir: "Aku harus menolong setiap orang sekuat mungkin, dan supaya bisa begitu, aku harus mencapai pencerahan, dan karena itu aku akan mengarah ke pemerolehan itu."

Cita kita terbatas; raga kita terbatas. Ibarat kita sedang berada di dalam kapal selam dan kita melihat sekitar lewat sebuah teropong. Yang dapat kita lihat adalah apa yang ada di depan mata kita saja. Kita tak bisa melihat kesaling-hubungan segala sesuatu yang telah atau akan ada. Ketika kita lihat orang lain, kita tidak melihat bagaimana tataran cita mereka yang sekarang ini telah dipengaruhi oleh setiap manusia dan setiap hewan yang pernah hidup, oleh sejarah, oleh ekonomi, oleh masyarakat, dan seterusnya. Kita perlu tahu semua hal itu supaya dapat memilih ajaran benar yang pas dengan mereka. Kita juga tidak tahu dampak ajaran kita tentang sesuatu pada semua yang mendengarkannya dan, karena telah dipengaruhi oleh ajaran tersebut, dampak hal ini terhadap setiap orang yang kemudian mereka temui. Coba pikirkan itu. Kita hanya melihat lewat teropong. Kita tidak melihat kesaling-tautannya, apalagi kehidupan masa lampau dan mendatang dari setiap orang. Kalau kita tidak sadar akan semua hal ini, bagaimana mungkin kita tahu hal terbaik untuk diajarkan?

Corak Dharma-Sari dari hal ini berupa pemikiran bahwa setiap orang punya satu kehidupan, dan karena itu yang dipikirkan hanyalah sebab dan akibat dalam satu masahidup saja. Corak Dharma-Sejati menganggap bahwa setiap orang memiliki kehidupan yang tak terbatas jumlahnya, jauh lebih rumit jadinya. Untuk bisa tahu cara menolong setiap orang sebaik mungkin, kita harus mengenyahkan teropong bodoh ini, yang berarti bahwa kita jadi tercerahkan. Bahkan ketika kita terbebaskan dari samsara, kita masih melihat lewat teropong tadi, meski pada titik itu kita tidak lagi dibodohi, kita tidak percaya bahwa segala sesuatu itu mengada seperti kelihatannya. Saat kita mengenyahkan teropong ini, kita tidak lagi berada di dalam kapal selam. Tanpa memahami setidaknya gagasan sederhana tentang apa sesungguhnya arti pencerahan dan mengapa kita harus mencapai pencerahan, bagaimana mungkin kita dapat mengembangkan bodhicita? Itulah yang kita upayakan.

Corak Dharma-Sari dari hal ini bisa seperti, "Oh, aku mau jadi seorang Buddha karena itu sungguh luar biasa! Itulah yang tertinggi dan aku akan mampu menolong siapa saja!" Itu dongeng sebelum tidur. Mungkin kita bisa mulai dengan itu, tapi kita harus menyadari bahwa ada sesuatu yang jauh lebih bermakna yang sedang terjadi.

Kemudian kita ambil sumpah bodhisattwa. Ini menandakan tindakan dan sikap yang kita perlu hindari dan hal-hal yang kita perlu lakukan supaya dapat mendatangkan manfaat terbaik bagi orang lain dan supaya bisa meraih pencerahan. Ini luar biasa. Kita tahu apa yang akan merintangi kita di jalan ini, jadi kita hindari rintangan itu.

Saat kita meniti jalan rohani ini, kita berupaya dengan enam sikap bercakupan luas, yang biasanya disebut enam kesempurnaan. Kita bisa menalarnya dengan dua cara: dalam kerangka mendatangkan manfaat bagi diri kita sendiri untuk mampu mendatangkan manfaat bagi yang lain dan dalam kerangka betul-betul mendatangkan manfaat bagi yang lain. Kita harus bersedia memberikan segalanya. Itulah kebaikan hati. Tanpa sikap ini, bagaimana mungkin kita mampu terus melangkah di jalan rohani? Kemudian kita perlu tatatertib, kalau tidak bagaimana kita akan memakai semua tenaga dan waktu kita? Tatatertib itu menjaga kita tetap terpusat pada meditasi, latihan, dan seterusnya, dan kita berpegang teguh pada semua itu. Pasti akan sulit. Kita perlu kesabaran agar kita tidak gusar dan marah ketika mencoba menjalani laku jalan rohani. Kemudian kita perlu kegigihan penuh sukacita karena, tentu saja, saat kita menjalankan laku dan mengupayakan diri, segala sesuatu itu akan naik dan turun. Kita tak boleh terpental dari lintasan karena hal itu. Apapun yang terjadi, kita akan terus lanjut dan bersukacita dalam laku Dharma yang sedang kita jalankan, karena kita tahu ada banyak manfaat yang timbul darinya.

Atas hal apa kita terapkan kegigihan kita ini? Pertama, kita berupaya atas pemusatan perhatian. Sebetulnya, istilahnya di sini mengacu bukan hanya pada pemusatan perhatian saja, tapi juga pada kemantapan batin secara umum. Dengan kemantapan batin, tidak hanya cita kita tidak melantur dan tumpul, cita juga tidak naik turun diseret sampah perasaan. Cita dan tataran batin kita mantap teguh. Lalu, ketika kita sedang berada dalam keadaan yang sulit secara perasaan, pemusatan perhatian kita tetap utuh padu. Dalam keadaan dunia masa kini dengan semua tekanan dan kecemasan, kita bisa memaklumi bahwa segala sesuatu itu muram atau sukar, tapi kita tidak kehilangan pemusatan perhatian kita. Kita tidak sekadar menggunakan pemusatan ini untuk menekuni napas, tapi juga memusatkan perhatian pada kesadaran pembeda atas kenyataan, untuk mengenyahkan semua citra cara-cara mengada yang mustahil, semua khayalan kita, dan untuk perhatian kita tetap terpusat pada apa sebetulnya yang jadi perkara.

Dalam hal betul-betul menolong yang lain, dengan kemurahan hati kita memberikan pada yang lain bukan cuma hal-hal bendawi, tapi juga rasa hormat dan kesempatan untuk belajar. Kita menolong dengan mengajar yang lain. Kita memberi mereka kebebasan untuk tidak takut pada kita – untuk tidak takut kalau-kalau kita mengabaikan mereka, meninggalkan mereka, menolak mereka, bergantung pada mereka, dan seterusnya. Kita berikan pada mereka kasih kita yang tulus. Kita sungguh ingin mereka bahagia. Kita tidak cuma sedang menggunakan mereka demi kenikmatan kita semata. Kita menggunakan tatatertib untuk bisa benar-benar menolong mereka dan tidak melukai mereka, semampu kita. Kita lakukan apapun yang kita bisa. Kita mencoba menolong, alih-alih berkata, "Maaf, saya sibuk. Saya tak bisa menolongmu hari ini." Kita perlu belajar bersabar karena ini pasti akan sulit. Orang-orang akan menyulitkan kita. Kita perlu bersabar, dan tidak menjadi marah atau gusar karena kita bukan Tuhan dan tak bisa melenyapkan masalah orang-orang cuma dengan menjentikkan jari saja. Kita membutuhkan kegigihan penuh sukacita untuk bisa terus maju, terus menolong, terus mencoba, terlepas dari apakah orang-orang itu jadi lebih baik atau tidak dan terlepas dari naik dan turunnya keadaan yang kita alami.

Kita membutuhkan daya pemusatan agar perhatian tetap terjaga pada upaya menolong orang, tanpa usikan, terlepas dari perasaan tertarik pada yang satu dan jengah pada yang lain. Kemudian kita butuh kesadaran pembeda untuk memilah antara citra dan khayalan kita tentang orang-orang dan seperti apa mereka sesungguhnya mengada. Kita perlu memilah-bedakan antara mana yang bermanfaat dan mana mendatangkan celaka.

Dengan Dharma-Sari, kita menjalankan laku ini hanya untuk menolong orang di masahidup sekarang ini. Dharma Sejati menolong yang lain dan membaktikan daya positif darinya untuk mengatasi pengelihatan teropong kita sehingga kita dapat benar-benar menolong mereka sebaik mungkin dengan kasih, welas asih, dan seterusnya.

Video: Khandro Rinpoche — ”Apa itu Welas Asih?”
Untuk menyalakan subtitle, klik ikon Subtitel di sudut kanan bawah layar video. Untuk mengubah bahasa subtitel, klik ikon “Setelan”, lalu klik “Subtitel” dan pilih bahasa yang Anda inginkan.

Kesimpulan

Itulah pembahasan umum dari pranata dasar tentang tingkat-tingkat bertahap dari jalan rohani. Butuh banyak kerja keras. Tidak perlu merasa malu atau teruk kalau kita baru berada di tingkat Dharma-Sari, karena memang justru di situlah rata-rata kita berada. Cobalah untuk menghayati Dharma-Sari ini, jika di situ Anda berada sekarang, dan lakukan dengan tulus, tapi senantiasa dengan melihat bahwa ia merupakan batu loncatan. Kita perlu memahami dan mengakui pentingnya berupaya dengan kelahiran kembali dan seterusnya, sehingga lambat-laun kita dapat benar-benar berupaya untuk kebebasan dan pencerahan. Kita tidak boleh meremehkan ajaran-ajaran ini, tidak pula berlagak atau berpura-pura bahwa kita telah berada di tingkat dorongan yang lebih lanjut dibanding yang sebetulnya. Di tingkat manapun kita berada, kita selalu mencoba memberi pertolongan terbaik bagi setiap orang.

Persembahan

Seperti yang telah saya katakan berulang kali, jika kita memperoleh pemahaman, daya positif dari pembahasan hal-hal ini dan kita membiarkannya begitu saja, daya positif itu akan dengan sendirinya berlaku hanya sebagai sebab bagi perbaikan samsara semata. Itu memang sudah baik sekali, tapi kita bisa melakukan jauh lebih banyak dengan daya tersebut. Kita tidak mau hal itu membuat hidup kita jadi sekadar lebih mudah saja. Itu Dharma-Sari namanya. Yang kita inginkan adalah secara sadar mempersembahkannya sebagai sebab bagi pencapaian pencerahan, untuk mengatasi bukan hanya perasaan gelisah kita saja, tapi juga pengelihatan teropong kita, sehingga kita sungguh benar dapat menjadi pertolongan terbaik bagi setiap orang. Terima kasih.

Top