Islam dari Sudut Pandang Agama Buddha

Pendahuluan

Dengan semakin berkembangnya kepedulian terhadap masalah-masalah globalisasi dan pemanasan global, nilai penting dari apa yang disebut Yang Mulia Dalai Lama Keempat belas “tanggung jawab universal” menjadi semakin nyata. Pembangunan berkelanjutan, dan bahkan ketahanan hidup, bergantung pada bangsa, budaya, agama, dan pribadi yang memikul tanggung jawab bersama untuk berusaha memecahkan masalah-masalah universal itu. Salah satu landasan terpenting bagi kerjasama semacam ini adalah pemahaman bersama. Melalui pendidikan tentang budaya lain, semoga kita bisa menghindari pengaruh merusak dari kemungkinan apa pun akibat “benturan peradaban”.

Dua contoh peradaban adalah dunia Buddha dan Islam. Sepanjang sejarah, dua peradaban ini telah berhubungan dalam sifat yang membangun maupun yang bermasalah. Ketika keduanya berbenturan, doktrin agama bisa digunakan untuk mengerahkan pasukan. Namun, uraian yang lebih mendalam menunjukkan bahwa dorongan di balik konflik-konflik itu berpusat pada persoalan ekonomi, politik, dan strategi militer.

Di masa kini, hanya ada sangat sedikit wilayah di dunia tempat kelompok tradisional Buddha dan Islam hidup bersama. Di beberapa wilayah tempat keduanya membaur―seperti Tibet, Ladakh, dan Thailand selatan―hubungannya sangat dipengaruhi oleh tindakan dari kelompok budaya dan bangsa lain, sehingga, kita tidak bisa memisahkan persoalan Buddha-Muslim dari latar yang lebih luas. Di wilayah lain, seperti Malaysia dan Indonesia, umat Buddha terdiri dari warga keturunan Cina yang menjadi pendatang, dan hubungan mereka dengan warga asli yang Muslim ditentukan terutama oleh unsur-unsur ekonomi. Singkatnya, perbedaan doktrin agama tampaknya memainkan peran kecil dalam hubungan Buddha-Islam masa kini.

Kemudian, apa tujuan mendorong dialog antara Buddha dan Islam? Perbedaan-perbedaan doktrin antara dua agama ini akan selalu ada dan, tentu saja, ini perlu diketahui dan diakui sehingga tidak menimbulkan tindakan yang bermusuhan. Namun, dengan menemukan dan menegaskan nilai-nilai dasar kemanusiaan bersama―seperti fakta bahwa tiap orang ingin bahagia dan tidak menderita, serta bahwa kita semua saling terhubung―anggota dari semua komunitas, tidak hanya komunitas Buddha dan Muslim, bisa mengerahkan sumberdaya mereka dan memusatkan usaha mereka untuk mencoba memecahkan persoalan-persoalan mendesak dari kepedulian global.

Di sini, kita perlu mengkaji secara singkat sejarah hubungan Buddha-Muslim selama satu milenium pertama setelah Nabi Muhammad, dengan berpusat pada tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh tradisi Buddha Indo-Tibet mengenai Islam, dan pokok-pokok yang disebutnya sebagai hal yang selaras atau bermasalah. Pokok yang bermasalah menandakan beberapa persoalan yang membutuhkan tenggang rasa bersama untuk menghindari penolakan kerjasama. Pokok-pokok yang sama, di sisi lain, menandakan adanya dasar positif yang bisa diperkuat untuk membangun rasa saling hormat dan koordinasi usaha. Tulisan ini tidak mencakup catatan tentang hubungan antara dua agama itu selama masa Ilkhanate di Iran ketika, antara 1256 dan 1295 Masehi, penguasa Mongol di sana menganut dan menyebarkan Buddha Tibet sebelum perpindahan mereka ke Islam. Yang juga tidak disebutkan adalah uraian tentang tanggapan Buddha Uighur terhadap perkembangan Islam di wilayah mereka di Turkistan Timur (Xianjiang, Cina saat ini) antara abad ke-11 dan 14.

Top