Iri Hati: Menangani Perasaan Gelisah

15:08
Ada banyak bentuk iri hati. Bisa berupa sekedar ketidakmampuan untuk menepa-selira pencapaian orang lain, atau bisa pula mencakup keinginan untuk meraih pencapaian itu sendiri. Kita mungkin menginginkan milik orang lain dan berharap kita sendiri memilikinya, dan bahkan bisa pula berharap bahwa orang lain tersebut kehilangan miliknya itu. Kebersaingan dapat pula termasuk terlibat di dalamnya, dan juga pemikiran yang mendua, tentang kita sebagai “pecundang” dan orang lain sebagai “pemenang”. Dasar dari semua ini adalah kita yang terlalu terpaku pada diri sendiri. Dengan menelaah semua unsur penyusun ini, ajaran Buddha menawarkan berbagai cara canggih guna membongkar perasaan-perasaan gelisah kita dan membersihkan diri kita daripadanya.

Perasaan-Perasaan yang Gelisah

Kita semua mengalami perasaan-perasaan yang gelisah – keadaan-keadaan cita yang, ketika berkembang dalam diri kita, menyebabkan kita kehilangan kedamaian jiwa dan membuat kita tidak berdaya sehingga kita kehilangan kendali diri. Contoh-contoh umumnya adalah keserakahan, keterikatan, kebencian, kemarahan, iri hati dan kecemburuan. Mereka memicu munculnya berbagai dorongan batin (karma), biasanya dorongan-dorongan batin yang menuntun pada perilaku merusak. Dorongan-dorongan itu mungkin untuk bertindak secara merusak terhadap orang lain atau untuk bertindak dalam cara-cara yang merusak diri sendiri. Hasilnya adalah kita menciptakan masalah dan penderitaan bagi orang lain dan, pastinya, bagi diri kita sendiri.

Kisaran ragam dan rupa perasaan gelisah itu luas sekali. Tiap-tiap kebudayaan secara batin menarik suatu garis sembarang di sekeliling serangkaian pengalaman perasaan lazim yang dialami oleh sebagian besar orang dalam masyarakatnya, memutuskan ciri-ciri penentu yang menggambarkannya sebagai suatu kelompok, dan kemudian memberi nama pada kelompok itu. Tentu, tiap-tiap kebudayaan memilih rangkaian pengalaman perasaan lazim yang berbeda, ciri-ciri penentu yang berbeda untuk menggambarkannya, dan, dengan cara ini, menyusun kelompok perasaan yang gelisah yang berbeda.

Kelompok-kelompok perasaan gelisah yang ditentukan oleh berbagai kebudayaan ini biasanya tidak pasti tumpang tindih, karena makna dari perasaan-perasaan tersebut sedikit berbeda. Misalnya, bahasa Sanskerta dan Tibet masing-masing memiliki satu kata yang biasanya diterjemahkan sebagai “kecemburuan” (Skt. irshya, Tib. phrag-dog), sedangkan sebagian besar bahasa Barat memiliki dua kata. Bahasa Inggris memiliki jealousy (‘kecemburuan) dan envy (‘iri hati’), sedangkan bahasa Jerman, mislanya memiliki Eifersucht dan Neid. Perbedaan antara dua istilah Inggris itu tidak sama persis seperti yang terdapat di antara dua kata Jerman itu, dan istilah Sanskerta dan Tibet itu tidak sama persis dengan istilah-istilah dalam kedua bahasa itu. Sebagai orang Barat, jika kita mengalami masalah-masalah perasaan dalam kelompok umum ini, yang dinamai oleh kelompok-kelompok yang dirumuskan oleh kebudayaan dan bahasa kita sendiri, dan kita ingin mempelajari cara-cara Buddha untuk mengatasinya, kita mungkin perlu menelaah dan membongkar perasaan-perasaan kita, sebagaimana kita mencitrakannya, dan menyusunnya kembali ke dalam gabungan dari beberapa perasaan yang gelisah seperti yang diartikan dalam ajaran Buddha.

Di sini, mari kita pusatkan perhatian pada istilah Buddha yang bermakna ‘iri hati’, karena itu lebih dekat dengan makna adatinya. Kita telah membahas kecemburuan, seperti yang ditemukan di dalam hubungan antar manusia, di bagian “Dasar-Dasar” [Bagaimana Menangani Kecemburuan dalam Hubungan].

Apa Itu Iri Hati?

Naskah-naskah Buddha menggolongkan “iri hati” sebagai bagian dari kebencian. Naskah-naskah tersebut mengartikannya sebagai “perasaan gelisah yang berpusat pada pencapaian orang lain – seperti sifat baik, harta benda, atau keberhasilan mereka – dan merupakan ketidakmampuan untuk berlapang-dada atas pencapaian-pencapaian mereka, karena kemelekatan yang terlalu besar pada pencapaian kita sendiri atau rasa hormat yang kita terima.”

Di sini, kemelekatan berarti kita berpusat pada suatu bidang kehidupan di mana orang lain memiliki pencapaian lebih dibanding kita, dan kita melebih-lebihkan unsur-unsur positifnya. Dalam pikiran kita, kita menjadikan bidang ini salah satu unsur kehidupan yang paling penting dan mendasarkan rasa harga diri kita pada hal itu. Tak dimungkiri bahwa banyak sekali keasyikan dan kemelekatan dengan “aku”. Jadi, kita iri hati karena kita “melekat pada pencapaian kita sendiri atau pada rasa hormat yang kita terima” dalam bidang ini. Sebagai contoh, kita mungkin sangat mementingkan jumlah uang yang kita miliki atau betapa rupawannya kita. Sebagai salah satu segi dari kebencian, iri hati menambahkan sebuah unsur yang kuat ke dalam kemelekatan ini, yakni kebencian kuat pada hal yang dicapai orang lain di bidang ini. Ini adalah lawan dari bersuka cita dan berbahagia pada hal yang telah mereka capai.

Iri hati juga meliputi suatu unsur kebencian terhadap seseorang yang kita yakini telah menikmati keuntungan atas diri kita. Tentu saja, keuntungan di sini mungkin benar ada atau tidak, tetapi pada perkara yang mana pun itu, kita bersikap terlalu terpaku pada diri kita sendiri dan pada hal yang tidak kita miliki.

Selain itu, iri hati, seperti diartikan dalam ajaran Buddha, mencakup sebagian, tetapi tidak semua, dari ciri makna kata Inggris envy (‘iri hati’). Pengertian envy punya ciri makna yang sedikit lebih banyak. Yang ditambahkan ke dalam pengertian envy adalah hal yang disebut di dalam ajaran Buddha sebagai “ketamakan”. Ketamakan adalah “hasrat berlebih terhadap sesuatu yang dimiliki orang lain.” Jadi, arti envy dalam bahasa Inggris adalah “kesadaran yang menyakitkan atau sarat akan rasa benci akibat keuntungan yang dinikmati oleh orang lain, yang menyatu dengan hasrat untuk menikmati keuntungan yang sama”. Dengan kata lain, selain ketidakmampuan untuk tahan melihat pencapaian orang lain dalam suatu bidang kehidupan yang, seperti diutarakan oleh ajaran Buddha, kita lebih-lebihkan arti pentingnya, iri hati adalah keinginan untuk memiliki pencapaian-pencapaian itu sendiri. Kita mungkin lemah atau kurang dalam bidang ini, atau kita mungkin telah memiliki kadar yang cukup atau bahkan di atas rata-rata dalam bidang ini. Apabila kita iri hati dan menginginkan lebih, ketamakan kita telah tumbuh menjadi keserakahan. Seringkali, meskipun tidak selalu, iri hati menimbulkan harapan agar orang lain kehilangan pencapaian mereka, sehingga kita yang akan memilikinya. Dalam hal ini, ada tambahan ramuan lain untuk perasaan, dengki.

Jika dipadu dengan ketamakan, iri hati mengarah pada kebersaingan. Maka, Trungpa Rinpoche membahas iri hati sebagai perasaan gelisah yang menggerakkan kita untuk menjadi sangat bersaing dan untuk bekerja secara sangat bernafsu untuk mengalahkan orang lain atau diri kita sendiri. Ini berhubungan dengan tindakan kuat – yang disebut “keluarga karma”. Karena iri terhadap pencapaian orang lain, kita mendorong diri kita sendiri atau kita mendorong orang lain di bawah kita untuk melakukan lebih dan lebih, seperti persaingan sengit dalam bisnis atau olah raga. Oleh karena itu lah ajaran Buddha melambangkan iri hati dengan sosok kuda. Ia berpacu melawan kuda-kuda lain karena rasa iri. Ia tidak tahan kuda lainnya berlari lebih cepat.

Iri Hati dan Kebersaingan

Dalam ajaran Buddha, benar bahwa iri hati berhubungan erat dengan kebersaingan, meskipun tidak selalu pasti ke situ arahnya. Seseorang bisa iri hati terhadap orang lain, dan dengan rasa rendah diri, ia bahkan tidak mencoba untuk bersaing. Demikian pula, sikap bersaing tidak selalu memerlukan iri hati. Sebagian orang senang bersaing dalam olah raga hanya untuk kesenangan, menikmatinya sendiri dan bersama orang lain, tanpa pernah berharap untuk mencetak angka.

Ajaran Buddha menghubungkan iri hati dan kebersaingan secara berbeda. Misalnya, dalam Memasuki Perilaku Bodhisattwa, maha guru dari India, Shantidewa, menggabungkan iri hati terhadap orang-orang yang berkedudukan lebih tinggi, persaingan dengan orang-orang sederajat, dan kecongkakan terhadap orang-orang berkedudukan lebih rendah ke dalam satu pembahasan. Pembahasannya berada dalam lingkung belajar untuk memandang bahwa mahkluk itu setara.

Masalah yang coba disikapi oleh ajaran Buddha di sini adalah rasa bahwa “aku” istimewa, yang mendasari ketiga perasaan yang gelisah itu. Jika kita berpikir dan merasa bahwa “aku” adalah satu-satunya orang yang pantas melakukan hal tertentu, misalnya berhasil dalam hidup, dan kita iri apabila orang lain berhasil, kita menjadi bersaing. Kita harus mengalahkan orang itu, meskipun kita sudah cukup berhasil. Di sini, iri adalah rasa yang kuat mengenai “aku” dan keterpakuan yang kuat dengan diri kita saja. Kita tidak memikirkan orang lain dengan cara yang sama seperti kita memikirkan diri kita sendiri. Kita menganggap diri kita istimewa.

Obat yang ajaran Buddha tawarkan bagi permasalahan dan ketakbahagiaan yang disebabkan oleh jenis-jenis iri hati, kebersaingan, dan kecongkakan ini adalah menyembuhkan kekeliruan mendasar tentang “aku” dan “kamu”. Kita perlu menyadari dan memandang semua orang setara. Semua orang memiliki kemampuan-kemampuan dasar yang sama, dalam arti bahwa semua orang memiliki sifat dasar Buddha – daya yang memungkinkan tercapainya pencerahan. Juga, semua orang memiliki keinginan yang sama untuk bahagia dan berhasil, dan bukan untuk tidak bahagia atau gagal. Dan semua orang memiliki hak yang sama untuk bahagia dan sukses dan hak yang sama untuk tidak bahagia atau gagal. Dalam hal ini tidak ada yang istimewa tentang “aku.” Agama Buddha juga mengajarkan kasih – harapan bahwa semua orang bisa sama-sama bahagia.

Ketika kita belajar untuk melihat semua orang itu setara, dalam kerangka sifat dasar Buddha dan kasih, kita akan terbuka untuk melihat cara berhubungan dengan orang yang lebih berhasil dibanding kita maupun orang yang sudah berhasil sedangkan kita belum. Kita bersuka cita akan keberhasilan mereka, karena kita ingin semua orang bahagia. Kita berusaha membantu sesama kita agar juga bisa berhasil, bukannya bersaing dengan mereka dan berusaha mengalahkan mereka. Terhadap mereka yang kurang berhasil dibanding kita, kita berusaha membantu mereka untuk maju, bukannya menyombongkan diri dan secara congkak merasa lebih baik dibanding mereka.

Penguatan Budaya terhadap Iri Hati dan Kebersaingan

Cara-cara Buddha yang dianjurkan ini adalah tingkat sangat lanjut dan sulit untuk diterapkan khususnya ketika iri hati dan kebersaingan kita yang muncul dengan sendirinya itu diperkuat, diperkukuh, dan bahkan dihargai oleh nilai-nilai budaya Barat tertentu. Bagaimana pun, hampir semua anak dengan sendirinya ingin menang dan menangis ketika kalah. Tapi, bahkan, banyak budaya Barat mengajarkan kapitalisme sebagai rupa dasar terbaik dari masyarakat yang demokratis. Hal yang mendasarinya adalah teori seleksi alam, yang menetapkan persaingan sebagai kekuatan penggerak utama kehidupan, bukannya, misalnya, kasih dan kasih sayang. Lebih lanjut, budaya-budaya Barat memperkuat pentingnya keberhasilan dan kemenangan dengan kegandrungan pada olah raga yang penuh persaingan, dan pemujaan mereka pada para olahragawan terbaik dan orang-orang terkaya di dunia.

Selain itu, semua tata politik yang berdasar demokrasi dan pemungutan suara mengharuskan adanya persaingan – menawarkan dan kemudian menjual diri kita sebagai calon, dengan mengumumkan betapa jauh lebih baik diri kita dibanding lawan-lawan kita untuk dipilih. Seperti yang lazim dilakukan di Barat, iklan-iklan kampanye untuk ini adalah upaya keras untuk mengetahui setiap titik lemah yang dimiliki calon-calon pesaingnya, bahkan mengenai kehidupan pribadi mereka, dan melebih-lebihkannya dan mengumumkannya secara luas untuk menjatuhkan mereka. Banyak orang bahkan melihat jenis perilaku macam ini, berdasarkan kecemburuan dan persaingan, sebagai terpuji dan pantas. Di sini, menerjemahkan istilah Buddha tersebut sebagai jealousy (‘kecemburuan’) lebih tepat dibanding envy (‘iri hati’), kendati gerak perasaannya sama saja.

Masyarakat Tibet, sebaliknya, tidak menyukai orang yang merendahkan orang lain dan menyatakan dirinya lebih baik dibanding orang lain. Hal-hal tersebut dianggap ciri-ciri watak negatif. Malah, sumpah bodhisattwa akar pertama adalah tidak memuji diri sendiri dan merendahkan orang lain yang berkedudukan lebih rendah dibanding kita – yang akan meliputi, di sini, mengiklankan kata-kata semacam itu kepada khalayak pemilih. Dorongannya tentu adalah hasrat untuk mendapatkan keuntungan, pujian, cinta, kehormatan, dan seterusnya dari orang-orang yang dituju, dan kecemburuan dari orang-orang yang dikecilkan. Tidak ada bedanya apakah apa yang kita katakan benar atau salah. Sebaliknya, ketika berbicara tentang diri kita sendiri, secara sangat rendah hati dan berkata “saya biasa-biasa saja; saya tidak tahu apa-apa” dianggap terpuji. Jadi, demokrasi dan berkampanye untuk pemungutan suara adalah sesuatu yang benar-benar asing dan tidak berlaku dalam masyarakat Tibet apabila dijalankan dalam bentuk Baratnya yang biasa.

Bahkan mengatakan bahwa kita ingin mencalonkan diri pun dianggap sebagai tanda yang mencurigakan ke arah kecongkakan dan niat mementingkan diri sendiri. Satu-satunya jalan tengah yang memungkinkan adalah para perwakilan calon itu – dan bukan calon itu sendiri – yang menyampaikan pada khalayak tentang mutu-mutu baik dan pencapaian-pencapaian calon mereka, tanpa membandingkannya dengan calon-calon pesaingnya atau mengatakan sesuatu yang buruk mengenai mereka. Namun, ini hampir tidak pernah dilakukan. Biasanya, para calon yang terkenal, misalnya dari keluarga bangsawan atau para lama yang terlahir kembali, adalah yang dicalonkan, bahkan tanpa bertanya apakah mereka ingin mencalonkan diri atau tidak. Jika mereka berkata tidak ingin mencalonkan untuk pemilihan, ini dianggap sebagai tanda kerendahan hati, karena segera mengatakan “ya” menandakan kecongkakan dan ketamakan untuk kekuasaan. Hampir tidak mungkin bagi orang yang dicalonkan untuk menolak. Lalu pemungutan suara dilakukan, tanpa berkampanye. Orang-orang biasanya memberi suara untuk calon yang paling luas dikenal.

Jadi, cara-cara Buddha untuk bersuka cita atas kemenangan orang lain – dan cara yang bahkan lebih kuat lagi, yaitu memberkan kemenangan kepada orang lain dan menerima kekalahan untuk diri sendiri – mungkin bukan obat pertama yang paling sesuai untuk dicoba orang-orang Barat yang memiliki keyakinan kuat tentang kebaikan kapitalisme dan tata kampanye pemilihan Barat. Sebagai orang Barat, kita mungkin perlu lebih dulu menilai ulang keabsahan nilai-nilai budaya kita dan menghadapi rupa-rupa kecemburuan, iri hati, dan persaingan yang mengakar secara doktrin yang muncul karena menerima nilai-nilai tersebut, sebelum menyikapi rupa-rupa yang muncul dengan sendirinya.

Satu contoh yang barangkali membantu kita melihat kenisbian kecemburuan, iri hati, dan persaingan yang mengakar secara budaya Barat adalah pasar India. Di India pasar pakaian, perhiasan, sayur, dan sebagainya. Tiap-tiap pasar memiliki lorong demi lorong yang terdiri dari gerai dan toko, saling berdampingan, semua menjual barang-barang yang hampir sama persis. Sebagian besar penjaga tokonya saling berteman dan sering duduk minum teh bersama di luar toko mereka. Sikap mereka: laris tidaknya toko mereka tergantung pada karma mereka sendiri.

Rupa-Rupa Menyesatkan yang Mendasari Iri Hati

Seperti yang telah kita lihat, iri hati adalah ketidakmampuan untuk tahan melihat pencapaian orang lain dalam suatu bidang yang kita lebih-lebihkan arti pentingnya, misalnya keberhasilan keuangan mereka. Karena iri dengan hal itu, kita ingin kita lah yang bisa mencapainya. Ragam lain dari hal ini juga terjadi ketika seseorang menerima sesuatu dari seseorang lain, seperti cinta atau kasih sayang. Begitu pula, kita ingin kita lah yang bisa mendapatkannya.

Perasaan yang gelisah berupa iri hati ini, berasal dari dua gambaran menyesatkan yang, karena kebingungan dan semata-mata tidak tahu bagaimana segala sesuatu itu mengada, pikiran kita mencipta dan membayangkannya. Yang pertama adalah gambaran mendua tentang (1) “aku” yang seolah maujud yang pada hakikatnya pantas mencapai atau menerima sesuatu, tetapi tidak, dan (2) “kamu” yang seolah maujud yang pada hakikatnya tidak pantas untuk mendapatkannya. Secara bawah sadar, kita merasa dunia berutang pada kita dan tidak adil ketika justru orang lain yang mendapatkannya. Kita membagi dunia ke dalam dua kelompok yang kukuh: “pihak yang kalah” dan “pihak yang menang”, dan membayangkan bahwa semua orang benar-benar ada dan dapat ditemukan di dalam kotak-kotak pada kelompok-kelompok yang seolah nyata dan kukuh. Kemudian kita menempatkan diri kita ke dalam kelompok “pihak yang kalah” dan kita menempatkan orang lain ke dalam kelompok “pihak yang menang”; kedua kelompok sama-sama kukuh dan tetapnya. Kita bahkan mungkin menempatkan semua orang, kecuali diri kita, ke dalam kotak pihak yang menang. Tidak hanya merasa sakit hati, kita merasa dikutuk. Ini mengarah pada keterpakuan pada pikiran menyakitkan itu, “malangnya aku”.

Keluguan tentang sebab dan akibat berperilaku biasanya menyertai iri hati. Contohnya, kita tidak memahami dan bahkan menyangkal bahwa orang yang menerima kenaikan pangkat atau kasih sayang itu memang telah berbuat sesuatu untuk mendapatkannya atau layak menerimanya. Selain itu, kita merasa bahwa kita seharusnya mendapatkannya tanpa melakukan apa pun untuk menghasilkannya. Atau, kita merasa telah berbuat banyak, tapi tetap tidak mendapatkan imbalannya. Pikiran kita lalu menciptakan sebuah gambaran menyesatkan kedua dan membayangkannya. Pikiran bingung kita membuat sesuatu tampak terjadi tanpa alasan sama sekali, atau hanya dengan satu alasan: hal yang kita lakukan sendiri.

Membongkar Rupa-Rupa Menyesatkan

Kita perlu membongkar dua gambaran menyesatkan ini. Budaya kita mungkin telah mengajarkan pada kita bahwa asas penggerak yang melekat pada dunia mahkluk hidup ini adalah persaingan: dorongan untuk menang, seleksi alam. Tetapi dasar pemikiran itu belum tentu benar. Meskipun begitu, jika kita telah menerimanya, kita akan percaya bahwa dunia ini pada hakikatnya terbagi, oleh sifat dasarnya, ke dalam dua kubu mutlak yakni pihak yang menang dan pihak yang kalah. Oleh karena itu, kita melihat dunia ini dalam kelompok-kelompok citra yang baku yakni pihak yang menang dan pihak yang kalah, dan tentu memandang diri kita dengan kerangka bercitra yang sama.

Meskipun citra-citra tentang pihak yang menang, pihak yang kalah, dan persaingan ini mungkin bermanfaat untuk menggambarkan evolusi, kita perlu menyadari bahwa mereka hanya bangunan-bangunan batin yang sembarang. “Pihak yang menang” dan “pihak yang kalah” hanya cap-cap batin. Mereka adalah kelompok-kelompok batin yang nyaman dipilih untuk menggambarkan peristiwa-peristiwa tertentu, misalnya sebagai juara pertama dalam suatu perlombaan, mendapatkan kenaikan jabatan di tempat kerja alih-alih orang lain yang mendapatkannya, atau kehilangan nasabah atau murid yang berpaling kepada orang lain. Kita bisa dengan mudah menggolongkan orang-orang ke dalam kelompok-kelompok “orang baik” dan “bukan orang baik,” tergantung bagaimana kita mengartikan “baik”.

Ketika kita melihat semua rangkaian kelompok mendua semacam itu semata-mata terbangun secara batin saja, kita mulai menyadari bahwa tidak ada yang tetap pada pihak “aku” atau “kamu” yang mengunci kita dalam kelompok-kelompok yang kukuh. Kita ini bukan pada dasarnya, dari sananya, adalah pihak yang kalah, dan, dalam menganggap diri sebagai pihak yang kalah, kita akhirnya menemukan kebenarannya – “aku” yang sejati adalah pihak yang kalah. “Aku” yang malang. Bukan, kita memiliki banyak mutu lain selain kehilangan nasabah, jadi mengapa terpaku pada satu hal itu seolah-olah itu adalah “aku” yang sejati.

Selain itu, hanya karena pikiran kita yang terbatas dan keterpakuan pada pikiran “’aku’ yang malang” dan “’kamu’ yang berengsek,” sehingga hal-hal seperti keberhasilan dan kegagalan, untung dan rugi, terjadi tanpa alasan apapun, atau dengan alasan-alasan yang tidak ada kaitannya sama sekali. Itulah mengapa kita berpikir bahwa apa yang terjadi pada kita tidak adil. Bagaimanapun, hal-hal yang terjadi di alam semesta ini terjadi karena jejaring sebab dan akibat yang sangat besar. Ada begitu banyak hal yang memengaruhi apa yang terjadi pada kita dan orang lain, begitu banyak anasir sampai-sampai mungkin tak bisa dibayangkan.

Ketika kita membongkar dua gambaran menyesatkan ini (pihak yang menang dan pihak yang kalah, dan segala sesuatu itu terjadi tanpa alasan yang kuat) dan berhenti membayangkannya, kita mengendurkan rasa-rasa ketidakadilan kita. Di bawah kecemburuan kita hanya terdapat kesadaran akan apa yang telah tercapai, apa yang telah terjadi. Kita kehilangan nasabah kita dan kini orang lain yang memiliki nasabah ini. Ini membuat kita menyadari tujuan yang hendak dicapai. Jika kita tidak iri pada orang lain karena mencapai atau mendapatkannya, kita mungkin bisa belajar bagaimana orang itu meraih pencapaian itu. Ini memungkinkan kita untuk melihat cara untuk mencapainya sendiri. Kita merasa iri dan cemburu hanya karena mendasari kesadaran ini dengan gambaran mendua dan jati diri yang seolah maujud tadi.

Ringkasan

Karenanya, ajaran Buddha manawarkan bermacam cara untuk menghadapi perasaan-perasaan gelisah berupa iri hati, baik itu kita mengartikannya secara Buddha atau Barat. Ketika kita disulitkan oleh perasaan gelisah, tantangannya adalah mengenali dengan benar sifat-sifat penentunya dan latar belakang budaya kita. Ketika, melalui laku meditasi, kita telah melatih diri dalam anekacara, kita bisa memilih yang paling sesuai untuk membantu kita menyelesaikan kesulitan-kesulitan pekrasaan apa pun yang mungkin kita alami.

Top