Tinjauan
Pada sesi pertama, kita membahas pengantar dasar untuk pokok bahasan ini. Kita telah melihat bahwa ketika kita berbicara tentang berlindung dalam ajaran Buddha, kita tidak berbicara tentang suatu tindakan pasif yang berpaling pada kekuatan yang lebih tinggi untuk melindungi kita, tetapi kita mengambil langkah-langkah tertentu untuk mencegah duka dan kesulitan kita sendiri. Kita dapat menggambarkan hal ini sebagai menempatkan haluan yang positif dan aman dalam hidup kita. Haluan tersebut adalah mengupayakan diri kita sendiri untuk mengatasi dan menghindari berbagai kekurangan dan kesulitan dalam hidup kita. Mengupayakan diri kita sendiri adalah sesuatu yang memberi makna pada hidup kita, dan itu karena kita berjuang untuk membawa lebih banyak kebahagiaan bagi diri kita sendiri dan orang lain. Kemudian, kita melihat apa artinya membawa lebih banyak kebahagiaan bagi diri kita sendiri, dan kita melihat bahwa itu tidak berarti memiliki lebih banyak kesenangan, lebih banyak hiburan atau lebih banyak kenikmatan, karena kebahagiaan apa pun yang kita peroleh dari itu tidak pernah bertahan lama. Itu tidak pernah cukup. Kita selalu menginginkan lebih.
Yang benar-benar bermakna adalah memiliki semacam tingkat kebahagiaan yang lebih mendasar dan asasi. Kita telah melihat, hanya berdasarkan biologi, bahwa tingkat kebahagiaan yang lebih stabil ini berasal dari dukungan emosional yang kita peroleh dari hubungan dan perasaan terhubung dengan orang lain - hanya karena kita adalah hewan sosial, secara biologis.
Kami telah meneliti bahwa ketika kita tertutup dan hanya peduli dengan diri kita sendiri, sibuk dengan diri sendiri, hal ini membuat kita terpisah dari orang lain dan kita merasa terisolasi dan kesepian. Dan ini membuat kita tidak bahagia - ini membuat semua orang tidak bahagia. Saya pikir kita semua tahu itu. Hampir semua orang, saya pikir, pada suatu saat, tenggelam dalam sindrom ini: "Kasihan aku, tidak ada yang mencintaiku," yang sangat tidak menyenangkan, bukan? Padahal ketika kita terbuka kepada orang lain, memikirkan orang lain, merawat dan membantu mereka melalui tindakan kebaikan kecil, itu membuat kita merasa jauh lebih stabil, didukung, dan bahagia - bukan bahagia yang drastis, tapi jenis kebahagiaan yang sangat tenang dan mendukung. Dalam bahasa Inggris, kita membedakan antara berhati hangat dan berhati dingin. Berhati hangat adalah orang yang penuh kasih dan terbuka - pada dasarnya, orang yang bahagia. Berhati dingin adalah orang yang sangat dingin, tertutup - tidak ada yang mau bersama orang seperti itu.
Merenungkan Latihan Cita
Seperti yang dikatakan dalam salah satu naskah Buddha yang luar biasa, Latihan Cita Tujuh Pokok, meletakkan semua kesalahan atas masalah-masalah kita pada satu hal - dan itu adalah sikap sayang-diri sendiri, keasyikan-diri sendiri, hanya mementingkan diri sendiri. Di tempat lain dalam naskah yang sama, dikatakan, jika semua laku Buddha kita bermuara pada satu pokok ini, bahwa semua yang kita lakukan dimaksudkan untuk mengatasi sikap sayang-diri sendiri, maka itu adalah tanda bahwa laku kita berhasil. Jadi, penyajian tentang berlindung yang akan kita bahas akhir pekan ini menggunakan pendekatan Latihan Cita Tujuh Pokok, dan melihat bagaimana hal itu dapat diterapkan pada ajaran Buddha yang paling mendasar dan asasi, yaitu berlindung. Saya pikir ini membuatnya jauh lebih signifikan. Ketika saya mengatakan signifikan, yang saya maksud adalah bahwa hal ini membuatnya lebih bermakna, sesuatu yang dapat kita pahami. Faktanya, kita melihat bagaimana berlindung membentuk seluruh landasan dari jalan Buddha.
Langkah pertama yang perlu kita ambil dalam hal berlindung - tidak hanya berbicara secara teoritis tetapi menerapkannya setiap hari - adalah memulai hari dengan menentukan haluan, menegaskan kembali haluan dalam hidup kita. Langkah pertama untuk melakukan hal itu adalah menegaskan kembali pentingnya berlindung, mengapa kita ingin melakukan hal ini. Di pagi hari kita mulai dengan niat lalu menjalankan laku Dharma, dan kemudian persembahan. Jadi, penegasan kembali haluan ini dilakukan sebelum niat - inilah yang menuntun kita pada niat. Jadi, yang kita lihat adalah - jika hari ini adalah hari yang tidak berarti, dan tidak ada hasilnya, atau sangat tidak memuaskan - bukan itu yang kita inginkan. Itu tidak memuaskan.
Yang jauh lebih baik adalah memberi makna pada hidup kita - melakukan sesuatu yang berarti hari ini. Seperti yang saya sebutkan kemarin, ketika kita merasa bahwa kita setidaknya dapat membuat perbedaan kecil di dunia, bahkan untuk satu orang saja dengan membuat mereka sedikit lebih bahagia, itu memberi kita rasa harga diri. Rasa harga diri itu sangat penting dalam hal tingkat kebahagiaan dasar kita dalam hidup. Inilah haluan yang ingin kita tuju dalam hidup kita - jadi kita tetapkan niat untuk menuju ke arah itu, untuk mencoba melakukannya. Seperti yang kita katakan di sesi pertama, ini adalah tingkat berlindung yang paling mendasar. Kemudian, kalau mau, kita bisa mengisi lebih banyak dan lebih rinci lagi tentang apa artinya menuju haluan tersebut, tapi pertama-tama, kita masuk ke haluan umum ini.
Jika kita hanya berkata, "Haluannya adalah Buddha, Dharma, dan Sangha," dan kita hanya bisa mendaftar seluruh rangkaian sifat-sifatnya, ini tidak punya arti apa-apa dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita perlu memahami apa yang ada di balik berlindung, apa yang mendasari haluan yang paling mendasar. Dan seperti yang saya katakan sebelumnya, jika kita melihat raga ragawi seorang Buddha, dengan semua ciri-cirinya, ini adalah sebuah infografis di mana tiap-tiap ciri menunjukkan apa sebabnya, dan sebabnya adalah menyayangi orang lain, dalam tiga puluh dua corak yang berbeda. Itulah yang ditandakan oleh infografis tersebut. Misalnya, sifat-sifat wicara Buddha - setiap orang dapat memahami apa yang dikatakan Buddha, dalam bahasa apa pun. Jelas, jika kita peduli pada orang lain, kita peduli untuk berkomunikasi dengan mereka - berkomunikasi dengan mereka dengan cara yang dapat mereka pahami. Itulah seluruh tujuan, seluruh gagasan, di balik sifat-sifat wicara ini. Ini adalah sesuatu yang dapat kita tuju.
Lebih jauh lagi, sifat-sifat cita, untuk mampu memahami setiap insan - memahami permasalahan mereka, kebutuhan mereka, dan cara menolong mereka - itulah hal yang dapat kita tuju dan coba lakukan. Bahkan pada tingkat yang paling mendasar, peduli pada orang lain adalah langkah pertama, dan kemudian mendengarkan apa yang mereka katakan, peka terhadap apa yang terjadi dengan mereka, tidak hanya berpikir, "Oh, aku berharap mereka akan diam dan meninggalkanku sendiri sehingga aku bisa kembali melihat halaman Facebook-ku," atau apa pun itu.
Ini seperti ketika kita berada di metro yang ramai, apakah kita hanya ingin menutup diri dan tenggelam dalam ponsel atau headphone kita? Atau apakah dengan naik metro kita memiliki kesempatan untuk merasa terhubung dengan semua orang? Kapan kita pernah berpikir seperti itu? Berapa banyak orang yang benar-benar menikmati naik metro yang penuh sesak? Atau terjebak dalam salah satu kemacetan lalu lintas klasik di sini, di Moskow? Berapa banyak yang kita pikirkan tentang semua orang yang terjebak dalam kemacetan lalu lintas? Kita biasanya berpikiran sangat negatif terhadap mereka.
Inilah inti dari latihan cita - mengubah keadaan-keadaan yang menantang dan sulit ini menjadi keadaan positif di mana kita dapat mengembangkan kepedulian terhadap orang lain. Latihan ini mengembangkan pemahaman bahwa tidak ada seorang pun yang ingin berada dalam kemacetan lalu lintas ini, dan bahwa kita semua berada di dalamnya bersama-sama. Pada dasarnya, ini berarti menyadari bahwa kita bukan satu-satunya yang terjebak. Kemacetan lalu lintas atau kereta bawah tanah yang penuh sesak merupakan kesempatan yang luar biasa untuk melatih welas asih - welas asih bagi semua orang yang terjebak dalam keadaan yang sama. Dalam menjalankan laku tonglen, menanggung semua kekecewaan setiap orang, kita akan, melalui kesabaran, pengertian, dan keterbukaan kita, berharap setiap orang dapat mengupayakan welas asih seperti ini, dan kita membayangkan untuk memberikan laku itu kepada mereka. Dengan melakukan ini, kita mengubah seluruh keadaan; inilah yang dimaksud dengan haluan aman dalam hidup kita - bukan sekadar, "Oh Buddha, keluarkan aku dari kemacetan ini!" Jadi, berlindung memberi makna dalam hidup kita.
Misalnya, ketika kita memulai hari di pagi hari dengan pikiran: "Ya Tuhan, aku harus terjebak macet selama dua jam untuk sampai ke tempat kerja - sungguh menyiksa," atau pikiran, "Kasihan aku!" - kita membuat diri kita sendiri sengsara. Jika kita memulai hari dengan berpikir, "Wah, sekarang aku punya waktu dua jam untuk melatih welas asih selagi berangkat kerja, dan mengupayakan diri untuk melihat apakah aku benar-benar bisa menghadapi ini dan tidak kesal?" - Ini adalah rasa yang sama sekali berbeda dalam hidup kita, bukan? Jadi itulah yang dimaksud dengan menetapkan niat, berlindung di pagi hari ketika kita bangun tidur. Ini bukan sekadar melakukan sujud-sembah dan mendaraskan beberapa seloka.
Mengembangkan keterhubungan dengan orang lain, berdasar pada sikap menyayangi dan menolong mereka, mendasari semua hal yang saya katakan tadi. Lalu, hal yang ingin kita kenali adalah apa yang perlu kita atasi agar mampu melakukan ini, memiliki keterhubungan ini, dan merasakan keterhubungan ini dengan orang lain? Apa yang menghalangi aku untuk melakukan ini? Ini adalah langkah berikutnya.
Tentu saja, ajaran Buddha memiliki banyak sekali daftar hal-hal yang menghalangi hal ini, tapi sebelum kita membahas daftar itu, saya pikir akan sangat membantu jika kita melihat ke dalam diri kita sendiri, untuk melihat apakah kita bisa mengenali apa yang menghalangi kita untuk merasakan keterhubungan ini, keterbukaan terhadap orang lain. Apakah kita menyalahkan diri kita sendiri dengan berpikir, "Tidak ada yang menyayangi aku, ini semua salah mereka!" Atau sebenarnya, apa sumber dari perasaan ini? Ini adalah pemikiran, "Aku sangat luar biasa, tapi tak seorang pun menghargainya," bukan?
Sangat tidak baik untuk memeriksa jenis sikap "tidak ada yang mengerti aku". "Aku sangat kesepian, tak seorang pun memahamiku." Apa yang dimaksud dengan jenis pemikiran seperti itu? Apakah itu membuat kita bahagia, atau tidak bahagia?
Contoh yang saya pikirkan, yang membuat saya tertawa kecil, adalah ketika kita bersama seseorang, ketika kita bertemu dengan seorang teman - apakah kita hanya ingin menceritakan semua masalah kita sendiri, atau apakah kita prihatin dengan apa yang terjadi dengan mereka? Saya punya teman yang seperti itu, yang tidak pernah menanyakan kabar saya, mereka langsung bercerita panjang lebar tentang semua kesulitan yang mereka alami selama seminggu. Jadi, kita bisa berada di dua sisi itu - sisi yang hanya ingin bicara tentang diri kita sendiri dan benar-benar tidak peduli dengan orang lain, atau kita bisa berada di sisi lain, menyadari bahwa orang ini sedang menceritakan semua masalahnya, dan pikiran utama dalam kepala kita adalah: "Diamlah, karena aku ingin bercerita tentang diriku sendiri!" Jadi, sikap sayang-diri sendiri ada di balik kedua sisi di sini. Ini menjadi interaksi yang sangat tidak menyenangkan.
[Meditasi.]
Bagaimanapun, yang berguna adalah melewati berbagai anasir yang menghalangi kita untuk terhubung dengan orang lain, untuk bahagia, pada dasarnya, seperti yang disajikan dalam tingkat-tingkat bertahap lam-rim. Lam-rim itu luar biasa. Mari kita lihat sebab-sebab ini satu per satu.
Alasan kita tidak terhubung dengan orang lain adalah karena kita tidak memiliki tataran perasaan pertama - unsur pertama dari tataran perasaan - yang perlu kita kembangkan untuk benar-benar menempatkan haluan ini dalam hidup kita, yaitu rasa takut! Takut berarti merasa ngeri dengan tindakan kita yang menyayangi diri sendiri, yang hanya menciptakan lebih banyak ketidakbahagiaan bagi diri kita sendiri. Kita merasa ngeri karenanya. Bukan karena kita takut akan hal itu, tapi kita berpikir bahwa yang kita lakukan itu mengerikan. Kita benar-benar ingin menghentikannya.
Rintangan Pertama: Perilaku Merusak
Rintangan pertama adalah bertindak merusak. Apa saja yang termasuk di dalamnya? Bersikap tidak jujur dengan orang lain. Menipu mereka. Menggertak mereka. Menyakiti mereka dengan satu atau lain cara. Berpegang teguh pada mereka - "Jangan pernah tinggalkan aku! Mengapa kamu tidak menelepon? Mengapa kamu tidak mencintaiku?" Atau mengabaikan mereka dan sama sekali tidak peka terhadap mereka. Ini semua adalah jenis perilaku yang merusak, dan tentu saja tidak akan memenangkan pertemanan, bukan? Orang tidak menyukai kita jika kita tidak jujur, menipu, atau menindas mereka, dan seterusnya.
Lebih jauh lagi, jika kita memanfaatkan mereka hanya untuk kesenangan kita sendiri, mengeksploitasi mereka - "Apa yang bisa aku dapatkan dari mereka?" Ini adalah hal-hal yang perlu kita amati dalam hubungan pribadi kita. Kita memeriksa diri kita untuk melihat, dalam hubungan ini atau hubungan itu - "Bagaimana aku bertindak, bagaimana aku berperilaku? Apakah aku memanfaatkan orang ini hanya untuk keuntunganku sendiri, kesenanganku sendiri?" Atau bertanya-tanya, "Pekerjaan apa yang bisa aku dapatkan dari mereka atau pekerjaan apa yang bisa aku lakukan untukku?" Apakah ini benar-benar menghalangi kita untuk merasa terhubung dengan mereka dalam cara yang positif? Apakah kita benar-benar membantu mereka? Apakah kita merasa bahagia, memiliki jenis hubungan seperti ini dengan orang lain?
Perilaku merusak ini adalah sesuatu yang harus diperiksa. Jika kita mendapati bahwa cara kita bertindak dengan banyak orang, bahwa itu hanya menyebabkan lebih banyak isolasi, lebih banyak hubungan yang buruk, kita merasa ngeri dengan perilaku kita. "Aku tidak ingin melakukan itu! Ini merusak diri sendiri. Tidak hanya tidak menyenangkan bagi orang lain, tapi juga merusak diriku sendiri!" Terutama jika kita berada dalam posisi di mana kita memiliki orang-orang yang bekerja untuk kita - apakah kita hanya memanfaatkan mereka? Apakah kita hanya melihat mereka sebagai fungsi yang mereka jalankan, atau apakah kita melihat mereka sebagai manusia? Jadi, mari kita periksa diri kita sendiri untuk melihat apakah kita bertindak secara merusak. Kita tidak perlu melakukan pemeriksaan sampai ke titik ekstrem seperti yang kita lihat di lam-rim, memeriksa apakah kita membunuh orang. Itu adalah kelompok umum. Di bawah asas itu, kita memeriksa semua ragam tindakan melukai orang dengan berbagai cara, bukan hanya membunuh nyamuk.
[Meditasi.]
Rintangan Kedua: Perasaan-perasaan Gelisah
Hal berikutnya yang kita periksa adalah perasaan-perasaan gelisah kita, seperti marah pada orang lain, dipenuhi hasrat merindu pada mereka, melekat pada mereka, atau lugu terhadap perasaan-perasaan mereka. Apakah kita lugu tentang dampak perilaku kita terhadap mereka? Apakah kita merasa cemas bahwa mereka tidak akan menyukai kita, atau mungkin mereka akan menolak kita? Kita lihat - apakah kita memiliki perasaan-perasaan gelisah dalam hubungan kita dengan orang lain, dan apakah perasaan-perasaan itu menghalangi kita untuk benar-benar menolong mereka dan berhubungan dengan mereka secara positif? Apakah kita selalu marah pada mereka, kehilangan kesabaran? Atau hanya memikirkan apa yang dapat mereka lakukan untuk kita - dengan kemelekatan. Memiliki tataran cita yang gelisah terhadap berbagai orang dalam hidup kita - apakah itu membuat kita bahagia? Atau apakah itu benar-benar merusak hubungan kita dengan orang lain? Mari kita periksa diri kita sendiri, dan jika itu benar, kita merasa ngeri dengan kenyataan bahwa hal ini terus berlanjut. Ini adalah sesuatu yang ingin kita perbaiki dan atasi, bukan? "Ini mengisolasi aku dari orang lain. Ini menghancurkan persahabatanku."
[Meditasi.]
Rintangan Ketiga: Tindakan Gandrung Membangun
Yang berikutnya adalah bertindak secara gandrung membangun. Ini termasuk terlalu peduli pada orang lain, selalu berusaha membantu mereka, bahkan ketika mereka tidak menginginkan atau membutuhkan bantuan kita, seperti memberikan nasihat dan pendapat yang tidak diinginkan. Terus-menerus mengoreksi mereka, bahkan ketika itu tidak pantas. Hanya karena mereka tidak melakukan sesuatu dengan cara yang kita sukai atau yang biasa kita lakukan. Kita mengoreksi mereka sepanjang waktu, berpikir bahwa hal itu akan membantu, tetapi sebenarnya mereka hanya membencinya. Pada dasarnya, kita hanya mengkhawatirkan mereka sepanjang waktu. Ini adalah cara-cara yang gandrung dan membangun dalam bertindak terhadap orang lain.
Sekali lagi, kita periksa diri kita sendiri dan lihat, "Apakah ini menghalangi kita untuk benar-benar terhubung dengan mereka secara positif, dan benar-benar membantu mereka? Apakah ini membuat kita bahagia?" Masalahnya bukan pada kepedulian kita terhadap mereka, masalahnya adalah terlalu memaksa. Jika kita memiliki anak remaja, saya pikir sindrom ini menjadi sangat jelas. Juga, jika kita menjalankan sebuah kantor, atau bekerja dengan orang lain di kantor, selalu berusaha mendorong mereka untuk melakukan sesuatu dengan cara kita, daripada membiarkan mereka melakukannya dengan cara mereka, yang mungkin sama efisiennya dan sama bagusnya - ini sering terjadi di kantor.
Sekali lagi, jika kita mendapati bahwa kita bertindak seperti ini dengan orang lain - mungkin tidak dengan semua orang, tetapi dengan sejumlah besar orang - ini adalah sesuatu yang membuat kita terasing dari orang lain. Ini menghalangi hubungan yang baik dengan orang lain. Jadi, kita berpikir, "Aku merasa ngeri dengan hal itu. Aku benar-benar ingin mengatasi perilaku ini. Aku ingin menuju haluan yang membuatku keluar dari perilaku seperti ini."
[Meditasi.]
Rintangan Keempat: Sikap-sikap Gelisah
Lam-rim itu luar biasa; ia memberikan tahap demi tahap, langkah demi langkah, semua hal yang sebetulnya sangat merusak-diri. Yang berikutnya untuk dijelajahi adalah sikap-sikap gelisah, yang berpusat pada keasyikan kita dengan aku, aku, aku. Sebagian dari tahap-tahap ini mendasari perilaku merusak kita, dan sebagian lagi mendasari perilaku membangun yang gandrung. Dalam kasus sindrom merusak, bersikap mementingkan diri sendiri, selalu berpikir, "Aku harus mendapatkan jalanku, aku harus mendapatkan apa yang kuinginkan, aku yang paling penting, aku harus berada di barisan depan, aku selalu benar." Atau bisa juga sebaliknya - "Aku tidak baik, bagaimana jika mereka tidak menyukaiku?" Semua ini terfokus pada aku, aku, aku, bukan? Dan, dalam kasus sindrom membangun gandrung, itu adalah hal-hal seperti, "Aku harus sempurna," mentalitas perfeksionis. Dan, "Apa yang terbaik bagiku , dan apa yang aku suka, adalah yang terbaik bagi Anda." Semua ini adalah contoh-contoh dari sikap keasyikan diri yang mengganggu - berpikir, "Yang paling penting adalah aku, apa yang aku sukai, apa yang aku pikirkan, apa yang aku inginkan."
Sungguh menakjubkan, ketika Anda benar-benar mulai memeriksa cara kita berpikir, seberapa sering pikiran seperti ini muncul, dengan suara di kepala kita yang mengatakan, "Aku tidak suka dengan apa yang kamu lakukan, aku ingin seperti ini," dll. "Mengapa kamu tidak seperti yang aku inginkan?" Bahkan ada sebuah penelitian yang dilakukan - Yang Mulia Dalai Lama sering mengutip hal ini - orang-orang yang paling sering menggunakan kata "aku" atau "saya" dalam pikiran mereka atau dalam ucapan mereka memiliki masalah jantung yang paling banyak. Tekanan darah tinggi, hal-hal semacam itu. Jadi sekali lagi, kita periksa diri kita sendiri - "Apakah sikap gelisah ini menghalangi saya untuk berhubungan dengan orang lain secara positif, dan untuk benar-benar membantu mereka? Apakah itu membuatku bahagia?" Dan lagi-lagi, kita merasa ngeri dengan hal ini. Semakin kita terpaku pada pemikiran tentang diri kita sendiri, sebenarnya, semakin sengsara kita.
[Meditasi.]
Rintangan Kelima: Pengulangan Tak Terkendali
Sindrom-sindrom ini terus berulang, dalam satu atau lain bentuk, dengan setiap orang yang kita temui, dan dalam setiap hubungan yang kita jalani. Sindrom-sindrom perasaan gelisah, perilaku merusak, perilaku membangun yang gandrung, dan selalu sibuk dengan aku, aku, aku - semua itu berulang tanpa terkendali. Itulah yang dimaksud dengan samsara. Kita tidak punya kendali atasnya. Setiap hubungan yang kita jalani dan setiap keadaan, semua itu terus berulang. Ini benar-benar mengerikan. Setiap hubungan baru yang aku jalani, setiap hubungan baru dengan seseorang, pada dasarnya, sindrom-sindrom ini mengacaukannya. Kita tidak ingin mengacaukannya, tapi tetap saja kita mengacaukannya. Kita tidak memiliki kendali apapun. Apakah itu sesuatu yang ingin kita lanjutkan, atau sesuatu yang mengerikan, dan yang benar-benar ingin kita atasi?
Sekali lagi, kita memeriksa diri kita sendiri. "Fakta bahwa perasaan dan perilaku ini berulang tanpa terkendali, apakah ini membuat saya memiliki hubungan yang lebih baik dengan orang lain, atau hubungan yang lebih buruk dengan orang lain? Apakah ini membuat saya bahagia? Apakah ini pola yang ingin saya hentikan?"
[Meditasi.]
Rintangan Keenam: Tidak Tahu Cara Menolong Orang Lain
Rintangan terakhir adalah bahwa kita benar-benar tidak tahu cara menolong orang lain. Kita tidak dapat benar-benar memahami semua sebab dan keadaan yang memengaruhi keberadaan orang lain saat ini, dan kita tidak tahu apa dampak jangka panjang dari apa pun yang kita katakan atau lakukan dalam upaya kita untuk mencoba menolong mereka. Hal itu paling jelas terlihat ketika kita mencoba membesarkan anak-anak - kita tidak benar-benar tahu apa yang terbaik untuk mereka. Kita mungkin punya ide sendiri, tapi kita benar-benar tidak tahu. Apa pun yang kita coba, kita tidak tahu apa dampaknya - itu cukup mengerikan, bukan? Lebih jauh lagi, kita tidak tahu cara menolong teman atau orang tua kita yang sudah lanjut usia. Apa yang terbaik untuk mereka? Sungguh, kita tidak tahu, bukan? Namun, kita berharap kita tahu. Jadi, pikirkanlah semua ini.
[Meditasi.]
Kesimpulan
Ringkasnya, inilah rintangan-rintangan, hal-hal yang menghalangi kita untuk benar-benar terhubung secara positif, bermakna, dan membangun dengan orang lain. Kita bertindak secara merusak terhadap mereka. Kita memiliki perasaan-perasaan gelisah, seperti marah kepada mereka. Kita secara gandrung mencoba menolong mereka, bahkan ketika mereka tidak menginginkan pertolongan kita, sehingga kita memaksa mereka. Kita berusaha menjadi sempurna. Kita sibuk dengan diriku - "Apa yang kusukai haruslah yang kamu sukai; apa yang baik untukku haruslah baik untukmu." Atau, "Kita harus selalu melakukan sesuatu dengan caraku." Semua sindrom ini terus berulang-ulang; kita sepertinya tidak memiliki kendali atas mereka. Dan bahkan ketika kita mencoba membantu orang lain, kita tidak benar-benar tahu apa yang terbaik. Memikirkan semua ini, seperti yang digambarkan dengan baik di dalam lam-rim bagi kita, adalah sesuatu yang membuat kita ngeri - sesuatu yang ingin kita hindari. Ketika kita bicara tentang berlindung, kita tidak hanya bicara tentang melakukan pemeriksaan pada tingkat lam-rim awal. Ini berlaku di sepanjang jalan rohani kita.
Karena berlindung mendasari seluruh jalan, jangan hanya membatasinya pada pemikiran, "Aku takut masuk neraka, jadi, Buddha selamatkanlah aku." Itu adalah cara yang sangat terbatas dalam memandang seluruh pokok perlindungan ini. Kita melihat semua pola-pola dalam diri kita sendiri, dan itulah yang kita bicarakan ketika kita mengatakan untuk mengembangkan "rasa takut" - kita merasa ngeri karenanya. Kita benar-benar tidak ingin perasaan dan perilaku gelisah ini berlanjut. Sebaliknya, kita ingin memberi haluan dalam hidup kita yang akan membantu kita mencegah semua itu berlanjut. Dalam pengertian ini, ini adalah berlindung. Ia menyelamatkan kita dari duka.
Ingat: agar berlindung, seperti setiap pokok lain dalam Dharma, memiliki makna bagi kita, ia harus berkaitan dengan kehidupan pribadi kita. Kalau tidak berkaitan, kalau kita tidak bisa melihat keterkaitannya, maka itu hanya jadi informasi yang menarik saja, atau informasi yang membosankan.
Sebuah persembahan kecil: pemahaman apa yang muncul dari pembahasan ini, semoga pemahaman ini semakin dalam dan semakin dalam, dan bertindak sebagai sebab untuk benar-benar berlindung, dan untuk mencapai pencerahan demi manfaat bagi semua.