Apa Itu Perasaan Gelisah?

12:44
Ketika cita kita diusik oleh amarah, kemelekatan, sikap mementingkan diri sendiri, atau ketamakan, tenaga kita pun akan terusik pula. Kita merasa resah; cita kita tidak tenang; pikiran kita berkeliaran. Kita mengatakan dan melakukan hal-hal yang kelak kita sesali. Kalau kita memperhatikan munculnya gangguan di dalam cita dan tenaga kita, kita boleh yakin bahwa hal tersebut disebabkan oleh perasaan gelisah. Kiatnya adalah segera menangkap perasaan itu begitu ia muncul dan menerapkan tataran cita yang menjadi lawannya, seperti kasih dan welas asih, guna menghindari masalah yang akan tercipta jika kita tunduk pada perasaan pembuat onar itu dan mewujudkannya ke dalam tindakan.

Apa itu “perasaan gelisah?”

Perasaan gelisah diartikan sebagai tataran cita yang, ketika kita mengembangkannya, menyebabkan kita kehilangan ketenangan cita dan pengendalian diri.

Karena kita kehilangan ketenangan cita, berarti hal ini menggelisahkan; ini menggelisahkan ketenangan cita kita. Karena kita gelisah ketika kehilangan ketenangan cita, pikiran dan rasa kita tidak benar-benar jernih. Karena tidak adanya kejernihan itu, kita kehilangan daya pembeda yang diperlukan untuk memiliki pengendalian diri. Kita harus mampu membedakan antara apa yang berguna dan apa yang tidak berguna; apa yang tepat dan apa yang tidak tepat dalam keadaan tertentu.

Perasaan Gelisah juga dapat Menyertai Tataran Cita yang Membangun

Contoh-contoh perasaan yang gelisah, misalnya, kemelekatan atau hasrat mendamba, kemarahan, kecemburuan, keangkuhan, kesombongan, dan sebagainya. Sebagian perasaan yang gelisah ini dapat menggiring kita untuk bertindak secara merusak, tapi tidak selalu demikian. Kemelekatan dan hasrat mendamba, misalnya, dapat menggiring kita untuk bertindak secara merusak – untuk mencuri, misalnya. Tapi selain itu kita bisa memiliki hasrat mendamba untuk dikasihi dan kita melekat pada itu, sehingga kita membantu orang lain agar dikasihi oleh mereka. Memang, membantu orang lain bukanlah tidakan merusak; itu hal yang membangun, tapi ada perasaan yang gelisah di balik itu: “Aku ingin dikasihi, jadi kamu lebih baik mengasihiku sebagai imbalannya.”

Atau coba pikirkan tentang kemarahan. Kemarahan dapat menggiring kita untuk bertindak secara merusak, untuk melukai seseorang atau bahkan membunuhnya, karena kita sangat marah. Jadi, itu adalah perilaku merusak. Tapi, andaikata kita marah terhadap ketidakadilan pada sistem atau keadaan tertentu – dan kita sangat marah pada hal itu sehingga kita benar-benar melakukan sesuatu untuk coba mengubahnya. Kita tidak perlu melakukan tindakan kekerasan. Tetapi intinya adalah bahkan melakukan sesuatu yang membangun atau positif pun didorong oleh perasaan yang gelisah. Kita tidak memiliki ketenangan cita dan, karena tidak memilikinya, ketika kita melakukan tindakan positif itu, cita dan rasa kita tidak jernih dan tataran perasaan kita tidak teguh.

Dalam kasus-kasus tersebut, dengan hasrat mendamba atau kemarahan, kita ingin orang lain mengasihi kita atau kita ingin mengakhiri ketidakadilan itu. Itu bukan keadaan tataran cita yang teguh atau tataran perasaan yang teguh. Karena itu bukanlah tataran cita yang jernih atau tataran perasaan yang jernih, maka kita tidak berpikir secara jernih tentang apa yang harus dilakukan dan bagaimana melaksanakan niat kita. Akibatnya, kita tidak memiliki pengendalian diri. Sebagai contoh, kita mungkin mencoba membantu seseorang melakukan sesuatu, tapi cara yang lebih baik untuk membantu mungkin adalah membiarkannya melakukan itu sendiri. Misalnya, jika kita punya anak perempuan dewasa dan kita ingin membantunya memasak atau mengurus rumah atau mengurus anak-anaknya. Dalam banyak hal, itu berarti ikut campur. Anak kita mungkin tidak suka diberitahu cara memasak atau cara membesarkan anak-anaknya. Tapi kita ingin dikasihi dan kita ingin berguna sehingga kita memaksakan kehendak kita terhadapnya. Kita melakukan sesuatu yang membangun, tapi kita kehilangan pengendalian diri yang akan menyebabkan kita berpikir, “Lebih baik aku tutup mulut dan tidak berpendapat dan tidak memberikan bantuan.”

Dan bahkan jika kita membantu dalam keadaan yang tepat untuk membantu orang lain, kita tidak tenang dalam melakukannya, karena kita mengharapkan imbalan. Kita ingin dikasihi, kita ingin dibutuhkan, kita ingin dihargai. Dengan hasrat mendamba ini dalam cita kita, maka jika orang itu tidak memberi tanggapan seperti yang kita harapkan, kita menjadi sangat buncah.

Cara kerja perasaan yang gelisah untuk menyebabkan kita kehilangan kedamaian cita dan pengendalian diri ini bahkan lebih kentara ketika kita hendak melawan ketidakadilan. Karena sangat kesal dengan itu, kita benar-benar buncah. Jika kita bertindak atas dasar kebuncahan itu, biasanya kita tidak berpikir secara jernih tentang apa yang harus dilakukan. Seringkali kita tidak mengikuti jalan tindakan terbaik untuk menghasilkan perubahan yang kita kehendaki.

Singkatnya, baik kita bertindak dalam cara yang merusak atau dalam cara yang membangun, jika itu didorong dan disertai oleh perasaan gelisah, itu akan menimbulkan masalah. Meskipun kita tidak bisa meramalkan secara tepat apakah itu akan menimbulkan masalah bagi orang lain atau tidak, tapi itu utamanya akan menimbulkan masalah bagi diri kita sendiri. Dan masalah-masalah itu tidak selalu terjadi seketika itu juga; itu masalah jangka panjang dalam arti membangun kebiasaan bertindak dengan cara-cara gelisah yang berulang-ulang. Maka, perilaku gandrung yang didasari perasaan gelisah ini membangun serangkaian cara perilaku yang meragukan. Kita tidak pernah memiliki ketenangan cita.

Satu contoh yang sangat jelas mengenai hal itu adalah jika kita terdorong untuk membantu dan melakukan hal-hal baik kepada orang lain karena kita ingin dikasihi dan dihargai. Di balik itu, kita pada dasarnya merasa tidak aman. Tapi semakin kita terus bertindak dengan dorongan macam ini, itu tidak pernah memuaskan, kita tidak pernah merasa, “Nah, sekarang aku dikasihi. Ini cukup, aku tidak memerlukannya lagi.” Kita tidak pernah merasakan itu. Sehingga perilaku kita hanya meneguhkan dan menguatkan kebiasaan ini dengan gandrung pada rasa, “Aku harus merasa dikasihi, aku harus merasa penting, aku harus merasa dihargai.” Anda hanya terus tunduk pada harapan untuk dikasihi, tapi Anda selalu kecewa. Anda kecewa karena meskipun seseorang berterima kasih kepada Anda, Anda berpikir, “Ia tidak tulus,” hal semacam ini. Karena itu, kita tidak pernah memiliki ketenangan cita. Dan itu hanya menjadi semakin buruk dan semakin buruk, karena gejala itu berulang dan berulang dan berulang. Itulah yang disebut samsara—keadaan sulit yang berulang tak terkendali.

Tidaklah begitu sulit untuk mengenali jenis gejala ini ketika perasaan yang gelisah menyebabkan kita bertindak negatif atau merusak. Contohnya, kita selalu kesal, dan karena kita kesal dan kita marah pada hal terkecil, maka dalam hubungan dengan orang lain kita selalu berbicara kasar atau mengatakan hal-hal kejam. Dan jelas bahwa tak seorangpun menyukai kita dan orang-orang tidak ingin bersama kita dan ini menyebabkan banyak masalah dalam hubungan kita. Cukup mudah untuk mengenali apa yang terjadi. Tapi tidak mudah untuk mengenali ketika ada perasaan yang gelisah di balik tindakan positif kita. Tapi kita perlu mengenalinya dalam kedua keadaan tersebut.

Bagaimana Mengetahui ketika Kita Berada di bawah Pengaruh Perasaan, Sikap atau Tataran Cita yang Gelisah

Maka kemudian pertanyaannya adalah bagaimana kita mengetahui bahwa kita bertindak di bawah pengaruh sikap atau perasaan yang gelisah? Ini tidak selalu berupa perasaan, tetapi dapat berupa sikap terhadap kehidupan atau sikap terhadap diri kita sendiri. Untuk ini, kita perlu sedikit peka untuk bersikap mawas diri dan melihat apa yang kita rasakan. Untuk melakukannya, pengertia perasaan yang gelisah atau sikap yang gelisah sangat berguna: ini menyebabkan kita kehilangan ketenangan cita dan pengendalian diri.

Sehingga apabila, ketika hendak mengatakan sesuatu atau hendak melakukan sesuatu, kita merasa sedikit gugup, kita tidak benar-benar tenang, itu adalah tanda bahwa ada suatu perasaan gelisah.

Itu mungkin tidak kita sadari dan seringkali itu tidak kita sadari. Tapi ada suatu perasaan gelisah di balik itu.

Katakanlah kita mencoba menjelaskan sesuatu kepada seseorang. Jika kita melihat bahwa ada sedikit ketidaknyamanan di dalam perut kita saat berbicara pada orang itu, itu adalah tanda bahwa ada suatu keangkuhan di balik itu. Kita mungkin bertanya, “Betapa pintarnya aku, aku paham hal itu. Aku akan membantumu memahaminya.” Kita mungkin tulus ingin membantu orang lain dengan menjelaskan kepada mereka, tetapi jika kita merasa sedikit tidak nyaman di dalam perut, ada suatu keangkuhan di sana. Itu terutama terjadi ketika kita berbicara tentang pencapaian-pencapaian kita sendiri atau mutu-mutu baik kita sendiri. Sangat sering, kita mengalami itu dengan sedikit ketidaknyamanan.

Atau mengenai sikap yang gelisah, katakanlah sikap “Semua orang harus memperhatikan aku,” yang sering kita miliki. Kita tidak suka diabaikan—tak seorangpun suka diabaikan—sehingga kita merasa “Orang-orang harus memperhatikan aku dan mendengarkan apa yang kukatakan,” dan seterusnya. Nah, itu juga bisa disertai oleh suatu kegugupan di dalam diri kita, terutama jika orang lain tidak memberi perhatian kepada kita. Mengapa mereka harus memperhatikan kita? Ketika Anda memikirkan itu, tak ada alasan baik di sana.

Kata Sanskerta “klesha”“nyon-mong” dalam bahasa Tibet—adalah istilah yang sangat sulit yang saya terjemahkan di sini sebagai “perasaan yang gelisah” atau “sikap yang gelisah.” Ini sulit karena ada sebagian yang tidak sepenuhnya cocok dengan kelompok perasaan maupun sikap, misalnya keluguan. Kita bisa sangat lugu tentang akibat perilaku kita pada orang lain atau pada diri kita sendiri. Atau kita bisa lugu tentang suatu keadaan, kenyataan tentang apa yang terjadi. Jadi andaikata, sebagai contoh, kita lugu bahwa seseorang sedang tidak merasa baik atau seseorang sedang buncah. Dalam keadaan semacam itu, kita pasti bisa lugu tentang apa akibat mengatakan sesuatu kepadanya; mereka mungkin sangat terganggu meskipun niat kita baik.

Ketika kita memiliki tataran cita yang gelisah jenis itu, sebut saja demikian, kita tidak perlu merasa tak nyaman. Tapi seperti yang saya katakan, ketika kita kehilangan ketenangan cita, cita kita tidak jernih. Sehingga ketika kita lugu, cita kita sebenarnya tidak jernih; kita berada di dalam dunia kecil kita sendiri. Kita kehilangan pengendalian diri dalam arti bahwa karena kita berada di dalam dunia kecil kita sendiri, kita tidak dapat membedakan antara apa yang berguna dan tepat dalam suatu keadaan dan apa yang tidak. Karena tidak memiliki daya pembeda, kita tidak bertindak secara tepat dan peka. Dengan kata lain, kita tidak memiliki pengendalian diri untuk dapat bertindak secara tepat dan menahan dari tindakan yang tidak patut. Dengan demikian, keluguan sesuai dengan arti tataran cita yang gelisah, meskipun sulit untuk menganggap keluguan sebagai sebuah perasaan atau sikap. Seperti yang saya katakan, “klesha” adalah istilah yang sangat sulit untuk menemukan terjemahan yang benar-benar baik.

Perasaan-Perasaan yang Tidak Gelisah

Dalam bahasa Sanskerta dan Tibet tidak ada kata untuk “perasaan.” Bahasa-bahasa tersebut membicarakan unsur-unsur batin, yaitu berbagai unsur yang membentuk tiap-tiap peristiwa dalam tataran batin kita. Bahasa itu membagi unsur-unsur batin menjadi tataran yang gelisah dan tataran yang tidak gelisah, juga tataran yang membangun dan tataran merusak. Dua pasangan tersebut tidak semestinya tumpang-tindih satu sama lain. Selain itu, ada unsur-unsur batin yang tidak masuk ke dalam kelompok-kelompok tersebut. Jadi, dalam kerangka hal yang di Barat kita sebut “perasaan,” ada sebagian yang gelisah dan sebagian yang tidak gelisah. Ajaran Buddha tidak bertujuan untuk menyingkirkan semua perasaan itu, sama sekali tidak. Kita hanya ingin menyingkirkan perasaan-perasaan yang gelisah saja. Hal ini dapat dilakukan melalui dua langkah: langkah pertamanya adalah tidak berada di bawah kendali mereka dan yang kedua adalah menyingkirkan mereka sehingga tidak muncul.

Lalu apa yang merupakan perasaan yang tidak gelisah? Ya, kita mungkin berpikir bahwa “kasih” adalah perasaan yang tidak gelisah atau “welas asih” atau “kesabaran.” Tapi ketika kita menguraikan kata-kata itu yang kita miliki dalam bahasa-bahasa Eropa, kita menemukan bahwa tiap-tiap perasaan itu bisa memiliki jenis gelisah dan bukan gelisah. Jadi, kita harus sedikit berhati-hati. Jika kasih adalah jenis rasa yang “Oh, aku sangat mengasihimu, aku membutuhkanmu, jangan pernah tinggalkan aku!” maka jenis kasih seperti ini sebenarnya adalah tataran cita yang gelisah, karena jika orang itu tidak membalas kasih kita atau tidak membutuhkan kita, kita menjadi sangat buncah. Kita menjadi sangat marah dan tiba-tiba perasaan kita berubah: “Aku tidak mengasihimu lagi.”

Jadi, ketika kita menguraikan sebuah tataran cita, meskipun kita mungkin memahaminya sebagai tataran perasaan, dan kita menyebutnya “kasih,” sebenarnya ini adalah percampuran dari banyak unsur batin. Kita tidak hanya mengalami suatu perasaan yang berdiri sendiri. Tataran-tataran perasaan kita selalu merupakan percampuran; ada berbagai macam unsur di sana. Jenis kasih di mana kita merasa “Aku mengasihimu, aku tidak bisa hidup tanpamu” jelas merupakan jenis ketergantungan dan itu sangat gelisah. Tapi ada jenis kasih yang tidak gelisah, yakni yang semata-mata ingin agar orang lain bahagia dan memiliki sebab-sebab kebahagiaan, terlepas dari apa yang mereka lakukan. Kita tidak mengharapkan balasan apapun dari mereka.

Sebagai contoh, kita mungkin memiliki jenis kasih yang tidak gelisah terhadap anak-anak kita. Kita sama sekali tidak mengharapkan balasan apapun dari mereka. Ya, jelas sebagian orang tua demikian. Tapi biasanya, tidak peduli apa yang anak kita lakukan, kita tetap mengasihi anak kita. Kita ingin anak kita bahagia. Tetapi lagi-lagi seringkali ini bercampur dengan tataran gelisah lainnya, yaitu bahwa kita ingin diri kita bisa membuat mereka bahagia. Jika kita melakukan sesuatu dengan maksud membuat anak kita bahagia, seperti mengajak mereka ke pertunjukan boneka dan itu tidak berhasil, itu tidak membuat mereka bahagia, kita merasa sangat kecewa. Kita kecewa karena kita ingin menjadi sebab bagi kebahagiaan anak kita, bukan permainan komputer. Tapi kita masih menyebut rasa terhadap anak kita itu “kasih.” “Aku ingin kamu bahagia, aku akan berusaha membuatmu bahagia, tapi aku ingin menjadi orang paling penting dalam hidupmu.”

Jadi, inti dari semua pembahasan panjang-lebar ini adalah bahwa kita benar-benar harus memperhatikan dengan sangat teliti pada tataran-tataran perasaan kita dan tidak terjebak dalam kata-kata yang kita gunakan untuk menamai perasaan-perasaan yang berbeda. Kita harus benar-benar menyelidik tataran batin kita untuk menemukan unsur-unsur apa yang mengganggu dan menyebabkan kita kehilangan ketenangan cita, kehilangan kejernihan, kehilangan pengendalian diri.” Itu adalah hal-hal yang kita harus upayakan.

Ketaksadaran sebagai Sebab yang Mendasari Perasaan yang Gelisah

Jika kita ingin menyingkirkan tataran cita atau perasaan atau sikap yang gelisah itu, kita harus melihat sebab-sebabnya. Jika kita bisa menghilangkan sebab yang mendasarinya, maka kita bisa menyingkirkannya. Ini bukan sekadar persoalan menyingkirkan perasaan-perasaan gelisah itu saja, yang menimbulkan masalah bagi kita; tapi kita benar-benar masuk ke akar dari perasaan yang gelisah itu dan menyingkirkannya.

Lalu, apa sebab terdalam dari tataran-tataran cita yang gelisah itu? Yang kita temukan adalah apa yang seringkali diterjemahkan sebagai “kebodohan,” atau, saya lebih suka menyebutnya, “ketaksadaran.” Kita tidak menyadari sesuatu, kita tidak tahu. Kebodohan terdengar seolah-olah kita tolol, padahal tidak demikian. Ini hanya berarti bahwa kita tidak tahu, atau kita bingung: kita memahami suatu hal secara tidak tepat.

Apa yang kita bingungkan, atau apa yang kita tidak sadari? Pada dasarnya, ini adalah akibat dari perilaku kita dan keadaannya. Kita sangat marah atau melekat atau buncah, dan ini menyebabkan kita bertindak dalam cara yang sangat gandrung, didasari kebiasaan dan kecenderungan sebelumnya. Itulah pada dasarnya apa yang disebut karma, daya gandrung untuk bertindak yang didasari perasaan atau sikap yang gelisah, tanpa pengendalian diri. Yang mendasari perilaku gandrung itu adalah ketaksadaran: kita tidak tahu apa akibat dari tindakan atau perkataan kita. Atau kita bingung: kita pikir mencuri sesuatu akan membuat kita bahagia, tapi tidak. Atau kita pikir membantu Anda akan membuat saya merasa dibutuhkan dan dikasihi; tidak. Jadi kita tidak tahu apa akibat yang akan terjadi. “Aku tidak tahu mengatakan itu akan menyakiti Anda.” Atau kita bingung tentang hal itu. “Kupikir ini akan membantu, ternyata tidak.” “Kupikir ini akan membuatku bahagia, ternyata tidak.” Atau akan membuatmu bahagia, ternyata tidak. Atau tentang keadaan, “Aku tidak tahu kamu sedang sibuk.” Atau “Aku tidak tahu kamu sudah menikah.” Atau bisa saja kita bingung, “Kupikir kamu punya banyak waktu.” Tapi tidak. “Kupikir kamu masih lajang, tidak terikat dengan siapapun, jadi aku mencoba mengejar hubungan romantis,” yang adalah tidak tepat. Jadi sekali lagi, kita tidak menyadari keadaan: baik kita tidak tahu atau kita bingung tentang keadaan itu: kita mengetahuinya dengan cara yang salah.

Memang benar bahwa kurangnya kesadaran adalah akar dari tindakan gandrung kita. Tapi tidak begitu jelas bahwa ketaksadaran juga merupakan akar dari perasaan gelisah dan bahwa perasaan gelisah terkait erat dengan perilaku gandrung. Jadi, kita perlu melihat pokok-pokok ini sedikit lebih teliti lagi.

Video: Jetsunma Tenzin Palmo — ”Pentingnya Kesadaran”
Untuk menyalakan subtitle, klik ikon Subtitel di sudut kanan bawah layar video. Untuk mengubah bahasa subtitel, klik ikon “Setelan”, lalu klik “Subtitel” dan pilih bahasa yang Anda inginkan.
Top