Ketaksadaran, Perasaan Gelisah dan Kelanjutan Karma Itu Tidak Berpangkal
Kita sudah mengetahui bahwa kita semua punya kesinambungan batin yang tak berpangkal dan tak berujung, dan bahwa kita akan terus terlahir kembali. Tak berpangkal, kesinambungan batin kita juga telah bercampur dengan ketaksadaran, atau dalam ungkapan sederhananya, kebingungan. Ini mengacu pada ketaksadaran akan sebab dan akibat berperilaku: kita tak menyadari bahwa ketakbahagiaan muncul dari perilaku merusak dan kebahagiaan muncul dari perilaku membangun. Juga mengacu pada ketaksadaran mendasar akan kenyataan: kita tak menyadari bagaimana kita, setiap orang lain, dan segala sesuatunya mengada. Berlandaskan ketaksadaran, timbullah perasaan dan sikap gelisah, dan kemudian kita bertindak merusak atau membangun secara gandrung bercampur kebingungan. Perilaku ini meninggalkan kelanjutan karma pada kesinambungan batin kita, termasuk kecenderungan-kecenderungan karma serta daya positif dan negatif karma. Karenanya, kesinambungan batin kita dan semua orang lain bercampur dengan ketaksadaran, perasaan-perasaan gelisah, dan kelanjutan karma yang tak berpangkal.
Bagaimana Kelanjutan Karma Diteruskan pada Kesinambungan Batin
Kecenderungan dan daya karma bukanlah gejala ragawi atau cara menyadari sesuatu. Semua itu tersemat saja pada kesinambungan batin kita. Misalnya, jika kita minum kopi hari ini, kemarin, dua dan tiga hari lalu, maka bisa dikatakan bahwa kita punya kecenderungan untuk minum kopi. Kecenderungan itu bukanlah hal yang bersifat ragawi, bukan pula cara menyadari sesuatu. Ia hanyalah penyematan sesuatu pada serangkaian peristiwa yang serupa.
Ketaksadaran, perasaan, dan sikap gelisah kita juga punya kecenderungan yang berkenaan dengan kelangsungannya. Sama seperti kita tidak minum kopi setiap menit sepanjang hari, kita juga tidak marah setiap menitnya. Tapi ada kelanjutan yang dijelaskan dalam kerangka kecenderungan. Dengan kecenderungan yang tersemat pada kesinambungan batin kita, ketaksadaran, perasaan gelisah, dan kelanjutan karma diteruskan pada kesinambungan batin, dan akan terus seperti itu kecuali kita menghentikannya.
Berpegang pada Keberadaan yang Mapan Sejati
Ketaksadaran akan kenyataan yang mendasari perasaan gelisah serta perilaku karma kita yang gandrung dilandaskan pada kenyataan bahwa cita kita membuat segala sesuatu tampak mengada secara mustahil. Malah, cita kita melakukannya setiap saat. Dengan berpegang pada keberadaan yang mapan sejati, kita mengalami kenampakan-kenampakan menipu ini dan percaya bahwa ia nyata. Karena ketaksadaran, kita tak tahu bahwa kita keliru.
Berpegang pada keberadaan yang mapan sejati, dan ketaksadaran, perasaan dan sikap gelisah, serta kecenderungan dan daya karma yang bergantung padanya, memicu pengaburan-pengaburan perasaan. Semua ini menghalangi kebebasan. Kebiasaan berpegang ini tidak hanya memunculkan pemegangan, tapi juga kenampakan menipu keberadaan yang mapan sejati – cara mengada yang mustahil. Cita kita terus melakukannya dan juga "kebiasaan yang dilakukan terus-menerus" itu. Itu semua memicu pengaburan pengetahuan yang menghalangi kita dari pencerahan mahatahu. Sebelum kebebasan, kebiasaan-kebiasaan ini memunculkan pembuatan-penampakan yang menipu, dan membuat kita berpegang padanya dan meyakininya. Setelah kebebasan — sebelum pencerahan — kebiasaan-kebiasaan itu terus memunculkan pemubatan-penampakan, tapi hanya untuk berpegang dalam arti pencerapannya, tanpa memicu keyakinan bahwa ia nyata.
Pengetahuan nircitra atas sunyata (kekosongan) – tiadanya cara mengada yang sesuai dengan penampakan tersebut – menghindarkan kita dari pengaburan-pengaburan ini. Ini tergantung pada daya dorong di balik pemahaman ini: penyerahan atau penyerahan dan bodhicita.
Makna Keberadaan yang Mapan Sejati
Ada banyak tingkat kehalusan cara mengada yang mustahil yang ditampakkan cita kita. Pada tingkat yang terdalam, tingkat yang terhalus, ia merupakan suatu wujud dari "keberadaan mapan sejati". Dalam berbagai tata ajaran Buddha India, keberadaan mapan sejati ini dimaknai secara berbeda-beda, tapi kita akan melihat pengertian Prasangika-nya, sebagaimana dipahami dalam aliran Gelug.
Istilah "cara mengada" mengacu pada hal yang memapankan keberadaan sesuatu itu. Istilah ini bukan tentang cara sesuatu itu mengada, kendati bedanya tipis sekali. Kata "memapankan" mengacu pada hal yang membuktikan atau menjelaskan kenyataan bahwa sesuatu itu ada. Satu cara yang sangat simplistis untuk menunjukkan keberadaan sesuatu — dalam tata-tata ajaran yang lebih awal — adalah bahwa sesuatu itu ada gunanya. Karena ia melakukan sesuatu, pelaksanaan sesuatu itulah yang membuktikan atau menunjukkan kalau ia ada. Inilah yang dinyatakan di berbagai tata ajaran rendah.
Ketika tata ajaran Prasangika bicara soal keberadaan mapan sejati, maksudnya adalah terdapat sesuatu, dari sisinya sendiri, yang memapankan bahwa ia ada. Pemapanan ini dilakukan baik atas kuasanya sendiri atau sehubungan dengan berbagai anasir lain dari upaya pengecapan batin bercitra.
Ketika kita memahami sunyata, kita melihat cara mengada yang mustahil ini tidak mengacu pada kenyataan; tak ada yang seperti itu. Untuk memahaminya, begini contohnya. Kita bisa saja berucap, "tubuhku kuat," karena cita kita menunjukkan bahwa tubuh kita dapat kuat sendiri, tanpa bergantung pada apa pun. Seluruh sebab bagi "Aku kuat dan sehat", seperti kesehatan yang baik, pola makan yang baik, gerak badan, dan seterusnya, tak nampak bagi kita. Tubuh yang kuat tersebut tampaknya tidak muncul dari semua itu, melainkan dari dirinya sendiri ketika kita melihatnya di cermin.
Kalau tubuh kuat itu mapan dari sisinya sendiri, seharusnya ia kuat di segala keadaan, bahkan bila dibandingkan dengan hal-hal lain. Dibandingkan tubuh seorang bayi, tubuh orang dewasa lebih kuat, tapi kalau dibandingkan tubuh seekor gorila jantan dewasa, lemah. Kekuatan itu muncul tergantung pada banyak anasir. Bukan hanya pada pola makan dan gerak badan, tapi juga pada hal-hal lain yang jadi pembandingnya. Bukan cuma itu, kekuatan juga tergantung pada kata dan citra "kuat" itu sendiri.
Kita merujuk pada hal-hal yang kita lakukan sehari-hari dan dengan dasar ini kita membangun kata dan citra "kuat". Pada zaman prasejarah, "kuat" hanyalah bunyi tanpa makna bagi orang-orang yang memulai bahasa, kemudian pada bunyi ini menunjukkan sebuah citra, sebuah kelompok, juga semua hal yang orang-orang sertakan dalam kelompok ini. Apa yang memapankan tubuh sebagai “kuat”? Satu-satunya hal yang memapankannya adalah "penunjukan" dan "pemberian cap batin", tak ada yang lainnya. Yang bisa kita katakan, menjadi kuat itu hanya berarti hal yang diacu oleh kata "kuat" ketika ditunjukkan pada sesuatu — sebagai dasarnya — dan saat ia secara batin dicapkan ke suatu kelompok: citra "kuat". Dasar itu sendiri tidak punya apa-apa yang memapankan bahwa seseorang itu kuat. Tidak ada.
Kita bisa bertanya, "Tapi, bukankah ada ciri-ciri penentu "kuat"?" Seseorang bisa mengangkat beban seberat 100 kilo, dan bukankah itu ciri penentu kuat, dari sisi si sasarannya? Tidak, karena ciri penentu mengangkat benda berat itu juga direkayasa oleh orang dan cita yang mengira-ngira citra "kuat" tersebut. Mereka merekayasa maknanya, memasukkannya ke dalam sebuah kamus, dan jadilah: "kuat" – tapi tetap saja itu sepenuhnya merupakan konstruksi batin. Akan tetapi, cita kita menampakkan tubuh beserta kekuatannya saja. “Aku baru saja melakukan 100 push-up, aku sangat kuat!” Seolah kekuatan tubuh kita mengada oleh dirinya sendiri.
Atas dasar penampakan tersebut, dan keyakinan bahwa ia nyata, kita lalu melebih-lebihkan sifat tubuh dan membangkitkan kemelekatan, kesombongan, dan kepongahan. Kita melihat orang lain yang kita anggap lebih kuat, dan kita iri. Atau, alih-alih 100 kali, kita cuma bisa melakukannya 50 kali push-up, lalu kita kesal dan tertekan. Demikianlah, kita jadi merasa gelisah karena meyakini penampakan yang sesungguhnya mustahil ini.
Itu tidak berarti bahwa, secara lazimnya, tidak ada hal yang kuat. Lazimnya, dalam kerangka kosakata dan citra kita, kita kuat. Tak masalah; kita tidak bilang semuanya tidak ada. Lazimnya, tubuh kita punya kekuatan, dan tergantung pada kata dan citranya, kita bisa katakan ia kuat jika dibandingkan dengan bayi, dan seterusnya. Tapi tidak ada sesuatu apa pun dari sisi kekuatan tubuh kita tersebut yang memapankan bahwa kita kuat. Tak ada suatu apa pun pada dasar pemberian cap batin dan penunjukan itu, baik secara lazim maupun pada akhirnya.
Itulah penjelasan singkatnya. Tapi kita perlu merenungkannya. Jika ada sesuatu dari sisi sasaran itu sendiri (kekuatan kita yang membuat kita kuat dengan sendirinya), atas kuasanya sendiri, maka seharusnya kita kuat walau kena penyakit, walau sudah tua, atau yang lainnya. Ketika kita gunakan mantik kita, kita akan lihat bahwa ini mengada-ada.
Sunyata (Kekosongan)
Ketika kita memusatkan perhatian pada sunyata (kekosongan), perhatian kita terpusat pada "tak ada yang seperti itu". Sunyata adalah tiadanya acuan nyata dari kenampakan keberadaan yang mapan sejati. Pola kenampakan ini tidak sejalan dengan kenyataan apa pun. Ia memang tidak pernah ada. Istilah lainnya: "penyokong". Kenampakan hal mustahil ini tidak “disokong” oleh apa pun. Saat ada bayangan seseorang di naungan jendela, bayangan ini disokong oleh sosok yang berada di balik bayangan tersebut. Di sini, meski nampak ada keberadaan yang mapan sejati, seperti bayangan itu, tapi di baliknya tidak ada apa-apa yang menyokongnya dari sisi dirinya sendiri.
Ketika kita memusatkan perhatian dan terserap sepenuhnya pada sunyata, yang berarti samadhi kita sempurna, pada saat itulah cita tidak membuat penampakan dan tidak meyakini keberadaan yang mapan sejati. Tetapi ini terjadi secara nircitra. Jika masih bercitra, ia akan tercampur dengan kelompok, atau citra sunyata. Memang rumit sekali.
Pengaburan Perasaan dan Pengetahuan Bukan Merupakan Bagian dari Sifat Inti Cita
Pengaburan perasaan, seperti tadi disebutkan, mengacu pada ketaksadaran dan perasaan dan sikap gelisah, beserta kecenderungan-kecenderungannya, dan juga kecenderungan dan daya karma. Semua itu menyebabkan kelahiran kembali samsarawi, seperti digambarkan di dalam 12 tautan. Kesemuanya muncul dari pemegangan keberadaan mapan sejati dan menghambat kebebasan. Pengaburan pengetahuan mengacu pada pembuatan-penampakan keberadaan mapan sejati yang muncul dari kebiasaan berpegang yang terus-menerus. Ketika cita kita membuat kenampakan keberadaan mapan sejati, ia membuat segala sesuatu tampak sepenuhnya mandiri dan terlepas satu sama lain. Ketika kita mencerap kenampakan-kenampakan ini, kita tidak dapat melihat kesaling-terkaitan dari segala hal, khususnya dalam hal sebab dan akibat. Kenampakan-kenampakan itu menghambat kemahatahuan kita sehingga kita tidak mengetahui cara terbaik untuk menolong semua orang. Kita tidak dapat melihat sebab-sebab tak berpangkal dari masalah mereka atau apa kelak akibat tak berujung dari yang kita ajarkan.
Kesinambungan batin kita telah "tercemar" oleh pengaburan perasaan dan pengetahuan tak berpangkal. Itulah mengapa kita tidak bebas dari samsara ataupun tercerahkan. Tapi, bisakah pengaburan perasaan dan pengetahuan ini dihilangkan? Apakah keduanya bagian dari sifat inti cita ataukah hanya "noda-noda sekilas" saja? Jika mereka merupakan ciri-ciri penentu cita kita, mereka akan ada setiap saat. Akan tetapi, tidak. Ada saat ketika mereka tiada, misalnya ketika kita sepenuhnya terserap pada sunyata. Ini menunjukkan bahwa mereka bukan merupakan bagian dari sifat cita.
Pengaburan Perasaan dan Pengetahuan Dapat Dihilangkan Selamanya
Pertanyaan selanjutnya adalah: kalau bukan merupakan sifat inti cita, bisakah pengaburan tersebut dihilangkan selamanya? Selamanya berarti penghentian sejati, yang juga merupakan kebenaran mulia yang ketiga. Karena berbagai kecenderungan ketaksadaran, perasaan gelisah, dan karma, serta kebiasaan berpegang pada keberadaan mapan sejati masih tetap dapat disematkan pada cita yang terserap sepenuhnya secara nircitra atas sunyata, setelah kita bangkit dari tataran ini, pemegangan dan seterusnya itu pun berulang. Bagaimana kita mengenyahkannya sehingga tidak berulang lagi?
Kecenderungan dan kebiasaan tersemat pada serangkaian peristiwa serupa. Kita bisa bilang bahwa sekarang ada kecenderungan pada kesinambungan batin kita hanya jika kelak mungkin terjadi pengulangan. Kalau kelak tidak ada lagi pengulangan, ia merupakan kecenderungan atau kebiasaan di masa lalu. Tapi ini belum lagi terjadi. Misalnya, saya punya kebiasaan menulis dengan tangan kanan, kebiasaan ini terjadi sekarang karena saya masih menulis dengan tangan kanan di masa depan. Tapi kalau saya kehilangan tangan kanan saya karena kecelakaan, apakah kebiasaan tersebut masih ada? Tidak. Saya dulu punya kebiasaan menulis dengan tangan kanan saya, tapi saya tidak bisa menulis dengan tangan kanan lagi karena tangan kanan saya sudah tidak ada. Ia jadi kebiasaan masa lalu, bukan yang masa kini. Kalau kita bisa mencegah pengulangan pembuatan-kenampakan keberadaan sejati serta pengalaman dan keyakinan padanya, maka kebiasaan itu habis selamanya. Ia tidak akan kembali lagi.
Penyerapan Nircitra Atas Sunyata Menghilangkan Pemegangan pada Keberadaan Mapan Sejati
Semakin kita bisa tetap terserap pada sunyata secara nircitra, tanpa penampakan dan pemegangan pada keberadaan sejati, semakin lemahlah kecenderungan dan kebiasaan itu jadinya. Ketaksadaran didasarkan pada keyakinan bahwa penampakan ini sejalan dengan kenyataan. Tapi dengan pemusatan terserap atas sunyata, kita semakin sering mengalami saat ketika kita terpusat pada “penampakan itu tidak sejalan dengan kenyataan”. Jadi, semakin kita terserap pada sunyata, lambat-laun kita tidak lagi meyakini bahwa penampakan menipu yang kita alami di luar penyerapan penuh ini sejalan dengan kenyataan. Dengan kata lain, kebiasaan berpegang pada keberadaan mapan sejati akan semakin melemah hingga ia berhenti memunculkan keyakinan itu.
Di titik ini, kita telah menghilangkan pengaburan perasaan dan memperoleh kebebasan. Itu karena kita telah menghilangkan selamanya ketaksadaran dan kecenderungan yang membuat kita tidak tahu bahwa penampakan tadi tidak sejalan dengan kenyataan. Ketaksadaran inilah yang awalnya memunculkan perasaan gelisah dan tindakan karma gandrung yang berujung pada kelanjutan karma, dan perasaan gelisah inilah yang menggiatkan kelanjutan karma untuk memunculkan kelahiran kembali samsarawi di masa depan. Ketika tiada lagi ketaksadaran, tak ada pula yang menggiatkan dan menanamkan kelanjutan karma, sehingga kelahiran kembali samsarawi yang berulang tanpa terkendali pun berakhir selamanya.
Kalau kita dapat tetap terpusat pada sunyata selamanya, seperti hal seorang Buddha, tidak akan ada lagi penampakan keberadaan yang mapan sejati itu. Cita kita tidak akan menghasilkan omong kosong itu dan kita menjadi mahatahu karena mampu melihat kesaling-terkaitan segala sesuatu. Inilah cara kita memapankan keberadaan dan kemungkinan memperoleh kebebasan dan pencerahan.
Penyerahan Tanpa Susah-payah sebagai Daya di Balik Pemahaman atas Sunyata untuk Memperoleh Kebebasan
Cita yang memahami sunyata itu mesti memiliki kekuatan tertentu. Kita bisa memahami sunyata sebagai latihan kecerdasan saja di kelas di kampus tempat kita belajar, tapi pemahaman itu tidak akan cukup berdaya. Malah, pemahaman semacam itu bisa berujung pada kepongahan. Jika pemahaman itu memiliki daya penyerahan di baliknya — penyerahan yang muncul dengan sendirinya tanpa perlu diupayakan — maka ia punya cukup tenaga untuk mampu mengenyahkan kecenderungan ketaksadaran, kecenderungan perasaan gelisah, serta perasaan gelisah itu sendiri.
Mengapa? Karena yang kita serahkan (lepaskan) itu sebetulnya adalah akibat dari perasaan dan kecenderungan gelisah itu sendiri. Kita menyerahkan kelahiran kembali samsarawi. Untuk terbebas dari itulah kita bertekad dan bersedia menyerahkan sebab-sebabnya. Kita meninggalkan duka serba-merasuk dari gugusan-gugusan ini. Semua orang bisa menyerahkan rasa sakit karena tak seorang pun ingin merasa sakit. Itu bukan pencapaian besar. Bahkan binatang pun bisa melakukannya. Selain itu, banyak agama lain menyerahkan kebahagiaan duniawi agar bisa masuk ke surga, jadi itu bukan khas Buddha. Yang kita serahkan adalah jenis duka ketiga: dasar bagi samsara. Inilah pokok pentingnya.
Menyerahkan Samsara: Tekad untuk Bebas
Apa yang mencirikan samsara? Sifat naik dan turun. Kadang kita merasa senang dan bahagia, dan kadang kita merasa kesal dan tidak bahagia. Mustahil kita memperkirakan perasaan yang akan kita alami di saat berikutnya. Bahkan ketika kita merasa baik-baik saja, kita harus berpisah dari perasaan itu, atau lalu kita merasa tidak cukup puas, seperti "Aku merasa kurang baik." Itulah keadaan samsara yang kita tinggalkan. Kita tidak meninggalkan keberadaan atau kehidupan kita. Tentu saja, halangan batin bisa muncul, kita berpikir bahwa jika hidup ini datar-datar saja, kita akan merasa hampa dan bosan. Tapi jika kita telaah lebih dalam, kita akan melihat bahwa saat kita memperoleh kebebasan, kita masih akan memiliki gugusan-gugusan yang merekayasa setiap saat pengalaman kita, dan kita masih akan memiliki perasaan, tapi bukan yang bersifat gelisah. Kita akan punya keseimbangan batin dan kebahagiaan tanpa kegelisahan. Kita akan memiliki kasih, welas asih, kesabaran, kebaikan hati, kasih sayang, dan seterusnya, tanpa perasaan gelisah lagi.
Singkatnya, inilah hal-hal yang kita upayakan untuk betul-betul menjadi orang dengan lingkup madya. Kita percaya bahwa kesinambungan batin kita terus lanjut selamanya dan sifatnya tak tercemar oleh pengaburan perasaan, sehingga dapat dihentikan selamanya. Kita juga dengan benar mengenali hal yang kita tinggalkan. Saat semua ini terang jelas, kita berada di jalan untuk benar-benar menjadi orang dengan lingkup madya.
Bodhicita Tanpa Susah-Payah sebagai Daya di Balik Pemahaman atas Sunyata untuk Memperoleh Pencerahan
Pada lingkup lanjut, ketika kita memiliki daya tujuan bodhicita tanpa susah-payah sebagai daya cita yang memahami sunyata, cita kita mampu tetap terpusat pada sunyata selamanya dan mengenyahkan pengaburan-pengaburan pengetahuan juga.
Mengapa? Kita punya kesinambungan batin tak berpangkal dan tak berujung, tak tercemar oleh kedua pengaburan tersebut. Begitu pula setiap orang lainnya. Inilah hal pertama yang mesti kita sadari dan, dengannya, kita memiliki keseimbangan batin terhadap semua orang. Misalnya saja, ketika kita lihat sebuah kesinambungan batin yang karena karmanya kini terhubung dengan raga seekor serangga, itu tidak berarti bahwa kesinambungan batin ini mapan dari sisinya sendiri sebagai kesinambungan batin seekor serangga, walaupun cita kita membuatnya nampak demikian. Tidak ada yang namanya kesinambungan batin seekor serangga, atau jantan atau betina, atau manusia, atau orang Meksiko, atau apa pun itu. Pokoknya adalah, kesinambungan batin kita juga tanpa keberadaan yang mustahil, tidak mengada secara sendirinya dengan dinding-dinding tinggi di sekelilingnya, tidak terpisah secara mandiri. Semua kesinambungan batin kita telah bersinggungan satu sama lain dan telah dipengaruhi oleh satu sama lain dalam hal pengalaman kita, secara tak berpangkal.
Ketika waktu tak berpangkal kita sertakan, kita melihat bahwa kita semua bukan hanya pernah menolong satu sama lain, tapi pernah menjadi ayah dan ibu bagi satu sama lain, dan seterusnya. Di atas hal ini, semua orang ingin bahagia, tak ada yang tidak ingin bahagia. Itulah asas dasar bagi setiap kesinambungan batin, dan atas dasar ini kita semua setara. Kita semua saling terhubung satu sama lain dan kita semua memiliki "sifat-Buddha", yang berarti kemurnian mendasar dari kesinambungan batin, yang memungkinkan kita semua bisa tercerahkan. Malah, kita yakin bahwa setiap orang dapat mencapai kebebasan dan pencerahan. Ketika kita memahami kesunyataan kesinambungan batin, kita memahami bahwa adalah mungkin untuk memengaruhi atau menolong orang lain. Hubungan sebab-akibat itu mungkin terjadi di antara berbagai kesinambungan batin, tanpa melebih-lebihkan atau menyangkal apa yang mungkin, dengan dasar pemahaman atas sebab dan akibat.
Dengan memahami bahwa semua orang dapat mencapai kebebasan dan pencerahan secara setara, kita memiliki welas asih agung yang diarahkan secara mutlak kepada semua orang. Kita bisa melihat kesaling-terkaitan segala sesuatu, mungkin tidak begitu jelas tapi setidaknya kita memahami asasnya. Nah, kita mulai memahami betapa daya tujuan bodhicita tersebut begitu luas, sehingga mampu berlaku sebagai sebab untuk betul-betul mencapai cita mahatahu seorang Buddha pada tingkat keluasan tersebut.
Tujuan bodhicita didasarkan pada welas asih ini dan tanggung jawab untuk membawa setiap orang ke dalam pencerahan. Kita sebut ini sebagai "keputusan istimewa". Kita melihat bahwa hanya dengan menjadi seorang Buddha sajalah kita mampu menolong orang lain sepenuhnya; sehingga, kita mesti mengenyahkan pengaburan perasaan dan pengetahuan. Pada titik ini, kita berpusat pada pencerahan kita sendiri yang belum-terwujud, mengacu pada kebenaran mulia yang ketiga dan keempat. Semua ini adalah penghentian sejati dari dua pengaburan dan merupakan cita jalan sejati yang belum lagi terjadi pada kesinambungan batin kita, tapi yang dapat terjadi.
Memusat pada Pencerahan Kita yang Belum-Terwujud
Ketika kita bicara tentang "masa depan" dalam lingkung pemahaman Barat, kata tersebut terdengar seperti sesuatu yang terjadi di suatu tempat di luar sana, seolah-olah jika kita bisa bergerak lebih cepat dari kecepatan cahaya, kita bisa pergi ke masa depan. Ajaran Buddha tidak memahaminya seperti itu. Dalam ajaran Buddha, kita bicara tentang peristiwa-peristiwa yang tidak-lagi-terjadi, sedang-terjadi, dan belum-lagi-terjadi. Hanya ketika sesuatu itu mungkinlah baru kita bisa menyebutnya belum lagi terjadi. Pencerahan kita tidak terjadi sekarang, tapi ia bisa terjadi atas dasar kemurnian kesinambungan batin dan sebab-sebab yang dibina, seperti jaringan daya positif dan kesadaran mendalam yang disematkan padanya, atau yang disebut sebagai "kumpulan pahala dan kebijaksanaan". Pencerahan yang belum lagi terjadi itu disematkan pada sebabnya dan pada dasar kemurnian cita.
Dengan bodhicita, kita bertujuan untuk memiliki lingkup cita yang luas nan besar. Ini yang disebut "Mahayana", wahana cita yang luas. Wahana di sini bukan seperti kendaraan mobil, melainkan soal pemahaman yang akan membawa kita pada pencerahan. Wahana cita ini luas, karena kita berpikir dalam kerangka semua makhluk, dan kesaling-terkaitan mereka semua. Kita juga berpikir dalam kerangka kemurnian sepenuhnya dari kesinambungan batin kita sendiri dan kesinambungan batin setiap orang lain. Itu memberi daya bagi pemahaman atas sunyata, untuk mampu menebas kebiasaan berpegang pada keberadaan mapan sejati juga. Dengan kata lain, kita mampu tetap berada dalam keterserapan penuh pada sunyata selamanya.
Penyerahan Bukan Berarti Tidak Membenarkan Kenikmatan Kehidupan Biasa
Inilah isi lingkup madya dan lanjut. Kita ingin beralihrupa menjadi orang yang memiliki tiap lingkup ini secara tanpa susah-payah setiap waktu. Sebagai seseorang dengan lingkup madya, apa pun yang kita jumpai di dalam keberadaan samsarawi semestinya dilihat sebagai duka. Apa itu berarti kita tidak lagi menikmatinya dan bermuram-durja setiap saat? Tidak, sama sekali tidak. Maksudnya ialah kita tidak tertipu dengan penglihatan kita. Bahkan pada tingkat dangkal sekalipun, kita melihat bahwa segala sesuatu muncul karena sebab dan keadaan, dan akan berubah, tidak akan langgeng. Kita menikmati setiap kejadian tanpa melebih-lebihkannya. Ya, kita perlu makan, jadi kita bisa menikmati makanan kita, tapi tanpa berpikir, "Oh, luar biasa dan menakjubkan, aku ingin makan lagi dan lagi dan lagi." Kita tetap tenang dan menikmati semuanya sebagaimana adanya.
Bersikap Makul pada Raga Orang-Orang yang Menarik bagi Kita
Dalam persinggungan kita dengan sesama, akan ada orang yang membuat kita marah, orang yang tidak kita pedulikan, dan tentu saja, orang yang amat menarik bagi kita. Sekalipun kita tidak mampu menerapkan pemahaman sunyata, kita bisa menerapkan penawar sementara, misalnya pembayangan. Kita bisa membayangkan bahwa kita punya pandangan sinar-x dan kita melihat kerangka orang yang menarik bagi kita itu. Atau yang jauh lebih ampuh, lakukan seperti yang dianjurkan Shantidewa: “kupas semua kulitnya”. Kita bayangkan orang ini dalam bentuk otot, usus, isi perut, paru-paru, dsb., dan lihatlah bahwa tak peduli seberapa menarik atau seberapa menjijikkan, mereka berada di bawah pengaruh perasaan gelisah dan daya rusak usia, dan mereka akan mengalami sakit punggung dan ini dan itu. Ini membantu membubarkan ketertarikan dan rasa jijik dan marah ini, karena ini sebetulnya merupakan penampakan dangkal saja. Pembayangan seperti ini banyak manfaatnya.
Kita menyerahkan ketertarikan atau rasa jijik ini karena keduanya menyebabkan masalah, ketakbahagiaan, dan duka. Kita bertekad untuk bebas darinya, yang berarti kita perlu menerapkan lawan/penawarnya agar enyah. Tapi jangan berhenti di niat saja, "Mungkin perasaan-perasaan gelisahku akan hilang kalau aku tekun berdoa," lalu tidak berbuat apa-apa.
Saat kita membayangkan isi perut seseorang, yang kita lihat benar-benar ada di sana. Bukan khayalan. Demikian pula, penampakan kulit luarnya pun juga ada. Kita tidak menyangkalnya. Lama-kelamaan, kita akan sampai pada titik di mana kita tidak lagi begitu dipengaruhi hasrat dan seterusnya. Kemudian kita dapat menikmati keindahan seseorang, atau setangkai bunga, atau makanan, tanpa dibuat gelisah olehnya karena kita memahami tingkat yang lebih mendalam daripadanya. Alhasil, kita mulai melihat keindahan pada jauh lebih banyak hal dari yang kita lihat sebelumnya.
Singkatnya, pusat perhatian lingkup madya adalah penyerahan perasaan gelisah dan seluruh keadaan samsarawi yang telah memunculkannya. Corak Dharma-Sarinya adalah terbatas pada masahidup yang sekarang ini. Dharma Sejatinya adalah berpikir bahwa, kalau kita tidak mengenyahkan perasaan gelisah kita, semua itu akan langgeng selamanya bersama kelahiran kembali yang berulang tanpa terkendali Kita tentunya tidak menghendaki ini!
Senantiasa Berpikir tentang Orang Lain
Ketika kita menjadi orang dengan lingkup lanjut, kita memusatkan perhatian bukan hanya pada mengatasi perasaan gelisah kita terhadap setiap orang dan setiap hal, tapi juga meluaskan welas asih pada semua orang dengan melihat bahwa kita semua berada di keadaan yang sama. Kita semua berada di bawah pengaruh karma dan perasaan-perasaan gelisah, dan kita punya duka samsara yang naik turun. Betapa celakanya ini; semua orang sama menderitanya dengan kita?!
Dengan memusatkan perhatian pada keadaan mereka yang tidak-lagi menjadi ibuku, mereka sedang-menjadi serangga, dan mereka belum-lagi menjadi Buddha, kita menghubungkan diri dengan mereka pada ketiga tingkat ini atas dasar memahami kemurnian cita atau sifat-dasar Buddha. Ini bukan pencapaian mudah. Kita bukan cuma bicara soal mereka yang sekarang punya rupa manusia. Bayangkan jika kita dapat melakukan ini pada semua insan, dan sungguh-sungguh melakukannya pada semua orang secara bersamaan!
Ringkasan
Kesinambungan batin kita tak berpangkal dan tak berujung, dan kita pasti akan terlahir kembali. Kita tidak hanya terpusat pada yang sedang terjadi sekarang, tapi berpikir dalam kerangka yang belum lagi terjadi. Kalau kita tidak berbuat sesuatu, keadaan samsarawi kita yang terjadi sekarang akan terus lanjut selamanya. Sekalipun secara tak berpangkal kesinambungan batin kita telah bercampur dengan pengaburan-pengaburan perasaan, kita dapat menghapusnya selamanya. Ada kebebasan yang belum lagi terjadi yang dapat disematkan pada kesinambungan batin kita. Hal serupa juga berlaku dalam sifat kita yang tidak tercemar oleh pengaburan pengetahuan. Kita bisa menatap pencerahan yang belum lagi terjadi atas dasar kesinambungan batin kita. Kita memahami bahwa kesinambungan batin lain yang tak terhingga jumlahnya berada pada keadaan yang persis sama, dan kita memahami kesaling-terkaitan di antara kita semua.
Dengan mengingat ini, kita berpaling dari sekadar memusatkan perhatian pada masahidup yang sekarang ini, dan berpikir dalam kerangka masa depan. Kemudian, kita berpaling dari pusat perhatian kita pada masa depan pada batasan-batasan samsara, dan menatap tataran kebebasan. Setelahnya, kita bahkan berpaling dari pusat perhatian kita dari kebebasan dan mengalihkan perhatian pada pencerahan kita yang belum lagi terjadi. Masing-masing tingkat ini, saat kita berpaling dari sesuatu, ada penyerahannya. Di sini, di lingkup lanjut, ada juga bodhicita. Semua ini mungkin karena kita memahami kesunyataan kesinambungan batin kita.
Inilah tiga segi asasi dari cita jalan, seperti ditekankan oleh Tsongkhapa. Ada penyerahan, bodhicita, dan pemahaman atas sunyata. Kalau kita mengikuti langkah-langkah dalam lam-rim, dengan tulus bertujuan untuk perlahan-lahan menjadi orang dengan ketiga lingkup ini, walaupun bukan tugas mudah, kita pasti akan membuat kemajuan di jalan untuk menjadi Buddha dan memberi manfaat pada semua makhluk terbatas.