Menghalau Kebingungan tentang Tujuan Laku Buddha dalam Kehidupan Kita
Saya pernah diminta bicara tentang hubungan perlindungan dalam hidup sehari-hari. Saya teringat Atisha, seorang guru besar India yang pergi ke Tibet pada akhir abad kesepuluh. Ia salah satu guru besar yang membantu menghidupkan kembali agama Buddha di Tibet setelah merosot sejak awal agama tersebut diperkenalkan dari India. Waktu itu banyak terjadi kesalahpahaman di Tibet, khususnya mengenai tantra dan beberapa ajaran yang tingkatnya lebih lanjut. Tidak ada guru yang mumpuni. Malah, tidak ada guru yang mampu menjelaskan segala sesuatunya dengan lebih jernih. Meskipun ada sejumlah naskah yang sudah diterjemahkan, tidak banyak orang yang bisa membaca dan tidak banyak juga salinannya. Sekalipun mereka mampu membacanya, sangat sulit untuk menemukan penjelasan mengenai hal yang mereka baca.
Untuk memperbaiki keadaan, salah satu raja di Tibet Barat mengirim beberapa murid pemberani ke India untuk mengundang seorang guru besar agama Buddha ke Tibet bersama mereka. Mereka harus menempuh perjalanan dengan berjalan kaki, belajar berbagai bahasa, dan menyesuaikan diri dengan cuaca. Banyak dari mereka yang meninggal, entah itu di perjalanan atau begitu mereka sampai di India. Tapi, di samping semua itu, mereka berhasil mengundang Atisha, guru besar dari India, untuk ikut ke Tibet. Hal yang Atisha ajarkan selama beberapa tahun di Tibet utamanya adalah perlindungan dan karma. Malah, ia dikenal sebagai "Lama Perlindungan dan Karma." Itulah julukan yang orang Tibet berikan kepadanya.
Contoh Atisha masih erat kaitannya dengan keadaan sekarang ini. Saat ini juga masih ada banyak kebingungan mengenai ajaran Buddha dan lakunya secara sehari-hari. Masih banyak pula kesalahpahaman mengenai tantra dan ajaran tingkat lanjut lainnya. Orang-orang langsung lompat ke laku tingkat lanjut ini dengan sedikit atau tanpa landasan ajaran Buddha tingkat dasar. Mereka membayangkan bahwa laku ajaran Buddha itu sama dengan pelaksanaan upacara gaib. Dengan meremehkan adanya dan pentingnya perlindungan, serta perbedaan yang tercipta darinya di kehudupan kita sehari-hari, mereka jadi kehilangan pokoknya.
Apapun keadaan kehidupan kita, laku Buddha dimaksudkan sebagai upaya kita terhadap diri sendiri, mencoba memperbaiki diri untuk menjadi orang yang lebih baik. Ia bukan kegiatan sampingan, seperti hobi atau olahraga, yang mungkin dilakukan selama setengah jam sehari, sekali seminggu setelah pulang kerja, sebentar saja bilamana kita sedang lelah sekali. Laku Buddha merupakan suatu hal yang bersifat makarya, yang kita coba lakukan sepanjang waktu - selalu mengupayakan diri kita sendiri. Artinya, kita berupaya mengenali sifat buruk maupun sifat baik kita, dan selanjutnya mempelajari langkah-langkah untuk melemahkan daya si sifat buruk dan memperkuat daya si sifat baik. Tujuan puncaknya adalah membebaskan diri dari semua sifat buruk dan mewujudkan sepenuhnya semua sifat baik kita. Hal ini bukan demi keuntungan kita saja, walau tentunya kita akan memetik manfaatnya: hidup kita jadi lebih bahagia. Melainkan juga demi manfaat bagi orang lain, dengan kita mampu mencipta dampak nyata saat menolong orang lain. Inilah inti laku Buddha. Yang mencirikan sebuah laku sebagai laku Buddha adalah cara-cara yang digunakan supaya mampu mencapai tujuan-tujuan ini, dan perlindungan berarti bahwa kita berpaling ke cara-cara tersebut dan menganutnya dalam menjalani hidup kita.
Perlindungan Tidak Bersifat Pasif
Perlindungan di bawah naungan Triratna - para Buddha, Dharma, dan Sangha - adalah pusat dari semua ajaran Buddha. Malah, berlindung menjadi satu-satunya garis pemisah yang membedakan mana penganut Buddha dan mana yang bukan. Singkatnya, Dharma menandakan cara mengupayakan diri sendiri dan tujuannya dapat kita semua capai; para Buddha adalah mereka yang telah mengajarkan cara ini dan memperoleh tujuan tersebut sepenuhnya; dan Sangha adalah mereka yang telah memperolehnya secara sebagian. Kata "Dharma" berarti "langkah-langkah pencegahan" – langkah-langkah yang kita ambil untuk mencegah terciptanya masalah bagi diri sendiri dan mungkin juga bagi orang lain. Dharma adalah langkah yang kita ambil untuk melindungi diri.
Meskipun istilah asli bahasa Sansekerta sharana biasanya diterjemahkan menjadi "perlindungan," yang berarti "lindungan" dan dapat pula digunakan untuk makna "tempat bernaung", kita perlu memahaminya dengan benar. Arti lainnya cocok dengan arti Dharma. Bukan berarti kita diam dan menyerahkan diri pada kuasa di luar diri kita yang akan memberikan perlindungan. Dalam lingkung Buddha, "berlindung" itu bersifat sangat giat; kita harus melakukan sesuatu untuk melindungi diri kita.
Coba timbang contoh yang sering digunakan guru saya ini. Misalkan sedang hujan dan ada gua di dekat kita. Jika kita cuma bilang, "aku mau berlindung di gua ini; aku akan masuk ke gua untuk berteduh," dan lalu hanya berdiri saja di luar sambil terus mengulang kalimat ini, kita tetap basah kuyup juga. Kita harus masuk ke dalam gua. Demikian juga, jika kita hanya berkata, "aku berlindung pada Buddha, Dharma, dan Sangha dan mencari tempat berteduh dari mereka" tapi nyatanya beranjak menuju mereka dan menjadikannya bagian hidup kita, hasilnya nihil juga. Kita perlu melaksanakan petunjuk mereka, untuk melindungi diri kita dari masalah. Itulah kenapa saya menggunakan istilah "haluan aman" dan "menempatkan haluan aman dalam kehidupan kita."
Kalau kita kembali ke perumpamaan tentang gua tadi, tidaklah cukup jika kita masuk ke dalam gua dan berdiri di sana berharap bahwa hanya dengan berada di dalam saja kita selamat dari semua masalah kehidupan, bukan hanya selamat dari guyuran hujan. Pokok terpentingnya ialah bahwa kita perlu terus mengupayakan diri untuk mencoba mendekati kesempurnaan yang Buddha, Dharma, dan Sangha tunjukkan. Bila kita pikir bahwa berlindung di bawah naungan Buddha, Dharma, dan Sangha itu saja cukup, maka dengan mudahnya kita bisa beranggapan bahwa Buddha akan menyelamatkan kita, mirip seperti gagasan Kristiani tentang sang juruselamat. Bila begitu, Buddha sama seperti Tuhan dan Sangha sama seperti para orang kudus. Lagipula, sebagian besar masyarakat Barat memang didasari pengaruh-pengaruh Kristiani. Dengan pemikiran seperti itu, kita berdoa supaya suatu kuasa ajaib secara mukjizat datang menyelamatkan kita. Bila diungkapkan dengan istilah Buddha, bisa berarti membebaskan kita secara mukjizat dari segala permasalahan dan duka.
Jika benar demikian, kita tinggal memakai nama Buddha dari bahasa Tibet, mengenakan benang merah, mendaraskan mantra ajaib, berdoa dengan tekun, dan kita akan diselamatkan. Apalagi kalau kita mendaraskan doa dan laku dalam bahasa Tibet, yang satu kata pun tidak kita ketahui artinya, kita lalu berpikir daya gaibnya bakal lebih dahsyat lagi. Seorang lama besar, Dzongsar Khyentse Rinpoche, baru-baru ini datang ke Berlin, tempat saya tinggal. Yang ia katakan begitu dalam maknanya. Ia berkata kalau orang Tibet harus mendaras semua laku mereka dalam bahasa Jerman, yang dialih-aksarakan ke huruf Tibet, dan mereka sama sekali tidak tahu apa yang mereka katakan, kira-kira berapa banyak orang Tibet yang mau betul-betul menjalankan ajaran Buddha. Tentu saja, semua orang yang mendengarnya tertawa. Tapi kalau kita renungkan, perkataannya itu sangat dalam, bukan? Sangatlah penting bagi kita untuk mengatasi semua kecenderungan untuk memahami perlindungan sebagai hal yang memberi kita jalan keluar gaib nan ajaib bagi permasalahan kita, dan bahwa kita tinggal berserah saja pada kuasa yang lebih tinggi.
Persoalan pokoknya di sini adalah: "Apa yang kuperbuat dengan hidupku?" "Apakah akan begini-begini saja, atau tidak?" Banyak dari kita menyadari bahwa hidup kita tidak ke mana-mana; hanya berputar-putar saja di lingkaran. Tidak perlu sampai bicara tentang kelahiran kembali, dan semua hal lain tentangnya, kehidupan kita yang sehari-hari saja ini tampak tidak ke mana-mana, seperti tak berujung. Mengapa kita hidup? Rasanya seperti keadaan yang menyedihkan, bukan? Bukan yang sangat membahagiakan. Oleh karenanya, kita mesti punya haluan yang berarti dalam hidup kita, semacam tujuan atau arah. Dan kita sendirilah yang mesti menetapkannya tersebut. Upaya ini giat sifatnya. Dengan tujuan dan arah yang berarti dalam hidup kita, kita jadi tahu apa yang kita perbuat. Rasanya sedikit lebih pasti, lebih aman, bukan?
Bertujuan Hidup yang Berarti
Tujuan macam apa yang dapat kita tetapkan dalam hidup kita? Biasanya kita memaknai tujuan itu dalam lingkung keadaan tak memuaskan yang saat ini kita alami dan ingin kita tinggalkan dengan menetapkan tujuan ini dalam hidup kita. Pada tingkat yang paling mendasar, kita bisa bilang bahwa setiap orang ingin bahagia, tak ada yang ingin tak bahagia. Ini semacam dalil kebenaran dalam ajaran Buddha dan memang ada kebenaran hayati di dalamnya. Kita ingin menghindari rasa sakit. Kita ingin menghindari duka. Kita ingin menghindari kesulitan. Bahkan serangga dan cacing pun menginginkannya, bukan? Itulah tujuan kita.
Pertanyaannya adalah seberapa banyak duka dan ketidakpuasan yang kita lihat? Apa tujuan yang kita sasar itu tidak sekadar mengatasi masalah itu saja, tapi juga berbagai masalah lain yang juga kita miliki? Contohnya, masalah kita adalah kemiskinan, kesulitan ekonomi, maka tujuan kita adalah cari pekerjaan bagus agar dapat uang banyak. Kalau bukan pekerjaan yang bagus, maka bisa saja jadi seorang penjahat handal dan cepat kaya. Apa pun itu, yang penting uangnya banyak. Tapi bila kita selidiki dan bicara dari hati ke hati dengan orang-orang kaya tentang hidup mereka, kita lihat bahwa sebenarnya mereka tidak mesti bahagia juga. Mereka akan selalu kurang uang. Tidak jadi masalah seberapa juta uangnya, mereka selalu mau lebih. Mereka tak pernah puas.
Saya lihat ini sangat menarik. Mereka ini orang-orang yang, katakanlah, hartanya semiliar dolar, tapi karena kesulitan ekonomi dunia, sekarang uangnya tinggal setengah miliar dolar. Mereka tidak lagi memberikan sumbangan atau ikut serta dalam segala macam kegiatan kedermawanan karena sekarang mereka hanya punya setengah miliar dolar dan mereka merasa tidak aman. Mereka merasa harus berhemat, dan kalau sudah jadi satu miliar lagi baru mereka akan membagikan kekayaannya dengan orang lain. Kemudian mereka selalu memantau laporan pasar saham dan selalu khawatir setiap hari kalau-kalau mereka akan kehilangan sebagian lagi dari uang yang mereka punya. Mungkin mereka juga terpaksa harus mempekerjakan pengawal pribadi dan petugas keamanan lainnya, karena takut orang lain akan mencuri harta benda dari rumahnya atau menculik anak-anak mereka. Ini lazim terjadi pada orang kaya di Amerika Latin. Selain itu, mereka tidak pernah betul-betul merasa bahwa orang lain baik terhadap mereka karena alasan apa pun selain demi mendapatkan uangnya. Mereka selalu curiga bahwa orang berlaku baik terhadap mereka cuma karena ingin uangnya saja. Tampak jelas di sini, kendati mereka tidak bermasalah dengan kemiskinan, tentu ada masalah lain yang timbul justru karena punya banyak uang.
Tujuan Duniawi Mudah Goyah
Ada banyak "tujuan duniawi" yang disebutkan dalam ajaran Buddha selain uang berlimpah. Akan tetapi, kata worldly ('duniawi') memiliki kesan makna negatif dalam bahasa Inggris dan cenderung menghakimi. Tapi bukan itu maksudnya. Guru saya, Serkong Rinpoche, menjelaskan bahwa dua suku kata dalam bahasa Tibet – jig-ten – yang diterjemahkan menjadi "duniawi" memperlihatkan kesan makna yang sebenarnya. Kedua suku kata itu menyiratkan suatu dasar (ten) yang akan hancur berantakan (jig). Jika kita mengarah ke tujuan yang akan hancur, maka jelas tujuan itu tidak akan membawa kebahagiaan yang langgeng. Justru hanya akan menambah masalah karena landasannya tidak kokoh.
Contohnya, misalkan tujuan hidup kita adalah memiliki keluarga yang bahagia, membesarkan banyak anak dengan harapan nantinya mereka akan menjaga kita saat kita tua, dan kita akan sangat bahagia dan terjamin. Tapi tidak selamanya sesempurna itu, kan? Contoh lainnya, berupaya keras agar bisa terkenal. Semakin kita terkenal, semakin orang mengganggu kita dan mencoba menyita waktu kita. Kita bisa melihat para bintang film yang bahkan tidak bisa keluar rumah kalau tidak mengenakan samaran sebab orang-orang mengerumuni mereka dan ingin mendapatkan potongan kain yang mereka pakai, atau benda-benda lain semacamnya. Seperti neraka saja rasanya menjadi bintang terkenal itu.
Bila kita lihat dengan sungguh-sungguh hidup kita ini, maka memiliki kenyamanan bendawi atau keakuran dengan orang-orang di sekitar kita saja tidak akan betul-betul mampu membantu kita mengatasi semua permasalahan hidup. Ini semua karena kalau kita masih memiliki kemarahan, kemelekatan, keserakahan, kecemburuan, kesombongan, kelaguan dan semacamnya, maka kita akan tetap mengalami masalah, tidak peduli seberapa berhasil kita secara "duniawi".
Perasaan Gelisah
Ajaran Buddha bicara dalam lingkung kehidupan yang akan datang dan membahas segala duka dan hal-hal mengerikan yang dapat terjadi pada kita di kehidupan mendatang ketika kita masih memiliki "perasaan gelisah", berperilaku gandrung di atas perasaan tersebut dan menumpuk daya negatif. Cara ajaran Buddha menyajikan perihal ini menjelaskan betapa buruk dan harus dihindarinya hal ini jika kita tahu apa yang baik bagi kita, karena daya negatif membawa masalah dan ketakbahagiaan.
Tapi karena kebanyakan orang Barat tidak percaya akan kehidupan yang akan datang atau tidak meyakininya, maka kita bahas saja pokok ini dalam kerangka masahidup yang ini saja. Jika kita lihat hidup kita sekarang, dan kita selidiki secara mendalam, kita dapati bahwa sumber sebenarnya dari masalah perasaan kita berasal dari dalam. Anasir luar hanya unsur-sebab pemicu saja. Malah, perasaan gelisah kitalah, seperti - kemarahan, kemelekatan, keserakahan, dan seterusnya - yang merampas kedamaian cita dan kebahagiaan kita. Semua itu menghalangi kita dalam menggunakan sifat-sifat baik yang kita punya. Kita mungkin mencoba menolong seseorang, dan ini sifat yang baik, tapi setelahnya kita marah kepadanya. Kita mencoba memberi nasihat yang baik, tapi mereka tidak menerimanya atau malah membantah kita sehingga kita kehilangan kesabaran. Perasaan gelisah ini menghalangi kita untuk betul-betul menolong orang lain.
Perkaranya jadi pelik lagi khususnya jika ini terjadi anak-anak kita, kita kehilangan kesabaran lalu marah kepada mereka karena kita pikir kita tahu yang terbaik bagi mereka tapi mereka tidak melakukan yang kita katakan. Hal ini membuat hubungan dengan anak-anak kita jadi renggang, bukan begitu? Yang penting untuk disadari adalah kalau kita mendiamkannya saja, maka ia akan jadi semakin buruk. Mungkin kita sedikit melunak karena tambah tua dan tidak semenggebu-gebu di masa muda, tapi bukan berarti kemarahan dan perasaan sejenisnya itu menghilang sendiri. Perasaan gelisah tidak usang dimakan waktu.
Istilah yang digunakan dalam ajaran Buddha tentang hal yang perlu kita atasi sehubungan dengan semua kemungkinan itu adala 'rasa takut' (fear). Tapi "rasa takut" adalah sebuah kata yang sulit di sebagian besar bahasa kita. Kata ini tidak punya nama baik. Kadang saya lebih suka kata "enggan" (dread) tapi kata ini tidak mudah diterjemahkan ke bahasa lain. "Enggan" memiliki kesan makna seperti "aku tak ingin ini terjadi." Contohnya, kita harus menghadiri rapat yang sungguh membosankan di tempat kerja. Bukan karena kita takut datang ke rapat, namun kita enggan menghadirinya. Kita tak betul-betul ingin melakukannya.
Tapi agar lebih persis, kita perlu membedakan dua macam rasa takut: rasa takut akan kelahiran kembali, rasa takut akan hari tua yang sengsara, atau rasa takut akan apa aja. Ada rasa takut yang membuat kita tidak melihat adanya jalan keluar, dan kita merasa tak berdaya dan putus asa. Rasa takut semacam ini membuat kita seakan lumpuh, bukan? Saya pikir ini jenis rasa takut yang tidak sehat, meskipun kita sering mengalaminya. Akan tetapi jenis rasa takut yang kita bahas dalam lingkung perlindungan ini agak berbeda, karena kita melihat ada cara untuk menghindari masalahnya. Oleh karenanya, tidak ada putus asa, dan kita bukan tak berdaya sama sekali. Tetapi, seperti yang saya katakan tadi, bukan berarti akan ada kekuatan gaib yang akan menyelamatkan kita dari keadaan menakutkan, dan kita berdoa tinggal dengan cukup khusyuk lalu kita dibebaskan dan diselamatkan dari rasa takut kita.
Maksud pokoknya adalah bahwa kita bisa melindungi diri kita sendiri. Apa yang akan memampukan kita menghindari semua masalah yang kita hadapi dalam hidup? Apa yang menjadikannya mungkin? Dalam lingkung terluasnya, semua perasaan gelisah yang menyebabkan masalah ini – kemarahan, ketamakan, kemelekatan kita, dsb. – bersumber dari kebingungan akan kenyataan. Semua perasaan gelisah ini sebenarnya bukan fitur bawaan cita. Perasaan-perasaan tersebut dapat dihilangkan selamanya, dan tak pernah muncul lagi. Permata Dharma menunjukkan bahwa semua perasaan gelisah itu dapat "benar-benar dihentikan".
Cita atau Kegiatan Batin
Bila kita bicara tentang cita dalam ajaran Buddha, secara garis besarnya, kita sebetulnya sedang bicara mengenai kegiatan batin. Cita adalah kegiatan batin pribadi dari waktu-ke-waktu yang terjadi meskipun kita sedang tidur. Cita mengacu pada segi pengalaman subyektif dari kegiatan batin tersebut; dan ilmu pengetahuan otak menggambarkan dasar fisiologisnya. Pada kedua sudut pandang itu, sifat dasar kegiatan batin tersebut seharusnya bukanlah suatu hal yang kemudian merancukannya, atau amarah, atau sejenisnya. Pada dasarnya, yang terjadi di setiap saat kemunculan suatu hal yang dapat kita gambarkan sebagai hologram batin. Contohnya, dari sudut pandang ragawi, foton masuk ke mata dan diterjemahkan ke dalam semacam denyut listrik masuk ke otak melalui penyalur-saraf, lalu otak bekerja membuat hologram batin darinya. Kita menyebutnya "melihat" sesuatu, bukan begitu? Tentu saja, hasilnya yang terjadi pada sel mata manusia akan sangat berbeda bila dibandingkan dengan sel mata laba-laba atau lalat. Demikian pula, lewat suatu proses serupa yang melibatkan getaran yang kita sebut "gelombang suara", kita mengalami pendengaran. Hologram batin dapat merupa pada indera apa saja atau bahkan dalam bentuk pikiran saja.
Dalam hal melihat, prosesnya tidak sama seperti foton yang masuk ke kamera dan diterjemahkan menjadi denyut-denyut listrik untuk kemudian mencipta gambar. Tidak sama persis karena kemunculan hologram batin akan sesuatu juga mengandung semacam "keterlibatan pengetahuan" di dalamnya. Terjaga atau tidak terjaga, sadar atau tidak sadar, tetap pengetahuan terlibat di dalamnya.
Kegiatan batin juga tidak sama dengan komputer. Kita menekan beberapa tombol kecil lalu denyut-denyut listrik masuk ke mesin, dan mesin menerjemahkan masukan ini ke dalam sebuah gambar yang muncul di layar atau suara di pengeras suara. Kita bisa bilang komputer punya kesadaran pengetahuan karena dengan kecerdasan buatan ia mampu mengolah keterangan. Tapi, komputer tidak sama dengan makhluk hidup. Di samping itu, yang membedakan kita dari komputer adalah bahwa kita mengalami kebahagiaan atau ketakbahagiaan yang berkaitan dengan kegiatan batin kita. Komputer tidak. Komputer tidak merasa bahagia atau tak bahagia karena apa pun juga. Komputer tidak berpikir, "Ya ampun, aku baru saja mengalami galat, dan ketika aku menyala ulang, aku menghapus berkas yang sedang aku kerjakan" dan merasa sedih karenanya. Tidak seperti itu, kan? Di lain pihak, kita bisa jadi sangat tidak senang kalau hal semacam itu terjadi pada kita.
Kegiatan batin dari saat-ke-saat inilah yang terjadi dalam setiap kejap hidup kita. Ada semacam hologram batin, semacam keterlibatan batin dengannya, dan semacam rasa bahagia atau tak bahagia. Bahkan ketika kita sedang tidur, hologramnya dapat berupa kegelapan dan keterlibatannya dapat berupa keadaan kita yang tidak sadar. Tapi, tetap masih ada sedikit kesadaran; kalau tidak, kita tidak akan pernah mendengar suara jam weker. Jadi ia tidak sepenuhnya padam. Ada semacam rasa, sekalipun hambar, bukan bahagia bukan pula tak bahagia. Ketika kita sedang bermimpi, perasaan bahagia atau tidak bahagia, beserta amarah, ketamakan, dan sejenisnya terlihat jelas di sana. Tapi perasaan-perasaan gelisah ini tidak harus menjadi bagian dari keseluruhan proses yang terjadi dari saat ke saat ini.
Tentu saja ada banyak sekali garis berpikir rumit yang bisa kita lalui agari jadi semakin yakin dengan kemurnian dasar kegiatan batin kita. Tapi ini bukan saatnya. Kendati demikian, semakin kita memikirkannya, semakin kita yakin bahwa menyingkirkan semua hal pengusik kegiatan batin kita itu mungkin.
Lagi pula, pengertian perasaan gelisah adalah sesuatu yang, ketika muncul, menyebabkan kita kehilangan kedamaian cita dan kendali diri. Akibatnya, kita berlaku gandrung secara serba gelisah karena amarah, ketamakan, dan seterusnya, dan justru cuma mencipta banyak masalah lagi. Contohnya, kita hilang kendali dan membentak seseorang, melontarkan ujaran-ujaran tanpa berpikir dulu dan kemudian kita menyesali perkataan kita itu. Walau bagaimanapun juga, tindakan ini membina "daya negatif" yang membuat kita kelak merasa tak bahagia.
Kalau kita betul-betul ingin menghindari masalah di masa mendatang, kita perlu menyingkirkan semua perasaan gelisah dan kebingungan ini. Sangatlah mungkin bagi kita untuk menyingkirkannya karena semua itu bukan sifat bawaan cita, kegiatan batin kita. Selain itu, kalau kita dalami lagi jenis kegiatan batin yang kita alami setiap saat ini, salah satu fitur luar biasanya adalah bahwa kegiatan batin ini bisa memahami berbagai hal. Kita bisa memahami sesuatu. Kita juga bisa memiliki sifat positif lainnya, seperti kasih, welas asih, dan seterusnya. Sifat-sifat positif ini merupakan sesuatu yang dapat terus dikembangkan.
Lalu apa bedanya? Segi-segi gelisah berasal dari kebingungan. Segi-segi positif, seperti kemampuan memahami, berasal dari kenyataan. Contoh sederhananya begini: Kebingungan dapat berupa, "Akulah pusat semesta. Aku adalah yang paling penting. Aku mau semua sesuai kehendakku. Aku harus selalu menjadi pusat perhatian," dan seterusnya. Oleh karenanya, ketika kita bukan pusat perhatian dan segala hal tidak sesuai dengan kehendak kita, kita akan marah. Seperti seekor anjing, kita akan menggongong atau menggeram pada seseorang. "Kau tidak melakukannya sesuai keinginanku." Semua itu berdasar pada kebingungan. Kenyataannya kita semua di sini dan kita semua setara. Setiap orang ingin berkehendak sendiri-sendiri, tapi itu tak mungkin terjadi. Kenyataannya kita semua harus belajar hidup dengan semua orang lain.
Penghentian Sejati
Semakin kita selidiki, semakin kita melihat bahwa kebingungan kita itu tidak kokoh. Ia palsu. Kebalikannya, pemahaman yang benar adalah sesuatu yang dapat dibuktikan. Ia sejati. Karena itu, pemahaman itu lebih kuat dan bisa melebihi kebingungan. Jika, dengan pemusatan perhatian dan sila, kita bisa memperoleh pemahaman yang benar akan kenyataan setiap saat, maka kebingungan tidak akan pernah punya kesempatan untuk muncul lagi. Ia habis.
Ini adalah titik inti perlindungan. Haluan seperti apa yang kita tetapkan dalam hidup kita? Arti yang seperti apa? Tujuan seperti apa yang kita maui? Tujuannya adalah untuk mencapai "penghentian sejati" dari semua kebingungan ini, menyingkirkannya sampai bersih agar tidak muncul kembali. Kebingungan inilah sebab sesungguhnya dari permasalahan kita, baik di masahidup sekarang atau mendatang. Sangat mungkin bagi kita untuk menghilangkannya sepenuhnya, selamanya, karena ini bukan fitur bawaan kegiatan batin kita. Ia bisa disingkirkan oleh pemahaman benar sebagai gantinya. Dengan menghilangkan kebingungan, kita tidak lagi memiliki perasaan gelisah dan tidak lagi mencipta masalah dan duka pada diri kita.
Ada dua segi di sini. Yang pertama kita bisa menyingkirkan semua sisi gelisah ini selamanya, dan yang kedua kita dapat meningkatkan dan mengembangkan sisi yang positif. Sisi positif ialah pemahaman yang benar. Kita bisa menempatkan ini dalam lingkung yang biasa diterjemahkan sebagai "Empat Kebenaran Mulia", tema atau pranata utama dari yang Buddha ajarkan. Kebenaran yang pertama adalah bahwa kita memiliki duka sejati, yang mengacu ke berbagai masalah yang kita punya. Berikutnya adalah sebab-sebab sejati, yaitu kebingungan kita. Yang ketiga adalah bahwa mungkin bagi kita untuk mencapai penghentian sejati atas semua ini agar tidak pernah muncul kembali. Terakhir, kita mencapai penghentian sejati melalui "jalan sejati". Tapi, dalam menggunakan kata "jalan" ini, kita perlu memahaminya sebagai "cara memahami yang berlaku sebagai jalan". Pemahaman inilah yang akan membawa kita pada penghentian sejati, dan pemahaman ini muncul dari penyingkiran semua unsur gelisah tadi.
Jelasnya, inilah haluan yang ingin kita tetapkan dalam hidup kita – haluan menuju pencapaian penghentian sejati dan cita jalan sejati. Inilah Perlindungan Dharma. Saat kita bilang kita mengupayakan diri, saat kita menggunakan istilah itu, ke hal inilah ia mengacu.
Kita mencoba untuk semakin menghilangkan sisi gelisah ini dan semakin mewujudkan daya kita untuk sisi positif ini. Kita melakukannya karena kita takut, takut yang sehat, bahwa kalau kita melanjutkan cara hidup yang sekarang, kendati kita punya banyak uang, banyak teman, dan sangat terkenal, tetap saja kita punya masalah. Ini karena kita masih tamak dan merasa tidak aman. Kita masih bisa marah dan seterusnya. Kita takut akan hal itu, tapi kita melihat ada cara untuk menghindarinya. Sama seperti kita takut terbakar tapi bisa menghindari rasa sakitnya kalau kita berhati-hati. Ada rasa takut, tapi rasa takut yang sehat. Ini bukan soal paranoia.
Kita melihat kalau kita terus marah dan suka membentak, khususnya kepada kerabat dan kawan kita, apa yang akan terjadi kala kita tua nanti? Kita akan jadi kakek atau nenek kesepian yang tidak seorang pun mau mengunjungi atau menjaga, sebab tak ada orang yang tahan dekat dengan kita. Siapa yang akan tahan dengan kita kalau kita selalu mengomel dan membentak? Tak seorang pun mau. Jalan keluarnya bukan cuma dengan punya banyak anak yang akan merasa wajib menjaga kita nanti, atau memiliki uang banyak di bank bisa tinggal di rumah jompo yang nyaman, karena kita masih tetap saja merana. Dalam bahasa sederhananya, hal yang perlu betul-betul kita lakukan adalah memperbaiki kepribadian kita.
Setiap Orang Bisa Berubah
Betapa seringnya kita berpikir bahwa kepribadian kita itu sudah tetap dan memang seperti itulah kita adanya. "Aku ini pemarah dan kau sebaiknya membiasakan diri saja." Tidak akan berhasil, bukan? Mungkin bagi kita untuk menyingkirkan semua sisi gelisah dan mewujudkan semua sifat baik kita. Dari rasa takut yang sehat atas apa yang akan terjadi kalau kita tidak mengupayakan diri, ditambah rasa percaya diri bahwa menyingkirkan semua segi gelisah ini dan meningkatkan serta memperkuat segi yang positif itu mungkin, kita kemudian menetapkan haluan aman ini dalam hidup kita.
Kalau kita ingin menjalankan cara "Mahayana", atau Wahana Besar, kita tambahakan welas asih ke dalamnya. Pada dasarnya, dalam pemahaman Mahayana, kita bertanya: bagaimana mungkin kita bisa menolong orang kalau kita marah kepada mereka? Kita ingin betul-betul mampu menolong orang lain dan kita betul-betul takut bila nantinya malah jadi kacau karena kita marah, melekat, cemburu, dan seterusnya kepada mereka. Kita harus menyingkirkan semua perasaan gelisah dan kebingungan ini agar bisa menolong orang lain dengan baik. Perasaan inilah yang kita inginkan agar mampu menolong orang lain, tapi kita takut tak bisa berbuat banyak. Kita tidak cukup sabar, atau kita tidak punya pemahaman yang cukup. Kita takut malah nanti kita membuat lebih banyak kerugian daripada kebaikan. Mungkin kita bahkan takut gagal membesarkan anak kita sendiri. Pasti akan buruk sekali jadinya, bukan? Rasa takut itulah yang membuat kita menetapkan haluan yang aman dan benar dalam mengupayakan diri di hidup kita ini.
Sebenarnya, karya Dharma ini sangat relevan bagi hidup kita sehari-hari. Dalam hal perlindungan, kita jujur dengan keadaan dan permasalahan kita. Kita semua memilikinya. Kita semua memiliki perasaan gelisah ini. Biasa saja. Kita semua mengalami perasaan sulit, walau ada yang lebih kuat dari yang lain dengan segala ragam-macamnya. Tapi bukan orang yang mengalami gangguan kejiwaan parah yang sedang kita maksudkan di sini. Kita sedang bicara tentang hal yang dianggap normal oleh sebagian besar orang. Tapi pada anggapan normal itulah justru terletak bahayanya; kita jadi kadang marah, kadang tamak, kadang mementingkan diri sendiri, iri, dan seterusnya. Kita berpikir itu wajar dan baik-baik saja. Kenyataannnya, tidak baik-baik saja karena masalah timbul dari situ, baik bagi diri kita maupun bagi orang lain yang sedang coba kita tolong.
Tujuan kita bukan sekadar belajar untuk hidup dengan rasa marah atau mengekangknya saat amarah itu membara dalam hati. Tujuan kita bukan sekadar melemahkannya, tapi menyingkirkan semua hal yang pengusik itu sampai tak bersisa. Kita tidak ingin sekadar mengembangkan pemahaman kita sedikit-sedikit saja, tapi mengembangkan pemahaman menyeluruh akan kenyataan, mengetahui bagaimana kita ada, bagaimana setiap orang ada, bagaimana dunia ini ada, dan memiliki semuanya itu setiap saat. Hal ini sepenuhnya mungkin terjadi, karena sifat kegiatan batin itu pada dasarnya murni dan semua daya sifat baik sebetulnya ada di sana.
Makna Terdalam Buddha, Dharma, dan Sangha
Jika kita melihat makna terdalam Buddha, Dharma, dan Sangha, kita temukan bahwa makna terdalam Dharma adalah penghentian sejati dari semua kebingungan ini, serta penyadaran sejati atau jalan atau jalan cita sejati di atas kesinambungan batin. Inilah Dharma yang sebenarnya. Inilah yang akan melindungi kita dari duka bila kita meraihnya di dalam kesinambungan batin kita sendiri. Kita bisa mencapai tataran ini dengan menghilangkan segala kebingungan, perasaan gelisah, sikap, serta masalah dan memperoleh semua penyadaran di dalamnya sepenuh-penuhnya. Para Buddha adalah mereka yang telah sepenuhnya mencapai hal ini dan mengajarkan kita cara mencapainya sendiri. Sangha sebenarnya mengacu pada mereka yang dikenal sebagai "Arya Sangha," pelaku rohani tingkat lanjut yang berkesadaran amat tinggi yang telah mencapai beberapa, tapi tidak semua, dari penghentian dan penyadaran sejati ini. Nah, sebenarnya ada banyak tingkatan dan derajat kebingungan yang perlu kita hilangkan dan banyak tingkat penyadaran yang semakin kuat yang menjadi lawannya. Proses menyingkirkan semua kebingungan dan perasaan gelisah itu terjadi secara bertingkat. Arya Sangha belum sampai pada menghilangkan itu semua secara keseluruhan, baru beberapa saja, dan masih akan mencapai lebih lagi.
Dalam kehidupan kita sehari-hari, para Buddha dan Arya Sangha, semua guru besar India dan Tibet dari zaman dahulu, dan beberapa di masa kini, sangat mengilhami. Ini memberi kita harapan besar. Kita melihat atau bertemu seseorang yang mengilhami seperti Yang Mulia Dalai Lama. Bagaimana ia bisa jadi seperti itu? Lewat Dharma. Perkara ia Buddha atau belum menjadi Buddha tidaklah penting. Jika kita bisa sepertinya, itu sudah bagus. Ini bukan cuma soal kemampuannya mengajar apa pun dalam bidang Dharma, atau bahwa di antara guru lain mana pun ia yang paling ahli, paling terpelajar, dan yang paling mendalam. Bukan juga hanya soal jadwal yang ia ikuti, dan perjalanannya yang terus-menerus keliling dunia guna mengajar dan membantu orang lain, dan semuanya itu. Tapi, di atas semua itu, ia merupakan musuh masyarakat nomor satu di Tiongkok. Bisa Anda membayangkan seperti apa rasanya kalau ada semiliar orang menganggap Anda sebagai si jahat, dan melakukan segala macam perbuatan mengerikan terhadap masyarakat Anda, tapi Anda masih memiliki kasih dan welas asih kepada mereka? Iia tidak kesal, dan masih bisa melakukan apa pun yang ia lakukan dengan cita yang bahagia dan damai. Sulit dipercaya, kan? Bagaimana mungkin kita bisa melakukannya kalau kita belum menyingkirkan perasaan gelisah ini dan telah memperoleh penyadaran? Sangatlah tidak mungkin. Perkara ia sedang di jalannya menjadi Buddha atau tidak itu tidak penting.
Kita mungkin tidak mampu memahami semua sifat-sifat sang Buddha sendiri, tapi setidaknya kita bisa melihat sifat-sifat seseorang seperti Yang Mulia Dalai Lama. Sangat mengilhami. Jika seseorang sepertinya mampu mencapai tingkat pemerolehan ini, maka, mengingat cita alami itu murni dan punya segala daya yang diperlukan, tidak ada alasan kita tidak mampu melakukannya juga. Tidak ada alasan setiap orang tidak bisa melakukannya. Tentu saja kita harus berupaya keras, tapi beranjak menuju arah tersebut mungkin dilakukan dan hasilnya sepadan. Jika Dalai Lama disamakan dengan Buddha, maka beberapa lama besar sekarang yang sedang mengajar, mungkin mereka tidak memiliki semua sifat atau mutu seorang Dalai Lama, namun sama dengan Sangha, mereka memiliki beberapa dari sifat atau mutu ini. Itu juga sangat mengilhami.
Apa yang sama-sama dimiliki Dalai Lama dan para guru besar lainnya? Mereka telah menyingkirkan, dalam derajat yang berbeda-beda, amarah, ketamakan, kebencian, rasa iri, dan sejenisnya. Mereka telah mencapai sifat yang luar biasa baik seperti pemahaman, welas asih, kesabaran, dan sebagainya. Kita melihat ada beragam tingkatan yang bisa dicapai oleh para lama ini. Seperti yang saya katakan, mereka ini merupakan contoh yang jauh lebih hidup (jika kita berkesempatan mengenalnya) daripada hanya memikirkan Buddha, atau Milarepa, dan contoh sosok lain dari zaman dahulu, yang mungkin lebih sulit untuk kita kaitkan dengan diri kita. Kita mungkin merasa itu semua cerita yang bagus, tapi apakah kita benar-benar percaya bahwa orang yang seperti itu ada? Kita membaca bahwa Guru Rinpoche dilahirkan dari bunga teratai dan dapatkah kita benar-benar mempercayainya? Itu sangat sulit untuk dipahami. Sebaliknya, kita bisa memusatkan perhatian pada hilangnya sifat-sifat negatif dan hadirnya sifat-sifat yang positif, sebagaimana yang dicontohkan oleh Dalai Lama dan para guru besar ini, yang seperti Buddha dan Sangha masa kini. Kita menyadari bahwa kita pun mampu melakukannya. Inilah Dharma, dan penghentian sejati dan cita jalan sejati ini merupakan tujuan yang dapat dicapai. Sangat mungkin bagi kita untuk melakukannya dan ini semua memberikan haluan yang aman, mantap, dan bermakna yang bisa kita tetapkan dalam hidup kita.
Perlindungan atau Haluan Aman dalam Kehidupan Kita Sehari-hari
Pada tingkat makarya, apa arti menetapkan arah Buddha, Dharma, dan Sangha ini dalam hidup kita? Artinya, kita senantiasa mengupayakan diri. Dalam melakukannya, bila misalnya kita kesal, marah, atau bertindak mementingkan diri sendiri, kita jadi semakin sadar akan semua hal itu. Kita memperhatikannya. Namun bukan berarti kita merutuki diri dan menghukum diri sendiri dengan berpikir, "Aku ini orang yang jahat sekali karena masih saja aku marah." Tentu saja bukan seperti itu, dan bukan juga pemikiran yang sebaliknya: bahwa ini semua wajar saja. Kalau seperti itu, kita jadi cuma tahu saja, tapi berpikir, "Lalu kenapa? Aku akan terus seperti itu." Bukan begitu juga. Namun hanya dengan menyadari semua perasaan gelisah ini dan menganggapnya sebagai hal yang ingin kita singkirkan itu saja sudah akan melemahkan daya negatifnya.
Tapi yang jadi pokok adalah, di dalam hidup kita sehari-hari, ketika hal-hal negatif ini muncul dan kita memperhatikannya, hal paling baik yang perlu kita lakukan adalah mempelajari beberapa cara untuk mencoba mengatasinya. Kita perlu sadar bahwa kalau kita marah, kita mesti mengembangkan kesabaran. Jika ada orang berperilaku buruk terhadapku, itu berarti mereka sangat tidak bahagia. Ada hal yang membuat mereka gelisah. Daripada marah kepada mereka, berwelas-asihlah.
Jelasnya, di satu sisi kita tidak marah pada diri kita karena kita marah. Di sisi lain, kita tidak memperlakukan diri sendiri seperti bayi dengan mengatakan bahwa semua itu tidak apa-apa atau bukan masalah. Tapi, kita mencoba melakukan yang terbaik untuk mengatasi kemarahan kita, karena kita menyadari bahwa ini mungkin dilakukan. Mungkin kita tidak dapat menyingkirkannya dengan cepat, dan memang kita tidak akan mampu, tapi inilah haluan yang ingin kita upayakan sepanjang hidup kita. Kita akan melakukannya karena kita tahu bahwa sebenarnya kita mampu menyingkirkan hal ini. Mengarah ke tujuan ini bukanlah usaha yang sia-sia, yang berhenti sampai di tataran pikiran saja.
Ketika kita menghadapi keadaan sulit dan kita memiliki sedikit kesabaran atau pemahaman, atau sedikit rasa baik hati, kita perlu menyadari bahwa hal ini dapat ditingkatkan. Kita bisa membuatnya semakin kuat. Sangat mungkin bagi kita untuk melakukannya. Ada orang yang berhasil melakukannya maka kita pun juga. Kita dan orang lain sama saja, tak ada perbedaan yang istimewa. Inilah perlindungan kita, haluan aman kita dalam hidup, karena semakin mendekat ke arah ini, semakin kita selamat dari persoalan dan permasalahan.
Ringkasan
Kita perlu memahami apa arti perlindungan, haluan aman ini, dan mengapa kita mesti menerapkannya di dalam hidup kita. Perlindungan dianggap sebagai hal yang terpenting, yang paling mendasar dalam laku Buddha. Banyak orang cenderung menyepelekannya, dan itu sangat disayangkan. Kita terapkan haluan ini atau tidak dalam hidup kita, di situlah terletak perbedaan yang paling berarti dan terbesar. Perlindungan bukan sekadar mengikuti upacara, memotong sedikit rambut, memakai nama Tibet, dan mengenakan seutas benang merah di leher, lalu berarti kita telah bergabung dengan perkumpulan sesama penganut Buddha. Kalau demikian, itu sama saja menyepelekan seluruh maknanya dan membuatnya menjadi tak berarti.
Pertanyaan yang perlu kita ajukan kepada diri adalah: "Sebagai orang yang telah berlindung dan penganut Buddha, apakah aku telah betul-betul menetapkan haluan ini hidupku? Apakah ada artinya di hidupku selain sekadar ikut gabung ke perkumpulan sesama penganut Buddha saja? Jika berlindung ini belum memunculkan perbedaan berarti dalam hidup kita, maka inilah hal yang mesti kita upayakan. Mencoba mengikuti laku yang lebih lanjut tanpa landasan ini kemungkinan besar tidak akan membawa keberhasilan apa pun juga.