Tinjauan Pokok-Pokok Utama Lam-rim
Lam-rim terbagi ke dalam tiga lingkup, yang masing-masing punya tataran cita yang berlaku sebagai jalan yang memampukan kita mencapai pencerahan. Pranata ini pertama sekali dirumuskan oleh Atisha, mahaguru dari India yang hidup di abad kesebelas, yang penting perannya dalam membawa Dharma kembali ke Tibet dari India untuk kedua kalinya. Ia menyajikan ajarannya dalam naskah berjudul Suluh Bagi Jalan Menuju Pencerahan (Skt. Bodhipatha-pradipa).
Aliran Kadam berasal dari Atisha. Seiring berjalannya waktu, aliran ini terpecah dan diubah-ulang oleh Tsongkhapa, dan menjadi Gelug. Aliran Kadam telah memengaruhi aliran-aliran lain juga, karena lojong, atau ajaran latihan cita, diajarkan secara luas dan memang utamanya berasal dari silsilah Kadam. Contoh lain pengaruh Kadam dapat dilihat pada Gampopa, yang mengawali perkembangan begitu banyak aliran Kagyu, yang dikenal sebagai mahaguru yang menggabungkan aliran Kadam dan Mahamudra.
Atisha memperoleh gagasan soal bagan lam-rim dari satu baris dalam Memasuki Perilaku Bodhisattwa (I.4) karya Shantidewa, tertulis,
Usai memperoleh raga yang lega dan kaya, begitu sulit didapat, yang mampu memenuhi keinginan setiap makhluk, jika, di masahidup yang sekarang ini, tidak kuwujudkan manfaatnya, bilakah lagi datangnya anugerah nan sempurna seperti ini?
Atisha menguraikan bahwa setiap orang mengacu pada tiga tingkat orang dari tiga lingkup ini.
Lingkup mula meliputi pokok-pokok bahasan mengenai hubungan yang sehat dengan guru rohani, kelahiran kembali sebagai manusia yang berharga, kematian dan ketaktetapan, duka tiga alam yang lebih buruk, berlindung dan haluan aman, sifat-sifat Buddha, Dharma dan Sangha, pembahasan karma dan upaya menghindari perilaku merusak.
Lingkup madya menyajikan duka tiga alam kelahiran kembali yang lebih tinggi, sekaligus duka samsara atau kelahiran kembali yang berulang tanpa terkendali. Tercakup di dalamnya penyajian tentang perasaan gelisah, anasir-anasir batin di dalam lingkung empat kebenaran mulia, dan sebab sejati duka. Ada pula penjelasan khusus dan terperinci mengenai 12 tautan kemunculan-bergantung, dan betapa perasaan gelisah itu memunculkan kebenaran mulia yang pertama: duka sejati. Kemudian disajikan tiga latihan lebih tinggi dalam sila, pemusatan, dan kesadaran pembeda, sebagai cara keluar dari samsara dan memperoleh kebebasan. Selain itu, ada juga pembahasan sumpah biksu dan orang awam yang termasuk dalam rangka sila yang lebih tinggi. Semua ini masuk ke dalam kerangka kerja batin penyerahan (tekad untuk bebas) dan merupakan lingkup dorongan madya.
Untuk lingkup lanjut, ada ajaran tentang cara-cara mengembangkan tujuan bodhicita. Ada meditasi sebab dan akibat 7-bagian, yang bertolak dari keseimbangan batin dan mengenali setiap insan sebagai ibu kita di masa lalu. Cara kedua adalah menyetarakan dan menukar sikap kita terhadap diri dan sesama, termasuk laku "tonglen", memberi dan menanggung. Tsongkhapa menyajikan tata cara meditasi 11-bagian untuk menggabungkan kedua cara mengembangkan tujuan bodhicita ini. Ada pula penyajian mengenai mengambil sumpah bodhisattwa, dan penjelasan tentangnya. Ada laku 6 sikap menjangkau-jauh, dengan penyajian yang amat luas tentang cara mencapai kemantapan batin menjangkau-jauh atau pemusatan melalui perolehan shamatha, tataran cita yang tenang dan diam. Uraian kesadaran pembeda menjangkau-jauh disajikan dalam rangka ajaran tentang cara mengembangkan vipashyana, tataran cita yang tanggap luar biasa. Semua ini ada di dalam lingkup lanjut dari ajaran tersebut.
Dapat kita lihat dari tinjauan ringkas ini bahwa ajaran lam-rim mencakup sejumlah besar bahan, yang semuanya masuk dalam ranah ajaran sutra, kalau kita mengelompokkannya dalam sutra dan tantra. Sebagian tingkat kecakapan di dalam semua bidang ini merupakan prasyarat mutlak untuk laku tantra, dan semua aliran Buddha Tibet sepakat mengenai pokok gagasan ini.
Pokok-Pokok yang Dicakup di dalam Lam-rim Ada di Semua Aliran Tibet
Tidak mungkin saya masuk ke setiap pokok yang saya urutkan ini dengan segala perincian reniknya, dan ada banyak naskah lain yang menyajikan bahan ini dengan pembahasan yang berbeda-beda panjangnya dan dengan jumlah kutipan kitab dari sumber-sumber India yang berbeda-beda untuk mendukung ajaran dan arahan ini. Corak terbesarnya ditulis oleh Tsongkhapa dan disebut Lam-rim chen-mo, atau Penyajian Besar Tingkat-Tingkat Bertahap Sang Jalan. Di dalam naskah itu, Tsongkhapa menyediakan sejumlah besar perincian jitu mengenai shamatha dan vipashyana. Corak karya Dalai Lama Kelima memberikan sejumlah besar pedoman pribadi untuk meditasi. Ada banyak ragam dan tiap-tiap naskah punya ciri khususnya masing-masing.
Penting bagi kita untuk mengetahui bahwa semua bahan yang dicakup dalam lam-rim ada di semua aliran Buddha Tibet. Satu-satunya perbedaan adalah cara penyajian tersebut disusun. Misalnya, Gampopa punya dua cara menyajikan bahannya. Dalam Perhiasan Permata Kebebasan karyanya, Gampopa membaginya menurut sebabnya, yaitu pembahasan tentang sifat-dasar Buddha, lalu lanjut ke kehidupan manusia yang berharga sebagai dasar penyokongnya, bersandar pada guru rohani sebagai syaratnya, dan arahan guru sebagai caranya. Semua itu disusun-suaikan menuju hal yang sama yang terdapat di lam-rim, dengan tujuan kelahiran kembali yang lebih baik, kebebasan, dan pencerahan. Gampopa lalu menyusun cara-cara ini dalam rangka mengatasi empat hambatan, yang mengingatkan kita pada penyajian Sakya untuk bahan yang sama "Lepas dari Empat Kebergantungan". Dalam caranya yang lain untuk merumuskan bahan ini, Gampopa menyajikan karya yang dikenal sebagai "Empat Dharma Gampopa".
Di aliran Kagyu Drigung, ada penyajian yang menyusun bahan tersebut dalam kerangka dasar, jalan, dan hasil, dan hal yang serupa juga kita jumpai di aliran Sakya: "Tiga Pandangan". Ada pandangan tidak murni, pandangan pengalaman, dan pandangan murni. Sebagian penyajian menggabungkan empat Dharma Gampopa dengan tiga lingkup, dan sebagian yang lain menggabungkannya dengan empat kebergantungan. Contoh lain adalah naskah karya Patrul, Kata-Kata Guru Sempurnaku, di mana ia membahas persiapan luar dan persiapan dalam. Bahan yang sama maktub dalam naskah tersebut, jadi jangan sampai kita berpikiran picik dan beranggapan corak yang kita pelajari adalah satu-satunya, atau yang terbaik. Beberapa kutipan dari sumber-sumber berbahasa India mungkin sedikit berbeda, dan sebagian arahan pribadi untuk meditasi juga demikian. Tapi pada intinya, semua itu sama saja.
Tiga Jenis Keyakinan pada Fakta
Sudah kita lihat bahwa mungkin bagi kita untuk memahami lam-rim dalam lingkup empat kebenaran mulia, dan meyakini tujuan-tujuannya amat penting, kalau kita benar-benar ingin mampu mengembangkan diri menurut Dharma Sejati. Kepastian ini dapat kita peroleh dari dua hal. Yang pertama adalah yang biasanya diterjemahkan sebagai tiga jenis "iman". Saya rasa terjemahan yang lebih tepat adalah "keyakinan pada fakta", karena yang diyakini di sini bukanlah hal yang tidak bisa kita ketahui, seperti bahwa pasar saham akan naik lagi esok hari. Keyakinan yang dimaksud di sini adalah keyakinan pada hal yang benar, bukan mengimani sesuatu yang mustahil dipahami.
Pertama, ada keyakinan yang memurnikan, yakni sesuatu yang memurnikan atau menenangkan cita dari sikap gelisah terhadapnya. Misalnya, menenangkan cita dari sikap plin-plan, ragu, atau takut. Rasa takut bisa berkenaan dengan pencerahan, seperti saat kita merasa, "Siapa yang mungkin mencapainya?" Atau kita bisa juga jadi melekat dan berpikir, "Wah, menakjubkan, aku mau ini untukku, untukku, untukku!" Keyakinan yang memurnikan menenangkan semua ini, dan diperoleh atas dasar jenis keyakinan yang kedua, yaitu keyakinan berdasarkan akal sehat. Dengan kata lain, tujuan mencapai kebebasan dan pencerahan itu masuk akal. Ia nalariah dan beralasan dan tidak muskil atau mustahil. Jenis yang ketiga adalah keyakinan dengan harapan, di mana kita yakin bahwa itu mungkin dan bahwa kita mampu mencapainya, sehingga kita bercita-cita meraihnya.
Dari tiga jenis keyakinan pada fakta ini, kita dapat melihat bahwa amat penting bagi kita untuk yakin tujuan tersebut masuk akal, dan bahwa memperolehnya itu mungkin, serta kita semua mampu meraihnya. Dengan keyakinan ini, cita kita tenang dan tidak takut atau ragu atau berlebihan, tidak pula cemburu pada orang lain yang telah mencapai tujuannya, atau pongah dengan pencapaiannya sendiri.
Enam Belas Segi Empat Kebenaran Mulia
Segi lain dari ajaran yang menggarisbawahi pentingnya keyakinan adalah kajian enam belas segi empat kebenaran mulia. Kita sudah bahas soal arya, atau "makhluk mulia", yaitu seseorang yang memiliki pengetahuan nircitra akan sunyata (kekosongan). Sebetulnya bukan hanya sunyata, tetapi pengetahuan nircitra atas enam belas segi empat kebenaran mulia. Tidak akan saya sebutkan satu per satu di sini, ada empat segi untuk masing-masing kebenaran, tapi penting bagi kita untuk mempelajari dan meyakininya. Kita perlu meyakini fakta bahwa penghentian sejati itu mungkin, sebab sejati duka adalah ketaksadaran, dan cita jalan akan menyingkirkan sebab-sebab duka tersebut selamanya. Enam belas segi ini menjelaskannya dan membantu kita untuk membina rasa percaya.
Keyakinan pada Penghentian Sejati dan Cita Jalan Sejati Sebagai Dasar bagi Haluan Aman (Perlindungan)
Saya menyebutkan semua perincian ini untuk menggambarkan penting dan bermanfaatnya upaya memadukan semua segi ajaran Dharma ke dalam hidup kita. Pemaduan ini akan mengokohkan dan memperdalam pemahaman kita atas setiap pokok di dalam Dharma. Jika kita benar-benar berlindung – atau, jika kita benar-benar menempatkan haluan aman ke dalam hidup kita sebagaimana ditunjukkan oleh Triratna (Tiga Permata Berharga): Buddha, Dharma, dan Sangha – barulah kita betul-betul ingin menuju ke arah haluan tersebut.
Apa haluan Permata Dharma? Kebenaran mulia yang ketiga dan keempat, atau penghentian sejati dan jalan cita sejati di atas kesinambungan batin seorang arya. Kita mesti mengetahui pengertiannya. Kebenaran mulia yang ketiga dan keempat tidak berada di awang-awang; keduanya terdapat di dasar kesinambungan batin kita. Keduanya merupakan penghentian, penghapusan duka dan semua sebabnya dari suatu kesinambungan batin secara tetap. Dan semoga kesinambungan batin tersebut adalah kesinambungan batin kita. Cita jalan adalah pemahaman yang memunculkannya. Para Buddha (Permata Buddha) adalah mereka yang telah mencapai penghentian sejati dan cita jalan sejati ini sepenuhnya. Sangha arya (Permata Sangha) telah mencapainya sebagian, tetapi tidak sepenuhnya.
Seberapa sungguh kita dengan perlindungan? Apa cuma bla-bla-bla dan mencukur rambut serta mengganti nama dengan nama Tibet? Atau pada apakah kita berlindung, Kelinci Paskah? Perlindungan adalah haluan aman, jadi kita harus berlindung pada hal yang kita yakini ada. Kita perlu yakin bahwa ada penghentian sejati dan cita jalan sejati itu ada, dan orang yang telah mencapainya itu ada, dan bahwa kita pun mampu mencapainya. Kita perlu yakin bahwa ada tingkat bertahap untuk mencapainya dan sang Buddha telah mengajarkannya. Kita putuskan untuk beranjak ke haluan tersebut ketika kita yakin bahwa haluan itu betul-betul ada. Kemudian, kita tambahkan bodhicita; kita bertujuan menjadi Buddha agar dapat membawa manfaat bagi setiap insan.
Pada awalnya haluan aman berada di dalam lingkung kebebasan. Mengulang seloka dorongan berbahasa Tibet, pertama kita berlindung atau mengambil haluan aman dari Buddha, Dharma, dan Sangha hingga ke kebebasan; lalu, dengan daya positif yang didapat dari memberi dan seterusnya, kita mencapai pencerahan demi manfaat bagi semua. Bagian pertama berkenaan dengan menuju kebebasan. Bagian kedua, bodhicita, menuju pencerahan. Kita mesti menjalani semua tahap ini.
Jadi, dasar untuk menjadi manusia lingkup mula, madya, dan lanjut itu bergantung pada keyakinan penuh bahwa tujuan-tujuan ini mungkin dicapai. Inilah jalan yang akan membimbing kita menuju keyakinan tersebut. Segala sesuatu di dalam lam-rim harus dipahami dalam lingkung menuju kebebasan dan pencerahan ini. Inilah syarat untuk sebuah laku menjadi laku Buddha di dalam lingkung haluan aman, karena yang membedakan yang Buddha dan yang bukan Buddha adalah perlindungan. Kalau kita tanggalkan itu, lingkup awal tampak hampir seperti yang ada di agama lain mana pun. Kita ingin kelahiran kembali yang lebih baik, atau ingin masuk surga. Agama Buddha tidak seperti itu!
Haluan Aman dalam Triratna Membedakan Agama Buddha dari Yang Lainnya
Ada banyak laku Buddha yang juga terdapat di berbagai aliran tan-Buddha. Penyerahan, tekad untuk bebas dari keberadaan duniawi, dijumpai di semua aliran, dan terdapat arahan lengkap untuk mencapai shamatha dan vipashyana di banyak aliran tan-Buddha India lainnya. Pusat perhatiannya mungkin bukan pada sunyata, tetapi cara-cara mencapai berbagai tataran cita tersebut ada di sana. Tentu saja, corak-corak tantra dari agama Hindu, dengan cakra, penyaluran, dan tenaga, persis sama seperti di agama Buddha.
Lalu apa yang membuat semua laku seperti ini bersifat Buddha? Apakah kasih dan welas asih? Tidak, karena kita keduanya hampir di setiap agama. Apakah bersandar pada seorang guru rohani? Tidak, karena ini pun ada di banyak aliran lainnya. Apakah mengikuti sila? Tidak. Apakah menjadi biksu atau biksuni? Tidak. Apakah menjalankan upacara atau puja? Tidak, itu semua ada di tata agamawi lainnya.
Lalu apa yang membuatnya menjadi laku Buddha? Bisa kita baca di setiap naskah: haluan aman perlindungan. Itu bukan pernyataan sepele. Bukan soal "Buddhaku lebih baik dari tuhanmu", tapi soal haluan aman, kebenaran mulia ketiga dan keempat, penghentian sejati atas duka karena sebab-sebabnya disingkirkan selamanya, dan cita jalan sejati yang menuntun kita ke sana. Dengan kata lain, kebebasan sejati.
Kendati agama-agama India lain mungkin bicara soal kebebasan, dari sudut pandang Buddha, kebebasan yang dibicarakan di situ bukanlah yang sepenuhnya karena masih tertinggal sebagian perasaan gelisah dan masalah yang belum dibuat sirna oleh pemahaman mereka. Keyakinan kita bahwa yang diajarkan Buddha itu benar tidak dapat didasarkan pada iman kita terhadap sang Buddha: semua itu benar karena Buddha bilang begitu. Keyakinan kita mesti di dasarkan pada keyakinan yang nalariah bahwa kebebasan yang ditunjukkan para Buddha itu merupakan kebebasan sejati. Karena itu, keyakinan ini perlu berdasar pada nalar yang dihasilkan oleh cita yang murni dari sikap gelisah terhadapnya. Bukan soal kebebasan kita lebih baik dari kebebasan mereka. Kita tidak menyombongkannya atau melekat padanya. Tidak pula kita meragukannya, tidak berarti dengan bersikap keras kepala dan berpikiran sempit, tetapi juga tidak picik atau iri pada yang lain dan mencoba bersaing dengan siapa saja. Ada jenis keyakinan yang ketiga, yakni keyakinan pada fakta dengan semangat bahwa tujuan tersebut mungkin digapai dan kita akan melakukannya. Kemudian segala sesuatu di dalam lam-rim mulai masuk akal.
Menelaah Dorongan Sendiri
Kita perlu memeriksa dorongan sendiri, untuk menilai apakah kita menerapkan pendekatan Dharma-Sari. Apakah kita sedang mencoba memperbaiki masahidup yang ini saja melalui Dharma, atau apakah kita memikirkan kehidupan selanjutnya? Apa kita tahu apa sebetulnya pencerahan itu dan apakah pencerahan itu mungkin?
Walaupun minuman kita itu Dharma-Sari, tidak perlu merasa bersalah atau menilainya buruk. Tidak apa-apa. Dari situlah sebagian besar orang Barat memulai langkahnya, dan memang harus dari situ, mengingat latar belakang kita. Kalau kita berupaya dengan Dharma-Sari maka kita perlu tahu bahwa Dharma Sejati itu berbeda, dan mesti pula itu kita hormati. Seyogianya kita berharap bahwa kelak kita dapat berupaya dengan Dharma Sejati. Jika kembali ke telaah dorongan kita, kita mesti yakin pasti dengan tiga tujuan Sejati ini.
Langkah lebih jauhnya adalah punya rasa emosional yang sungguh menarik kita untuk ingin mencapai semua tujuan ini. Mungkin kita percaya bahwa kelahiran kembali yang lebih baik, kebebasan, dan pencerahan itu mungkin dicapai, tetapi begitu banyak hambatan untuk betul-betul mampu mengupayakannya. Begitu kita memahami bahwa ketiga hal ini mungkin dicapai, kita perlu mengupayakan daya dorong emosional yang akan membuat kita beranjak dan berusaha memperolehnya. Untuk berubah dari Dharma-Sari ke Dharma Sejati, kita mesti berupaya di dua matra. Yang satu adalah segi pemahaman dan yang lain adalah segi perasaan, keduanya tidak dapat diabaikan. Keduanya sama-sama penting.
Siapa Kita dan Apa Mau Kita?
Istilah "orang" yang digunakan di dalam lam-rim itu menonjol artinya. Orang seperti apa kita ini? Apa kita orang yang hanya peduli pada harta, cinta, dan seterusnya di masahidup yang sekarang ini? Apa kita orang yang betul-betul memikirkan kehidupan selanjutnya dan memastikan bahwa kehidupan tersebut tidak lebih buruk, sehingga kita tetap berkesempatan untuk melanjutkan perkembangan rohani kita? Apa kita orang yang berupaya mengatasi semua duka dan memperoleh kebebasan?
Ingatlah bahwa kebebasan tersebut merupakan kebebasan dari kelahiran kembali yang berulang tak terkendali, sementara kebebasan Dharma-Sari hanyalah kebebasan dari permasalahan yang berulang tak terkendali dalam hidup yang sekarang ini. Apa kita menuju pencerahan demi manfaat sepenuhnya bagi setiap insan yang ada di semesta ini? Setiap insan, sampai ke serangga-serangganya, setara! Itu luas sekali. Itulah yang disebut "Mahayana", wahana cita yang luas. Tujuan-tujuan ini menentukan orang seperti apa kita, dan itu dalam artinya. Berupaya mencapai tujuan-tujuan ini tentu membentuk hidup kita jauh lebih penuh dari kebangsaan, pekerjaan, atau jenis kelamin. Yang disikapi dalam lam-rim adalah jenis orang seperti apa kita.
Jadi pertanyaan-pertanyaan ini mesti kita gunakan untuk melihat hal yang membentuk hidup kita. Kalau tidak, maka belajar Dharma menjadi sama saja dengan belajar hal lainnya, dan Dharma menjadi hal yang menarik saja, dan mungkin sedikit berguna, seperti halnya belajar cara memperbaiki mobil. Memang menyenangkan dan berguna kadang-kadang, tapi tidak membentuk kehidupan kita seutuhnya. Yang membentuk hidup kita adalah upaya menjadi tiga jenis orang ini secara bertahap.
Jujur pada Diri Sendiri
Saya teringat dengan satu baris dari ajaran lojong, Latihan Cita Tujuh Pokok. Di situ Geshe Chaykawa mencantumkan di antara cara-ara mengukur keberhasilan kita dalam melatih cita, "Bila, dari dua orang saksi, kuambil yang utama." Ini berarti dari orang-orang yang dapat menyaksikan dan menilai tingkat dorongan dan perkembangan rohani kita, yakni orang lain dan kita sendiri, yang sungguh mengetahui kenyataannya adalah kita sendiri. Kita tahu sedang jujur dengan diri sendiri atau tidak. Apakah kita betul-betul berupaya membebaskan setiap serangga di alam semesta atau tidak, ketika kita dengan mudahnya mendaraskan, "Semoga aku memperoleh pencerahan demi manfaat bagi setiap makhluk berindra." Benarkah itu? Apa ada orang yang betul-betul seperti itu atau memikirkan apa sebetulnya arti kalimat itu? Kitalah yang paling mampu menilai diri sendiri. Kita lakukan ini tanpa rasa bersalah atau penghakiman di satu sisi, dan tanpa sikap pasrah di sisi lain, seperti "Memang begitulah aku. Aku orang pemarah dan lekas naik darah, jadi baiknya semua orang membiasakan diri dengan itu." Alih-alih, kita coba bina sikap, "Aku memang masih begini, tapi akan kucoba lebih baik lagi."
Tapi apa yang terjadi bila kita bertanya "Apakah aku siap untuk menjalankan laku ini?" Apakah hal seperti ini baiknya kita tanyakan kepada guru kita, atau bisakah kita nilai sendiri saja? Kita bisa meminta nasihat dari guru, dan tentu hal tersebut boleh-boleh saja. Tapi, "Sudahkah kuatasi sikap mementingkan diri sendiri?" Apa itu kita tanyakan pada orang lain atau kita nilai sendiri?
Nah, ini jadi sedikit lebih rumit. Kadang kita tidak betul-betul menyadari cara kita bersinggungan dengan orang lain dan karenanya butuh masukan, sekali pun mencari orang yang bisa objektif itu susah. Memang bisa kita bertanya, "Apakah aku egois dalam hubungan kita?" dan orang yang kita tanya mungkin punya pertimbangan rasanya sendiri. Pada akhirnya, kitalah hakim terbaik untuk menilai apakah kita bersikap mementingkan diri sendiri atau tidak. Dari perasaan sendiri dan masukan dari yang lain, kita nilai diri kita. Lebih mudah untuk objektif tentang diri sendiri ketimbang tentang orang lain karena kita lebih mengenal diri kita.
Mengatasi Hambatan Perasaan untuk Berubah
Namun, seperti disebutkan tadi, sekali pun kita ingin mengubah dan memperbaiki diri, kita sering tersandung hambatan perasaan. Untuk mengatasinya, kita perlu menggali lebih dalam lagi telaah kita atas kebingungan di balik hambatan ini dan mencoba menguak penyebabnya. Kalau telaah kita berada di tingkat yang lazim ada di semua agama Buddha aliran India, kebingungan itu adalah keyakinan kita pada "aku" yang secara swa-memadai dapat diketahui. Kebingungan inilah yang menimbulkan hambatan. Karena itu, kita mulai membongkar si "aku" ini. Inilah "aku" yang dapat diketahui dari dirinya sendiri, seperti dalam, "Aku tidak ingin mencapai pencerahan; aku tidak ingin menolong sesama." Seolah ada "aku" tersendiri yang tidak ingin kita menjalankan laku ini.
Apakah ia cita yang tidak ingin menjalankannya? Ataukah kemalasan? Apa persisnya ia itu? Kita berpikir dengan "aku", seperti dalam, "Aku tidak ingin menjalankan laku," tetapi "aku" ini hanya disematkan ke dalam cita yang mengandung kemalasan, rasa takut, was-was, dan berbagai anasir batin lainnya. Jika kita ingin menyebut seluruh seluk-beluk cita dan anasir batin, perasaan, dan rasa was-was, kita dapat menyebutnya dengan "aku". Benar-benar serasa "aku" tidak ingin menjalankan laku.
Tapi si "aku" ini tidak mengada sendiri. Ia hanya dapat diketahui dalam lingkung hal-hal yang lain ini. Untuk mengubah keadaan dan mengatasi hambatan dalam menjalankan laku, jika kita berpikir menggunakan "aku" yang dapat diketahui dan swa-memadai ini, maka kita mesti menghentikan hambatan si "aku" itu. Seolah kita dapat menghardik diri sendiri, "Hai! Berhentilah bersikap seperti itu," atau memaksa diri kita untuk menjalankan laku. Itu tidak akan berhasil. Itu dasarnya adalah salah kaprah terhadap "aku".
Jadi, kita harus menggunakan penawarnya dengan benar. Jangan bidik "aku" yang secara swa-memadai dapat diketahui ini karena ia tidak ada. Kita perlu membidik berbagai anasir batin dan perasaan gelisah yang menjadi tempat "aku" dicap. Jadi kita harus menggunakan cara-cara Dharma sempurna untuk berupaya mengatasi rasa takut, kemalasan, rasa was-was dan seterusnya yang telah menjadi dasar bagi pencapan "aku" yang tidak ingin menjalankan laku. Begitu kita berhasil menghilangkan semua itu, kita akan temukan dasar untuk mencapkan "aku" yang ingin menjalankan laku dengan gembira dan seterusnya. Seperti inilah kita menerapkan telaah sunyata. Tidak begitu cerdik pandai atau sukar; hanya perlu memahami apa maksudnya dan seperti apa cara menerapkannya secara makarya.
Ringkasan
Siapa kita dan apa mau kita? Ini bukan pertanyaan mudah, dan kita perlu waktu untuk menelaah diri dengan jujur. Baik itu kita merasa cukup senang dengan Dharma-Sari atau ingin berjuang dengan lingkup dorongan mula, madya, dan lanjut, setidaknya kita akan tahu tempat kita. Pada akhirnya, kitalah saksi terbaik atas diri kita sendiri.
Seperti sudah kita lihat, perlindungan atau haluan aman adalah hal yang benar-benar membedakan agama Buddha dari aliran kerohanian lainnya. Haluan aman pada kenyataannya merupakan gerbang menuju semua ajaran Buddha, dan titik awal untuk perjalanan membersihkan segala perasaan gelisah, memasuki perbaikan diri, dan menyusuri jalan menuju kebuddhaan.