Pengantar
Naskah latihan cita, 37 Laku Bodhisattwa, ditulis di Tibet pada abad ke-14 oleh guru Sakya, Togme Zangpo. Togme Zangpo dikenal sebagai seorang bodhisattwa, dan naskahnya dipelajari oleh semua ragam aliran Tibet. Ia merupakan guru dari Rendawa, yang merupakan salah satu guru utama Tsongkhapa.
Togme Zangpo menulis beberapa naskah lainnya, yang paling terkenal di antaranya adalah tinjauan untuk Memasuki Perilaku Bodhisattwa karya Shantidewa. Ia juga menulis tinjauan paling awal untuk Latihan Cita Tujuh Pokok karya Geshe Chekawa. Ajaran-ajaran Mahayana terdahulu ini merupakan sumber dari berbagai jenis laku yang ia uraikan. Dari tinjauan-tinjauan ini dan juga dari 37 Laku Bodhisattwa karyanya sendiri, kita dapat melihat bahwa jalan bodhisattwa menjadi kepakaran khususnya.
Angka 37 itu berarti; kita melihatnya muncul lagi dan lagi di bahan Buddha. Contohnya, ada 37 laku atau anasir yang membimbing kita menuju tataran termurnikan. Termasuk di dalamnya empat penempatan dekat kehati-hatian, jalan lipat-delapan, dan seterusnya. Semua ini merupakan laku terkenal yang diikuti setiap orang saat mereka berjalan maju baik itu menuju kebebasan, dengan mengikuti jalan Hinayana, maupun pencerahan, dengan mengikuti jalan Mahayana. Ini menjelaskan mengapa angka 37 dipilih di sini untuk semua laku bodhisattwa ini.
Sesuai dengan adat India, naskah ini dimulai dengan menghaturkan sembah:
Sembah kepada Lokeshvara.
Lokeshvara merupakan nama lain dari sosok-Buddha Avalokiteshvara. Semua sosok-Buddha merupakan perwakilan dari berbagai sifat seorang Buddha; dan dalam hal ini, welas asih. Hampir semua naskah dimulai dengan pengarang yang menghaturkan sembah kepada para Buddha atau sebuah sosok-Buddha. Sembah pembukan ini menunjukkan sumber ilham bagi semua ajaran yang terkandung di dalamnya. Maka untuk sebuah naskah mengenai laku bodhisattwa, sepatutnyalah sembah dihaturkan kepada welas asih. Sembah dilanjutkan dengan sembah-sujud.
Aku senantiasa bersembah-sujud hormat, melalui tiga gerbangku, kepada para guru unggul dan sang Penjaga Avalokiteshvara yang, melihat bahwa segala peristiwa tiada datang pun pergi, berupaya semata-mata demi manfaat bagi para makhluk kelana.
Ketika kita bersembah-sujud, kita selalu melakukannya melalui tiga gerbang kita. Gerbang, atau pintu, ini merupakan jalur kita bertindak, berbicara, dan berpikir, dan ketiganya berhubungan dengan raga, wicara, dan cita kita.
Kepada siapa kita bersembah-sujud? Yang pertama sekali, kepada para guru unggul, para guru rohani. Kedua, kepada Penjaga Avalokiteshvara kita, dan kata "penjaga" di situ menunjukkan bahwa ia mengilhami kita, dan ilham tersebut melindungi atau menjaga kita dari tindakan mementingkan diri sendiri tanpa welas asih. Patut ditilik di sini bahwa para guru disebut sebelum Avalokiteshvara. Faktanya, di dalam sebagian besar naskah, urutan kata-kata ini disajikan memang secara khusus dipilih untuk suatu alasan. Orang harus cukup teliti dalam menerjemahkannya supaya urutan yang benar tetap diikuti. Para guru rohani merupakan sumber dari semua sosok-Buddha, dan dalam hal ini, Avalokiteshvara.
Ada catatan mengenai guru dari India, Naropa, dan muridnya Marpa, penerjemah luar biasa dari Tibet. Suatu hari, Naropa mengejawantahkan keseluruhan mandala sosok-Buddha Hevajra, yang berupa hologram akbar istana Hevajra dan semua sosok di dalamnya. Ia kemudian bertanya kepada Marpa, "Kepada siapa engkau terlebih dahulu bersembah-sujud: aku atau Hevajra?" Jawab Marpa, "Aku melihat engkau setiap hari, tetapi ini kali pertama aku melihat Hevajra! Sepatutnya aku terlebih dahulu bersembah-sujud kepada Hevajra." Naropa kemudian menjentikkan jarinya dan mandala tersebut sirna. Ia membetulkan Marpa, dengan berkata, "Engkau baru saja membuat kesalahan besar, kesalahan yang pasti akan berdampak buruk terhadapmu. Engkau harus selalu ingat bahwa tanpa para guru, mustahil semua sosok-Buddha ini mewujud. Para guru adalah yang utama."
Catatan ini dengan jelas menunjukkan bahwa kita jangan memuja aneka sosok-Buddha seolah mereka itu orang kudus, dan demikian pula, kita tidak memuja para guru seolah mereka orang kudus. Para guru itu sendiri tidak akan menyelamatkan kita. Akan tetapi, dengan mengikuti arahan mereka, dan melalui ilham yang mereka berikan, kita dapat memperoleh kebebasan dan pencerahan kita sendiri.
Naskah ini kemudian menggambarkan ciri para guru agung dan Avalokiteshvara, yaitu bahwa mereka melihat segala peristiwa tiada datang pun pergi. Hal ini mengacu pada ajaran mengenai sunyata (kekosongan), yang mereka pahami secara sempurna. Mereka dengan jelas melihat bahwa tidak satu pun hal mengada secara mustahil, termasuk cara datang dan pergi yang mustahil, pokok yang sama juga dikedepankan guru India yang luar biasa, Nagarjuna, dalam seloka sembah untuk Seloka Akar Mengenai Jalan Tengah karyanya:
Aku bersujud-sembah kepada Buddha yang tercerahkan sepenuhnya, yang terbaik dari segala guru, yang telah mengajarkan kemunculan bergantung, menenangkan rekayasa batin dan (karenanya) meredamnya, yang tiada henti, tiada muncul, tiada binasa, tiada tetap, tiada datang, tiada pergi, (dan maka itu) bukan hal serbaneka dan bukan hal eka.
Kita dapat memahami ini dengan melihat perasaan gelisah kita sendiri, dan duka serta masalah yang disebabkannya. Bila kita telaah berbagai masalah yang kita semua miliki ini, bukan seolah mereka ada sebagai ihwal nyata yang swabina. Mereka tidak datang dan pergi seperti bola ping-pong yang menghunjam cita kita, dan mencipta masalah. Akan tetapi, semua perasaan gelisah dan permasalahan kita muncul dan lanjut dengan bergantung pada sebab dan keadaan, dan karenanya jika kita menghilangkan sebab dan keadaan ini, kita menghilangkan perasaan gelisah. Jika tataran cita yang gelisah ini ada secara padu dan mandiri sendiri, tidak ada hal yang dapat kita lakukan lagi. Apa pun yang coba kita lakukan untuk menghilangkannya tidak akan pernah ada dampaknya karena mereka muncul dan lanjut tanpa bergantung pada apa pun. Agar mampu menolong yang lain, penting bagi kita untuk melihat bahwa, bukan hanya perasaan gelisah, tetapi semua peristiwa itu tidak datang dan pergi sendiri, mandiri, sejati.
Dengan pemahaman ini, para guru agung dan Avalokiteshvara berupaya semata-mata demi manfaat bagi para makhluk kelana. Hanya dengan pemahaman sunyata – kenyataan yang sebenarnya – inilah orang bisa betul-betul melakukan upaya ampuh untuk mendatangkan manfaat bagi yang lain. Jika pemahaman kita akan cara mengada semua orang dan masalah mereka tidak makul (realistis), bagaimana mungkin kita bisa betul-betul menolong mereka? Pada akhirnya, kita cenderung malah mencipta lebih banyak masalah dan kesalahpahaman bagi mereka saja.
Ketika mereka berupaya semata-mata, itu artinya bahwa menolong yang lain merupakan satu-satunya tujuan mereka. Mereka tidak mengejar tujuan-tujuan pribadi mereka sendiri, tapi berniat untuk bekerja hanya demi yang lain. Itu mengapa kita menyebutnya para guru unggul, bukan guru saja, karena bisa jadi ada banyak guru rohani yang, kendati mungkin mereka memang menolong yang lain, sebetulnya mengejar tujuan pribadi mereka sendiri juga.
Dalam frasa demi manfaat bagi para makhluk kelana, "makhluk kelana" di situ merujuk pada kita semua, yang kadang disebut "makhluk berindra". Tanpa daya kita berkelana dari satu kelahiran kembali ke kelahiran kembali berikutnya, yang semua itu berisi aneka ragam duka dan masalah. Berupaya demi manfaat berarti menolong mereka mencapai tujuan rohani yang sesuai yang mereka tuju, baik itu kebebasan maupun pencerahan.
Seloka pengantar kedua berbunyi:
Para Buddha yang tercerahkan sepenuhnya, sumber manfaat dan kebahagiaan, telah menjadi demikian karena (mereka) telah mewujudkan Dharma suci. Lebih daripada itu, sebab itu bergantung pada pengetahuan (mereka) atas apa saja lakunya, aku akan menjelaskan sebuah laku bodhisattwa.
Ini merupakan janji menulis, di mana pengarang menyatakan apa yang hendak ia jelaskan, suatu hal yang menjadi pakem dalam semua naskah berbahasa India atau Tibet. Seloka ini dimulai dengan para Buddha yang tercerahkan sepenuhnya, sumber manfaat dan kebahagiaan. Dengan kata lain, melalui ajaran mereka kita mendapatkan manfaat mencapai kebebasan dari semua duka, atau pencerahan dan kebahagiaan yang timbul bersamanya, dan dengan pencerahan ini kita mampu memberi manfaat bagi setiap orang.
Bagaimana para Buddha menjadi sumber manfaat dan kebahagiaan? Mereka telah menjadi demikian karena telah mewujudkan Dharma suci. Ketika kita bicara tentang Dharma suci, kita perlu memahaminya dalam kerangka Permata Dharma, yang mengacu pada kebenaran mulia yang ketiga dan keempat. Kebenaran mulia yang ketiga, dalam lingkung seloka ini, mengacu pada penghentian sejati dari semua masalah dan sebab-sebabnya pada kesinambungan batin seorang Buddha, sementara kebenaran mulia yang keempat menyajikan jalan sejati, atau jalur cita sejati. Pemahaman akan kenyataanlah yang berlaku sebagai sebuah jalan yang memunculkan penghentian sejati, dan yang pula merupakan tataran hasil dari penghentian tersebut. Di sini, kita menggambarkan suatu tataran di mana semua duka, masalah, perasaan gelisah, dan semua keterbatasan ini terhapuskan. Selain itu, semua penyadaran yang mungkin ada pun diperoleh. Seorang Buddha yang sepenuhnya tercerahkan telah mewujudkannya, yang berarti bahwa ia telah betul-betul membuat semua ini terjadi pada kesinambungan batinnya.
Para Buddha tidak selalu tercerahkan sejak awalnya, mereka sama saja seperti kita. Mereka bersusah-payah untuk mampu menghilangkan semua kebingungan, perasaan gelisah, duka, dan seterusnya, yang menyelimuti cita mereka. Penting bagi kita untuk tahu bahwa "noda-noda sekilas" ini mirip seperti awan yang menyelimuti cita kita. Semua itu sama sekali bukan sifat dari cita kita, karena mereka semua dapat dihapus sampai bersih.
Tentu saja, memahami semua itu dan betul-betul meyakininya membutuhkan upaya belajar dan perenungan yang luar biasa. Namun kita memang perlu untuk mencoba meyakini bahwa semua kebingungan mungkin disingkirkan lewat pemahaman yang tepat, dan bahwa kebebasan dan pencerahan itu mungkin diperoleh. Kita harus memahami bahwa bukan orang lain saja yang dapat melakukannya, tapi kita sendiri mampu untuk mengembangkan pemahaman yang tepat ini, dan senantiasa memilikinya. Kita semua dapat menyingkirkan semua kebingungan di dalam cita kita ini dan, seperti seorang Buddha, mencapai penghentian sejati dari semuanya dengan mewujudkan kebenaran mulia yang keempat – jalur cita yang sejati.
Bagaimana Buddha mampu mencapai ini? Pertama, Buddha menemukan, mendengarkan, dan menyimak semua laku yang akan mewujudkan ini. Buddha kemudian merenungkan, memikirkan, dan menelaahnya sampai ia paham dengan benar dan lengkap, dan akhirnya memeditasikannya untuk betul-betul mampu menyatukan dan mewujudkannya. Sangat penting untuk diketahui, seperti diujarkan Togme Zangpo di sini, bahwa hal ini bergantung pada pengetahuan mereka mengenai apa saja lakunya. Dengan kata lain, kita perlu mengetahui apa saja laku bodhisattwa itu: yang harus kita lakukan agar kita sendiri menjadi Buddha. Karena menjadi Buddha itu bergantung pada hal ini, Togme Zangpo berkata bahwa ia akan menjelaskannya sehingga kita mampu mengetahuinya. Atas dasar itu, kita dapat memikirkannya, mencoba memahaminya, dan kemudian memeditasikannya sehingga pada akhirnya kita mampu melakukannya.