Latar Belakang Sejarah dan Kelangkaan Ajaran

Memperkenalkan Tiga Jenis Dharma yang Berbeda

Secara umum, ajaran Dharma dapat dibagi menjadi ajaran Hinayana dan Mahayana. Kata “dharma” bermakna “sesuatu yang memegang sifat-dirinya sendiri.” Memikirkan dharma sebagai sesuatu yang mengambil atau memegang hal lain, bagaimanapun, adalah definisi yang terlalu luas dan dapat menyebabkan kebingungan. Mata, misalnya, memegang obyek dalam pengertian kognitif yakni mengambilnya sebagai obyek kognitif. Ini bukanlah makna dari sesuatu yang memegang sifat-dirinya sendiri dalam pengertian tentang dianggapnya sesuatu sebagai benda individual.

Namun, Dharma yang sedang kita bahas hari ini bukanlah dharma dalam pengertian fenomena apa pun yang memegang sifat-diri individualnya sendiri. Dharma adalah kata Sansekerta dengan konotasi "memegang" atau, dalam konteks ini hari ini, berkonotasi "menahan." Ini dapat dipahami dalam tiga tingkatan:

  • Pertama, ia mengacu pada sesuatu yang menahan kita dari duka yang tidak diinginkan oleh siapa pun. Secara khusus, Dharma adalah sesuatu yang menahan kita utamanya dari duka berupa jatuh ke kelahiran kembali yang lebih rendah di suatu keadaan yang tidak menguntungkan.
  • Kedua, dari perspektif yang sedikit lebih maju dari ini, secara umum dapat juga ada Dharma dalam pengertian berupa sesuatu yang menahan kita dari duka seluruh kelahiran kembali samsara yang berulang tanpa terkendali. 
  • Ketiga, pemahaman yang lebih maju lagi dari ini adalah bahwa ini adalah sesuatu yang menahan kita dari sikap mementingkan diri sendiri atau keegoisan, dan dengan demikian membawa perdamaian secara luas. 

Ini adalah tiga keadaan berbeda yang olehnya kita ditahan, tiga cara berbeda Dharma dapat membantu menahan kita dari menyebabkan duka bagi diri kita sendiri.

Praktik Dharma

Jika kita melihat lebih jauh ke dalam makna Dharma dan apa makna mempraktikkan Dharma, ia bukanlah, misalnya, tertarik pada pakaian, makanan, ketenaran, status, dan semua hal ini dalam kehidupan ini. Menjadikan ini sebagai satu-satunya keinginan kita bukanlah praktik Dharma. Jika tidak ada kehidupan selanjutnya, maka tidak masalah untuk hanya memikirkan kehidupan ini, namun tidak demikian halnya. Ada kehidupan selanjutnya.

Bahkan walaupun kita tidak dapat sampai pada kesimpulan atau keputusan yang pasti bahwa kehidupan selanjutnya itu ada, bagaimanapun, kita juga tidak dapat sampai pada kesimpulan yang pasti bahwa mereka tidak ada. Oleh karenanya, jika kita adalah seseorang yang berusaha untuk mendapatkan manfaat dan meningkatkan kehidupan selanjutnya dari kehidupan berikutnya dan seterusnya, kita dapat dikenal sebagai “praktisi Dharma.”

Mengenai seseorang yang bekerja untuk meningkatkan kehidupan selanjutnya dan seterusnya, ini dapat dicapai dengan dua cara: kita dapat berusaha untuk memberi manfaat bagi kehidupan selanjutnya kita sendiri, atau kita dapat bertujuan untuk memberi manfaat bagi kehidupan selanjutnya semua makhluk. Jika kita tidak ingin hanya berusaha untuk diri kita sendiri melainkan ingin berusaha untuk membebaskan semua orang dari duka dan membawa kebahagiaan bagi semua orang dalam jangka panjang, dan tindakan positif apa pun yang kita lakukan diarahkan untuk tujuan itu, orientasi seperti itu adalah Dharma Mahayana, Kendaraan Besar. Inilah yang kita bahas hari ini.

Jenis sikap yang kita harapkan demi kebahagiaan semua orang dan agar mereka terlepas dari duka, nyatanya, adalah sesuatu yang dapat dikembangkan pada kesinambungan batin kita. Kita dapat mengembangkan ini melalui meditasi dan melalui praktik dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, kita dapat membangun sikap ini dengan membiasakan diri dengannya. 

Mengembangkan Bodhicita, Kesadaran Pembeda akan Sunyata dan Perilaku yang Benar

Jika kita memiliki keinginan ini agar semua orang bahagia dan bebas dari duka, dan jika kita bertujuan untuk mencapai pencerahan agar dapat mewujudkannya, kita memiliki sikap yang dikenal sebagai “motif pencerahan bodhicita.” Namun, hanya mengembangkan motif atau tujuan bodhicita ini pada kesinambungan batin kita tidaklah cukup. Kita juga membutuhkan kesadaran pembeda (shes-rab, kebijaksanaan) dari sunyata (kekosongan).

Kesadaran pembeda yang memahami sunyata ini harus bebas dari dua ekstrem nihilisme dan absolutisme. Oleh karena itu, kita membutuhkan pandangan sunyata yang sungguh sempurna. Untuk mengembangkan pandangan ini dengan benar, kita perlu mengembangkan daya pemusatan terserap yang bebas dari ketumpulan mental dan luwesnya cita. Selain pandangan yang murni dan benar serta kondisi meditasi yang benar, kita membutuhkan jenis perilaku atau tindakan yang benar dan sempurna. Kita perlu mengikuti tindakan yang dikatakan oleh Sang Buddha mengenai apa yang bermanfaat dan tidak bertindak dengan cara yang Buddha jelaskan sebagai merugikan.

Untuk membantu kita berlatih dengan cara ini, dengan sintesis lengkap akan pandangan yang benar, cara bermeditasi yang benar dan cara bertindak yang benar, dan untuk mengembangkan ketiganya tanpa salah satu dari mereka hilang, saya akan mengajarkan sebuah tulisan yang membahas materi pelajaran ini. Ia disebut Suluh bagi Jalan Menuju Pencerahan (Byang-chub lam-gyi sgron-ma, Skt. Bodhipathapradipa) oleh guru India Atisha.

Motivasi yang Tepat untuk Mendengarkan Penjelasan Tulisan

Sikap yang harus kita miliki ketika mendengarkan ajaran-ajaran ini adalah sikap di mana kita ingin mendengar ajaran-ajaran ini dan mempraktikkan serta mewujudkannya agar dapat memberi manfaat bagi semua makhluk. Kita harus memiliki keinginan yang sangat kuat untuk dapat sungguh memahami ajaran-ajaran ini sepenuhnya, untuk mewujudkan semua pokok di dalamnya dalam diri kita sendiri, dan menjadikannya kenyataan di dalam diri kita sendiri. Dengan sikap inilah kita harus mendengarkan ajaran-ajaran ini.

Untuk memahami semua pokoknya dan menjadikannya cara berpikir, berbicara, dan bertindak yang hidup, kita harus sungguh mempraktikkan semuanya. Untuk dapat mempraktikkan jalan ini, pertama-tama kita harus mengetahuinya. Untuk mengetahui tentang jalan tersebut, pertama-tama kita harus mendengarnya. Namun, tidak cukup hanya mengetahui tentang jalan ini, kita harus sungguh mempraktikkannya. Tidak cukup hanya mempraktikkannya, kita harus mengikutinya hingga titik akhirnya.

Kita sebaiknya tidak berpikir bahwa kita akan dapat memperoleh kesadaran penuh setelah beberapa bulan atau beberapa tahun, melainkan berpikir untuk berusaha dalam jangka waktu yang lama, meningkatkan diri kita secara bertahap, satu kehidupan ke kehidupan berikutnya. Pada akhirnya, melalui proses yang sangat panjang ini, kita akan mencapai pencerahan. Ini dimulai dengan mendengar tentang ajaran dan mendengarkannya dengan penuh perhatian, dengan sikap niat untuk mempraktikkan apa pun yang kita dengar.

Misalnya, tulisan tersebut menyatakan bahwa kita harus menahan diri dari mengambil nyawa makhluk lain dan bahwa ada banyak kerugian dan akibat buruk yang terjadi sebagai akibat pembunuhan. Tulisan-tulisan juga menyatakan bahwa jika kita menahan diri dari membunuh, kita mencapai umur panjang. Kita harus berpikir, “Mulai sekarang, saya akan berhenti membunuh.” Dengan cara ini kita harus berpikir untuk segera melaksanakan apapun yang kita dengar.

Demikian pula, ketika dikatakan bahwa jika kita memiliki pikiran yang merugikan dan menyimpan niat buruk terhadap orang lain, ini sangat negatif, dan kita harus meninggalkan cara berpikir ini. Kita harus berpikir, “Saya akan meninggalkan niat buruk dan pikiran buruk terhadap orang lain,” dan merasa sangat menyesal atas apa yang telah kita lakukan di masa lalu. Kita juga harus memutuskan untuk tidak pernah bertindak seperti itu lagi di masa depan. Dengan cara ini, kita harus segera mempraktikkan apa yang kita dengar.

Ketika tulisan mengatakan bahwa kita harus memiliki pikiran yang baik terhadap orang lain dan membantu orang lain, kita harus berpikir, “Ini yang sungguh harus saya lakukan. Saya harus mengembangkan motif pencerahan bodhicita ini pada kesinambungan batin saya. Ya, tepat inilah yang harus saya lakukan.” Sikap inilah yang harusnya kita terapkan dalam pendekatan untuk mendengarkan ajaran.

Di sisi lain, mendengarkan hanya untuk memperoleh pengetahuan intelektual tentang fakta dan isi ajaran sama sekali tidak tepat. Untuk menjadi terpelajar dalam ajaran, hanya untuk mengetahuinya, tidaklah cukup. Yang kita butuhkan adalah kombinasi dari tiga hal:

  • Yang pertama adalah menjadi sangat terpelajar dalam hal yang dibahas
  • Yang kedua adalah bersikap sangat tepat dan tegas dalam perilaku dan etika kita
  • Yang ketiga adalah bersikap sangat baik dan ramah dalam cara kita berpikir.

Kita perlu jadi terpelajar, tegas, dan baik hati. Dari ketiganya, yang terpenting bukan untuk jadi terpelajar, melainkan harus tegas dalam etika dan bersikap baik. Tentu saja, yang terbaik adalah memiliki ketiganya, namun jika kita tidak bisa, maka yang terbaik adalah memiliki dua yang terakhir. Jika, pada kenyataannya, seseorang sangat terpelajar, tetapi bertindak dengan cara yang sangat ceroboh atau tidak disiplin, itu tidak akan berhasil.

Ini adalah pengantar untuk materi pelajaran dan sekarang kita akan masuk ke inti pengajaran.

Perkenalan terhadap Tulisan

Penulis tulisan ini, Suluh bagi Jalan Menuju Pencerahan, adalah Atisha, Dipamkara Shrijnana. Tulisan dimulai dengan judul dalam bahasa Sansekerta, Bodhipathapradipa, dan dalam bahasa Tibet, Byang-chub lam-gyi sgron-ma, atau Suluh bagi Jalan Menuju Pencerahan dalam bahasa Indonesia. Jika kita mencoba menggabungkan dua bahasa, Sansekerta dan Tibet, maka bodhi dalam bahasa Sansekerta adalah byang-chub dalam bahasa Tibet, artinya keadaan yang dimurnikan, dalam hal ini pencerahan. Patha adalah lam dalam bahasa Tibet, yang bermakna jalan atau, lebih lengkapnya, jalan cita menuju keadaan yang murni. Pradipa adalah sgron-ma dalam bahasa Tibet, yang berarti suluh. 

Lima Jalan: Lima Jalur Cita

Keadaan pencerahan yang murni mengacu pada kesadaran mahatahu akan kesinambungan batin milik seorang Buddha. Kesadaran mahatahu ini juga disebut sebagai “jalur cita yang tidak membutuhkan pelatihan lebih lanjut” (mi-slob-lam, jalan tanpa pembelajaran lagi). Sebelum kita mencapai jalan cita yang tidak memerlukan pelatihan lebih lanjut, kita perlu mencapai empat jalur cita Mahayana sebelumnya yang membutuhkan pelatihan lebih lanjut.

Pertama adalah jalur cita yang membangun (tshogs-lam, jalan himpunan), diikuti dengan jalur cita menerapkan (sbyor-lam, jalan persiapan). Dari jalur cita makhluk biasa dan makhluk berkesadaran tinggi, para arya (yang mulia), dua yang pertama ini adalah jalur cita makhluk biasa. Saat kita mencapai jalan cita menerapkan, kita akan memiliki penyadaran bercitra (konseptual) akan sunyata. Namun, sebelum ini, ada jalur cita pembangunan, yang dengannya kita membangun keadaan gabungan dari cita shamatha yang tenang dan mantap, memiliki daya pemusatan terserap sempurna, dan cita vipashyana yang sangat tanggap. Jalur cita pembangunan ini dibagi menjadi tiga tingkat, yang masing-masing memiliki tiga tahap: tiga jalur cita awal, tiga menengah dan tiga tingkat lanjutan.

Adalah saat kita telah mencapai jalur cita pembangunan tingkat lanjut, maka kita memperoleh pengetahuan bercitra yang mantap akan sunyata; sedangkan, dengan jalur cita pembangunan awal dan menengah, kita hanya memiliki kejadian-kejadian sesekali yang pada saat tersebut kita memiliki penyadaran bercitra akan sunyata. Akan tetapi, begitu kita mencapai jalur cita pembangunan tingkat lanjut, pemahaman bercitra kita tentang sunyata akan mantap.

Demikian pula, kita juga memiliki pengenalan bercitra yang mantap tentang sunyata dengan menerapkan jalur cita, namun sekarang kita menerapkan keadaan gabungan shamatha dan vipashyana yang telah kita peroleh dengan jalur cita pembangunan untuk berfokus pada pemahaman kita yang mantap. Ketika fokus pada sunyata ini adalah dengan pengenalan non-konseptual yang kasar, kita telah mencapai jalan cita penglihatan (mthong-lam, jalan penglihatan). Ia disebut “jalur cita penglihatan” sebab, dengannya, kita secara nircitra (non-konseptual) melihat sesuatu yang baru yang belum pernah kita lihat sebelumnya hanya dengan pengetahuan bercitra tentang sunyata. Setelahnya, saat kita membiasakan diri dan bermeditasi lebih dan lebih pada cara nircitra memandang sunyata ini, ini adalah melalui jalur cita pembiasaan (sgom-lam, jalan meditasi).

Dari jalur cita penglihatan dan seterusnya, jalur cita yang lebih tinggi dikenal sebagai “jalur cita arya,” jalur cita mulia yang merupakan kebenaran mulia keempat, jalur cita sejati. 

Sepuluh Tingkat Cita-Bhumi Bodhisattwa 

Mulai dari jalur cita penglihatan Mahayana dan seterusnya, kita masuk ke dalam skema pembagian sepuluh tingkat (sa, Skt. bhumi) cita arya bodhisattwa, yang dikenal sebagai “sepuluh tingkat cita bhumi,” “sepuluh bhumi.” Kemajuan melalui tingkat-tingkat cita arya bodhisattwa ini dimulai dengan pencapaian jalur cita penglihatan Mahayana.

Nama-nama dari sepuluh tingkatan cita bhumi adalah:

  1. Sungguh ceria (rab-dga’-ba)
  2. Tanpa noda (dri-med)
  3. Menyinari (‘od-byed-pa)
  4. Cahaya berkelip (‘od-phro-ba)
  5. Sulit dihapus (sbyang dka’-ba)
  6. Bersikap maju (mngon-du phyogs-pa)
  7. Jauh melampaui (ring-du song-ba)
  8. Tidak goyah (mi-g.yo-ba)
  9. Paling cerdas (legs-par blo-gros)
  10. Awan Dharma (chos-sprin).

Kesepuluh tingkat cita bhumi ini dikenal sebagai “jalur cita yang membutuhkan pelatihan lebih lanjut.” Kita mengembangkannya seiring kemajuan kita dari memiliki jalur cita penglihatan menuju jalur cita yang tidak memerlukan pelatihan lebih lanjut, kesadaran mahatahu dari Buddha yang tercerahkan sepenuhnya.

Saat kita menyusuri jalanan atau jalur setapak di siang hari, kita memiliki matahari yang membuat jalan tersebut jelas dan meneranginya. Pada malam hari, kita mungkin memiliki lampu jalan atau lampu listrik atau semacamnya. Demikian pula, tulisan ini bertindak sebagai suluh untuk memperjelas semua jalur cita dan tingkat cita bhumi yang berbeda yang baru saja kita bahas yang mengarah pada keadaan tercerahkan seorang Buddha.

Ini adalah konotasi dan makna dari judul tulisan, Suluh bagi Jalan Menuju Pencerahan, atau mungkin lebih baik, Suluh bagi Jalur Cita Menuju Pencerahan – sebuah judul yang memiliki makna yang luas. Kata-kata yang digunakan tulisan untuk menyajikan topik ini sedikit, namun maknanya adalah sesuatu yang sangat jauh jangkauannya. Walau tulisan ini sendiri hanya memiliki tujuh halaman dalam edisi khusus ini, makna dasar dari seluruh ajaran sutra dan tantra tergabung di dalamnya dalam bentuk yang sangat padat. Karena pokok utamanya adalah bagaimana menjinakkan cita kita sendiri, maka di dalamnya terdapat pedoman-pedoman praktis untuk segera kita lakukan.

Perkenalan Singkat terhadap Kosmologi Buddhis

Untuk menghargai kelangkaan dan nilai kehidupan manusia yang kita miliki dan kesempatan kita untuk mendengarkan ajaran-ajaran ini, ada baiknya kita melihat sejarah alam semesta. Zaman dunia tempat kita hidup saat ini tepat dikenal sebagai “kalpa yang beruntung”. Secara umum, ada dua jenis kalpa atau zaman dunia: zaman dunia terang atau zaman dicerahkan, dan zaman kegelapan. Dalam kalpa gelap, para Buddha tidak menjelma dan Dharma tidak hadir. Namun, dalam kalpa yang diterangi, para Buddha menjelma dan hadir, dan ada ajaran Dharma. Kalpa khusus tempat kita hidup ini dikenal sebagai “kalpa yang beruntung” karena dalam kalpa ini, 1.000 Buddha akan menjelma dan datang ke dunia kita.

Apa yang dimaksud dengan satu kalpa dalam bahasa Sansekerta? Satu kalpa besar terdiri dari 80 kalpa menengah. Sebuah kalpa menengah adalah masa hidup manusia di Benua Selatan dari 10 ke 80.000 tahun dan kembali ke 10, berubah satu tahun setiap abad. 80 kalpa menengah ini dibagi menjadi empat kelompok – kalpa evolusi, kalpa bertahan, kalpa kehancuran dan kalpa kekosongan – masing-masing 20.

Kita mungkin bertanya, "Bagaimana ini dibentuk?" Vasubandhu menggambarkan hal ini dalam Lumbung Harta Pokok-Pokok Khusus Pengetahuan Khusus (Chos mngon-pa'i mdzod, Skt. Abhidharmakosha). Di sana, ia menjelaskan bahwa selama kalpa menengah pertama dari 20 kalpa menengah evolusi – kumpulan 20 pertama– sebuah sistem dunia atau alam semesta terbentuk. Muncul dari ruang hampa atau kekosongan, hal pertama yang terbentuk dikenal sebagai “mandala angin”, energi angin. Di atas ini, berikutnya mandala air atau cair terbentuk dan, di atasnya, mandala tanah atau padat terbentuk berikutnya. Setelah ini, akibat curah hujan yang besar, terjadi pembentukan lautan.

Inilah yang dijelaskan oleh tulisan tersebut. Pertama, alam semesta material atau lingkungan terbentuk dan, setelahnya, selama 19 kalpa menengah berikutnya, evolusi bentuk kehidupan yang menghuninya terjadi. Kedua hal ini terjadi oleh kekuatan umum, daya karma kolektif yang dimiliki oleh semua makhluk hidup yang akan terlahir kembali di alam semesta ini. Ini adalah cara alam semesta, baik lingkungan maupun makhluk penghuninya, muncul. Dibutuhkan 20 kalpa menengah untuk menyelesaikan prosesnya. Jumlah alam semesta tak terhitung banyaknya, berada secara bersamaan, namun semuanya pada tahap yang berbeda dari masa hidup mereka.

Manusia pada masa pertama ini adalah jenis khusus. Saat itu, matahari dan bulan belum terbentuk. Semua orang tampak sama, tanpa perbedaan seksual, dan dapat melihat hanya dengan pancaran tubuh mereka sendiri, yang memancarkan cahaya. Orang-orang memiliki persepsi ekstrasensoris dan juga kekuatan ekstrafisik. Mereka tidak perlu makan makanan kasar melainkan hidup dengan makanan berupa konsentrasi tunggal. Umur manusia pada saat itu secara harfiah hampir merupakan angka yang tak terhitung, karena tidak ada matahari atau bulan untuk menggambarkan berlalunya waktu. Sebenarnya, "tak terhitung" adalah satuan terbesar ketika menghitung 10, 100, 1.000, 10.000, dll. Mirip dengan ini, jika kita meningkatkan ini hingga 10 pangkat 60, ini sebenarnya akan menjadi umur dari orang-orang yang hidup pada waktu itu. Oleh karena itu, "tak terhitung" lebih mirip "milyaran".

Selama 20 kalpa menengah terakhir dari evolusi, muncul di bumi sejenis “tanah” tertentu yang dapat dimakan, sebenarnya mungkin sejenis lumut, bersama dengan beberapa orang yang mengembangkan keinginan akan rasa karena daya karma sebelumnya. Orang-orang itu menyelidiki pertumbuhan ini dengan menyentuhnya dengan jari-jari mereka, menjilatnya dan, dengan cara ini, mereka mulai memakannya. Mereka menemukan bahwa itu sangat lezat, namun dengan mulai menjilat dan memakan pertumbuhan ini, akhirnya tubuh mereka berangsur kehilangan sifat kilau, kecemerlangan, dan bercahayanya. Pada titik ini, matahari, bulan, dan bintang-bintang muncul di langit dan, akibat berkurangnya daya positif yang telah dibangun makhluk-makhluk itu, umur mereka berangsur berkurang dari tak terukur menjadi 80.000 tahun.

Selama masa ini, pertumbuhan yang dapat dimakan di tanah ini akhirnya menjadi habis, dan orang-orang kemudian mulai memakan bunga dari pohon-pohon tertentu. Tubuh mereka menjadi semakin kasar dan akhirnya orang-orang mulai makan makanan yang semakin kasar. Sebagai hasil dari makan makanan yang lebih kasar, tubuh mereka mulai menghasilkan limbah cair dan padat. Sebagai hasilnya, mereka mengembangkan saluran kemih dan saluran pencernaan. Dengan cara ini, tubuh mereka membentuk organ seks dan organ lain untuk membuang limbah.

Sampai saat ini, kelahiran manusia ini adalah dengan transformasi ajaib. Mereka intinya tampak utuh; namun, begitu mereka mengembangkan organ seksual dan melakukan persetubuhan, orang mulai dilahirkan dari rahim. Mereka yang melakukan persetubuhan dikritik oleh mereka yang tidak, sehingga mereka mulai membangun rumah untuk menyembunyikan aktivitas seksual mereka dari orang lain.

Orang-orang makan lebih banyak dan lebih banyak makanan, dan setiap jenis bunga yang mereka andalkan sebagai sumber makanan menjadi habis. Akhirnya, orang-orang mulai berpikir untuk mengumpulkan terlebih dahulu apa yang akan mereka makan besok dan lusa. Dengan cara ini, orang-orang mulai menimbun dan mengumpulkan bunga-bunga ini. Karena penimbunan ini, mau tidak mau bunganya habis dan tidak tersisa.

Setelahnya, mulai tumbuh jenis tumbuhan yang tidak perlu ditanam atau dibudidayakan. Itu adalah jenis tumbuhan yang tumbuh liar, dan ini juga sangat lezat. Sekali lagi, penimbunan muncul dan, sebagai hasilnya, tumbuhan ini tidak lagi tumbuh liar seperti awalnya. Mereka hanya akan tumbuh saat orang benar-benar menanam dan mengolahnya sebagai hasil bumi. Ini memulai pengembangan pertanian, menanam tanaman.

Akibatnya, orang-orang mulai membagi lahan dan berpikir dalam istilah "lahanku" dan "lahanmu" dan perselisihan muncul. Mereka membutuhkan seorang pejabat untuk memutuskan perselisihan ini, sehingga orang-orang berkumpul dan memilihnya. Raja pertama bernama Mahasammata (Kun-gyi bkur-ba), “Yang Dihormati Banyak Orang”. Pada saat ini, orang-orang mulai dibagi menjadi empat kasta utama India.

Selama seluruh proses ini, umur manusia terus berkurang dan sekarang telah mencapai 80.000 tahun. Ini dan awal dari silsilah raja-raja pertama menandai awal yang pertama dari 20 kalpa menengah bertahan. Hanya dalam periode satu kalpa menengah bertahan, umur manusia berkurang, satu tahun tiap abad, dari 80.000 menjadi 10, para Buddha menjelma dan muncul di alam semesta itu.

Diulang kembali, kalpa besar saat ini dikenal sebagai “yang beruntung” karena selama kalpa menengah bertahannya, 1.000 Buddha akan menjelma dan datang. Saat umur manusia di Benua Selatan mencapai 80.000 tahun, awal dari kalpa menengah bertahan pertama, inilah saat kedatangan Buddha pertama di kalpa ini, Krakucchandra ('Khor-ba' jig). Buddha kedua, Kanakamuni (gSer-thub), datang ketika umur manusia mencapai 60.000 tahun. Buddha ketiga, Kashyapa ('Od-srung), datang ketika umur manusia mencapai 20.000 tahun. Ketika umur manusia mencapai 100 tahun, inilah saat Buddha keempat, Buddha Shakyamuni saat ini, menjelma dan muncul. 

Lima Kemerosotan

Selain itu, selama seluruh prosedur ini, semua orang tumbuh lebih kecil. Ukuran manusia dan hewan berkurang seiring dengan berkurangnya umur. Buddha keempat, Buddha Shakyamuni, datang pada masa yang dikenal sebagai “lima kemerosotan” (snyigs-ma lnga, lima kemerosotan).

Apakah kelima ini? Mereka adalah kemerosotan:

  • Zaman
  • Umur
  • Pandangan
  • Perasaan gelisah
  • Makhluk.

Adapun kemunduran zaman, dapat kita pahami hal ini dalam pengertian bagaimana di masa lalu ada banyak harta di laut dan sekarang ini semakin menipis. Ini mengacu pada fakta bahwa sumber daya alam sedang menipis atau habis. Inilah yang dimaksud dengan zaman kemerosotan.

Demikian pula, kemerosotan kedua, kemerosotan umur, mengacu pada masa hidup yang semakin singkat. Saat ini, sangat sedikit orang yang hidup melebihi usia 100 tahun.

Pandangan yang merosot mengacu pada fakta bahwa ada banyak orang yang tidak percaya pada sebab dan akibat, yang mengatakan tidak ada yang namanya kehidupan masa lalu dan masa depan, dan yang mengatakan tidak ada gunanya mempraktikkan jenis Dharma atau kegiatan spiritual apa pun. Mereka berpikir bahwa satu-satunya hal adalah kehidupan ini, dan mereka bekerja hanya untuk kehidupan ini. Jenis sikap ini adalah contoh dari pandangan yang merosot.

Kemerosotan perasaan gelisah mengacu pada fakta bahwa bahkan orang-orang yang mencoba mempraktikkan Dharma masih memiliki banyak kemarahan, kemelekatan, dan perasaan gelisah lainnya.

Kemerosotan makhluk hidup, misalnya, mengacu pada manusia yang semakin lama semakin kecil seiring dengan semakin pendeknya umur secara bertahap. Ini akan berlanjut sampai manusia menjalani kehidupan yang lengkap hanya dalam 10 tahun – umurnya akan serendah itu. Itu terjadi pada akhir kalpa pertama dari 20 kalpa keabadian. Orang-orang saat ini akan sangat agresif dan akan terus bertarung satu sama lain. Pada titik inilah yang kelima dari 1.000 Buddha dari kalpa ini akan datang, Buddha Maitreya. Dipengaruhi oleh ajarannya, orang akan mulai mempraktikkannya. Akibatnya, umur manusia akan meningkat secara bertahap karena kekuatan dari potensi karma positif bersama yang dibangun oleh orang-orang tersebut. Umur manusia kemudian akan terus meningkat hingga mencapai 80.000. Setelah mencapai puncak 80.000 ini, sekali lagi akan mulai kembali berkurang.

Siklus kenaikan dan penurunan ini terjadi dalam masing-masing dari 18 kalpa menengah berikutnya. Ini dikenal sebagai "18 kurva waktu." Seiring turunnya umur manusia ke rentang 10 tahun di setiap kalpa menengah berikutnya, sisa dari 1.000 Buddha ini akan datang. Pada akhir dari 20 kalpa menengah bertahan, hanya bagian dari siklus di mana umur manusia meningkat yang terjadi.

Dua Puluh Kalpa Menengah Kemerosotan dan Kekosongan

Setelahnya, saat kekuatan dari potensi karma positif makhluk telah habis, ini menandai awal dari kalpa menengah kemerosotan ketika lingkungan dihancurkan dan makhluk-makhluk di dalamnya punah. Ada beberapa cara di mana alam semesta dihancurkan di setiap kalpa besar. Misalnya, salah satu caranya adalah akibat kekuatan potensi negatif kolektif yang dibangun oleh makhluk-makhluk di dalamnya, matahari kedua muncul di langit, dan kemudian matahari ketiga, dan akhirnya tujuh matahari. Dengan kekuatan panas matahari-matahari ini, seluruh alam semesta material pertama-tama mengering dan kemudian terbakar. Dengan cara itu, ia akan hancur. Seluruh proses kemerosotan ini, misalnya oleh api, berlangsung selama 20 kalpa menengah. Ini dikenal sebagai 20 kalpa menengah kemerosotan.

Saat tiada lagi yang tersisa dan semuanya hanya kekosongan total, yang berlangsung selama 20 lagi kalpa menengah, ini dikenal sebagai “kalpa menengah kekosongan.” Dengan cara ini, ada 80 kalpa menengah yang membentuk satu kalpa besar, yang di dalamnya terjadi siklus empat fase dari berkembang, bertahan, merosot, dan kekosongan. 

Kalpa Kegelapan dan Kalpa Layaknya Bintang

Setelah kalpa besar kita yang terdiri dari 80 kalpa menengah berakhir, sekali lagi akan ada 60 kalpa besar dengan durasi yang sama dengan kita. Semua ini akan menjadi kalpa gelap, yang masing-masing juga berlangsung selama 80 kalpa menengah. Mereka dikenal sebagai “kalpa gelap” karena, selama waktu yang sangat lama ini, tidak ada Buddha yang akan muncul di dalamnya sama sekali. Setelahnya, akan muncul kalpa besar lainnya yang dikenal sebagai “kalpa layaknya bintang”, yang di dalamnya 20.000 Buddha akan menjelma dan datang.

Jika kita mempertimbangkan semua jenis kalpa yang berbeda ini, maka kalpa di mana seorang Buddha tidak akan muncul jauh lebih sering daripada kalpa di mana para Buddha muncul. Lebih jauh lagi, hanya selama 20 kalpa menengah alam semesta yang bertahan, para Buddha sungguh menjelma dan muncul di dunia. Ini tidak terjadi selama kalpa-kalpa menengah lainnya. Demikian pula, dalam 20 kalpa menengah bertahan, para Buddha datang ke dunia hanya selama separuh dari kemerosotan umur manusia, bukan separuh di mana ia bertambah. Jadi, saat kita membahas kurva waktu ini, hanyalah selama kurva kalpa bertahan bagian bawah, saat rentang hidup manusia menurun, Buddha sungguh muncul.

Buddha Keempat, Buddha Shakyamuni

Jika kita memikirkan hal ini, kita menyadari betapa jarangnya seorang Buddha sungguh menjelma dan datang ke dunia ini, betapa kita telah mencapai landasan kerja yang sungguh baik akan kehidupan manusia pada titik waktu tertentu, dan bahwa kita memiliki kebaikan rejeki bisa bertemu dengan ajaran Buddha semacam itu. Jika kita bertanya, “Ajaran Dharma mana yang telah kita jumpai?” kita telah bertemu dengan ajaran yang diberikan oleh Buddha ke empat dari 1.000 kalpa yang luar biasa ini, Buddha Sakyamuni.

Hanya melihat patung Buddha atau tulisan Buddhis bukan merupakan pertemuan dengan Dharma Buddha. Apa sebenarnya makna bertemu dengan Dharma? Inilah yang kita lakukan di sini hari ini. Apa makna kedatangan kita ke sini hari ini? Kita datang ke sini karena kita semua telah melihat bahwa terlepas dari berapa banyak kenyamanan materi yang kita miliki, itu tidak membawa kebahagiaan yang langgeng atau terjamin. Kita datang untuk mencari jenis kebahagiaan yang jauh melampaui apa yang dapat diperoleh semata dari kemajuan materi. Kita datang untuk menemukan beberapa ajaran tentang ini. Ini merupakan kedatangan dan pertemuan dengan Dharma.

Dari 1.000 Buddha di kalpa ini, mereka akan dibagi, menurut kasta India, antara yang akan muncul dalam kasta brahmana dan yang akan muncul dalam kasta kerajaan. Buddha Shakyamuni datang dalam kasta kerajaan. Nama yang diberikan kepadanya saat lahir adalah Pangeran Siddhartha. Ayahnya dikenal sebagai Raja Shuddhodana. Ibunya adalah Mayadevi. Pada saat itu, kekayaan agung keluarga kerajaan cukup besar, jika kita berpikir dari segi kekayaan India di masa lalu.

Pada suatu waktu, Pangeran Siddhartha muda melakukan perjalanan keliling kerajaan untuk melihat apa yang terjadi di luar. Saat ia bepergian, ia bertemu seseorang yang sedang membawa mayat. Saat ia bertanya apa ini, ia diberitahu bahwa seseorang telah meninggal, dan mereka mengusung mayatnya. Siddhartha menjadi sangat sedih. Kemudian, ketika mereka melanjutkan perjalanan, ia melihat orang yang sakit. Kemudian ia melihat seseorang yang sangat tua dan bungkuk. Setelah beberapa saat, ia melihat seorang pengemis pertapa, seorang shramana (dge-sbyong), yang mengenakan jubah tipis. Ia berpikir bahwa tidak peduli berapa banyak kemakmuran materi yang mungkin ia miliki, pada akhirnya begitulah kondisi manusia yang bermuara pada jenis duka seperti itu – kematian, penyakit, dan usia tua.

Pengalaman ini mengalihkan citanya dari segala kekayaan materi dan kemegahan yang ia nikmati di istananya. Ia pergi ke penatua, Namdrag (rNam-grags), memotong rambutnya dan menjadi selibat, pertapa yang berserah. Ia melakukan praktik pertapaan yang sangat sulit selama enam tahun, dan kemudian, pada hari kelima belas bulan keempat, di Bodh Gaya, ia mewujudkan pencerahannya. Pada hari keempat bulan keenam, Buddha pergi ke Varanasi (Benares) dan di sana untuk pertama kalinya ia memutar roda Dharma. Setelah mengatur aliran putaran pertama dari ajarannya, Sang Buddha mengajar selama bertahun-tahun dan akhirnya meninggal di Kushinagar. 

Nagarjuna 

Setelah itu, ada garis penerus dari mereka yang memegang semua ajaran Buddha, mulai dari Mahakashyapa ('Od-srung chen-po) hingga berturut-turut "tujuh leluhur ajaran" (bstan-pa'i gtad- rab bdun).

Pada abad-abad berikutnya, ajaran Mahayana, yang tidak disebarluaskan secara terbuka, menurun dalam arti semakin tidak tersedia. Namun kemudian datanglah “dua guru besar yang membuka jalan bagi kereta tradisi (Mahayana)” (shing-rta’i srol-‘byed chen-po gnyis), Nagarjuna dan Asanga. Nagarjuna, datang seperti yang dinubuatkan oleh Sang Buddha sendiri. Karena Nagarjuna dan ajarannya, Dharma Mahayana kembali berkembang pesat.

Nagarjuna menulis enam tulisan agung tentang Madyamaka atau Jalan Tengah. Dikenal secara kolektif sebagai Enam Kumpulan Penalaran (Rigs-tshogs drug), yang utama adalah Seloka Mendasar Mengenai Madhyamaka, Disebut “Kesadaran Pembeda” (dBu-ma rtsa-ba shes-rab, Skt. Prajna-nama-mulamadhyamaka-karika). Lima lainnya adalah:

  • Karangan Mulia (Rin-chen ‘phreng-ba, Skt. Ratnavali)
  • Penolakan Bantahan (rTsod-pa zlog-pa, Skt. Vigrahavyavarti)
  • Tujuh Puluh Seoloka Mengenai Sunyata (sTong-nyid bdun-bcu-pa, Skt. Shunyatasaptati)
  • Sutra yang Disebut “Tenunan Halus” (Zhib-mo rnam-‘thag zhes-bya-ba’i mdo, Skt. Vaidalya-sutra-nama)
  • Enam Puluh Seloka Penalaran (Rigs-pa drug-cu-pa, Skt. Yuktishashtika).

Akibat enam tulisan ini, ajaran Mahayana, khususnya yang mengenai Madhyamaka, berkembang pesat. Dari dua silsilah, silsilah ajaran-ajaran mendalam dan silsilah ajaran-ajaran tersebar luas, silsilah ajaran-ajaran mendalam diteruskan melalui Nagarjuna dengan cara ini.

Asanga

Yang kedua dari dua silsilah ini, jalur ajaran yang tersebar luas, datang melalui Asanga, guru besar kedua yang membuka jalan bagi kereta tradisi Mahayana. Ibu Asanga adalah seorang brahmana wanita bernama Prakashashila (Rab-gsal ngang-tshul-ma). Saat ia muda, ia memiliki keinginan untuk melahirkan anak laki-laki yang akan membuat Dharma meningkat dan berkembang. Karenanya, ia mengambil seorang suami dari kasta kerajaan yang berkuasa, dan putra yang lahir dari persatuan itu adalah Asanga.

Asanga bertanya kepada ibunya selama masa kecilnya, “Apa pekerjaan ayahku? Apa yang ia lakukan?" Ibunya berkata, “Tidak masalah apa yang ayahmu lakukan. Aku berdoa untuk melahirkan seorang putra sepertimu, bukan untuk memajukan maksud duniawi, melainkan untuk menyebarkan dan memajukan ajaran Dharma. Lebih jauh lagi, dari ajaran Dharma, aku berdoa agar engkau dapat memajukan ajaran Mahayana.” Untuk tujuan ini, Asanga memulai latihan meditasi untuk mendapatkan penglihatan atau realisasi nyata dari dewa meditasi Maitreya.

Setelah dua belas tahun bermeditasi, ia akhirnya mewujudkan penglihatan Maitreya, yang membawanya ke alam surgawi Tushita. Di sana Asanga tinggal selama bertahun-tahun. Ia menerima banyak ajaran dari Maitreya, yang kemudian ia tulis dari ingatan. Mereka dikenal sebagai Lima Tulisan Dharma Maitreya (Byams-chos sde-lnga). Apa saja kelima tulisan tersebut? Mereka adalah:

  • Kerawang Perwujudan (mNgon-rtogs rgyan, Skt. Abhisamayalamkara)
  • Kerawang bagi Sutra-Sutra Mahayana (Theg-pa chen-po mdo-sde rgyan, Skt. Mahayanasutralamkara)
  • Membedakan yang Tengah dan Ekstrem (dBu-mtha’ rnam-‘byed, Skt. Madhyantavibhanga)
  • Kesinambungan Abadi yang Paling Jauh (rGyud bla-ma, Skt. Uttaratantra)
  • Fenomena Pembeda dan Sifat Sejatinya (Chos-dang chos-nyid rnam-‘byed, Skt. Dharmadharmatavibhanga).

Asanga tinggal di alam surgawi ini setara dengan selama satu pagi para dewa. Saat ia kembali ke bumi, ke alam manusia, ia mendapati bahwa 50 tahun telah berlalu. Setelah kembali ke dunia manusia, Asanga sendiri memprakarsai banyak tulisan. Akibat kegiatan ini, ajaran Mahayana semakin berkembang dan silsilah ajaran yang tersebar luas terus berlanjut. 

Atisha

Ajaran Nagarjuna diturunkan dalam silsilah ajaran mendalam kepada guru India Vidyakokala. Melalui dialah Atisha menerima ajaran-ajaran itu dari Nagarjuna. Silsilah dari sisi Asanga turun melalui penerus guru-guru besar yang disebut Maitriyogi. Melalui dialah Atisha menerima silsilah Asanga. Dengan demikian, Atisha memegang semua petunjuk pedoman dari kedua silsilah ini yang berasal dari Nagarjuna dan Asanga.

Atisha sendiri lahir dalam keluarga kerajaan besar di Bengal. Keluarganya sungguh kaya dan makmur. Namun, ia melihat bahwa tidak ada esensi sama sekali dari hal-hal duniawi ini. Ia mengalihkan citanya sepenuhnya dari kekayaan ini dan pergi ke Universitas Biara Nalanda, di mana ia menerima penahbisan biksu. Ia belajar sangat keras dan menjadi pandit yang sangat terpelajar.

Ia memeriksa dengan sangat hati-hati cara apa yang terbaik untuk mencapai pencerahan secepat mungkin agar dapat memberi manfaat bagi semua makhluk hidup. Itu terjadi pada beberapa kesempatan, saat mengelilingi stupa besar di Bodh Gaya, patung-patung di stupa itu berbicara kepadanya. Pada suatu kesempatan, sebuah patung berkata kepada Atisha bahwa cara terbaik untuk mencapai pencerahan dengan cepat adalah dengan mengembangkan motif dan tujuan pencerahan bodhicita. Atisha telah memiliki tingkat perkembangan bodhicita tertentu pada kesinambungan batinnya, namun ia mencari petunjuk panduan lengkap untuk dapat membawa perkembangan ini ke titik akhir sepenuhnya.

Oleh karena itu, ia mencari ke mana-mana untuk seseorang yang memiliki petunjuk panduan lengkap untuk melakukan ini. Ia mendengar bahwa petunjuk ini dipegang oleh Lama Serlinga yang agung, juga bernama Dharmakirti Shri, di tempat yang sekarang disebut Sumatera di Indonesia. Jadi, ia pergi menemui guru besar di Sumatra ini untuk mencari petunjuk lengkap ini. Saat itu, mereka tidak memiliki kapal besar seperti kita sekarang; ia pergi dengan perahu yang tersedia saat itu. Butuh waktu dua belas bulan untuk melakukan perjalanan laut yang sulit ini dari India ke Sumatra untuk bertemu guru ini. Atisha tinggal di sana selama dua belas tahun dan mendengarkan semua instruksi tentang bahan pelajaran. Kemudian ia kembali ke India.

Di Tibet pada saat tersebut, sudah ada perkembangan Dharma sebelumnya, seperti yang diprakarsai oleh upaya Guru Rinpoche yang agung, Padmasambhava, dan kepala biara Nalanda yang agung, Shantarakshita. Melalui usaha mereka, aliran Nyingma, “Tradisi Lama”, telah berkembang pesat di Tibet. Meskipun demikian, ajarannya saat ini mengalami kemunduran. Mereka dipraktikkan dalam bentuk yang salah dan merosot dan, akibatnya, penindasan Dharma telah terjadi.

Di bagian barat Tibet yang dikenal sebagai Guge, ada dua raja yang bersaudara. Salah satunya adalah Yeshe Wo (Ye-shes 'od) dan yang lainnya, keponakannya Jangchub Wo (Byang-chub 'od). Ingin menghidupkan kembali Dharma di Tibet, mereka berdua telah mengirim banyak orang ke India untuk dapat mempelajari Dharma. Kecuali sejumlah kecil, sebagian besar dari mereka tidak dapat menahan panas yang hebat dan kondisi yang sulit di India dan tidak dapat menyelesaikan upaya mereka. Sempat muncul pembicaraan pada waktu itu tentang siapa yang akan menjadi orang terbaik di India, guru yang paling terpelajar dan cocok yang akan dapat menyebabkan ajaran sekali lagi berkembang dan menyebar di Tibet. Dikatakan pada waktu itu bahwa tidak akan ada yang lebih baik dari Atisha. Oleh karenanya, raja-raja ini mencari berbagai cara untuk mengundang Atisha datang ke Tibet.

Sayangnya, di daerah yang sama di perbatasan Tibet, ada raja lain yang menangkap Yeshe Wo dan menjebloskannya ke penjara. Keponakannya, Jangchub Wo, mendekati raja ini dan meminta agar ia membebaskan pamannya Yeshe Wo. Raja berkata, “Jika engkau membawakanku sejumlah emas yang setara berat tubuh pamanmu, maka aku akan melepaskannya.” 

Jangchub Wo berkeliling mencari untuk mengumpulkan emas yang cukup untuk memenuhi persyaratan ini, namun ia hanya mampu membawa kembali emas yang hanya setara dengan berat tubuh pamannya di bawah leher. Raja yang menahan Yeshe Wo mengatakan kepadanya bahwa ia perlu membawa lebih banyak emas untuk menyamai berat kepala juga. Jangchub Wo harus keluar dan mengumpulkan lebih banyak emas.

Sebelum ia berangkat lagi, Jangchub Wo pergi untuk berbicara dengan pamannya Yeshe Wo di tempatnya ditahan. Ia mengetuk pintu dan berkata, “Jika aku mau, aku bisa berperang dengan kerajaan ini dan dengan cara ini memperoleh pembebasanmu. Tapi ini akan menyebabkan banyak kerugian bagi kehidupan makhluk-makhluk di daerah ini, jadi aku tidak berpikir untuk melakukan itu.” Kemudian ia melanjutkan dan berkata, “Jadi aku mencari cara damai untuk memperoleh pembebasanmu. Raja berkata bahwa aku harus membawa kembali emas yang cukup yang setara dengan berat tubuhmu. Aku masih belum memiliki cukup emas untuk menyelesaikan permintaan itu. Aku masih butuh sebanyak kepalamu. Aku akan pergi keluar dan melakukan perjalanan lagi. Tolong tunggu di sini sampai saat itu. ”

Kerabat yang lebih tua, Yeshe Wo, berkata kepada keponakannya, “Aku tidak berpikir bahwa engkau mampu melakukan tugas seperti itu karena engkau masih sangat muda. Namun engkau sangat berani mencari cara untuk menemukan semua emas ini untuk memperoleh pembebasanku. Namun, jika engkau menggunakan semua emas yang telah engkau kumpulkan ini untuk kesejahteraan diriku sendiri, itu akan sia-sia. Itu tidak akan menjadi manfaat besar bagi Tiga Permata. Karena itu, tolong jangan sia-siakan untukku. Sebaliknya, gunakan emas ini untuk dapat mengirim beberapa orang ke India dan mengundang guru besar terpelajar Atisha untuk datang ke Tibet. Ini akan menyebabkan berkembangnya Dharma terjadi sekali lagi. Tolong beri tahu juga pada Atisha bahwa ia harus datang, karena aku telah mengorbankan hidupku untuk tujuan ini, untuk mengundangnya dan membawanya ke Tibet.”

Jangchub Wo melihat melalui celah kecil di pintu ke pamannya. Ia melihat bagaimana pamannya sungguh diikat dan dibelenggu dan dalam kondisi yang sangat menyedihkan dan menyulitkan secara fisik. Dengan cara ini, raja Yeshe Wo mengorbankan hidupnya untuk dapat memberi manfaat bagi ajaran tersebut. Jangchub Wo mengirim penerjemah, Nagtso untuk mengundang Atisha kembali ke Tibet. Nama Nagtso Lotsawa adalah Tsultim Gyalwa (Nag-mtsho Lo-tsa-ba Tshul-khrim rgyal-ba).

Di India, Atisha menerima penglihatan Tara yang membuat berbagai ramalan: “Jika engkau pergi ke negeri di utara, ke Tibet, engkau akan menyebabkan ajaran Dharma berkembang dan meluas di sana. Engkau akan memiliki seorang murid di Tibet yang namanya akan menjadi Upasaka (artinya “awam”), dan ia secara khusus akan menyebabkan ajaran berkembang pesat di sana. Namun, jika engkau pergi ke Tibet, rentang hidupmu akan berkurang dua puluh tahun; namun, bagaimanapun, engkau akan membawa manfaat besar bagi makhluk hidup dan ajaran di sana.”

Atisha merasa bahwa jika ia dapat pergi dan memberikan manfaat besar bagi ajaran dan makhluk hidup di sana, tidak masalah jika umurnya berkurang dua puluh tahun. Ia merasa ia harus pergi. Ia melakukan perjalanan yang sulit ke Tibet, melewati Nepal, dan kemudian tinggal di Tibet selama tujuh belas tahun sebelum ia meninggal.

Di Tibet, seperti yang dinubuatkan oleh Tara, ia bertemu dengan muridnya, Upasaka Dromtonpa, Gyalwa Jungne (‘Brom-ston rGyal-ba’i ‘byung-gnas), yang merupakan inkarnasi Chenrezig, Avalokiteshvara. Raja Dharma, Jangchub Wo, meminta Atisha untuk memberikan ajaran tentang perlindungan dan sebab akibat. Tulisan ini, Suluh bagi Jalan Menuju Pencerahan, disusun oleh Atisha untuk memenuhi permintaan ini. Itulah sebabnya dikatakan dalam paragraf pertama tulisan, Setelah didesak oleh muridku yang luar biasa, Jangchub Wo. Ini mengacu pada fakta bahwa ajaran ini diminta oleh raja besar ini.

Silsilah ajaran-ajaran ini terutama diturunkan kepada muridnya, Dromtonpa. Silsilah berlanjut melalui Dromtonpa dan melalui berbagai geshe Kadampa terpelajar yang sangat terkenal, seperti Geshe Potowa dan murid-muridnya. Silsilah tersebut terus diturunkan hingga saat ini.

Dengan cara ini, kita dapat melihat bagaimana raja-raja zaman dahulu berusaha keras agar berbagai guru dan penerjemah terpelajar datang ke Tibet. Mereka tidak mempedulikan berapa banyak uang, kekayaan, dan kesulitan yang dikeluarkan dalam upaya ini. Semua ini dibuat untuk menyebabkan ajaran Dharma datang ke Tibet dan berkembang.

Langkanya Bertemu dengan Ajaran Sang Buddha

Ada beberapa alasan untuk menjelaskan semua sejarah ini dan itu adalah sesuatu yang harus kita pikirkan lebih lanjut. Intinya adalah untuk mendapatkan perasaan dan penghargaan tentang betapa jarangnya kita bertemu dengan ajaran Sang Buddha. Sejarah ini juga bagus sebagai pengantar untuk masuk ke dalam ajaran dan untuk mengetahui latar belakang sejarahnya. 

Top