Kepelikan Karma
Karma adalah suatu bahasan mengenai apa yang terjadi pada kita dan mengapa. Karma adalah sesuatu yang sangat berkaitan dengan kita semua pada secara pribadi, bukan hal di luar ranah kehidupan kita. Andai kita dapat mulai memahami karma dan cara kerjanya, kita dapat mulai memahami apa yang terjadi dalam kehidupan kita dan cara menghadapinya. Bahasan karma juga membawa kita pada bahasan budi pekerti dalam ajaran Buddha, yang berkenaan dengan cara kita membentuk perilaku dan bagaimana itu mempengaruhi apa yang terjadi pada kita.
Karma mengacu pada sebab dan akibat berperilaku. Dengan kata lain, kita tidak sekadar bicara tentang sebab dan akibat dari benda-benda berwujud, tapi hubungan sebab dan akibat antara perilaku dan pengalaman kita. Tentu saja, kita harus ikut-sertakan hubungan sebab dan akibat hal-hal di luar diri kita. Kita menubruk meja dan, karena meja itu benda padat, terasa sakit. Unsur-unsur seperti cuaca, sejarah, politik, ekonomi, dan seterusnya juga mempengaruhi pengalaman kita. Malah, kalau kita pikir-pikir, kita lihat bahwa semua yang pernah terjadi dalam sejarah secara mutlak mempengaruhi pengalaman kita.
Jika kita pikir tentang apa itu sejarah, itu pun bukan hal gampang. Sejarah hanyalah sebuah penyarian yang dipertalikan pada apa yang telah dilakukan setiap orang di semesta ini. Ia hanyalah suatu cara menyusun dan menjelaskan perbuatan berjuta-juta makhluk. Bukan main peliknya. Jadi, peristiwa-peristiwa sejarawi, seperti pesawat-pesawat yang menabrak gedung World Trade Center minggu lalu, bukanlah sekadar peristiwa-peristiwa padu padat yang akan membentuk apa yang akan kita dan setiap orang lain alami sebagai akibatnya di masa depan. Banyak, banyak sekali hal yang menjadi sebab bagi peristiwa mengenaskan tersebut; banyak hal terjaring bersama selama peristiwa itu; setiap orang akan mengingat berbagai hal tentang peristiwa itu; dan banyak, banyak sekali hal yang akan terpengaruh olehnya di masa depan. Itulah sejarah.
Pengalaman dan perilaku kita, yang berdasar pada pengalaman kita, merupakan hal paling rumit yang ada. Sekalipun kita tidak betul-betul memahami atau berpikir dalam kerangka kelahiran kembali, segala hal yang pernah diperbuat semua orang yang pernah hidup itu mempengaruhi pengalaman dan perilaku kita. Segala hal yang pernah kita perbuat dalam kehidupan kita mempengaruhi pengalaman dan perilaku kita juga. Dari sudut pandang Buddha, ia mencakup segala hal yang telah kita dan semua orang lain pernah perbuat dalam kehidupan lampau, bukan cuma kehidupan ini saja.
Di sini, istilah jejaring cukup bermanfaat. Ketika kita berpikir tentang karma, kita harus memikirkan jejaring luar biasa dari perbuatan setiap orang yang tersaling-hubung dan mempengaruhi segala hal yang dialami dan diperbuat setiap orang. Ini sangat menarik karena tidak bersifat setangkup. Jika ia setangkup, perilaku dan pengalaman setiap orang akan sama persis. Seumpama Big Bang. Kalau segala hal bermula dari satu titik, lalu bukankah mestinya semua tata bintang dan seluruh semesta yang menyeruak dari titik tersebut bersifat setangkup? Tapi kenyataannya tidak. Apa kesimpulan yang bisa kita tarik dari situ? Kita semua makhluk perorangan. Kita tidak serupa semua. Walau kita semua dipengaruhi oleh hal-hal yang sama, kita punya karma perorangan kita. Dan, tak ada awal. Kalau ada suatu awal, segalanya mesti setangkup. Coba pikirkan itu. Kita bisa mulai menghayati betapa rumitnya karma itu.
Butuh Kemahatahuan untuk Tahu Semua tentang Karma
Untuk mampu memahami semua ini, kita harus jadi mahatahu, karena kita harus memahami segala sesuatu dan bagaimana segala sesuatu itu saling terhubung. Maka itu, hanya seorang Buddha yang mampu memahami karma sepenuhnya. Ketika kita berpikir tentang kemahatahuan, kita perlu mencoba untuk memahami bahwa kita tidak sedang bicara tentang kepingan-kepingan kecil berisi keterangan atau data terpencil tentang setiap orang, seperti suatu jejaring adi-matamata. Alih-alih, ia berupa pengetahuan atas keseluruhan jejaring ini, segala sesuatu yang saling terhubung secara antarmatra. Tidak ada itu yang namanya data terpencil. Ketika kita bicara tentang sesuatu, kesannya seperti hal itu merupakan data terpencil. Yang diketahui seorang Buddha adalah keseluruhan jejaringnya, jejaring karma yang bukan main ini. Inilah yang diketahui cita mahatahu, semuanya sekaligus. Kalau Anda mengetahui keseluruhan jejaringnya, Anda mengetahuinya sekaligus.
Juga, bukan berarti bahwa di dalam cita seorang Buddha terdapat semilyar keping data yang berputar bersamaan. Mengapa? Karena kita membayangkan bahwa cita seorang Buddha itu berjalan secara bersekat. Berpikir secara bersekat itu seperti ada suara kecil di dalam benak kita yang berkata, "Nomor telepon orang ini sekian, sekian, sekian." Buddha tak punya suara kecil ini dalam kepalanya, yang menuturkan setiap keping keterangan di semesta ini secara semerta. Kalau kita kesulitan membayangkan kemahatahuan itu, itu karena kita melihatnya secara bersekat. Ia bersifat nirsekat. Tidak ada suara kecil yang menuturkan tiap keping keterangan. Ia bersifat langsung. Yang tampak adalah seluruh jaringnya, meski kalau kita ingin melihat sepotong kecil dan mengutarakannya lewat kata, kita bisa.
Malah, tentang hal-hal tersendiri itu, sebetulnya mereka cuma bisa dipencilkan oleh kata dan sekatan dari jaring yang saling terhubung ini. Ketika kita memencilkannya dengan kata dan sekatan, merekalah yang diacu oleh kata dan sekatan itu. Tapi mereka tidak sungguh ada seperti itu karena mereka ada sepenuhnya secara saling terhubung. Itulah yang dimaksud dengan kehampaan dan kemunculan bergantung. Segala hal bukan mengada sebagai kepingan-kepingan data kecil terpencil. Segala sesuatu itu saling terhubung dan dapat dipencilkan oleh kata dan sekatan dan menjadi hal yang diacu oleh kata dan sekatan itu, namun mereka sesungguhnya tidak mengada dengan cara demikian.
Mengenali Pandangan Keliru Kita
Kalau karma merupakan sesuatu yang hanya seorang Buddha yang dapat paham sepenuhnya, pertanyaannya: bagaimana kita lazimnya melihat hal yang terjadi pada kita dan yang terjadi pada orang lain? Cara Buddha bukanlah sekadar mengajar kita gambaran tepat atas apa yang sedang terjadi di semesta ini. Yang perlu kita lakukan ialah mengenali pandangan salah-kaprah dan keliru kita dan yakin bahwa pandangan-pandangan itu muskil. Pandangan-pandangan keliru ini sungguh tak benar, jadi kita boleh mencampakkannya. Dan pada saat bersamaan, saat kita memahami sebuah gambaran yang tepat, kita perlu yakin bahwa itu sungguh tepat.
Ingat, kata Buddha, sang-gyay (sangs-rgyas) dalam bahasa Tibet, dibangun oleh dua suku-kata. Suku-kata pertama berarti menjernihkan, memurnikan, atau menyingkirkan segala kebingungan, kesalah-pahaman, batasan, dan seterusnya. Suku-kata kedua, gyay, berarti meluaskan, bertumbuh dengan pemahaman yang tepat dan dengan sifat-sifat positif. Inilah jalan menjadi seorang Buddha, menjernihkan kebingungan dan sampah dan mengupayakan hal-hal positif.
Untuk membersihkan sampah dari rumah kita, pertama sekali kita harus menemukannya. Di komputer kita, kita harus mencari hama dan virus sebelum kita bisa menghapusnya. Kita harus mencari beberapa cara lain dalam menggambarkan apa yang terjadi pada kita dan apa yang terjadi di semesta ini, melihat apakah mereka merupakan sesuatu yang perlu kita hapus dari sistem komputer dalaman dari cita kita. Ketika kita telah membersihkan kandar-keras (hard drive) dalaman kita, kita lalu bisa menaruh program-program yang jauh lebih berguna. Jadi, tentang pilihan-pilihan lain ini, kita perlu mencoba mengenali di dalam diri kita apakah kita sungguh berpikir seperti itu atau tidak.
Kebetulan
Banyak orang berpikir bahwa apa yang terjadi pada kita itu hanya kebetulan, yang berarti bahwa tak ada pilihan. Apa semuanya terjadi secara acak? “Saya kebetulan tak sengaja bertemu denganmu di jalan.” “Kebetulan, aku ke toko itu dan lagi ada obral.” Itu artinya tak ada sebab. Bagaimana mungkin tak ada sebab? Hidup macam apa yang disiratkan hal itu? Itu menyiratkan bahwa tak ada sebab untuk segala sesuatu yang terjadi. Apa cuma kebetulan bahwa minggu lalu dua pesawat udara itu terbang ke World Trade Center? Bukan cara bagus untuk melihat apa yang terjadi dalam hidup ini, kan?
Yang menarik ialah bahwa walau kita dapat menepis kebetulan sebagai penjelasan memuaskan atas pesawat yang menabrak gedung, kita tidak menepisnya sebagai penjelasan atas pertemuan kita dengan seseorang di jalan. Harus kita cari contoh kita sendiri. Kita mungkin tidak menerima kebetulan sebagai penjelasan atas segala sesuatu, tapi kita memang cenderung berpikir bahwa itu menjelaskan beberapa hal. Apa artinya? Jika beberapa hal di semesta ini tidak terjadi karena kebetulan dan beberapa hal lain iya, apa aturannya? Jadi sangat sukar, kan? Maka, kebetulan bukanlah suatu jalan keluar atau penjelasan yang memuaskan. Sebuah tanda besar muncul di layar: Hapus!
Bakal enak sekali kalau kita bisa menghapus saja gagasan-gagasan semacam itu dari kandar keras batin dalaman kita dengan menekan sebuah tombol, tapi ini merupakan virus jahat yang pintar sembunyi yang terus nongol lagi dan lagi di dalam sistem kita. Kita harus amat sangat waspada untuk tahu kapan ia muncul lagi dan yakin untuk menghapusnya. Jika kita cukup sering menghapusnya, kita mengeluarkannya dari sistem kita. Itulah yang dimaksud dengan jalan pemurnian.
Begitupun, kita harus sedikit hati-hati dalam menggunakan perumpamaan komputer, sebab kalau keterlaluan, akan timbul pendapat nihilis dimana kita dapat menyapu bersih kandar keras kita sepenuhnya dan tak ada yang tersisa.
Program-program yang tertular ini sukar untuk dihapus sepenuhnya, tapi mungkin untuk menyingkirkannya selamanya. Begitu kita punya program-program yang benar di sana dan mencapai tingkat tertentu dalam mana kita cakap menggunakannya, sistem kita tidak akan pernah padam lagi. Sebelum kita cakap menggunakan program-program yang baru, sistem kita bisa padam karena kita belum cukup terbiasa dengannya. Ketika kita punya suatu program baru, kita harus temukan hama-hamanya dan menyingkirkannya. Ini ibarat punya pemahaman yang tepat atas Dharma. Begitu kita singkirkan hama-hamanya, program itu pun kokoh.
Dengan perumpamaan ini, kita dapat memahami jalannya adu-pendapat yang digunakan di adat Tibet untuk belajar Dharma. Jika kita mencoba menemukan semua hama dalam sistem kita dan menghapusnya sendiri, itu sukar sekali. Bukan hanya sukar, kita akan lelah melakukannya. Kita tidak melakukannya secara menyeluruh. Jika kita punya banyak pakar cergas yang mencobai dan menguji sistem kita dan mencoba mencari semua hama di dalamnya, dan itulah yang terjadi dalam adu-pendapat saat orang-orang menantang pemahaman kita, kita lalu menemukan semua hama itu dan membasmi mereka dengan jauh lebih sangkil.
Kemungkinan Matematis
Satu ragam pikiran lain tentang kebetulan adalah bahwa segala hal terjadi menurut kemungkinan matematis. Ini merupakan penjelasan ilmiah yang sangat baik. “Kalau saya cukup sering menelepon, ada kemungkinan matematis bahwa suatu saat Anda akan mengangkat gagang telepon dan saya akan dapat terhubung pada Anda.” Ada satu kemungkinan matematis bahwa jika ada cukup banyak pesawat mengudara, salah satu darinya akan terbang menabrak World Trade Center.
Apa itu penjelasan yang bagus? Bisakah kita menghitungnya pada sebuah komputer super dan menemukan jawaban yang tepat? Memang terdengar sangat baik dan ilmiah, tapi bukan begitu ceritanya, kan? Kita tidak bisa mengerat saja semua hal jadi satu rumus kemungkinan matematis. Walau para ilmuwan akan mencoba meyakinkan kita bahwa kalau ada sejuta kera duduk di depan komputer dan waktu yang disediakan cukup, salah satu dari mereka akan menulis karya lengkap Shakespeare, saya tidak yakin sepenuhnya. Lagi-lagi, alarm berbunyi: Hapus!
Keberuntungan
Pilihan berikutnya adalah keberuntungan. Segala hal terjadi karena keberuntungan. “Untung betul aku tidak berangkat kerja lebih awal dan aku tak berada di kantorku di World Trade Center.” “Orang itu sangat tak beruntung berada di gedung itu.” Begitukah terjadinya? Apa maksudnya? “Hari ini hari keberuntunganku.” Kita kadang betul-betul berpikir seperti itu.
Itu berarti ada keberuntungan yang mengada sendiri; orang yang memang pada dasarnya beruntung atau hari yang pada dasarnya sarat keberuntungan tanpa sebab. Bukan seperti itu cara kerjanya meski kita mungkin berpikir bahwa, kalau kita cukup bermeditasi, mungkin kita akan beruntung dan menjadi seorang Buddha. Kita perlu pertimbangkan kesimpulan muskil tersebut. Kita harus menghapus yang satu itu juga.
Nasib
Pilihan berikutnya adalah bahwa segalanya terjadi karena nasib atau takdir. “Sudah takdirku bertemu kekasihku.” Kita dapat pikirkan ini secara tak-pribadi: “Memang begitulah adanya.” “Sudah nasib semua orang itu untuk tewas dalam serangan teroris ini.”
Tapi takdir juga berarti sesuatu yang tentu, mengada dengan sendirinya, yang tak dapat berubah dan seterusnya. Ini pun tak betul-betul menjelaskan perkaranya. Kita memang acapkali cenderung berpikir seperti itu. “Apa takdirku dalam hidup ini? ” Lagi-lagi, kita perlu menelaah diri kita. Apa kita kadang betul-betul berpikir seperti itu? “Sudah takdirku untuk melakukan perbuatan hebat, jadi aku cuma perlu duduk santai dan membiarkannya terjadi? ”
Kehendak Tuhan
Kita dapat membawa bahasan ini ke arah lain dan berkata bahwa nasib atau takdir ini bukan hal pribadi, tapi jadi pribadi dalam pengertian bahwa apa yang terjadi merupakan kehendak Tuhan. “ Serangan ke gedung-gedung di New York dan Washington adalah kehendak Tuhan.” Untuk beberapa orang, itu merupakan sebuah penjelasan yang memuaskan. Tapi kemudian, kenapa Tuhan mau itu terjadi? Kita mungkin cuma bilang kita tak paham cara kerja Tuhan, tapi Tuhan pasti punya alasan yang kuat. Apa itu cara yang tepat-guna dalam menghadapi hidup? Bagaimana dengan orang-orang yang bilang bahwa sudah jadi kehendak Tuhan aku membajak pesawat dan menerbangkannya menabrak gedung itu? Banyak orang yang bilang bahwa mereka tahu apa kehendak Tuhan itu dan mereka mencoba memberitahu kita. Kita harus menelaah ini dalam hal apakah itu betul-betul penjelasan yang memuaskan dari apa yang terjadi di dunia dan di dalam kehidupan kita atau tidak. Banyak kesebalikan yang muncul. Buat apa makhluk mahakuasa, namun penuh welas asih dan pengampun, mau menyebabkan musibah? Itu masalah yang amat sukar dijelaskan dalam berbagai tata ketuhanan. Itu merupakan salah satu persoalan pokoknya. Jika Tuhan itu mahakuasa dan welas asih, mengapa Tuhan membiarkan penderitaan terjadi? Itu masalah yang sulit.
Kemujuran
Penjelasan berikutnya yang mungkin ada berasal dari Kekaisaran Romawi kuno: gagasan tentang kemujuran. Mujur atau nahas. Kalau seseorang memenangkan pertempuran, itu berarti bahwa dewi Kemujuran (Fortuna) tersenyum padanya. Orang-orang Romawi melemparkan para gladiator ke medan pertarungan dengan singa dan menonton untuk tahu siapa yang mujur, siapa pemenangnya. Inilah gagasan yang menyatakan yang kuasa yang benar. Jawara adalah yang benar.
Menurut pandangan ini, para pembajak itu mujur karena berhasil menyelesaikan pekerjaan mereka dan orang-orang yang tewas itu nahas karena dipecundangi dalam peristiwa itu. Tata budi pekerti macam apa yang muncul karenanya? “Kalau aku berhasil, aku mujur, itu bagus, dan tak jadi masalah bagaimana caraku memperoleh keberhasilan itu.” Kita terjun ke dunia usaha dengan berpikir tak masalah seberapa culas kita, kalau kita berhasil itu berarti kita mujur. Dengan melihat betapa kita dipengaruhi oleh tata pikir kuno ini, pandangan kita jadi cukup tercerahkan. Kita bisa hapus yang itu juga.
Hukum dan Peraturan
Kumpulan tata keyakinan berikutnya ialah bahwa segala hal terjadi menurut tatacara hukum. Satu pandangannya berupa hukum langit, hadiah dan hukuman ilahi. Ada hukum yang dibuat oleh suatu makhluk agung di langit sana. Kalau kita mematuhi hukum itu, kita dihadiahi, dan kalau kita melanggarnya, kita dihukum. Menurut pandangan ini, serangan-serangan di AS adalah karena semua kebangkrutan akhlak di AS. Sungguh ada pemimpin agama yang menjelaskannya dengan cara itu, bahwa Tuhan menghukum AS karena berlakunya hak gay dan hak aborsi, dsb. Apa ini penjelasan yang kita rasa bisa diterima? Bukan penjelasan yang bagus, kan? Khususnya karena ada begitu banyak corak hukum Tuhan menurut berbagai agama. Bagaimana kita tahu yang mana yang benar, kecuali atas dasar perkataan, “Punyaku yang benar”?
Ragam lain dari gagasan ini, yang berasal dari Yunani Kuno, adalah bahwa apa yang terjadi itu berdasar pada kepatuhan pada hukum duniawi yang dibuat oleh para wakil rakyat. Ini merupakan suatu penjelasan yang sangat menggoda. Kehadirannya cukup kuat di AS. Apa yang terjadi pada 11/9 adalah karena orang-orang melanggar hukum. “Kalau saja kita mampu menegakkan hukum dengan lebih baik, hal seperti ini tidak akan terjadi lagi.”
Bukankah itu agaknya lugu? Ini pemikiran Yunani Kuno: Kalau setiap orang patuh pada hukum yang berlaku dan menjadi warga negara yang baik, maka masyarakat akan aman sentosa. Kalau orang-orang tak patuh pada hukum, mereka harus dihukum dan dijebloskan ke penjara. “Tangkap dan hukum bin Laden dan masalahnya akan beres.” “Masalah terjadi betul-betul karena para warga negara yang jahat ini. Tak ada sebab lain.” “Orang-orang ini tidak patuh hukum; mereka jahat. Makanya, jalan keluarnya adalah penegakan hukum, tambah jumlah polisi.” Apa itu penjelasan yang baik untuk apa yang terjadi dalam hidup? Kita bisa tolak penejelasan itu juga.
Takdir Karma
Mari kita lihat beberapa cara pikir non-Barat. Dalam penjelasan Hindu, karma digambarkan sebagai suatu jenis takdir. Kita semua terlahir ke dalam kasta-kasta tertentu. Jika kita hidup bertingkah-laku sesuai dengan kasta itu, segalanya akan berlangsung tertib dan kita akan memperoleh kelahiran kembali yang lebih baik. Jika kita terlahir sebagai seorang perempuan, tentu saja sudah jadi tugas kita untuk menikah, punya anak, jadi ibu rumah tangga yang baik, melayani suami, membasuh kaki ibu mertua, dsb. Kalau semua perempuan melakukan itu dan para lelaki menjalankan tugas-tugas kastanya, masyarakat akan berlangsung selaras dan segalanya akan aman sentosa. Kalau kita menolak tugas-tugas kasta kita dan mencoba berbuat sesuatu di luar kasta kita, akan kacau jadinya. Dalam Bhagavad Gita, misalnya, ketika Arjuna dihadapkan pada buah simalakama, apakah akan bertempur atau tidak dengan para saudaranya, Krishna memberitahunya bahwa ia harus mematuhi tugasnya dan lebih baik mati saat mengerjakan tugas daripada mundur.
Ini mungkin berujung pada suatu masyarakat India yang sangat kokoh, tapi apa siratan dari penerapan hal ini dalam keadaan dunia modern kita? AS adalah adikuasa. Itulah kastanya. Apa tugas kasta tersebut? Menjadi polisi dunia dan melangsungkan perang “Keadilan Abadi” untuk mengusir kejahatan dari dunia. Kalau Amerika tidak mematuhi tugas kastanya, kekacauan dan kejahatan akan berkuasa. Para iblis akan datang dan mengambil alih. Itu contoh sempurna dari cara pikir Hindu kuno ini, bukan? Apa jenis tata budi pekerti dan penjelasan atas apa yang terjadi di dunia ini memuaskan kita atau apa kita akan tekan tombol hapus lagi?
Persesuaian
Mari kita lihat tata Cina. Dalam pemikiran Konghucu, terdapat aturan-aturan panutan di masyarakat. Jika kita mengikuti panutan ini, segalanya akan berjalan selaras. Aturan-aturan ini akan berubah, jadi kita harus mengalir bersama perubahan itu. Jika kita tetap selaras dengan perubahan seperti yang dititahkan kaisar atau presiden, segala sesuatu akan menakjubkan. Inilah budi pekerti dan watak persesuaian. Ikuti gaya panutannya. Celana harus sekian panjang, dsb. “Cari kerja yang baik dan segalanya akan baik, kau akan bahagia.” Kalau raja atau ratu gaya busana menyatakan bahwa panjang rok itu harus sekian, segalanya akan baik buat Anda dan Anda akan bahagia jika Anda menyesuaikan diri dengannya. Kalau tidak, Anda kacau.
Banyak dari kita yang berpikir begitu: kalau kita beli rumah bagus, dapat kerja bagus, dan beli mobil bagus, kita akan bahagia. Persesuaian membawa kebahagiaan. Setiap tahun kita harus mempercanggih komputer kita. Rasanya hampir-hampir seperti harus, kan? Kemana cara pikir ini menyeret kita? Kalau kaisar menyatakan perang, setiap orang harus mengibarkan panji tempur dan bergabung bersama pasukan. Kalau setiap orang melakukan itu, keadilan akan berkuasa. Kalau tidak, kita takkan pernah bahagia. Kini saatnya untuk keadilan kilat, karena kaisar telah menyatakannya, dan kaisar tahu betul. Musibah terjadi karena kita tidak cukup bersikap pahlawan. Kalau kita semua ikut saja cara Amerika, ini tidak akan pernah terjadi.
Tanam-Modal Karma
Berikutnya mari kita lihat cara Buddha Cina yang terlalu sederhana tapi banyak dipakai dalam memahami peristiwa. Kata Sanskerta karma diterjemahkan ke dalam bahasa Cina dengan sebuah huruf yang kerap dihubungkan dengan dunia usaha. Jadi karma dipandang dengan suatu cara terlalu sederhana sebagai sebuah tanam-modal usaha. Berbuat baik itu seperti menanam modal di lahan yang bagus, kita akan menuai banyak laba. Orang-orang yang terperangkap dalam gedung-gedung World Trade Center, secara karma, bukanlah pengusaha yang bagus. Apa kita pikir keadaan baik-baik saja itu bisa kita beli dengan perbuatan baik? Bisa kita membina pahala seperti membina rekening bank? Menarik untuk menelaah diri kita dan melihat betapa kita mungkin cenderung berpikir demikian. Perbuatan baik adalah sebuah tanam-modal karma, sebuah polis asuransi yang bagus. Itu bukan cara yang benar juga dalam memahami ajaran Buddha, kan?
Budi Pekerti Kemanusiaan
Kerap kita cenderung berpikir tentang apa yang terjadi dalam kerangka “budi pekerti kemanusiaan”. Kalau kita tidak menyebabkan orang lain celaka, kita akan bahagia. Kalau kita melukai orang lain, kita akan kena musibah. Itu cara nyaman dalam memandang budi pekerti bagi kebanyakan kita, tapi apakah itu sungguh menjelaskan pengalaman kita? Banyak yang tewas di New York itu orang-orang baik. Mereka rukun dan bersikap manis pada setiap orang. Semutpun tak tega mereka lukai, tapi mereka tewas dalam runtuhnya gedung itu.
Sekarang kita mulai menantang dengan sungguh-sungguh pemahaman kita atas ajaran Buddha, kan? Ajaran Buddha bukanlah sebuah tata budi pekerti kemanusiaan, meski kita harap ia begitu. Tak mencelakai orang lain – tak sesederhana itu. Yang ajaran Buddha jelaskan adalah bahwa dampak dari tindakan-tindakan kita terhadap orang lain itu tak pasti. Bisa saja saya bilang sesuatu dengan amat polosnya pada Anda dan Anda bisa saja salah paham dan sakit hati betul. Bagaimana kita mencerna hal itu dengan budi pekerti kemanusiaan? Saya buatkan hidangan sedap untuk Anda; niat saya ialah supaya Anda beroleh kenikmatan, tapi Anda membencinya. Atau lebih parah lagi, Anda tersedak dan mati. Bagaimana budi pekerti kemanusiaan menjelaskan itu? Ini pun tak cukup untuk menjelaskan apa yang terjadi.
Pandangan Buddha Indo-Tibet
Walau, tentu saja, kita mencoba mengikuti panduan untuk tak mencelakai orang lain, itu bukanlah landasan yang sebenarnya dari penjelasan Buddha atas karma dan budi pekerti. Penjelasan Buddha, dari aliran Indo-Tibet, adalah bahwa kalau tindakan-tindakan kita berada di bawah pengaruh perasaan gelisah seperti marah, keserakahan, atau lugu, maka tindakan itu bersifat merusak. Tak jadi pasal apa dampaknya terhadap orang lain siapapun itu, tindakan-tindakan saya akan berdampak merusak terhadap saya dan pengalaman saya di masa depan. Saya bisa saja merampok mobil Anda dan Anda malah senang karena bisa dapat dana asuransi dan beli yang baru. Yang pasti itu adalah dampak terhadap kita, bukan terhadap orang lain.
Saat kita menelaah diri kita, kita dapati bahwa kita tidak hanya berpikir dalam kerangka satu tata saja, tapi biasanya dalam gabungan dari beberapa tata. Kita mungkin menjelaskan beberapa hal dalam kerangka keberuntungan dan hal yang lain dalam kerangka hukum dan peraturan. Penting sekali untuk mencoba mengenali hal-hal dalam diri kita ini, menyadarinya, seperti istilah kita di Barat, to be aware of them (mewaspadainya). Jika kita menelaah tiap-tiap tata ini dan mendapati bahwa mereka tak dapat diterima, maka ketika kita tahu kita berpikir dan merasa demikian, kita dapat menolaknya.
Inilah cara penting untuk mengatasi penderitaan. Banyak orang yang menderita akibat menyaksikan dan berpikir tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di AS pada 11/9. Mengapa? Mungkin karena hilangnya nyawa, tapi apakah orang-orang akan sama murungnya kalau sebuah pesawat jatuh di sebuah desa di Afrika dan menewaskan korban dengan jumlah yang sama? Bagi kebanyakan orang, itu tidaklah begitu mengejutkan. Kita bisa bilang itu digembar-gemborkan oleh media, tapi itu cuma gembar-gembor media saja. Ketika kita kaji, yang kita temukan ialah bahwa yang begitu mengesalkan itu perasaan tak aman. Amerika tampak tahan banting terhadap berbagai serangan sebelumnya dan kini hidup terasa tak aman. Orang-orang takut terbang dengan pesawat dan seterusnya. Kita bisa tanya diri kita: “ Mengapa aku merasa seperti ini? Penjelasan peristiwa macam apa yang sedang kugunakan di sini sehingga aku merasa seperti ini? Apa aku merasa yang terjadi ini tak bersebab; hanya acak saja?"
Sebelumnya, kita mungkin berpikir bahwa kita pegang kendali, atau pemerintah pegang kendali. Ini satu lagi pandangan keliru, bahwa bisa ada suatu kekuasaan yang cukup kuat untuk mencegah terjadinya hal-hal buruk. Itu cara pandang anak kecil: “Kalau Ayahku cukup kuat, aku akan aman dari semua bahaya.” Jika itu ditentang, artinya segala hal di luar kendali. Apapun dapat terjadi, yang berarti pemikiran bahwa segala hal terjadi karena kebetulan, tanpa sebab. “Dan sekarang para penjahat biadab yang tak patuh hukum yang pegang kendali.” Itu membuat kita merasa tak aman, karena kita berpikir bahwa apa yang terjadi di dunia ini akibat runtuhnya hukum dan peraturan. Jika perang “Keadilan Abadi” ini dilangsungkan dan kita menang, karena yang menang adalah yang benar, maka kita akan aman lagi? Akankah itu sungguh terjadi? Masuk akalkah itu? Itukah yang kita pikirkan? Kalau kita kibarkan panji tempur, akankah itu membuat kita merasa lebih aman?
Ini sangat menarik. Ketika kita mulai mengkaji seperti ini, kita mulai menemukan kebenaran yang diajarkan oleh ajaran Buddha ini: jika kita memiliki sikap gelisah, yang berdasar pada suatu cara pandang yang tak tepat atas dunia, penderitaan jadi akibatnya. Istilah klesha dalam bahasa Sanskerta kadang diterjemahkan jadi “perasaan-perasaan merudung”. Tapi perasaan hanyalah separuh dari gambar utuhnya. Kita juga bisa memiliki sikap gelisah, atau pandangan yang gelisah atas hidup, yang menyebabkan kita mengalami penderitaan.
Menimbang Karma
Kita sadari bahwa apa yang terjadi dalam kehidupan ini sangatlah pelik. Berbagai daya terlibat – karma perorangan, sejarawi, politis, dan seterusnya. Malah, kita tak pernah pegang kendali. Perasaan sekonyong-konyong lepas kendali itu adalah perasaan gelisah yang saya sebut “keluguan”. Bertahun-tahun yang lalu saya menerjemahkan istilah ini jadi “ke-citabebal-an”, tapi itu tidak jitu. Keluguanlah yang tepat. Kita bisa lihat betapa jika kita berpikir lugu, penderitaan mendera.
Apa jalan keluar untuk hal yang begitu pelik ini? Bukan upaya membina lebih banyak karma positif supaya hal-hal semacam itu tak terjadi pada kita. Dalam istilah yang lebih tepat, kalau kita dapat menyingkir sepenuhnya dari karma, kita tidak akan terperangkap dalam keadaan sulit apapun. Kita perlu berupaya membantu setiap orang untuk menyingkir dari karma mereka. Jauh lebih pelik dibanding melakukan satu hal, seperti menangkap bin Laden dan kemudian takkan ada lagi musibah. Bahkan jika AS mengubah kebijakannya terhadap Dunia Ketiga dan Dunia Islam, hidup jauh lebih pelik dibanding itu saja.
Salah satu dari hukum karma ialah bahwa segala hal tidak terjadi sebagai akibat dari satu sebab saja. Apa yang terjadi ialah suatu akibat dari sebab-sebab saling-paut yang tak terhitung jumlahnya. Itu bukan berarti kita tinggal duduk manis dan tidak berbuat apa-apa. Kita bisa menambah setetes ke dalam embernya, tanpa melebih-lebihkan atau menyangkal dampak dari setetes tambahan ke dalam ember itu. Salah satu dari kata-kata bijak Buddha ialah bahwa sebuah ember tidak diisi oleh tetes pertama atau terakhir, tapi oleh gabungan semua tetes air. Kita bisa anggap bahwa kita berupaya atas karma kita sebagai cara menghadapi keadaan ini. Kita bisa mengasihani orang-orang yang meninggal dan keluarga mereka, tapi kita tidak boleh belingsatan karena peristiwa itu. Kita terus berupaya sepositif mungkin. Tapi hati-hatilah dengan kubu pemikiran bahwa kita bisa beli kebahagiaan dan keselamatan kita dengan daya positif!
Satu cara agar kita dapat menautkan diri dengan keadaan ini secara positif ialah dengan melihat bahwa keadaan ini membantu kita terjaga akan satu ajaran amat mendasar yang lain: kematian dapat terjadi kapan saja. Daripada belingsatan, kita bisa menarik keuntungan dari kesempatan kita dan tidak membuang waktu, tanpa terjerumus ke dalam sikap merusak diri seorang fanatik. Seperti bunyi salah satu koan Zen kesukan saya: “Kematian dapat datang kapanpun, santai saja.”
Ketika kita berpikir tentang karma dan pembinaan lebih banyak lagi daya positif, kita harus menghindar dari gagasan lugu bahwa nanti segalanya akan membaik dan semakin baik. Hanya karena berbuat positif tidak berarti kita kebal terhadap bencana, seolah kita punya gelembung karma kebal-serangan yang melindungi kita. “Aku aman karena terlindung! Aku membayangkan Guru-ku di kepalaku, aku punya kekuatan sakti; aku tak terkalahkan! Ada tali perlindungan merah di leherku!” Seperti pernah dikatakan seorang guru, “Jangan pikir bahwa, kalau kau ikatkan seutas tali perlindungan merah di leher seekor babi yang hendak disembelih, babi itu akan selamat!” Bahkan kalau orang-orang di World Trade Center mengenakan tali perlindungan merah pada leher mereka, saya ragu mereka akan selamat dari musibah itu.
Kita harus sadari bahwa bahkan kalau kita melakukan banyak perbuatan positif dengan cara yang amat benar, naik dan turun itu sudah jadi sifat dari samsara. Kita telah membina semua jenis daya karma tanpa awal. Tergantung pada tataran cita kita, keadaan dan seterusnya, berbagai hal akan matang. Kadang hal baik yang terjadi, kadang hal tak-begitu-baik yang terjadi. Ini mengapa kita dapati bahwa ilmu perbintangan, misalnya, tak mampu memberi kita semua jawaban tentang apa yang akan terjadi.
Karma dan Ilmu Perbintangan
Ada pembahasan besar, yang saya rasa menarik, tentang karma dan ilmu perbintangan. Bisakah kita prakirakan apa yang akan terjadi pada kita di dunia ini? Ada ilmu perbintangan dalam beberapa ajaran Buddha, khususnya dalam tantra Kalacakra. Tapi satu mahaguru Tibet pernah berkata bahwa kalau ilmu perbintangan dapat menjelaskan segala hal, maka seorang manusia dan seekor anjing yang lahir pada tempat dan waktu yang sama akan memiliki kepribadian yang sama dan mengalami hal-hal yang sama dalam kehidupan mereka. Kita bisa simpulkan bahwa karma jauh lebih pelik dibanding apa yang ditunjukkan oleh sebuah bagan ilmu perbintangan. Ada lebih banyak daya yang terlibat dari perkara benda-benda langit, sudut di antaranya, dan seterusnya.
Kalau kita telaah bagan-bagan ilmu perbintangan dari setiap orang yang tewas dalam serangan World Trade Center, saya pikir agaknya sulit untuk menemukan cara memprakirakannya. Walau kita bisa menolak pandangan ilmu perbintangan yang terlalu sederhana bahwa semua yang terjadi pada kita adalah karena planet-planet ini di luar angkasa sana, atau dewa-dewi yang hidup di planet-planet atau bintang-bintang itu, tetap kita perlu berhati-hati tentang pemahaman kita akan ilmu perbintangan. Ilmu perbintangan memberi sebuah cerminan dari tema-tema dasar karma tertentu, tapi bukan gambaran besarnya. Saya pikir model kemungkinan matematis lebih dapat diterapkan di sini untuk memahami ilmu perbintangan. Ada suatu kemungkinan tertentu bahwa inilah jenis kepribadian atau berlangsungnya peristiwa-peristiwa yang mungkin terjadi jika seseorang lahir pada waktu ini dan tempat itu. Tapi ada pula berbagai kemungkinan bahwa sesuatu yang lain yang dapat terjadi juga.
Yang harus coba kita hindari adalah sikap gelisah dibalik cita takhayul, yaitu sikap bahwa ada suatu “aku” yang besar dan padu, dan bahwa “aku” harus pegang kendali atas apa yang terjadi. “Kalau aku tahu apa yang akan terjadi, maka aku pegang kendali; aku bisa bersiap-siap.”
Inilah sikap “penggila kendali”. Kita melihat sebuah bagan ilmu perbintangan, kartu-kartu tarot,I Ching, atau menjumpai seorang lama Tibet untuk sebuah ramalan mo dengan dadu, sembari berpikir bahwa kalau kita tahu apa yang akan terjadi, kita bisa pegang kendali. Sikap semacam itu berdasar pada keluguan, bukan? Ia bersifat gelisah karena kita masih merasa tak aman. Kita anut sebuah pengertian palsu akan keamanan dan kemudian kalau tak berjalan sesuai pikiran kita, iman kita hancur-lebur. Itulah penderitaan.
Lebih baik untuk memandang prasaran semacam itu agak mirip seperti ramalan cuaca. Kalau ada suatu kemungkinan bahwa akan turun hujan, kita sedia payung kita, tapi kita tahu bahwa mungkin juga hujan tidak turun. Baik kiranya untuk tahu ramalan cuaca, tapi kalau kita memahaminya secara harfiah, kita bakal kena masalah. Saya pribadi menanggap ilmu perbintangan itu berguna, tapi kita butuh sikap sadar dan dewasa dalam menanggapinya.
Bingo Karma dan Empat Kebenaran Mulia
Kita bisa lihat bahwa karma itu bicara tentang perilaku kita dan apa yang terjadi pada kita. Di sini, perilaku dipandang secara khusus dalam kerangka apakah ia dilatari oleh sebuah perasaan gelisah atau tidak. Kita dapat paling baik memahami pendekatan Buddha terhadap karma dengan menggunakan pranata yang digunakan Buddha sendiri untuk mengajarkannya, yaitu empat kebenaran mulia. Yang Mulia Dalai Lama selalu menekankan bahwa penting kiranya untuk mampu melihat ajaran Buddha manapun dalam kerangka empat kebenaran mulia. “Mulia” mengacu pada para arya, mereka yang telah melihat kenyataan secara nirsekat. Kebenaran-kebenaran ini ialah apa yang para arya lihat sebagai benar. Orang-orang yang belum melihat kenyataan secara langsung, bahkan menganggapnya saja tidak. Terkadang saya suka menyebutnya “empat fakta hidup”. Kesemuanya itu fakta. Semuanya itu apa adanya.
Yang pertama dari keempatnya ini biasanya diterjemahkan sebagai “kebenaran duka”. Saya suka merujuknya sebagai “permasalahan yang sebenarnya”. Ini mengacu pada perasaan bahagia, tidak bahagia, dan hambar. Kesemuanya itu bermasalah dan matang dari karma. Ketakbahagiaan, rasa sakit, penderitaan tentu sebuah masalah. Kemudian, ada kebahagiaan bernoda. Inilah kebahagiaan yang biasa kita dapatkan. Itupun masalah. Masalahnya ialah bahwa ia tak langgeng dan tak menyelesaikan apapun. Enak memang, tapi terus kenapa? Bahkan jika kita terus liburan sepanjang usia kita, kita akan bosan.
Segi ketiga adalah kehambaran. Segalanya berjalan baik. Namun masalah yang sebenarnya, yang terdalam, adalah bahwa kita tak tahu sama sekali apa berikutnya. Ini dikenal sebagai “masalah pemengaruh yang serba-merembes”. Sama sekali tidak ada jaminan atas apa yang akan kita rasakan di menit berikutnya, bukan? Kita bisa saja menyaksikan pesawat menghantam gedung itu dan berpikir itulah samsara terparah, tapi sebenarnya bukan. Samsara yang terparah ialah ketaktentuan yang tetap. Perang itu buruk, tapi yang menyesakkan adalah bahwa dalam samsara perang akan terjadi lagi dan lagi. Dan dapat terjadi kapan saja.
Kita harus mengenali samsara. Inilah keadaan yang harus kita tinggalkan. Kita tidak sekadar bicara tentang penghentian perang dan berdamai dan kemudian segalanya akan baik-baik saja. Ketika kita bicara tentang penyerahan, yang harus kita anggap memuakkan dan menjijikkan adalah ketaktentuan bahwa segalanya dapat terjadi kapanpun. Sungguh menyesakkan. Kita sungguh ingin keluar dari hal itu.
Maka, fakta hidup pertama mengacu pada akibat-akibat karma: rasa sakit, hasil-hasil menyenangkan yang tak langgeng, dan gejala naik-turun tanpa kepastian.
Kenyataan kedua adalah bahwa pengalaman-pengalaman ini muncul akibat karma dan perasaan dan sikap gelisah. Kalau kita mengalami rasa sakit dan penderitaan kasar, itu karena kita telah bertindak secara merusak. Kita bertindak merusak karena kita dipengaruhi oleh perasaan gelisah – khususnya keserakahan dan amarah. Kita serakah maka kita mencuri: kita marah maka kita membunuh. Kebahagiaan yang tak memuaskan adalah akibat dari bertindak secara membangun di bawah pengaruh sikap gelisah, bercampur dengan sedikit keluguan. Kita berpikir untuk bekerja keras, bersikap positif, dan menabung uang agar kita bisa pergi berlibur, dan ini akan membuat kita bahagia. Mungkin kita memang bersenang-senang, tapi itu tak menyelesaikan segalanya. Kita harus kembali bekerja. Kita bertindak dengan sikap gelisah, keluguan, tentang sebab sebenarnya dari kebahagiaan.
Segalanya naik-turun itu akibat dari tindakan baik positif maupun negatif, bercampur dengan kebingungan. Itulah mengapa pengalaman kita pun campur-aduk. Kita punya segudang besar daya karma dan ada milyaran keadaan yang terlibat di dalamnya, tentu saja jadi naik-turun. Seumpama permainan bingo, dimana bola-bola ping-pong dengan angka-angka tertera padanya ditembak keluar dari sebuah mesin ketika kita tekan tombolnya, kita seperti telah mengumpulkan bola-bola ping-pong daya karma yang tak terhitung jumlahnya dan kita tak tahu yang mana yang akan keluar berikutnya. Bahkan jika kita paham bahwa bola-bola ping-pong itu muncul karena hukum-hukum karma yang amat pelik, tetap saja itu permainan bodoh – bingo karma! Selama kita masih memainkannya, kita takkan pernah menang.
Sampai kita pada kebenaran mulia yang ketiga, penghentian sebenarnya dari duka dan sebab-sebabnya, yang akan melepaskan kita dari permainan itu. Bukankah itu menakjubkan? Fakta ketiga adalah bahwa hal semacam itu mungkin dan kita bisa melakukannya. Kita bisa berhenti bermain bingo karma selamanya.
Kebenaran mulia keempat adalah cara kita memperoleh pemahaman, penyadaran dan seterusnya yang akan menghapuskan karma, perasaan-perasaan dan sikap-sikap gelisah, dan kecenderungan-kecenderungannya. Bingo karma merupakan permainan yang sangat culas. Setiap kali kita menekan tombol agar bola lain muncul, kita juga menambahkan bola lagi ke dalam wadahnya. Untuk cabut dari permainan itu, kita harus menghapuskan kebingungan yang membuat kita berpikir kita harus menekan tombol itu lagi dan lagi. Begitu kita berhasil, kita terlepas dari permainan itu. Tapi bukan dengan cara membuang semua bola ping-pong dari wadah. Tindakan semacam itu tak ada ujungnya. Perasaan dan sikap gelisah sama-sama menyebabkan matangnya karma dan menyebabkan kita membina lebih banyak karma dan, karena berakar pada kebingungan, ketika kita menghapuskan kebingungan itu dengan pemahaman yang tepat, kita menghentikan perasaan dan sikap gelisah tersebut.
Saya telah menerangkannya dengan sangat sederhana tapi mungkin kita bisa mulai menautkan diri pada jalan Buddha, fakta keempat, yang memungkinkan kita mencapai kenyataan ketiga, yaitu tak lagi lugu dengan berpikir bahwa kita harus mengikuti semua sampah karma yang muncul di dalam cita kita. Perumpamaan ini bisa juga menolong kita untuk mengembangkan sikap penyerahan yang benar, yaitu rasa jijik mutlak dengan betapa bodohnya semua permainan ini. Kita berpikir, “Aku capek; aku bosan; aku mau berhenti main bingo karma; aku mau keluar!”
Mari kita renungkan ini sejenak.