Upacara untuk Bodhicita Harapan, Beserta Nasihat
Berbicara tentang mengembangkan bodhicita, tentu saja ini merupakan proses yang perlu kita upayakan dan yang membutuhkan kerja dan usaha keras agar bisa kita rasakan dengan tulus. Terdapat beberapa tingkat meditasi untuk menumbuhkan asa untuk mencapai pencerahan di masa depan demi membawa manfaat bagi insan lainnya dan tingkat-tingkat meditasi tersebut telah dipaparkan secara garis besar dalam ajaran oleh para guru dari India sebelum Atisha, seperti Kamalashila. Dan di dalam lam-rim yang turun dari Atisha, cara-cara meditasi ini dijelaskan lebih lengkap, karena kita perlu dengan tulus mengembangkan rasa peduli terhadap insan lainnya, terhadap semua insan lainnya, dengan bertumpu pada keseimbangan batin atau dengan sikap yang setara. Perlu kerja dan upaya keras untuk benar-benar dapat merasakan itu.
Seperti sudah saya katakan, dalam kerangka bodhicita penting sekali untuk memiliki keyakinan bahwa kita benar-benar dapat mencapai pencerahan, bahwa ia bukan sekadar angan-angan. Dan tentu saja hal tersebut didasarkan pada pandangan welas asih yang makul (realistis). Memang baik jika kita berkeinginan agar setiap insan terbebas dari duka dan sebab-sebab duka, tetapi jika kita tidak benar-benar yakin bahwa mereka bisa bebas, apa gunanya? Ketika kita mengemban tanggung jawab untuk mampu menolong mereka, kalau tidak yakin bahwa, “Aku benar-benar bisa melakukan apa saja,” itu sama dengan mengucap janji yang tidak akan kita tepati. Oleh karena itu, kita harus sungguh-sungguh memikirkan ini.
Tapi ketika kita telah benar-benar berupaya, benar-benar merenungkan, memeditasikannya, dan kita mulai bisa tulus merasakan bodhicita sebagai, “Inilah arahku. Inilah tujuanku. Hatiku kutetapkan padanya, kupusatkan pada tujuan pencerahan ini,” bodhicita, “Aku akan mencapainya” – bila sudah begitu, akan sangat berguna jika kita menjalankan semacam ritual atau upacara untuk meresmikannya. Karena dengan begitu kita jadi lebih bersungguh-sungguh dengan tataran cita dan arah jalan hidup ini.
Itulah alasan upacara diadakan. Untuk menandai sebuah peristiwa besar dalam hidup kita, kita adakan upacara dan seterusnya. Anda bisa tinggal seatap dengan seseorang, tidak perlu upacara untuk menikah, tetapi upacara menjadikannya resmi, menjadikannya peristiwa yang bisa dikenang lagi dan, “Ah, ya, di titik itu dengan sah kuikatkan diri ke dalam akad.” Jadi, inilah alasan Atisha membahas upacara untuk mengembangkan bodhicita harapan.
Bodhicita ini ada dua tingkatnya: yang pertama bodhicita nisbi, yang kedua bodhicita terdalam atau bodhicita hakiki. Kita telah membahas bodhicita nisbi, yang diarahkan pada pencerahan dengan keinginan untuk menolong semua makhluk dan mencapai pencerahan untuk menolong setiap insan lebih purna lagi. Jadi ia berupa cita yang diarahkan pada wujud-wujud segala makhluk, wujud segala sesuatu dan cara mendatangkan guna bagi insan lainnya sesuai wujud mereka. Ia berkenaan dengan kebenaran nisbi dari segala hal, wujud-wujud segala hal.
Lalu, bodhicita terdalam berkenaan dengan kebenaran terdalam dari setiap insan dan segala sesuatu: sunyata. Sunyata mengacu pada tiadanya cara mengada yang mustahil – itu akan kita bahas nanti. Berbicara soal bodhicita terdalam, yang kita maksud di sini adalah pemahaman akan sunyata. Bodhicita terdalam adalah cita yang dipusatkan pada sunyata setiap insan.
Di dalam bodhicita nisbi, ada tataran harapan (tataran keinginan) dan ada tataran memasuki. Tataran harapan adalah keinginan untuk mencapai pencerahan demi menolong sesama dan tataran tersebut ada dua tingkatnya: berharap semata, yang berarti hanya ingin mencapai pencerahan untuk menolong setiap insan, dan tataran harapan yang diikrarkan, yang berarti kita berikrar untuk tidak mundur hingga benar-benar mencapai pencerahan tersebut. Kemudian, tataran memasuki dari bodhicita nisbi adalah ketika kita benar-benar mengambil sumpah-sumpah bodhisattwa, “Aku akan memasuki perilaku bodhisattwa yang akan mengantarkanku pada pencerahan dan aku sangat bersungguh-sungguh dengan hal itu. Karena itu aku akan mengambil sumpah bodhisattwa, yang akan menempa perilakuku, perilaku bodhisattwa.”
Atisha terlebih dahulu membahas upacara untuk menegaskan tataran harapan dari bodhicita kita, dan secara khusus tataran harapan yang diikrarkan: “Aku takkan berpaling.”
(7) Di hadapan lukisan, patung, dan perwujudan lainnya dari para Buddha yang tercerahkan sempurna, serta di hadapan stupa dan (naskah-naskah Dharma) yang suci, persembahkanlah bunga-bunga, dupa, dan benda apa saja yang kau miliki.
Pada dasarnya, seperti inilah cara kita mengawali setiap upacara dan setiap jenis meditasi. Pertama kita menyiapkan semacam “rak” untuk sesaji – sering diistilahkan “altar”, tapi karena “altar” menyiratkan tindakan berkurban atau sesuatu dari agama Injili, kata itu tidak tepat. Di atas rak sesaji kita siapkan perlambang raga, wicara, dan cita seorang Buddha.
“Lukisan dan patung,” ini mengacu pada perlambang raga seorang Buddha, unsur-unsur ragawi seorang Buddha, unsur-unsur ragawi yang mencerahkan, semua ciri ragawi seorang Buddha yang akan membawa dan membimbing setiap orang menuju pencerahan. Itu mengapa saya menyebutnya “mencerahkan”. “Stupa” adalah tugu kecil tempat menyimpan relik dari makhluk tercerahkan atau seorang mahaguru dan di sini stupa biasanya dipakai untuk melambangkan unsur-unsur batin yang mencerahkan dari seorang Buddha. Itu mengapa biasanya di atas rak ada patung stupa kecil. Kemudian “suci,” di dalam naskah tertulis “suci” atau “kudus”, dan yang diacu di sini adalah naskah-naskah Dharma. Itu mengapa biasanya Anda menaruh naskah Dharma; seringnya berupa salinan Sutra Hati, atau salah satu dari Sutra-Sutra Prajnaparamita pendek. Naskah Dharma melambangkan unsur-unsur perkataan atau wicara seorang Buddha.
Dengan bodhicita, kita berupaya mencapai semua ini. Atau ketika yang dibahas hanyalah haluan aman, ini berarti arah yang kita tuju. Kita ingin mencapai unsur-unsur ragawi, wicara, dan batin yang mencerahkan dari seorang Buddha. Berbicara soal sumber Dharma haluan aman, maksudnya adalah tataran di mana segala kekurangan, masalah, duka, dan sebab-sebabnya sirna. Dan bukan hanya tataran cita tersebut, tetapi juga wujud-wujud dari cita tersebut yang akan menghapuskannya dan yang menjadi hasilnya – yang ada ketika penghapusan tersebut telah berhasil diperoleh.
Sama seperti Dharma, raga, wicara, dan cita seorang Buddha melambangkan tujuan yang sebenarnya. Untuk haluan aman atau berlindung, ia berupa arah yang ingin kita tuju; dan untuk bodhicita, hal ini melambangkan keberhasilan kita dalam memeroleh semua unsur mencerahkan yang ingin hendak kita capai. Dan ia juga melambangkan semua unsur mencerahkan para Buddha dari masa lampau yang telah mencapai tujuan ini dan yang telah menunjukkan jalannya.
Kemudian kita siapkan sesaji di depannya. Itu mengapa Atisha berkata, “Persembahkanlah bunga-bunga, dupa-dupa, dan benda apa saja yang kau miliki.” Biasanya kita menaruh tujuh mangkuk air, yang mewakili sesaji tujuh- dahan yang disebutkan di seloka berikutnya. Dan Atisha mengajarkan orang Tibet, kalaupun tidak ada benda untuk dipersembahkan, setidaknya gunakan cangkir teh atau mangkuk dan persembahkanlah semangkuk air. Setidaknya, persembahkanlah sesuatu. Air di Tibet sangat murni dan bersih, sehingga bisa menjadi sesaji yang sangat baik.
Tentu, para Buddha tidak membutuhkan sesaji dari kita. Buat apa mereka dupa atau lilin atau buah? Mereka tidak membutuhkannya. Tapi pokok dari hal ini adalah kita mempersembahkan sesaji bagi pencerahan kita kelak. Kita mempersembahkan segalanya dan sesaji yang berupa benda-benda ini hanyalah perlambang saja. Kita ingin mencurahkan semua pelajaran, waskita, waktu, semua upaya kita untuk meraih pencerahan kita kelak, sehingga kita bisa benar-benar menolong setiap insan lainnya; dan, dengan demikian, kita pun mempersembahkan segala milik kita kepada semua insan lainnya.
Hal ini membina daya positif yang luar biasa – “pahala”, begitu istilah terjemahannya – daya yang amat positif untuk benar-benar mencapai tujuan-tujuan ini dan yang memampukan kita untuk menolong semua insan lainnya. Dalam tantra, ketika kita mempersembahkan sesaji, kita selalu melakukannya untuk para Buddha dan semua makhluk berindra. Melalui persembahan untuk para Buddha-lah baru sesaji kita dapat dialirkan kepada semua makhluk berindra. Dengan kata lain, dengan mencurahkan segala yang kita punya untuk mencapai pencerahan, kita akan mampu mempersembahkannya secara paripurna kepada setiap insan.
Lalu, kita duduk; dan kemudian Atisha berkata:
(8) Sertakan juga persembahan tujuh-dahan yang disebutkan dalam (Doa) Perilaku Mulia, dengan cita yang pantang mundur hingga (pewujudan) hakiki inti-Buddhamu,
(9) Dengan keyakinan mendalam pada Triratna unggul, dengan lutut bertelut menyentuh tanah dan menangkupkan kedua telapak tangan, pertama-tama berhaluan amanlah sebanyak tiga kali.
Laku tujuh-dahan berasal dari naskah Doa Perilaku Mulia. Shantidewa juga luas membahas hal ini dalam Bodhicharyavatara (Memasuki Perilaku Bodhisattwa). Ketujuhnya adalah:
Pertama, bersujud sembah. Pencerahan kita sendiri menjadi pusat perhatiannya dan para Buddha mewakilinya, dan dengan sujud sembah kita sepenuhnya bertolak ke arah ini, yang dilambangkan dengan merebahkan diri di atas tanah, sikap sujud sembah sempurna, secara harafiah melontarkan seluruh tenaga kita ke arah ini. Menunjukkan rasa hormat kepada mereka yang telah mencapai tujuan-tujuan yang ingin kita raih (terutama pencerahan), para Buddha dan para mahaguru, dan menunjukkan rasa hormat pada kemampuan kita sendiri untuk mencapainya, yang berarti sifat Buddha kita sendiri – yang merupakan anasir-anasir yang kita semua miliki dan yang akan memampukan kita untuk menjadi seorang Buddha – dan menunjukkan rasa hormat pada keberhasilan kita memeroleh pencerahan kelak, pencerahan kita sendiri di masa depan.
Lalu, dahan kedua adalah mempersembahkan sesaji. Kita kembali membayangkan diri mempersembahkan segalanya. Kita telah mempersembahkan suatu hal yang bersifat bendawi sebagai perlambang dan kita membayangkan diri mempersembahkan segalanya – tenaga, upaya, waktu, hati, cita kita – segalanya untuk meraih pencerahan dan menolong setiap insan lainnya.
Dahan ketiga: kita secara terbuka mengakui bahwa kita mengalami kesulitan dan masalah dalam menolong setiap insan lainnya dan mencapai tujuan-tujuan ini – kita malas, bingung, dan seterusnya – kemudian kita terapkan empat daya lawannya: “Dengan tulus aku menyesali keadaanku; seandainya aku tidak seperti ini. Aku akan benar-benar mencoba untuk tidak mengulanginya. Aku akan mencoba untuk keluar dari kebiasaan-kebiasaan buruk ini. Dan kutegaskan kembali tumpuanku. Apa yang kulakukan dalam hidup ini? Haluan aman, bodhicita. Dan apa pun perbuatan baik yang kulakukan – belajar, meditasi, atau di sini menjalankan upacara bodhicita harapan – apa pun perbuatanku itu – aku ingin menerapkannya sebagai daya lawan untuk mengatasi semua kekuranganku.”
Dahan keempat adalah bersuka cita, “Aku bersuka cita atas kenyataan bahwa sifat cita itu murni,” sehingga, “Aku memiliki sifat-dasar Buddha, aku memiliki kemampuan untuk menyingkirkan semua ini, hal ini mungkin,” dan “Aku bersuka cita atas para Buddha dan para mahaguru yang telah mengajarkan cara untuk melakukannya, telah mengajarkan bodhicita. Dan aku bersuka cita karena mereka benar-benar mengajarkan semua ini. Terima kasih.” Dahan kelima adalah memohon ajaran, “Kumohon, para Buddha, para guru, kumohon ajarilah aku. Di sini aku tidak hanya berupacara, tapi kumohon tunjukkan kepadaku jalan, bimbinglah aku. Aku benar-benar ingin belajar. Tekadku bulat untuk mengikuti jalan ini. Maka, ajarilah aku; citaku telah kubuka.”
Dan dahan keenam, “Jangan berlalu!” “Para Buddha, para guru, kumohon jangan pergi, jangan tinggalkan aku. Aku sungguh tulus. Aku bukan pelancong Dharma, yang datang sebentar melihat-lihat, kemudian pergi. Aku ingin menapaki jalan hingga mencapai pencerahan. Terus ajarilah aku di sepanjang jalanku. Jangan pergi.” Dan dahan ketujuh adalah persembahan, seperti yang kita lakukan kemarin, “Apa pun daya positif yang timbul dari ini, semoga ia berlaku sebagai sebab bagi tercapainya pencerahan agar aku dapat benar-benar memberikan pertolongan terbaik kepada setiap insan.
Jadi itu yang pertama, kita telah menyiapkan rak, mempersembahkan sesaji, dan menjalankan laku tujuh-dahan– atau doa/persembahan tujuh-dahan – dan kemudian dikatakan agar kita memiliki, “cita yang pantang mundur hingga pewujudan hakiki inti-Buddhamu.” “Inti-Buddha” maksudnya sifat-dasar Buddha; dan pewujudan hakiki sifat-dasar Buddha adalah diperolehnya pencerahan. Sifat-dasar Buddha mengacu pada anasir-anasir kita, yang akan memampukan kita meraih pencerahan. Jadi, “Akan kujalani hingga tuntas. Aku takkan mundur hingga mencapai pencerahan.”
Lalu, “dengan keyakinan mendalam pada Triratna Unggul” – “keyakinan” di sini memiliki makna yang sangat khusus dalam agama Buddha; sedikit berbeda dari cara kita memahami kata itu (belief) dalam pengertian Barat. Artinya bukan mengimani, seperti dalam pengertian kita, tetapi “meyakini kebenaran sebuah fakta.” Bukan seperti, “Aku percaya besok akan hujan.” Itu tebakan, saya tidak benar-benar tahu. Atau, “Aku percaya Tuhan,” kita tidak sepenuhnya memahaminya, tapi tetap “aku percaya” saja. Dan bukan juga “Aku percaya Sinterklas,” atau sesuatu yang tidak ada. Tapi kita meyakini sesuatu yang benar, sebuah fakta.
Dan apa dari hal itu yang kuyakini? “Aku yakin bahwa fakta tersebut benar.” Jadi apa sebetulnya yang kita bicarakan di sini? Triratna Unggul. Maka, “Aku meyakini bahwa itu fakta. Itu benar dan memang ada tataran di mana semua masalah, kekurangan, dan seterusnya akan sirna dari kesinambungan batin dan kesinambungan batin tersebut akan mendayagunakan potensinya sepenuh-penuhnya. Itulah hal yang kuyakini kebenarannya; adanya hal tersebut merupakan fakta – itulah Dharma. Para Buddha telah mencapainya dengan sempurna dan Sangha telah mencapainya sebagian.”
Ada tiga jenis keyakinan di sini. Ada keyakinan kuat atas dasar nalar, “Aku yakin bahwa hal ini sejalan dengan nalar – bahwa cita sejatinya murni dan bahwa noda-noda cita dapat dihapuskan dan bahwa daya cita adalah bahwa kesinambungan batin memiliki sifat-sifat luar biasa yang mampu mencerap segalanya dan memiliki hati yang terbuka lebar, setara bagi setiap insan. Atas dasar nalar, aku yakin bahwa begitulah kenyataannya.” Ini jenis keyakinan yang pertama.
Lalu ada keyakinan berharapan, “Aku yakin bahwa hal ini dapat diraih dan aku ingin mencapainya dan aku yakin bahwa mungkin bagiku untuk mencapainya.”
Kemudian ada keyakinan bercita jernih, “Karena meyakini kebenaran fakta-fakta ini sepenuhnya, citaku bersih dari perasaan gelisah.” Maka, “Aku tidak ragu. Aku sangat yakin. Ini membuat perasaanku mantap.” Jadi, bukan pikiran seperti, “Aku yakin para Buddha itu begitu menakjubkan dan aku ini makhluk hina. Mana mungkin itu semua kucapai.” Itu perasaan yang sangat gamang dan rapuh. Bukan itu yang kita maksud di sini. Keyakinan yang kita maksud di sini adalah keyakinan yang membuat kita merasa lebih teguh dan mantap hati.
Kemudian, “dengan lutut bertelut menyentuh tanah dan menangkupkan kedua telapak tangan,” ini sikap tubuh menghormat, yang sudah pasti berasal dari adat India kuno, lalu kita “berhaluan aman sebanyak tiga kali,” dengan kata lain, kita menegaskan, “Inilah haluan hidupku, arah yang kutuju.”
(10) Selanjutnya, dengan cita penuh kasih terhadap semua makhluk terbatas sebagai awalan, pandanglah semua makhluk kelana, tanpa kecuali, yang berduka dari kelahiran dan seterusnya di tiga mayapada rendah, dan dari kematian, pemindahan, dan sebagainya.
(11) Kemudian, dengan keinginan agar semua makhluk kelana terbebas dari duka kepedihan, dari duka, dan dari sebab-sebab duka, bangkitkan ikrar bodhicita yang pantang mundur.
Dikatakan bahwa kita mengawalinya “dengan cita penuh kasih”. Dengan kata lain, kita perlu membina diri, mengupayakan diri untuk mencapai harapan bodhicita ini dan langkah setelahnya adalah berhaluan aman – kita menegaskannya, mengupayakannya – lalu terhadap semua makhluk kita pancarkan kasih. Dan yang dimaksud di sini adalah “semua makhluk terbatas” – seperti ini cara saya menerjemahkan istilah “makhluk berindra”, acuannya adalah setiap insan yang bukan Buddha, yang masih terbatas citanya.
Dan “cita penuh kasih” – kasih, seperti tadi kita katakan, adalah keinginan agar setiap insan bahagia dan memiliki sebab-sebab kebahagiaan – kita ingin mereka bahagia; tetapi kenyataannya mereka tidak bahagia, sehingga kita ingatkan diri kita bahwa mereka tidak bahagia, mereka didera banyak masalah.
Kemudian dikatakan “pandanglah semua makhluk kelana”. “Makhluk kelana” adalah mereka yang berkelana melalui samsara – berkelana dari satu kelahiran kembali ke kelahiran kembali lainnya – kadang dengan keadaan yang lebih baik, kadang lebih buruk. Dan dikatakan pandanglah semua, “tanpa kecuali”, jangan lewatkan satu pun. Ini pokok yang sangat penting dan yang kita maksud dengan welas asih di sini adalah “welas kasih besar”, yang kita arahkan kepada setiap insan. Kita mengarahkan bodhicita kepada setiap insan. Agar dapat mengarahkannya kepada setiap insan, kita membutuhkan keseimbangan batin terhadap setiap insan, yang berarti setiap insan itu setara – kita tidak melekat kepada sebagian, tidak menjauhi sebagian, dan tidak mengabaikan sebagian lainnya.
Kendati kita bisa memusatkan perhatian pada sifat-dasar Buddha setiap insan dan melihat setiap insan secara setara, akan jauh lebih mendalam kalau kita sertakan kelahiran kembali di sini. Karena ketika kita berpikir dalam kerangka kelahiran kembali, kita berpikir dalam kerangka kesinambungan batin, kesinambungan batin setiap insan yang tidak berawal dan tidak berakhir. Dan kesinambungan batin tersebut, kendati ia tersendiri – saya bukan Anda dan Anda bukan saya; bahkan dalam pencerahannya para Buddha pun tersendiri – tetapi, ia tidak memiliki jati diri yang swabawa sebagai rupa kehidupan yang ini atau rupa kehidupan yang itu, sebagai nyamuk, sebagai manusia, atau jenis kelamin yang ini atau yang itu, laki-laki atau perempuan, jantan atau betina.
Jadi, kesinambungan batin tersebut mewujud ke dalam jenis rupa kehidupan yang ini atau yang itu, jenis kelamin yang ini atau yang itu, atau dalam masa hidup yang lain menjadi yang ini atau yang itu – itu semua hanya persoalan karma yang terbina di dalamnya. Kesinambungan batin tersebut bukan secara swabawa teman saya atau musuh saya atau seseorang yang tidak saya kenal dan seterusnya, karena ia tiada berawal. Ia telah menjadi segalanya; ia mewujud sebagai segalanya. Ia sosok “makhluk kelana”, tiap insan adalah makhluk kelana yang menapaki satu masa hidup ke masa hidup lainnya, mewujud dari satu rupa ke rupa lainnya, terus berubah, kendati tersendiri, dalam rentetannya sendiri.
Atas dasar inilah kita dapat membuka diri bagi setiap insan – semua setara, tidak ada bedanya. Ada satu alasan lagi mengapa Dharma Sejati sungguh membutuhkan pemahaman tentang kelahiran kembali, kehidupan di masa lampau dan masa depan.
Walaupun Anda bisa mengatakan bahwa setiap insan adalah kesinambungan batin yang hampir-hampir tan-pribadi, tidak memiliki jati diri swabawa, akan berbahaya jika Anda hanya memusatkan perhatian pada hal itu dan mengabaikan wujud nisbi yang mereka miliki sekarang. Karena jika Anda mengabaikan wujud nisbi yang mereka miliki sekarang, sebagai seekor anjing atau manusia laki-laki atau manusia perempuan atau apa pun itu, Anda tidak dapat memahami mereka dengan tepat. Anda mesti bisa melihat dua tingkat di sini – bahwa di satu pihak ia memang kesinambungan batin yang tidak berawal dan tanpa rupa yang swabawa, terus berubah; tapi tetap, untuk memahami insan tersebut kita perlu mempertimbangkan berapa usia mereka sekarang, apa jenis kelaminnya, apa rupa kehidupannya, kebudayaannya, dan seterusnya.
Seperti apa keadaan makhluk-makhluk kelana ini, setiap insan ini? Atisha berkata, “Mereka berduka dari kelahiran dan seterusnya” – sakit-penyakit, usia tua, itu yang dimaksud di sini dengan istilah “dan seterusnya” – “di tiga mayapada rendah,” di alam yang mana pun, yang lebih buruk ataupun yang lebih baik. Tapi di alam-alam yang lebih buruk, seperti binatang, serangga, dll., mereka paling menderita. Jadi, itu disebutkan di sini, dan dilanjutkan: dan pada tiap kelahiran ada masalah “duka dari kematian, duka pemindahan,” yang berarti pemindahan ke tataran kelahiran yang lain dan hal tersebut berlanjut terus dan terus.
Jadi setiap insan itu sama dan kata “dan seterusnya” yang muncul setelah itu berarti bahwa tidak akan pernah ada kepuasan, tidak akan pernah ada kepastian, tidak ada jaminan atas hal yang akan terjadi berikutnya. Kemudian, ada “keinginan agar semua makhluk kelana terbebas dari semua duka ini”. Itulah welas asih.
Nah, duka seperti apa yang mereka alami? Pertama, “duka kepedihan,” kadang disebut “dukanya duka,” dengan kata lain, tidak bahagia dan mengalami rasa sakit, duka-duka kasar yang kita semua kenal sebagai penderitaan. Kemudian, “duka” berikutnya yang muncul di baris itu mengacu pada dua jenis masalah atau duka yang lain. Yang pertama adalah masalah perubahan atau duka perubahan. Maksudnya di sini kebahagiaan kita yang biasa. Itu masalah besar karena ia berubah, tidak langgeng, dan kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi berikutnya.
Kemudian yang ketiga adalah duka serba merasuk, masalah serba merasuk: bahwa kita terus-menerus terlahir kembali dengan unsur-unsur gugusan, atau raga, cita, dan sebagainya, yang membuat kita melanggengkan daur ini – artinya: karma lagi, perasaan gelisah lagi, dan seterusnya, masalah lagi.
Tidak hanya menginginkan setiap insan terbebas dari semua masalah dan duka ini, kita juga “ingin mereka terbebas dari sebab-sebabnya,” sehingga mereka tidak mengalaminya lagi. Itu berarti kita memahami bahwa sebab-sebab masalah mereka bukanlah hal yang berada di luar diri mereka, tetapi sebab-sebab tersebut merupakan kebingungan, perasaan gelisah, daya-gerak karma, dan seterusnya, yang berada pada tiap kesinambungan batin.
Jadi, dengan welas asih – dan yang tidak disebutkan di sini adalah keinginan murni atau pikiran murni untuk mengemban tanggung jawab untuk berbuat – kita kemudian “membangkitkan ikrar bodhicita yang pantang mundur.” Jadi ini bukan lagi cuma bodhicita harapan, “Aku hanya ingin mencapai pencerahan untuk menolong mereka,” tetapi tataran yang jauh lebih kuat, “Aku pantang mundur hingga benar-benar mencapainya”, itulah tataran berikrar dari bodhicita harapan.
Yang diacu di sini bukan hanya kali pertama kita melakukannya, ketika kita menjalankan upacara untuk menandainya, tapi juga pada tiap hari dalam meditasi kita. Agar terbiasa, akan sangat membantu jika kita mengikuti tata cara ini, karena itu akan lebih meneguhkannya. Tidak seperti, “Ya ya. Boleh juga.” Dengan menjadikannya upacara pribadi yang kita lakukan tiap hari, dengan sesaji dan seterusnya, kita benar-benar menunjukkan rasa hormat kepada diri sendiri dan terhadap cara kita memperlakukan hidup kita.
Tetapi ketika melakukan upacara seperti ini tiap hari – laku yang diritualkan, yang berarti mengikuti tata cara tertentu – Anda harus benar-benar hati-hati agar tidak menjadi seperti mesin, tanpa nyawa. Seolah “yang penting lakukan saja” dan Anda menjalankannya seperti menjalankan tugas dan kewajiban, yang kalau tidak dilakukan, Anda merasa bersalah. Sehingga, Anda melakukannya semata-mata demi menghindari rasa bersalah, atau hanya untuk menyenangkan hati guru Anda, menuruti perintahnya. Itu semua cara yang sangat gamang dan rapuh dalam menjajaki laku ini. Maka, penting sekali bagi kita untuk menghayati manfaat-manfaat laku ini. Itu mengapa Atisha kemudian melanjutkan naskahnya dengan membahas manfaat-manfaat dari tataran cita, atau laku, ini dan pentingnya menjalankan upacara ini dengan rasa yang tulus.
Manfaat Mengembangkan Tujuan Bodhicita
Tadi Atisha menggambarkan upacara yang kita jalankan untuk membangkitkan dan menegaskan kembali tataran berikrar dari bodhicita berharapan kita. Kemudian ia menyebutkan manfaat-manfaatnya. Ia berkata:
(12) Manfaat membangkitkan cita-cita yang berharapan seperti ini dijelaskan oleh Maitreya dalam Sutra yang Membentang Bagai Batang Pohon.
Kata cita yang digunakan di sini bentuknya jamak, “cita-cita yang berharapan”, dan istilah itu mengacu pada kedua tingkat yang kita sebutkan tadi, tataran harapan semata dan tataran harapan yang diikrarkan. Dan sutra ini – dalam bahasa Sanskerta disebut Sutra Gandavyuha – adalah sutra mengenai jalan bodhisattwa yang sangat terkenal, yang menjelaskan dengan terperinci berbagai manfaat mengembangkan bodhicita. Tsongkhapa, pendiri aliran Gelug, menyanjung sutra ini tinggi sekali. Ia berkata bahwa sutra ini adalah salah satu penyebab begitu meluasnya ajaran mengenai bodhisattwa.
Atisha tidak menyebutkan secara terperinci manfaat-manfaatnya di sini, tetapi semua manfaat itu juga dibahas oleh Shantidewa. Dan ketika kita berupaya mengembangkan tataran cita tertentu untuk memahami apa saja manfaatnya, penting sekali untuk memahaminya secara lebih lengkap. Dan dengan berulang kali mengingatkan diri sendiri mengenai manfaatnya, kita terdorong untuk melangkah lebih jauh ke arah itu.
Jadi, jika kita selalu menjaga bodhicita dalam cita kita, kita senantiasa memusatkan perhatian pada tujuan pencerahan kita kelak. Berbicara soal tataran cita, Tsongkhapa mengatakan dengan cukup jelas bahwa kita perlu mengetahui pada apa perhatian mesti dipusatkan dan seperti apa cita menanggapi sasaran tersebut. Di sini, seperti saya katakan tadi, dengan bodhicita, cita kita pusatkan pada pencerahan kita kelak. Cara cita kita menanggapi sasaran tersebut, pencerahan kita di masa mendatang itu, adalah dengan niat, “Aku harus menolong setiap insan. Aku benar-benar ingin menolong setiap insan. Dan supaya mampu memberikan pertolongan terbaik bagi mereka, aku harus mencapai pencerahan. Dan ketika aku telah mencapainya, aku akan mendatangkan manfaat sebanyak yang kubisa.”
Tentunya, ada banyak sekali butir manfaat yang disebutkan di dalam naskah-naskah, tapi kalau kita bahas secara umum, di sini cita kita terbuka sepenuhnya. Cita kita arahkan pada perkembangan paling genap yang bisa kita capai dan kita senantiasa berpikir, “Aku mesti mencapainya, aku ingin mencapainya, dan aku bisa mencapainya.” Jadi, kita membayangkan tataran perkembangan tertinggi yang mungkin terjadi dan “Aku akan melakukannya”, lalu “Aku bisa melakukannya.”
Dan kita melakukannya karena ingin mampu menolong insan lainnya, “Bukan hanya demi diriku sendiri.” Cita kita arahkan untuk meliputi setiap insan, seluas-luasnya. Ini memberikan kita suntikan tenaga besar, jauh lebih besar ketimbang pikiran untuk berbuat demi manfaat diri sendiri saja, atau demi segelintir orang saja.
Kita bisa memahaminya dari contoh sederhana, seperti kalau kita hidup sendiri dan kita sakit kepala, kita merasa tidak enak badan, mungkin kita tidak mau repot menyiapkan makan saat tiba di rumah malam hari. Kita langsung tidur. Tapi kalau kita punya anak, tentu tidak bisa begitu. Jadi perhatian kita pada anak memberi kita kekuatan untuk mengatasi rasa pusing itu sehingga tidak menghalangi kita untuk berbuat sesuatu. Dan dengan demikian kita mampu melakukan hal yang bermanfaat bagi orang lain, kita menyiapkan makan malam untuk anak kita.
Di dalam berbagai naskah, pokok pikiran ini dijelaskan demikian: jalan kita tidak dirintangi aral karena adanya kebutuhan setiap insan. Dan kebutuhan kita untuk tumbuh dan mengatasi rintangan tersebut memberi kita kekuatan untuk melakukan terobosan. Kendati kita sudah punya, katakanlah haluan aman dalam hidup kita (berlindung), hidup kita punya makna, tetap ada kemendesakan yang lebih kuat untuk melakukannya. Ada tenaga yang jauh lebih besar ketika kita benar-benar ingin mencapai tujuan ini, karena kepedulian kita pada insan lainnya menyuntikkan tenaga tambahan untuk melakukan hal-hal besar.
Lihatlah orang-orang yang bekerja keras demi Tibet atau demi gerakan antiperang, atau apa pun itu. Mereka berpikir dalam kerangka kesejahteraan setiap orang lainnya, dan itu memberi kita tenaga besar untuk berbuat sesuatu yang benar-benar besar, dan tidak sekadar duduk manis di rumah dan berpikir atau mengkhawatirkan kesejahteraan diri sendiri saja. Dan itu mendorong kita untuk mencoba hal-hal baru, mencoba menemukan kemampuan baru, bakat baru yang kita punya dan menggunakannya, sepenuh-penuhnya. Dan tanpa keinginan kuat, kita tidak punya cukup tenaga untuk menjajaki semua kemungkinan baru itu.
(13) Apabila kau telah membaca sutra ini atau mendengarnya dari gurumu, dan telah menyadari manfaat tak terbatas dari bodhicita yang paripurna, maka supaya ini menjadi teguh bangkitkan cita ini berulang kali.
Ketika kita sudah mengetahui semua manfaat ini, baik dari membacanya dalam sutra atau mendengarnya dari penjelasan guru rohani kita dan kita kemudian menyadarinya – tidak berarti itu sudah cukup. Kita harus benar-benar mengetahuinya dan tahu dari lubuk hati terdalam. Kita benar-benar merasakannya dan meyakini “manfaat tak terbatas dari bodhicita”. Kemudian kita mencoba untuk “meneguhkannya” menjadi bagian kuat dari diri kita, cara pikir yang senantiasa kita terapkan, yang menjadi pengawal setiap langkah dalam kehidupan kita.
Dan untuk itu, kita perlu “membangkitkan cita ini berulang kali”. Itu berarti menguatkannya, menegaskannya kembali, lagi dan lagi. Nah, awalnya kita harus mengupayakan diri untuk bisa merasakan tataran cita ini, dan itu berarti kita perlu menjalani proses meditasi atas kasih dan welas asih dan cara menolong setiap insan lainnya, cara terbaiknya adalah menjadi tercerahkan. Seperti itulah kita mengupayakan diri menuju bodhicita. Dan ini lumrah; memang begitulah cara kita melakukannya pertama sekali.
Seperti ketika kita berupaya memahami sunyata, kita perlu melalui garis-garis penalarannya lagi dan lagi untuk menegaskan keyakinan kita akan sunyata dan sepenuhnya meyakini bahwa seperti itulah cara segala sesuatu mengada. Lebih tepatnya, dengan sunyata kita yakin bahwa segala sesuatu tidak mengada secara mustahil. Tapi begitu kita mampu membina diri hingga mencapai tataran cita ini, baik itu bodhicita atau pemahaman akan sunyata, melalui sebuah proses, dan kita melakukannya lagi dan lagi, lambat-laun kita akan menjadi sangat terbiasa dengannya, sehingga tidak perlu lagi melalui garis penalaran atau proses ini. Kita sudah bisa langsung merasakannya.
Kalau kita melewatkan langkah upaya menuju bodhicita melalui proses ini dan sedari awal langsung saja, “Semoga aku mencapai pencerahan bagi semua makhluk berindra,” kalau demikian caranya, kita menghadapi bahaya. Bahayanya adalah kita tidak akan merasakan perasaan positif yang begitu besar di balik bodhicita, dan ia tidak akan tersokong kuat oleh kasih dan welas asih yang memang mesti menyertainya.
Dengan kata lain, “Semoga aku mencapai pencerahan untuk mampu menolong semua makhluk,” cuma ada di bibir saja, tapi tidak di hati. Kita tidak benar-benar mengingatkan diri kita tentang duka yang dialami insan lainnya dan betapa buruk duka tersebut dan betapa kita benar-benar ingin berbuat sesuatu untuk itu dan, “Inilah yang akan kulakukan untuk berusaha menolong mereka.” Jadi ada perasaan di balik hal itu, ada rasa di balik bodhicita.
Ini penting sekali, karena mudah sekali kita terpancing untuk melewatkannya. Dan kalau begitu, bodhicita hanya sebatas kata-kata, tanpa makna. Dan dengan mengingatkan diri akan manfaat bodhicita, kita jadi lebih terdorong untuk benar-benar mengupayakannya dengan cara yang benar.
(14) Daya positif dari cita ini dijelaskan secara luas dalam Sutra yang Dimohonkan oleh Viradatta. Karena diringkas hanya dalam tiga seloka, izinkan aku mengutipnya di sini.
Biasanya “daya positif” diterjemahkan menjadi “pahala”, dan maksudnya adalah tenaga positif. Tenaga positif yang timbul karena berkembangnya tataran cita ini, dan daya positif itu merupakan hal yang amat sangat kuat. Ia memberi kita daya tolak luar biasa untuk menggapai tujuan ini. Dan kalau kita lihat tiga seloka ini dari sutra tersebut, dikatakan:
(15) “Bila daya positif bodhicita memiliki rupa, ia akan mengisi penuh ruang angkasa dan bahkan melampauinya.
(16) Meskipun seseorang dapat memenuhi bumi-bumi para Buddha dengan permata sebanyak butir-butir pasir sungai Gangga dan mempersembahkannya kepada Sang Pelindung Dunia,
(17) Namun apabila seseorang menangkupkan kedua telapak tangannya dan menautkan citanya pada bodhicita, persembahannya akan jauh lebih mulia; ia tidak akan terbatas.”
Ketika kita tengah mengupayakan bodhicita, kita berpikir untuk mencapai pencerahan, dan pencerahan itu berarti cita dan hati kita akan terbuka seluas ruang angkasa dan kita akan berpikir untuk mendatangkan manfaat bagi setiap insan di seluruh ruang tersebut. Sungguh luar biasa bila kita berpikir dalam lingkup yang menakjubkan ini; dan tentu saja daya positif yang timbul dari pikiran seluas itu akan sangat besar pula.
Kalau Anda berpikir seperti itu, dan bersungguh-sungguh dengan pikiran itu, sekalipun Anda tidak berpikir dalam kerangka kehidupan yang lalu dan kehidupan selanjutnya, dan dengan tulus merasakan, “Aku akan mencoba membebaskan dan mengantarkan setiap serangga, setiap kecoak, setiap nyamuk, dan seterusnya menuju pencerahan” dan Anda benar-benar tulus dengan niat tersebut, itu sungguh luar biasa, bukan? Luar biasa bahwa seseorang dapat bersungguh-sungguh dengan hal itu dan benar-benar merasakannya, bahwa seseorang bisa benar-benar seperti itu dan tidak hanya begitu tapi “Aku bisa seperti itu”.
Kalau kita benar-benar mampu mencapai tataran itu dan tulus sepenuhnya dengan hal itu, daya positif dan tenaga yang akan ditimbulkan sungguh sulit dibayangkan. Seperti dikatakan, “ia akan mengisi penuh ruang angkasa,” cita kita mengisi ruang angkasa, “dan bahkan melampauinya.”
Tentu saja, untuk bisa sampai ke titik itu kita harus berupaya secara bertahap. Sering orang berkata, “Oh, aku ingin membawa manfaat bagi semua makhluk berindra.” Tapi Anda tidak bersungguh-sungguh dengan frasa semua makhluk berindra dalam pernyataan itu; jadi hampir seperti tanpa makna, kosong belaka. Kita perlu berupaya dalam lingkup yang kecil terlebih dahulu: berpikir dalam lingkup diri sendiri, orang-orang yang kita kenal, kawan-kawan, orang hambar, orang yang tidak kita suka, lalu meluaskannya ke setiap insan di kota kita, di negara kita, di planet ini, dan rupa-rupa kehidupan lainnya, planet-planet lainnya.
Kita berupaya secara bertahap, langkah demi langkah. Kita tidak bisa langsung lompat ke “semua makhluk berindra” dan bersungguh-sungguh dengan hal itu. Kalau ada orang yang berkata bahwa dia akan berupaya untuk semua makhluk, tapi tidak punya waktu untuk keluarganya dan teman-temannya, lalu apa makna berupaya untuk semua makhluk?
Dan dua seloka berikutnya berkata, mengembangkan sikap bodhicita ini, cita bodhicita ini, akan menghasilkan daya positif yang jauh lebih besar ketimbang mempersembahkan sesaji kepada semua Buddha. Para Buddha tidak membutuhkan sesaji permata dan seterusnya; buat apa mereka uang? Bukan itu yang dibutuhkan seorang Buddha untuk mampu mendatangkan manfaat bagi setiap insan. Maksud saya, tentu kalau mereka itu orang-orang besar yang tengah berupaya menolong sesama, mereka pasti membutuhkan dukungan keuangan, dan persembahan bagi kerja-kerja pelayanan besar untuk sesama tentu saja besar faedahnya. Tapi para Buddha yang tinggal di bumi-bumi Buddha, itu lain lagi ceritanya.
Bagaimanapun juga, kalau kita mengembangkan sikap ini, ia akan membangkitkan daya positif yang jauh lebih besar, karena akan mendorong kita untuk meraih tataran pencerahan kita sendiri dan mendatangkan pertolongan yang jauh lebih besar bagi setiap insan.
Latihan-Latihan setelah Mengembangkan Tataran Bodhicita Harapan
(18) Setelah membangkitkan tataran-tataran harapan dari bodhicita, teruslah meningkatkannya dengan berbagai upaya; dan, supaya tetap mewaspadainya dalam kehidupan ini dan kehidupan-kehidupan lain, jagalah sebaik-baiknya latihan yang diajarkan dalam naskah-naskah.
Begitu kita telah “membangkitkan tataran-tataran harapan dari bodhicita” – berharap untuk mencapai pencerahan dan berikrar untuk tidak mundur hingga kita mencapai pencerahan – kita perlu memperkuatnya dengan kerja keras, seperti dikatakan “dengan berbagai upaya”. Kita ingin memperkuatnya sehingga tidak perlu lagi susah-payah mencapai tataran ini melalui meditasi atas kasih dan welas asih, sehingga ia akan langsung bangkit, pada tingkat yang tulus.
Kemudian kita ingin lebih memperkuatnya lagi, sehingga ia senantiasa ada, bukan hanya ketika kita ingat saja. Untuk mengingatnya – itu maksud dari “supaya mewaspadainya dalam kehidupan ini dan kehidupan-kehidupan lainnya” – ada latihan-latihan tertentu yang membantu kita mencapainya. Ada empat hal yang perlu kita latih, dan yang kita gunakan untuk berlatih. Keempat hal ini akan membantu tekad bodhicita kita untuk tetap kuat, tidak merosot, tidak melemah dalam hidup ini:
Yang pertama: tiap siang dan malam kita mengingat kembali manfaat-manfaat dorongan bodhicita ini. Tiap siang dan malam, kadang saya istilahkan, “Lakukan tiga kali di pagi hari, tiga kali di malam hari,” boleh, sebanyak yang kita bisa. Atisha sendiri telah menunjukkan pokok ini di seloka yang lebih awal, ketika kita berpikir tentang manfaat bodhicita, kalau kita berhati-hati dan ingat dengan manfaat-manfaat ini setiap pagi, setiap malam, misalnya dalam meditasi kita, maka tekad ini tidak akan melemah.
Latihan kedua adalah menegaskan dan memperkuat dorongan bodhicita kita dengan mengarahkan kembali hati kita pada pencerahan dan semua insan lainnya tiga kali tiap siang dan tiga kali tiap malam.
Lalu, yang ketiga adalah berupaya keras untuk membina hal yang saya sebut “jaringan-jaringan daya positif dan kesadaran mendalam yang membina pencerahan.” Ini kerap disebut “kumpulan pahala dan kebijaksanaan” tapi yang kita maksud di sini adalah daya positif, bukan pahala, dan hal-hal membangun, seperti menolong sesama, bermeditasi atas bodhicita. Dan tidak seperti mendapatkan nilai setiap kali kita menolong sesama, mengumpulkan poin seperti dalam ungkapan “kumpulan pahala”. Bukan seperti mengoleksi prangko. Tapi daya positif dari semua perbuatan membangun ini akan saling berjaringan. Kita mengarahkannya pada pencerahan; ia akan membina daya yang membawa kita pada pencerahan, untuk benar-benar memiliki raga seorang Buddha yang mampu menolong sesama secara lebih paripurna.
Lalu, yang satunya adalah kesadaran mendalam, yang pada dasarnya berarti kesadaran akan sunyata. Dan lagi, makin sering kita bermeditasi atas sunyata, kesadaran mendalam yang kita peroleh dari sunyata ini juga akan saling berjaringan, sehingga pemahaman kita lebih dan makin dalam, lebih dan makin teguh. Dan itu pun akan membina pencerahan, ia membina dan berlaku sebagai sebab utama untuk memiliki cita seorang Buddha.
Jadi kalau kita selalu berupaya untuk memperkuat kedua jaringan yang membina pencerahan ini, tentu kita melakukannya dengan bodhicita; karena apa tujuannya? Tujuannya adalah untuk mencapai pencerahan; tujuannya adalah agar mampu membawa manfaat bagi setiap insan lainnya sembari kita melangkah lebih maju dan jauh menuju pencerahan dan pada akhirnya mencapai pencerahan.
Dan makin jauh kita melangkah untuk memperkuat jaringan-jaringan ini, hasilnya adalah lebih dan makin kuatnya tekad kita. Kita akan mulai merasakan manfaat dari kedua jaringan ini dalam cara hidup kita. Dan hidup kita menjadi amat sangat bermakna, terarahkan dengan baik, dan cita kita makin teguh berada pada tataran yang positif. Ini memperkuat tekad bodhicita kita. Ia tidak akan merosot, tidak melemah di kehidupan ini.
Kemudian, yang keempat adalah tidak pernah menyerah dalam upaya untuk menolong siapa saja, atau setidaknya tetap ingin mampu membantu, terlepas dari seberapa sulit orang tersebut untuk dihadapi. Kalau kita menyerah karena orang tersebut sulit dihadapi, tekad kita untuk bisa membantu setiap insan akan melemah karena, “Aku tidak mau berurusan dengan yang satu itu, dan yang satu lagi di sana itu, orangnya sulit sekali.”
Jadi, sekalipun kita tidak bisa menolong seseorang dan upaya untuk menolong mereka tampak seperti membuang waktu saja, karena kita berpikir ada banyak orang lain yang bisa kita bantu, maka, “Baik, untuk sementara aku tidak akan terlalu bersusah-payah membantumu,” setidaknya kita tetap menjaga keinginan untuk bisa menolong orang ini saat mereka nanti lebih mau menerima, saat hati mereka lebih terbuka. Kalau kita tidak menyerah, tekad kita tidak akan melemah. Itulah empat latihan agar tekad bodhicita kita tidak melemah di masa hidup yang ini.
Kemudian ada beberapa pokok latihan agar tekad bodhicita ini tetap ada di kehidupan-kehidupan selanjutnya. Latihan untuk tidak kehilangan tekad bodhicita di kehidupan-kehidupan selanjutnya adalah dengan menjauhkan diri dari empat jenis perilaku suram atau kelam, dan mengembangkan empat jenis perilaku gemilang. Terjemahan harafiah dari istilah-istilah bahasa Tibet untuk hal ini adalah empat perbuatan “hitam” dan empat perbuatan “putih”. Tapi belakangan penggunaan istilah terkait warna ini dianggap kurang pantas. Karena itu saya menggunakan istilah “kelam” dan “gemilang”. Nah, yang pertama adalah perbuatan negatif yang kita hindari dan yang kedua adalah perbuatan positif yang kita terapkan.
Yang pertama, kita harus berhenti menipu, menipu guru rohani kita atau orang tua kita atau Triratna. Sebaliknya, kita jujur kepada mereka tentang dorongan kita dan upaya kita untuk menolong semua insan lainnya.
Kita harus jujur mengenai seperti apa sesungguhnya kita menolong sesama, seperti apa sesungguhnya kita memikirkan sesama, dan tidak berpura-pura menjadi pelaku bodhisattwa yang luar biasa padahal tidak, padahal kita sebetulnya orang yang sangat mementingkan diri sendiri. Dan, kita pun harus bersikap makul terhadap hal ini. Dan seperti samsara dan suasana hati kita yang akan naik dan turun hingga kita menjadi makhluk terbebaskan, hingga kita menjadi seorang arhat, demikian pula, hingga kita berhasil membersihkan diri dari segala jenis penggenggaman aku yang padu, dorongan kita akan selalu sedikit bercampur dengan pikiran-pikiran yang mementingkan diri sendiri.
Sekali lagi, kita belum bersih dari itu semua hingga kita menjadi makhluk yang terbebaskan, seorang arhat. Karena itu, Yang Mulia Dalai Lama selalu berkata, kalau kita jujur dan mau berkaca, kita selalu tahu bahwa dorongan kita belum murni: sebagian memang berdasar pada sikap dermawan, tapi akan ada sedikit kepentingan diri yang terselip di sana. Jangan terlalu dirisaukan, tapi cobalah untuk memastikan bagian dermawannya lebih kuat dari bagian kepentingan pribadinya. Jadi, kita perlu jujur dengan hal ini, tidak menipu guru kita, tidak menipu orang tua kita, tidak menipu diri sendiri, tidak menipu Triratna.
Latihan kedua adalah berhenti mengecam atau menghina bodhisattwa. Sebaliknya, karena hanya para Buddha yang bisa memastikan siapa yang sebetulnya bodhisattwa – “Bagaimana aku bisa tahu kalau orang tersebut bodhisattwa atau bukan?” Kita tidak tahu – jadi karena hanya seorang Buddha yang bisa benar-benar tahu, kita mencoba untuk menganggap setiap orang semurni kita menganggap guru kita sendiri. Sekalipun orang tersebut berperilaku buruk, mereka tetap mengajarkan kita untuk tidak berlaku seperti itu, jadi ikutilah ajaran itu.
Kalau kita tidak jujur dengan dorongan kita, tentu di kehidupan-kehidupan selanjutnya dorongan itu akan naik dan turun. Bagaimana kita bisa benar-benar melanjutkan langkah ke arah itu kalau kita tidak jujur, kalau kita culas? Kita ingin berupaya mencapai pencerahan di kehidupan-kehidupan yang selanjutnya juga, berupaya sebagai seorang bodhisattwa. Jadi jika ada orang lain yang tengah berupaya melangkah ke arah tersebut dan kita bilang, “Oh, yang sedang kau lakukan itu tidak baik dan terlalu besar” atau “...bukan begitu caranya”, itu bertentangan dengan arah bodhicita ini. Jika kita begitu, di kehidupan-kehidupan selanjutnya, lumrah saja jika kita kehilangan tekad tersebut.
Kita tidak harus selalu setuju dengan setiap hal yang dilakukan orang lain, tapi tidak terlalu berguna juga kalau kita selalu berpikiran negatif dan suka mengecam cara orang lain. Kalau kita tidak setuju dengan perbuatan seseorang, “Aku bisa belajar dari hal itu, dan menegaskan kembali keputusanku untuk tidak bertindak seperti itu”, begitu misalnya. Selalulah mencoba melihat sisi positif dari segala hal, “Pelajaran apa yang bisa kupetik dari semua kejadian ini, yang benar-benar sesuai dengan cita rasa bodhicita?” Ketika kita membayangkan tujuan positif yang ingin kita peroleh, alih-alih “semua kekuranganku”, kita bayangkan semua sifat baik yang ingin kita kembangkan lebih lagi; dan untuk kekurangan kita, “Aku ingin menghilangkannya.” Demikian pula, untuk orang lain dan kekurangan mereka, “Aku ingin menghilangkan kekurangan itu dalam diriku juga.” Jadi, mereka mengajar kita; itu sesuatu yang positif yang mereka lakukan.
Yang ketiga adalah berhenti membuat orang lain menyesali segala hal positif yang telah mereka lakukan. Kalau kita meminta seseorang untuk menolong kita, contohnya membantu mengetik di komputer, dan mereka banyak salah, kalau kita marah-marah, mereka mungkin enggan membantu kita lagi. Mereka mencoba membantu kita; mereka mencoba melakukan hal positif, mencoba lebih berkembang, tapi kita bilang, “Bodoh kamu, tidak bisa apa-apa.” Mereka akan menyesal membantu kita dan berhenti mencoba berbuat hal positif dan itu ada dampak negatifnya terhadap perkembangan kita kelak.
Akan lebih baik kalau kita mencoba menyemangati orang lain untuk berbuat positif dan – kalau mereka mau menerima – mendorong mereka untuk mengatasi kekurangannya, menyadari potensinya, demi mendatangkan manfaat bagi insan lainnya; dengan kata lain, mendorong mereka di jalan Mahayana – tapi tidak dengan sikap memaksa; hanya kalau mereka bersedia saja.
Dan yang keempat, yang terakhir, adalah berhenti bersikap munafik dan berpura-pura dalam cara kita menghadapi orang lain; dengan kata lain, menyembunyikan kesalahan dan berpura-pura memiliki sifat yang tidak kita punya. Sebaliknya, kita tetap bertanggung jawab untuk menolong sesama dan selalu jujur dan terbuka tentang keterbatasan kita dan tentang kemampuan kita. Kalau kita mencoba menolong seseorang, jangan menjanjikan hal yang di luar kemampuan kita – ini penting karena, kalau tidak, mereka akan kecewa. Mereka akan sangat kecewa dan semangat kita pun meredup. Jadi, jangan berpura-pura mampu melakukan hal yang melebihi batas kemampuan kita dan jangan sembunyikan kesalahan serta keterbatasan kita – ini penting sekali.
Inilah latihan-latihan yang akan memampukan kita menjaga tekad bodhisattwa ini di kehidupan-kehidupan selanjutnya. Ketika Atisha berkata “memperhatinya”, yang berarti memperhatikan bodhicita, “di kehidupan ini dan kehidupan-kehidupan lainnya”, yang berarti di kehidupan-kehidupan selanjutnya, “jagalah sebaik-baiknya latihan yang diajarkan dalam naskah-naskah,” ungkapan itu mengacu pada latihan-latihan ini.