Kita telah mengawali penjelasan atas naskah Atisha dan kita melihat bahwa dalam naskah tersebut ia membahas tingkat-tingkat perkembangan atau kemajuan di sepanjang jalan rohani. Dan kita juga telah melihat bahwa makin berkembangnya lingkup atau tujuan merupakan tanda sekaligus cara kita mengembangkan diri. Dan ini dijelaskan dalam kerangka tiga lingkup kerohanian atau insan-insan dengan tiga lingkup kerohanian. Lingkup awal telah kita bahas kemarin.
Kata yang digunakan Atisha untuk tiga jenis insan rohani ini cukup menarik. Dalam bahasa Sanskerta, istilahnya purusha. Purusha sebetulnya merupakan istilah teknis yang ada dalam filsafat Hindu dan hal ini membuat saya berpikir ada-tidaknya makna lain tertentu dari istilah tersebut. Karena di dalam aliran filsafat Hindu Samkhya ada dua kelompok: ada yang disebut zat, zat utama, dan ada purusha yang merupakan kebalikannya. Purusha lebih berkenaan dengan cita yang terus ada dari masa hidup yang satu ke masa hidup yang lain, dan lebih mirip insan-insan tadi, dalam kaitannya dengan hal yang terjadi dari masa hidup ke masa hidup. Itulah mengapa saya berpikir bahwa yang dimaksud Athisa dengan istilah itu bukanlah orang, tapi tataran cita yang beranjak maju dari masa hidup ke masa hidup dan yang beranjak maju menuju pencerahan.
Lingkup awal berkenaan dengan pemerolehan kebahagiaan samsara dengan kelahiran kembali, dan biasanya yang dimaksud di sini adalah tetap memiliki kehidupan sebagai manusia yang berharga di kehidupan selanjutnya, bukan di kehidupan yang sekarang ini saja, sehingga kita mampu melanjutkan langkah di atas jalan hingga mencapai kebebasan dan pencerahan. Karena kemungkinan besar kita tidak akan mencapai kebebasan atau pencerahan di masa hidup ini, kita mesti meneruskan upaya kita di kehidupan yang selanjutnya.
Oleh sebab itu, bila kita berpikir untuk melalui jalan ini hingga pungkas, sekalipun saat kita sudah berada di tingkat Mahayana atau tingkat tantra Mahayana, lingkup awal ini tetap mutlak dibutuhkan sebagai landasan, karena kita perlu memiliki kehidupan sebagai manusia yang berharga – kemampuan untuk melanjutkan laku kita di masa depan. Jadi kalau sekarang kita tidak berupaya memastikan kehidupan kita yang selanjutnya, saat mati, kita akan menghadapi masalah besar. Karena pada saat kematian, kalau belum mencapai kebebasan atau pencerahan – dan kemungkinan besar begitulah keadaannya – kita akan merasa, “Oh, sia-sia saja ini semua.”
Tapi jika kita telah berupaya untuk kembali memiliki keadaan pendukung di hari depan dan bahkan keadaan yang lebih baik lagi, kita bisa merasa, “Di masa hidupku yang sekarang ini aku telah melangkah ke arah itu,” dan “Aku akan bisa melanjutkannya,” dan kita bisa mati dengan tenteram. Penting bagi kita untuk tidak melihat lingkup awal ini sebagai, “Aku ingin terlahir kembali di nirwana, atau di surga, dan segalanya akan indah.” Bukan itu pokok tujuan dari lingkup awal ini.
Lingkup Madya
(4) Siapapun yang berperangai memalingkan dirinya dari kenikmatan-kenikmatan keberadaan gandrung dan menolak daya-gerak negatif dari karma, dan yang berminat mencari tataran kedamaian semata-mata bagi dirinya sendiri, maka ia dikenal sebagai insan berlingkup rohani menengah.
Pokok utama dari lingkup madya adalah bahwa kita ingin terbebaskan sepenuhnya dari samsara – kelahiran kembali yang berulang tanpa terkendali – karena kita sudah muak dengan pengulangan itu: terlahir lagi, menjalani kembali semua masalah saat tumbuh besar, susah-payah mencari nafkah, harus bekerja keras, dan menderita sakit-penyakit, usia senja, mati. Semuanya berulang terus, lagi dan lagi, dan sungguh melelahkan.
Dan kalau kita tilik lebih dalam, ciri samsara adalah naik dan turun. Bukan hanya dalam hal kelahiran kembali yang berbeda-beda, tapi juga naik dan turunnya pengalaman kita dari saat ke saat: kadang Anda merasa bahagia, tapi di menit berikutnya Anda merasa tidak bahagia. Suasana hati kita naik dan turun dan tataran perasaan kita naik dan turun. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi berikutnya, dan di situlah letak kengeriannya.
Nah, pokok ini – bahwa samsara itu naik dan turun – sangat penting diingat saat kita melalui jalan rohani karena ia akan berlanjut hingga kita memperoleh kebebasan, yang berarti hingga kita sepenuhnya menjadi seorang arhat, makhluk yang terbebaskan. Sekalipun kita pelaku rohani yang sudah berada di tingkat yang sangat lanjut, tetapi belum meraih kebebasan, pengalaman kita akan tetap naik dan turun. Kadang kita merasa ingin menjalankan laku; kadang tidak. Itu wajar; itu salah satu dari ciri utama samsara. Kadang segala sesuatu berjalan lancar, kadang tidak, dan kita sakit atau terluka dan seterusnya. Itu wajar, tidak mengherankan.
Kalau kita memahami itu, kita tidak akan berkecil hati ketika mengalami keadaan naik turun. Kita akan tetap gigih – istilahnya “kegigihan ibarat baju zirah” – yang tidak akan goyah dan tetap maju saat keadaan naik dan turun.
Tapi untuk tingkat ini di lingkup madya, “Aku benar-benar sudah muak dengan hal ini. Aku sudah capek dan jijik dan bosan dengannya. Ini semua sangat membosankan dan aku ingin lepas.” Ketika Anda sudah bosan dengan samsara, baru Anda benar-benar mulai berupaya lepas darinya. Kemudian kita kembangkan “penyerahan samsara.” Ini satu istilah khusus yang mesti kita pahami dengan benar. “Penyerahan” – istilah dalam bahasa Tibet-nya bermakna “menjadi teguh.” Tekad – dan tekad kita di sini adalah berpaling dari samsara dan segala hal-hal tak memuaskan yang terkait dengannya – kita bertekad untuk terbebas darinya.
Itu berarti kita bertekad untuk menyerahkan, atau meninggalkan, hal-hal tertentu. Yang ingin kita serahkan, atau tinggalkan, di sini adalah aneka masalah kita dan sebab-sebabnya. Inilah yang ingin kita singkirkan; kita ingin menyerahkannya, meninggalkannya. Bukan hal-hal biasa seperti es krim dan lain sebagainya; bukan itu yang kita maksud. Yang kita maksud adalah tataran-tataran cita tertentu dan pengalaman yang ditimbulkannya, yang pada dasarnya bersifat menggelisahkan dan menyebabkan banyak masalah dan bahwa kita, “bertekad bulat untuk tidak ingin melanjutkannya. Aku ingin menghentikannya, keluar darinya.” Itulah arti menyerahkan.
Lumayan mudah untuk meninggalkan kebiasaan menonton televisi atau makan es krim. Hal-hal seperti ini cukup remeh. Tapi di sini yang kita mau adalah meninggalkan keserakahan, kemelekatan, dan amarah. Dan tidak bisa sebatas kata-kata, “Aku tidak mau melekat lagi,” atau “Aku tidak akan marah lagi.” Kita harus betul-betul berupaya keras untuk menjauhkan diri dari semua tataran cita yang gelisah ini. Tidak sebatas niat saja, “Baik, aku akan berhenti.” Tapi juga berupaya begitu keras dan telaah yang begitu mendalam untuk menjauhkan diri dari semua masalah dan sebab-sebabnya ini.
“Apa sebetulnya yang menyebabkan keserakahanku, kemelekatanku, amarahku?” Telaah makin dalam lagi. “Rasa resah.” “Apa penyebab rasa resah itu? Aku mau meninggalkannya, aku mau berhenti resah, yang berarti aku mesti menyingkirkan sebabnya.” Gali sedalam mungkin. Itulah yang biasanya disebut “meninggalkan” semua hal ini, tapi istilah itu kurang tepat. Lebih tepatnya: menyingkirkan semua hal itu. Cita kita teguh sepenuhnya, tidak goyah, tapi teguh kuat, “Aku bertekad melakukan ini.” Itulah arti penyerahan.
Seperti dengan haluan aman atau berlindung, dalam tekad kita di sini, penyerahan ini, kita harus yakin bahwa semua masalah dan sebabnya bisa disingkirkan dan bahwa kita mampu melakukannya. Bukan sekadar angan-angan, yang kita rasa muskil untuk terpenuhi. Itu mengapa, untuk ini semua, penting sekali bagi kita untuk memahami dengan jernih sifat cita, kesinambungan batin – bahwa cita sejatinya tidak ternodai hal-hal ini dan bahwa menghapuskan semua kebingungan dan semua hal lain yang menyebabkan masalah itu mungkin dilakukan. Ini teramat penting; kalau tidak, seluruh isi ajaran Buddha hanya menjadi angan-angan, impian saja, tanpa keyakinan bahwa tujuan-tujuan dalam agama Buddha itu mungkin dicapai.
Bagaimana Atisha menggambarkan lingkup madya ini? Atisha berkata bahwa ia serupa insan yang “memalingkan dirinya dari kenikmatan-kenikmatan keberadaan gandrung.” Yang dimaksud di sini adalah kebahagiaan kita yang biasa. Dan berpaling dari hal itu tidak berarti bahwa, “Aku tidak akan makan yang enak-enak lagi,” atau “Aku hanya akan mengenakan pakaian dari kain kasar dan berjalan tanpa alas kaki dan memukuli diri dan seterusnya, karena aku tidak ingin merasakan nikmat duniawi apa pun.” Tentu tidak seperti itu.
Maksudnya di sini adalah, “Kebahagiaan duniawi ini bukan tujuan akhirku,” karena kebahagiaan duniawi sarat akan masalah, karena ia tidak langgeng, dan kita tidak pernah tahu kapan ia akan berakhir dan apa yang akan kita rasakan selanjutnya. “Aku merasa bahagia sekarang, tapi dua menit ke depan aku bisa merasa galau. Aku senang bersamamu sekarang, tapi satu menit lagi aku bisa saja bosan, atau kamu mungkin mengatakan hal yang tidak menyenangkan, sehingga aku tidak senang lagi.” Jadi, hal yang akan terjadi berikutnya itu serba tak menentu.
Kebahagiaan kita yang biasa ini tidak tetap sama sekali; itulah yang menjadikannya tidak memuaskan. Dan ia tidak akan pernah menghapuskan ketakbahagiaan kita sepenuhnya. Ia tidak pernah cukup. Inilah mengapa kita berpaling darinya, “Bukan itu tujuan akhir yang aku cari. Jika saat ini aku merasakan kebahagiaan duniawi, tentu itu bisa menjadi unsur-sebab pendukung laku rohani. Jika aku tidak selalu merasakan sakit, tentu aku bisa membantu lebih banyak orang lagi.” Kesehatan yang baik dan sebagainya – semua itu unsur-sebab yang mendukung laku dan kemampuan kita menolong sesama. Jadi, kita manfaatkan kebahagiaan duniawi ini bila kita memilikinya; tetapi kita tahu bahwa kebahagiaan itu berakhir.
Karena tentu saja ia akan berakhir. Itu sudah jadi sifat samsara, ia naik dan turun. Demikian pula, ketika kita merasa tidak bahagia, itu bukan alasan untuk berhenti menjalankan laku, karena ketika kita sedang berduka, itu pun bisa menjadi unsur-sebab yang membantu kita memahami dan mengembangkan welas asih bagi insan lain yang juga menderita.
Itulah satu ciri dari lingkup madya, “memalingkan diri dari kenikmatan-kenikmatan keberadaan gandrung,” “Bukan ini tujuan akhir yang aku inginkan.” Dan ciri berikutnya adalah insan yang “menolak daya-gerak negatif.” Kata kerja yang digunakan di sini berbeda sekali dengan yang ada di bagian pertama seloka ini.
Di lingkup awal, ada: bila daya-gerak karma untuk bertindak merusak timbul, kita menahan diri dan tidak melakukannya. Itu lingkup awal, “Aku tergerak untuk bermulut tajam kepadamu, tetapi aku sadar bahwa itu akan melukai perasaanmu dan membina kebiasaan negatif dalam diriku, jadi aku menahan diri dan tidak mengatakannya.” Itu lingkup awal. Di sini, di lingkup madya, kita tidak lagi sekadar tidak berbuat atas dasar daya-gerak negatif. Kita menolaknya, yang berarti menghapuskan sebab-sebab timbulnya daya-gerak ini. Jadi kita ingin masuk sedalam mungkin dan menguak sebab-sebab dari daya-gerak negatif ini.
Dan sebabnya adalah kebingungan kita akan kenyataan – yang biasa disebut “ketaksadaran” atau “kebodohan”. Ketaksadaran mengenai cara kita dan setiap insan lainnya mengada dibahas lebih lengkap nanti di dalam naskah. Tapi kalau kita jelaskan dengan sederhana, pada dasarnya ketaksadaran berarti rasa bahwa, “Aku adalah aku yang padu yang terpisah dari segala kejadian, dan kemauanku harus selalu dituruti.” Kita terlalu sibuk dengan aku yang tampak padu ini, “Aku orang terpenting di dunia dan segala yang tak kusukai akan kuhancurkan dengan amarah. Dan segala hal yang kusukai harus kudapatkan dengan keserakahan. Dan bila sudah kudapatkan, aku melekat, tidak mau melepaskannya.”
Itu menyebabkan kita bertindak secara gandrung dan merusak. Bahkan juga menyebabkan kita melakukan perbuatan membangun tetapi secara gandrung, “Aku gandrung berbuat hal-hal untuk menyenangkanmu, karena aku ingin kau menyayangiku, karena aku begitu hanyut dengan diriku sehingga aku berpikir aku ini pusat perhatian dunia, tapi aku akan berbuat manis kepadamu supaya kau memperhatikan dan menyayangiku.” Penggenggaman aku yang padu ini adalah hal yang membuat kita membina karma karena bertindak merusak serta bertindak membangun, tapi secara gandrung, demi si aku.
Penggenggaman aku yang padu, kebingungan ini, juga merupakan hal yang menyebabkan daya karma matang sehingga kita mengalami akibat-akibatnya, bahagia atau tidak bahagia dan terus berperilaku seperti biasa. Jadi di lingkup madya ini, kita ingin menolaknya. Kita ingin menyingkirkan semua daya-gerak negatif ini agar tidak muncul lagi, yang berarti kita ingin menjauhkan diri dari sebab-sebabnya: kebingungan mengenai cara kita mengada. Kita menyerahkan kebingungan tersebut.
Dan ciri ketiganya adalah insan yang “berminat mencari tataran kedamaian bagi dirinya sendiri,” “Aku ingin diriku keluar dari semua ini.” Sebetulnya bukan agama Buddha Theravada yang tengah kita bahas di sini, tetapi ini dorongan yang “juga ada pada aliran Hinayana”. Dan seperti inilah cara penjelasannya dari sudut pandang Mahayana. Namun, Anda harus ingat bahwa kalangan Mahayana-lah yang memunculkan istilah “Hinayana”. Kata ini muncul pertama kali dalam Sutra-Sutra Prajnaparamita, atau Sutra-Sutra Kesempurnaan Kebijaksanaan. Sebelum itu kata ini tidak ada.
Mahayana berarti “wahana besar”, dan Hinayana berarti “wahana kecil”, jadi istilah ini bisa dianggap sebagai ungkapan yang mengerdilkan. Mahayana memandang kecil Hinayana, “Kami begitu besar dan agung, engkau begitu kecil.” Tapi saya rasa kita perlu memandang kata “yana” (wahana) dalam kaitannya dengan ajaran tiga lingkup Atisha. Ia merupakan wahana cita yang mengantarkan kita hingga ke tujuan – itulah artinya dalam pembahasan semua lingkup ini. Wahana cita tersebut, saat kita melangkah maju di atas jalan rohani, menjadi makin lebar dan makin besar cakupan tujuannya.
Jadi, Hinayana dan Mahayana, kedua istilah ini mengacu pada tingkat perkembangan kita saat lingkup kerohanian kita meluas. Dan saya rasa tidak adil kalau kita mencap aliran-aliran tertentu yang ada dalam sejarah agama Buddha dengan istilah “Hinayana”. Saya rasa itu bukan cara yang bijak dalam memahami makna istilah ini. Ada delapan belas aliran Buddha yang berkembang, dan Theravada salah satunya. Mahayana kerap dibedakan dari delapan belas aliran ini. Namun, masalahnya adalah tidak ada istilah payung untuk menyebut kedelapan belas aliran tersebut, jadi “Hinayana” dipakai sebagai sebutannya.
Tapi dalam lingkung Mahayana dan khususnya untuk lam-rim, kita jangan mengidentikkan tingkat dorongan Hinayana ini dengan aliran-aliran tersebut, karena tentu di dalam aliran-aliran tersebut ada juga laku kasih dan welas asih dan sebagainya. Dan kesan yang ditimbulkan di sini adalah bahwa di lingkup madya, insan tersebut sangat egois dan mementingkan dirinya sendiri. Di lingkup madya, ajaran-ajaran kasih dan welas asih memang tidak disertakan, walau tentunya di Theravada ajaran dan laku ini ada.
Tapi benar bahwa sebesar apa pun kasih dan welas asih kita bagi insan lainnya dan sekeras apa pun kita mencoba menolong mereka, pada akhirnya setiap orang harus memahami kenyataan itu sendiri dan setiap orang harus menjauhkan dirinya dari sebab-sebab masalah mereka sendiri. Tidak ada yang bisa menggantikan mereka. Jadi penting sekali untuk benar-benar berupaya menghapuskan kebingungan kita sendiri, sumber dari segala masalah kita sendiri.
Dan hal ini teramat sangat penting jika kita hendak mencoba menolong insan lainnya. Karena jika kita langsung mencoba mengikuti jalan Mahayana sedari awal, lingkup yang lanjut ini, kendati kita mungkin bisa mencoba menolong insan lain, kalau tidak disertai upaya untuk menyingkirkan kebingungan kita sendiri, maka perbuatan tersebut dilakukan demi ego pribadi semata. Kita jadi sangat melekat pada orang-orang yang ingin kita coba tolong dan kalau mereka tidak mengikuti nasihat kita atau keadaan mereka tidak bertambah baik, kita marah. Dan kalau ternyata berhasil, kita ingin mereka menyukai dan menyayangi dan berterima kasih kepada kita – sungguh sebuah sikap pikir yang meninggikan diri sendiri.
Hal tersebut akan menjadi rintangan besar bagi kita yang benar-benar ingin menolong insan lainnya. Karena itu, perasaan kita sendiri pun harus diupayakan, bukan sekadar berusaha mengembangkan kasih dan welas asih, tetapi juga menghapuskan kemelekatan, amarah, ketaksabaran, dan lain sebagainya. Lingkup madya sangat penting sebagai tumpuan kita untuk mengembangkan tingkat laku Mahayana yang mantap.
Bodhicita sebagai Jalan Masuk ke Lingkup Lanjut
(5) Siapa pun yang sepenuhnya ingin menghapus semua duka makhluk lain sebagaimana duka yang termasuk dalam kesinambungan batinnya sendiri, maka ia adalah insan berdorongan batin unggul.
Pada lingkup madya kita ingin menghapuskan semua duka yang ada atau dialami pada kesinambungan batin kita sendiri. Hal ini berarti menyingkirkan semua sebab duka. Dan di lingkup lanjut, kita “sepenuhnya ingin menghapus...” sepenuhnya berarti sedari akarnya, sebab-sebabnya, dan seterusnya, “...sepenuhnya ingin menghapus semua duka makhluk lain,” sebagaimana duka kita sendiri.
Dengan kata lain, kita memperlakukannya sama seperti duka kita sendiri, dan kita ingin menghapuskannya sama seperti kita ingin menghapuskan duka dan sebab-sebab duka kita sendiri. Kita mengerti bahwa kita semua sama – setiap orang ingin bahagia, tidak ada yang ingin tidak bahagia – dan kita semua mengalami masalah samsara: keadaan yang naik dan turun, kelahiran kembali yang berulang tanpa terkendali, dan seterusnya. Seperti dikatakan Shantidewa, duka perlu dihapuskan bukan karena itu dukaku atau karena itu dukamu. Duka perlu dihapuskan karena ia duka dan ia menyakitkan. Duka tidak ada pemiliknya.
Ibarat kalau Anda tinggal di sebuah gedung apartemen dan turun ke lobi di lantai bawah lalu melihat ada kertas atau sampah di atas lantai. Kertas atau sampah itu dipungut dan dibuang pada tempatnya bukan karena saya menjatuhkannya, bukan karena Anda menjatuhkannya, tapi karena ia ada di lantai dan perlu dibersihkan. Seperti itu cara pikirnya. Anda pungut dan buang saja kertasnya. Tidak ada yang istimewa dengan hal itu. Bukan seperti, “Oh, penghuni apartemen ini kerjanya buang sampah sembarangan,” seolah aku ini lebih suci dan berbudi dari mereka, dan bukan, “Oh, selalu aku yang bersih-bersih,” yang juga meninggikan aku atau, “Aku ini insan berbudi, malaikat penolong, aku yang terbersih.” Bukan seperti itu. Ada sampah di sana, di atas lantai. Jadi wajar saja kalau Anda memungutnya karena memang perlu dibersihkan. Setiap orang suka dengan lobi yang bersih.
Demikian pula dengan sikap kita dalam menolong orang lain menghilangkan masalah mereka. Kalau orang lain tidak memahami suatu hal, atau kita tidak memahami suatu hal, jelaskan; tidak peduli siapa pun orangnya, jelaskan saja. Kalau ada orang yang butuh bantuan, bantulah, jika sanggup. Di lingkup ini, menolong berati menolong setiap insan, bukan beberapa orang saja, bukan orang-orang yang kita suka saja. Kita ingin mampu menghapuskan duka setiap orang, masalah setiap orang, seperti kita ingin menghapuskan duka dan masalah kita sendiri. Jadi lingkup ini besar sekali. “Dan aku tidak akan menyerah, aku akan terus berusaha menolong setiap insan, sehingga mereka semua bisa terbebaskan dari segala masalah dan seterusnya.”
Itu berarti, dengan lingkup lanjut ini, kita mengembangkan “bodhicita” atas dasar kasih dan welas asih. (Kasih adalah keinginan agar insan lainnya bahagia dan memiliki sebab-sebab kebahagiaan, welas asih adalah keinginan agar insan lainnya bebas dari duka dan sebab-sebab duka.) Lalu, keinginan luar biasa, yaitu “Akan kuemban tanggung jawab untuk menolong mereka mencapainya,” dan menyadari bahwa satu-satunya cara agar kita sepenuhnya mampu menolong sesama sebaik mungkin adalah pencerahan, bukan cuma kebebasan. Ini karena kalau kita cuma terbebaskan dari masalah kita dan sebab-sebabnya, cita kita tetap terbatas.
Kita mirip kapal selam di bawah air, melihat ke permukaan dengan periskop. Kita hanya mampu melihat hal yang ada di depan periskop, yang di depan mata. Sekalipun kita tidak lagi bermasalah dengan hal yang kita lihat, kita tetap tidak bisa melihat hal yang ada di belakang. Kita tidak bisa melihat akibat dari perilaku kita. Kita tidak bisa melihat segala hal yang terjadi sebelumnya, yang memengaruhi kejadian yang sekarang. Kendati kita mungkin mampu melihat lebih dari orang biasa karena kita lebih berkembang, terbebaskan, dan seterusnya, kita tetap melihat orang-orang di alam semesta ini melalui periskop. Periskopnya memang besar, tapi ia tetaplah periskop.
Karena itu, yang kita mau adalah “Aku harus tercerahkan, aku harus menjadi seorang Buddha untuk bisa menyingkirkan penglihatan periskop ini, agar aku mampu melihat segala hal tentang setiap insan. Karena itu, aku ingin menghapuskan bukan hanya kabut yang berupa perasaan gelisah, yang menghalangi kebebasan, tetapi juga kabut yang menghalangi kemampuanku untuk mengetahui segalanya, mengetahui segalanya dalam kerangka karma dan hubungan sebab-akibat. Jika aku mengajarkanmu ini, apa akibatnya padamu dan seterusnya – dan tidak hanya akibat yang akan terjadi padamu, tetapi juga akibat yang akan terjadi pada setiap orang lain yang bersinggungan denganmu dan setiap orang lain yang bersinggungan dengan mereka... selamanya.”
Itulah pencerahan, ketika kabut itu kita singkirkan, tanpa periskop sama sekali. Kendati kita ingin mencapai tataran ini – tataran yang membuat kita mampu membawa manfaat terbaik bagi setiap insan – kita tetap sadar bahwa kita hanya dapat menolong mereka yang bersedia menerima pertolongan. Seorang Buddha tidak bisa langsung menghapuskan duka semua orang dengan kuasanya sendiri. Kalau memang bisa begitu, setiap insan sudah terbebaskan. Jadi kita memahami kenyataan sebab dan akibat: apa hal yang benar-benar mampu kita lakukan. Dengan demikian kita bersikap makul dengan kemampuan kita dalam menolong insan lainnya setelah kita tercerahkan.
Maka, saat kita bicara soal bodhicita, niat utama yang mengawali langkah kita adalah, “Aku harus mampu menolong insan lainnya sebanyak mungkin.” Dengan dorongan tersebut, kita kemudian mengerti, “Supaya mampu, aku mesti tercerahkan.” Bodhicita adalah tataran cita yang dipusatkan pada pencerahan; tetapi tidak dipusatkan pada pencerahan secara umum atau pencerahan Buddha Shakyamuni. Ia dipusatkan pada pencerahan kita sendiri, yang akan kita peroleh di masa depan – pencerahan kita sendiri yang berada di satu titik yang masih jauh di atas kesinambungan batin kita.
Dan dengan niat bahwa aku harus mencapai ini sesegera mungkin, karena dengan begitu aku akan mampu menolong insan lainnya sebanyak mungkin. Dan ini bertumpu pada keyakinan kuat bahwa pemerolehan pencerahan di masa depan itu mungkin dicapai, bahwa pencerahan adalah tataran yang mungkin tercapai di masa depan kesinambungan batinku, dan bahwa sangat mungkin aku mencapainya. Tanpa itu, ia hanya menjadi angan-angan dan tidak makarya, tidak tulus. Itulah bodhicita, dan kita mesti memahaminya dengan jelas.
(6) Bagi makhluk-makhluk suci ini yang mengharapkan pencerahan unggul, aku akan menjelaskan cara-cara sempurna yang telah diajarkan oleh para guru.
Jadi untuk insan, yang disebut “suci”, kudus – dan ini menunjukkan rasa hormat yang besar – untuk insan yang benar-benar mengharapkan pencerahan tersebut, dengan kata lain, bertujuan mencapai pencerahannya sendiri dan berupaya sekeras mungkin untuk meraihnya karena ingin lebih mampu menolong insan lainnya, untuk mereka, “aku akan menjelaskan cara-cara sempurna” untuk mencapai pencerahan tersebut seperti “yang telah diajarkan oleh para guru”. Dengan kata lain, bukan yang kubuat-buat sendiri. Insan-insan seperti itu sungguh patut dihormati. Jadi kita menghormati tidak hanya insan-insan yang telah mencapai hal ini, tetapi juga menghormati diri kita sendiri, kemampuan kita, untuk mencapainya.