Landasan dan Bodhicita Terdalam

Sumber-sumber Naskah

Saya ingin menjelaskan sebuah naskah yang sangat penting dalam tradisi Buddha Tibet yang disebut Latihan Cita Tujuh Pokok oleh seorang guru besar dari aliran Kadam, Geshe Chekawa. Ajaran ini terutama didasarkan pada laku mengubah cara pandang terhadap diri sendiri dan orang lain. Hal ini bertujuan untuk membalikkan kecenderungan kita untuk selalu memikirkan dan mementingkan diri sendiri, dan sering mengabaikan orang lain. Melalui latihan ini, kita belajar untuk mementingkan dan memikirkan orang lain terlebih dahulu, serta menemukan cara untuk memberi manfaat bagi mereka.

Ada dua sumber sutra dari naskah ini. Salah satunya adalah Gandavyuha SutraSutra yang Terbentang Seperti Batang Pohon, yang merupakan bab terakhir dari naskah yang jauh lebih panjang yang disebut Avatamsaka Sutra, Sutra Karangan BungaSutra Gandavyuha bercerita tentang seorang peziarah muda yang mencari pencerahan. Ia menemui lima puluh tiga bodhisattwa yang berbeda, dan masing-masing dari mereka mengajarinya jenis latihan bodhisatwa yang berbeda. Naskah ini dan naskah yang lebih panjang, Avatamsaka Sutra, adalah salah satu dari beberapa naskah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Tibet dari terjemahan bahasa Cina, terutama karena bahasa Sanskerta aslinya telah hilang saat naskah ini disebarkan ke Tibet. Tsongkhapa berkata bahwa jika bukan karena kepustakaan ini, Tibet tidak akan benar-benar memiliki ajaran-ajaran lengkap dari jalan bodhisattwa.

Sutra kedua yang menjadi sumber naskah ini adalah bab lain dari Sutra Avatamsaka, yaitu Sutra VajradvajaparinamanaSutra Perpindahan (Daya Kebajikan) Vajradvaja. Banyak orang mempertanyakan sumber sutra dari ajaran-ajaran latihan cita ini, sehingga Serkong Rinpoche menjelaskan dari mana ajaran-ajaran ini berasal. Ajaran-ajaran ini juga dijelaskan secara luas oleh Shantidewa dalam Memasuki PerilakuBodhisattwa, Bodhisattvacharyavatara.

Atisha menerima silsilah ajaran-ajaran ini dari Lama Serlingpa. Ia telah melakukan perjalanan yang sulit ke Sumatra untuk menerima ajaran-ajaran itu darinya, mungkin setelah mendengarnya dari gurunya Dharmarakshita, pengarang Cakra Senjata Tajam. Kemudian Atisha membawanya ke Tibet, menyebarkannya bersama dengan aliran Kadam yang mengikutinya. Ajaran-ajaran itu kemudian diteruskan ke murid utama Atisha, Dromtonpa, dan darinya ke Geshe Potowa, yang memiliki dua murid utama. Murid yang lebih tua, Langri Tangpa, menulis Delapan Seloka Latihan Cita dan murid yang lebih muda adalah Geshe Chekawa, penulis naskah ini.

Suatu hari, Geshe Chekawa menemukan Delapan Seloka Latihan Cita di rumah Geshe Chagshinpa. Chekawa benar-benar tertarik pada kalimat, “Berikan kemenangan kepada orang lain dan terimalah kesalahan pada diri sendiri.” Ia bertanya siapa yang menulisnya, dan ketika diberitahu bahwa itu ditulis oleh Langri Tangpa, ia pergi ke Lhasa untuk menemuinya. Akan tetapi, Langri Tangpa telah meninggal dunia. Chekawa diberitahu bahwa ia juga bisa mendapatkan ajaran-ajaran itu dari murid lain, Geshe Sharawa, dan ia pun pergi ke Sharawa.

Ceritanya panjang, tapi akhirnya Chekawa meyakinkan Geshe Sharawa untuk mengajarinya. Geshe Sharawa memberitahunya bahwa baris yang ia minati sebenarnya berasal dari naskah Nagarjuna, RatnavaliKarangan Mulia, sebuah naskah India yang juga sangat terkenal. Geshe Chekawa menghabiskan enam tahun mempelajari ajaran-ajaran ini bersama Geshe Sharawa, dan kemudian menulis naskah yang sekarang kita miliki.

Ajaran-ajaran tersebut kemudian diteruskan ke Lhadingpa, dan darinya muncul dua silsilah. Yang pertama melalui muridnya, Togme Zangpo, pengarang 37 Laku Bodhisattwa. Ini adalah silsilah yang diikuti oleh aliran Sakya, Nyingma, dan Kagyu. Togme Zangpo juga menulis sebuah ulasan yang sangat populer dan terkenal untuk Memasuki Perilaku Bodhisattwa karya Shantidewa. Saya tidak memiliki daftar murid-murid yang diteruskan silsilah kedua dari Lhadingpa, tapi, setelah sekitar dua abad, silsilah kedua ini sampai ke Tsongkhapa, yang meneruskannya ke muridnya, Namkapel, pengarang Latihan Cita Bagaikan Sinar Matahari. Dari dia, silsilah ini diteruskan lebih jauh dalam aliran Gelug. Seperti yang bisa kita lihat, semua naskah latihan cita ini cocok dengan silsilah-silsilah yang berasal dari Serlingpa dan Atisha.

Berbagai Versi dan Edisi

Satu hal yang cukup mencolok dari Latihan Cita Tujuh Pokok adalah bahwa ada banyak versi dan edisi yang berbeda. Ada dua pembagian naskah utama: satu berasal dari Togme Zangpo dan satu lagi dari Tsongkhapa. Dua versi utama ini berbeda satu sama lain karena beberapa baris ditambahkan, dihilangkan, atau disusun dalam urutan yang berbeda. Di dalam masing-masing dari kedua silsilah ini juga terdapat beberapa versi dengan perbedaan kecil. Hal ini terkadang dapat menimbulkan kebingungan, karena ulasan yang diberikan oleh guru-guru yang berbeda dan diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Eropa sering kali didasarkan pada versi yang berbeda dari naskah tersebut.

Yang Mulia Dalai Lama pernah ditanya tentang bagaimana menghadapi semua versi ini. Beliau menjawab bahwa berbagai macam edisi terkadang terjadi dalam transmisi naskah, seperti dari tradisi lojong ini, namun hal itu tidak membuat perbedaan yang signifikan. Tujuan utama dari semua edisi itu sama. Hanya saja, beberapa hal telah ditambahkan dari tradisi lisan atau dihilangkan, dan baris-barisnya selalu bisa disusun ulang dengan satu atau lain cara. Itu sudah biasa. Yang Mulia berkata bahwa hal itu tidak masalah; kalau tidak, kita akan kerepotan untuk mencoba mengenali “versi mana yang benar”.

Meskipun demikian, kita tidak akan pernah bisa memutuskan versi mana yang benar karena seluruh aliran lojong ini didasarkan pada laku dan penerapan lakunya dalam kehidupan. Ketika, sebagai siswa Dharma, kita mempelajari naskah semacam itu, kita tidak mendekatinya dengan cara yang dilakukan oleh seorang cendekiawan atau akademisi. Tujuan kita adalah untuk memahami bagaimana menerapkan ajaran-ajarannya, mencari tahu apa yang paling masuk akal ketika mencoba menggabungkan semuanya.

Guru saya sendiri, Serkong Rinpoche, salah satu guru Yang Mulia Dalai Lama, mengajarkan versi yang lebih tua, versi Togme Zangpo. Itulah yang akan saya ikuti di sini, meskipun saya juga menerima ajaran-ajaran tentang versi lain dari naskah tersebut dari Yang Mulia Dalai Lama dan Geshe Ngawang Dhargyey, guru-guru utama saya yang lain.

Pokok Pertama: Pelatihan dalam Persiapan

Pertama, kita perlu memahami istilah “lojong”. Biasanya diterjemahkan sebagai “latihan cita”, tapi “lo” tidak hanya berarti “cita” atau “perasaan”. Kata ini juga berarti “sikap mental” kita, “sikap emosional” kita terhadap kehidupan dan dalam menghadapi situasi - khususnya, situasi sulit yang kita hadapi. “Jong” memiliki dua arti. Salah satu artinya adalah “membersihkan”. Ini tidak berarti membersihkan seperti mencuci; ini berarti membersihkan kotoran sehingga tidak ada lagi. Demikian juga, kita membersihkan cita dari sikap-sikap negatif. “Jong” juga memiliki arti ‘melatih’ - membangun, belajar, mengembangkan dan melatih sikap positif. Secara keseluruhan, arti lojong adalah membersihkan sikap negatif dan melatih sikap positif. Namun, ini bukanlah istilah yang sangat mudah untuk diterjemahkan hanya dalam dua kata, dalam bahasa Eropa manapun.

Ajaran ini, omong-omong, cukup maju. Ajaran ini beranggapan bahwa kita telah mengikuti jalan bodhisattwa sehingga memiliki penekanan kuat pada pengembangan bodhicita. Bodhicita adalah cita dan hati yang diarahkan pada pencerahan kita sendiri di masa depan. Yang paling penting dari bodhicita adalah niat kita untuk mencapai pencerahan tersebut sehingga kita dapat memberi manfaat bagi semua makhluk sebaik mungkin. Karena ajaran ini beranggapan bahwa kita telah mengembangkan bodhicita sampai batas tertentu, ajaran ini tidak membahas secara rinci tentang persiapan-persiapan untuk itu atau cara mengembangkannya. Karena fakta ini, saya tidak akan memberikan penjelasan rinci tentang semua persiapan atau cara untuk mengembangkan bodhicita. Saya hanya akan menyebutkan secara singkat beberapa pokok utama tentang mereka.

Naskahnya dimulai dengan: 

Sujud Sembah pada Welas Asih yang Agung.

Welas asih adalah landasan bagi semua laku bodhisattwa. Secara umum, welas asih adalah keinginan agar orang lain terbebas dari duka, masalah, dan sebab-sebabnya. Welas asih yang agung ditujukan kepada semua orang, bukan hanya kepada beberapa orang saja. Welas asih adalah keinginan agar semua orang di alam semesta terbebas, mulai dari para arhat yang telah terbebaskan hingga serangga dan makhluk-makhluk neraka. Welas asih juga beranggapan bahwa semua orang, termasuk kita, adalah setara. Keyakinan inilah yang membuat kita bersedia mengambil tindakan untuk benar-benar mencoba menolong orang lain dengan urgensi yang sama besarnya dengan menolong diri kita sendiri. Jadi dengan welas asih yang luar biasa, kita memperoleh kesediaan, keberanian, dan tekad yang luar biasa untuk berupaya mencapai pencerahan sebagai satu-satunya cara agar kita mampu menolong orang lain dengan sebaik-baiknya.

Yang pertama dari ketujuh pokok ini adalah persiapan, yang tercermin dalam satu baris ini:

Berlatihlah terlebih dahulu dalam persiapan.

Ini mengacu pada laku-laku persiapan yang sama-sama dimiliki oleh sutra dan tantra yang kita temukan di semua aliran. Ini juga merupakan persiapan-persiapan untuk mengembangkan bodhicita. Sebagai contoh, dalam ajaran-ajaran jalan bertahap lam-rim, persiapan-persiapan ini mencakup latihan-latihan lingkup awal dan menengah. Dimulai dengan meditasi pada kehidupan manusia yang berharga, dan kemudian pada ketaktetapan dan kematian. Kita perlu memahami bahwa kehidupan ini tidak akan berlangsung selamanya, jadi kita mengambil haluan aman, atau berlindung. Kita kemudian berpikir tentang sebab dan akibat karma dan bertekad untuk bertindak dengan cara yang positif, menghindari tindakan negatif. Kita melakukan semua ini untuk memperbaiki kehidupan masa depan kita. Akhirnya, ketika berpikir tentang kerugian-kerugian dari kelahiran kembali yang tak terkendali dalam samsara, kita mengembangkan penyerahan untuk memperoleh kebebasan darinya. Inilah persiapan-persiapannya.

Yang menarik adalah bahwa di sini kita tidak mulai menjalankan laku persiapan ini sebagai pemula, tanpa latar belakang sama sekali. Pokok pertama dari tujuh pokok ini mengacu pada kembali ke meditasi-meditasi persiapan ini ketika kita sudah memiliki tujuan bodhicita. Penting untuk diingat bahwa kita tidak melewati tingkat-tingkat bertahap lam-rim hanya sekali saja. Kita selalu melalui tahap-tahap persiapan itu lagi dan lagi sehingga kita memperoleh pemahaman yang lebih mendalam, memajukan apa yang telah kita pahami sebelumnya.

Apa yang membuat kehidupan manusia yang berharga ini begitu berharga? Berharga karena kita memiliki semua kebebasan dari situasi yang dapat menghalangi kita untuk berlatih dan mengembangkan diri kita lebih jauh. Tidak hanya itu, kita juga memiliki semua kesempatan baik yang memungkinkan kita untuk menjalankan laku dan berkembang. Yang sangat berharga adalah bahwa dengan bodhicita, kita dapat menggunakan kehidupan manusia yang berharga ini untuk berupaya mencapai pencerahan dan menolong orang lain sebanyak mungkin. Lagipula, kita tidak bisa menolong orang lain sebanyak itu kalau kita seekor binatang, atau kalau kita mati kelaparan!

Sekali lagi, penting untuk dipahami bahwa hidup ini tidak akan berlangsung selamanya; kematian bisa datang kapan saja. Karena kematian bisa datang kapan saja, maka kita tidak ingin menyia-nyiakan hidup kita. Setiap orang mengalami keadaan dan situasi sulit dalam hidup, jadi kita harus mampu mengubahnya agar kita tidak membuang-buang waktu. Dorongan bodhicita yang kuat memberi kita daya yang kuat untuk menerapkan laku-laku latihan cita dengan fokus dan kejernihan tentang mengapa kita melakukannya. Inilah alasan mengapa kita mengambil haluan aman atau berlindung. Bukan hanya karena kita takut akan kelahiran kembali yang lebih buruk dan yakin bahwa haluan ini akan memampukan kita untuk berkembang, tapi juga karena welas asih kita pada sesama, kita ingin menuju ke arah pencerahan tanpa membuang-buang waktu. Inilah yang dicapai oleh Buddha, yang diajarkan Dharma, dan yang telah disadari oleh Sangha Arya.

Butuh banyak sekali masahidup bagi kita untuk mencapai pencerahan, jadi kita perlu memastikan bahwa kita terus memiliki semua kesempatan untuk membuat kemajuan lebih lanjut di semua kehidupan masa depan kita. Kita tidak bisa membiarkan rencana kita samar-samar. Kita harus membuat persiapan yang sangat matang, seperti dengan mengembangkan hubungan yang kuat dengan para guru, dengan belajar, dengan laku, dengan meditasi, dan dengan benar-benar menolong orang lain. Kita melakukan semua ini agar secara naluriah sebagai seorang anak di kehidupan selanjutnya kita akan tertarik untuk bersikap baik secara alamiah. Kita secara alami akan bersikap baik hati, ingin menolong orang lain dan ingin mengembangkan diri kita secara rohani, bukannya secara naluriah kejam, mementingkan diri sendiri, dan seterusnya sekalipun kita terlahir kembali sebagai manusia.

Tapi apa pun jenis kelahiran kembali yang kita alami, ia akan selalu dipenuhi dengan permasalahan samsara, dengan pasang surut. Keadaan apa pun, bahkan yang paling ideal sekalipun, pasti ada masalahnya. Contohnya, kita harus mencari nafkah dan pada akhirnya kita menjadi tua, sakit, dan mati. Akan selalu ada masalah-masalah seperti ini. Kenyataan bahwa kita akan mati dan terlahir kembali berulang kali inilah yang menjadi rintangan bagi kita untuk mampu menolong setiap insan sepenuhnya. Sebagai contoh, di setiap kehidupan kita harus memulai dari awal sebagai bayi; kita tidak bisa berbuat banyak untuk menolong orang lain saat kita masih bayi atau kanak-kanak, bukan? Kita juga tidak bisa banyak membantu ketika kita sudah tua dan menjadi pikun atau sakit. Lagi-lagi, kita harus mengatasi semua gejala yang berulang tanpa terkendali ini untuk memperoleh kebebasan dan pencerahan.

Ringkasnya, menjalani persiapan adalah pokok pertama dari Latihan Cita Tujuh Pokok ini. Tapi seperti yang bisa kita lihat, kita perlu melaluinya dari sudut pandang bodhicita, yang benar-benar memperkuat laku bodhisattwa kita. Ini penting karena begitu banyak dari kita yang telah mempelajari tingkat-tingkat bertahap lam-rim ini. Kita harus menghindari pemikiran, “Sekarang aku telah melalui lam-rim, dan aku telah mencapai tingkat lanjut, jadi aku akan tetap dengan latihan Mahayana. Tidak perlu bekerja lebih jauh pada tingkat-tingkat awal yang mendukungnya.”

Pokok Kedua: Dua Jenis Bodhicita

Pokok kedua adalah latihan yang sebenarnya dalam dua bodhicita, nisbi dan terdalam. Bodhicita nisbi atau lazim adalah cita yang diarahkan pada pencerahan kita sendiri, yang belum terjadi, dengan niat untuk mencapainya dan dengan demikian menolong setiap insan sebanyak mungkin. Cita ini ditujukan pada segi-segi tak-jumud dari pencerahan kita yang belum terjadi - Dharmakaya Kesadaran Mendalam, yaitu cita mahatahu dari seorang Buddha yang tahu cara menolong setiap insan untuk mencapai pencerahan, dan Rupakaya atau Raga Rupa, yang dapat digunakan untuk menolong mereka mencapainya. Bodhicita terdalam ditujukan pada segi jumud dari pencerahan kita yang belum terjadi - Svabhavakaya, Raga Hakiki, yaitu sunyata cita mahatahu seorang Buddha dan penghentian sejati di dalamnya. Kita bisa membahas panjang lebar tentang dua bodhicita ini, tapi pada dasarnya, kita perlu pengembangan bersama keduanya untuk mencapai masing-masing Raga Buddha ini.

Ada dua urutan untuk mengembangkan dua bodhicita. Yang pertama, yang kita dapati di dalam lam-rim, adalah bahwa meskipun kita membutuhkan pemahaman tentang sunyata untuk memperoleh kebebasan dan pencerahan, kita tidak menekankannya terlebih dahulu. Lebih penting untuk memiliki dorongan bodhicita terlebih dahulu, baru kemudian mengembangkan pemahaman tentang sunyata. Ini karena bodhicita memberikan daya yang kuat pada pemahaman akan sunyata sehingga ia akan menerobos semua pengaburan kita - bukan hanya pengaburan yang menghalangi kebebasan, tapi juga pengaburan yang menghalangi pencerahan mahatahu. Ini adalah satu urutan untuk mengembangkan dua bodhicita dan sangat cocok untuk jenis pelaku rohani yang berperasaan.

Urutan lainnya adalah berupaya mencapai bodhicita terdalam, pemahaman akan sunyata, terlebih dahulu dan kemudian mengembangkan bodhicita nisbi. Yang Mulia menjelaskan hal ini dengan sangat baik. Dengan pemahaman akan sunyata, kita menjadi yakin akan sifat sunyata cita dan semua perasaan dan sikap gelisah yang mengaburkannya. Keyakinan ini memberi kita keyakinan lebih lanjut bahwa adalah mungkin untuk benar-benar menyingkirkan mereka selamanya dan mencapai kebebasan dan pencerahan. Kecuali kita memiliki keyakinan bahwa pencerahan itu mungkin, yang diperoleh dari pemahaman akan sunyata, sulit sekali untuk sungguh-sungguh mencurahkan hati kita untuk mencapainya dengan bodhicita nisbi.

Jadi, untuk murid-murid yang lebih cerdas, daripada jenis yang lebih berperasaan, dianjurkan untuk mengembangkan bodhicita terdalam terlebih dahulu sampai setidaknya pada suatu tingkat kecermatan dan ketegasan. Begitu kita menjadi yakin dari tingkat pemahaman tersebut bahwa kebebasan dan pencerahan itu mungkin dicapai karena sunyata cita dan sunyata sebab dan akibat, kita kemudian berupaya mengembangkan dorongan yang kuat untuk mencapai pencerahan itu demi manfaat bagi orang lain. Ketika dorongan bodhicita itu menjadi teguh, kita telah membina daya positif yang cukup untuk mampu mencapai pemahaman akhir dan paripurna atas sunyata.

Urutan dari versi naskah yang lebih tua, versi Togme Zangpo, adalah sunyata, bodhicita terdalam, dijelaskan terlebih dahulu, baru bodhicita nisbi. Akan tetapi, Tsongkhapa, yang menekankan pada jalan bertahap lam-rim, menyusunnya dengan urutan sebaliknya. Ia berkata bahwa, menurut aliran lisan yang ia ikuti, kita harus berupaya mengembangkan bodhicita nisbi terlebih dahulu. Oleh karena itu, muridnya, Namkapel, yang menulis Latihan Cita Bagaikan Sinar Matahari, yang pada dasarnya merupakan tinjauan atas naskah kita di sini, menempatkan seloka-seloka bodhicita terdalam di bagian akhir naskah, setelah ketujuh pokok. Pabongka, yang hidup di paruh pertama abad terakhir, membuat edisinya sendiri atas naskah ini, yang ia sunting dari semua versi yang berbeda. Ia memutuskan untuk membuat kompromi antara corak Togme Zangpo dan Namkapel dengan menempatkan seloka bodhicita nisbi yang kedua dari tujuh pokok itu terlebih dahulu, lalu seloka bodhicita terdalam.

Ringkasnya, ada tiga ragam penempatan seloka-seloka mengenai bodhicita nisbi dan terdalam. Serkong Rinpoche, mengikuti corak Togme Zangpo, menjelaskan seloka bodhicita terdalam terlebih dahulu seperti yang dilakukan para Sakya, Nyingma, dan Kagyu, jadi kita akan melakukannya juga.

Memahami Sifat Dasar Kesadaran

Togme Zangpo berasal dari aliran Sakya sehingga ia menjelaskan seloka ini sesuai dengan cara Sakya dalam bermeditasi atas sunyata:

Renungkanlah bahwa fenomena-fenomena adalah bagaikan mimpi. Cermatilah sifat dasar kesadaran yang tidak memiliki kemunculan. Lawan itu sendiri membebaskan dirinya sendiri di tempatnya sendiri. Sifat hakiki dari sang jalan adalah menetap di dalam tataran landasan yang mencakup segalanya.

Renungkanlah bahwa fenomena-fenomena adalah bagaikan mimpi sesuai dengan tingkat analisis Cita-Semata Chittamatra, yang merupakan titik awal meditasi Sakya pada sunyata. Ini mencerminkan pernyataan bahwa semua objek adalah penampakan yang berasal dari sumber kelahiran yang sama dengan kesadaran mereka. Sumber kelahiran tersebut adalah benih karma, atau kecenderungan, yang merupakan penyematan pada cita. Itu berarti bahwa semua penampakan yang dialami oleh cita semuanya berasal dari cita, seperti hologram mental dalam mimpi. Menurut penafsiran Sakya tentang Chittamatra, seseorang atau diri, sebagai keseluruhan objek yang meluas di atas semua gugusan dan bertahan dari waktu ke waktu, adalah perpaduan dari semua bagiannya, yang dibangun secara mental oleh cita bercitra. Dengan demikian, ini juga merupakan penyematan pada cita. Jadi, seseorang sebagai keseluruhan objek yang juga mengalami penampakan-penampakan ini juga berasal dari cita. Oleh karena itu, baik fenomena yang muncul maupun orang yang mengalaminya berasal dari cita, non-ganda, seperti halnya mimpi. Lebih tepatnya, baik objek-objek yang dialami maupun kesadaran dan orang yang mengalami adalah permainan non-ganda dari kejernihan cita, permainan dari fungsi pembuatan penampakan cita. Ini adalah pandangan Sakya Chittamatra.

Cermatilah sifat dasar kesadaran yang tidak memiliki kemunculan berarti bahwa cita itu sendiri, fungsi pembuat-kemunculan ini, tidak dapat ditemukan. Ia tidak memiliki kemunculan sejati, tidak memiliki kediaman sejati, tidak memiliki penghentian sejati, dan tidak memiliki keberadaan sejati yang dapat ditemukan. Kesadaran ini adalah pemahaman bercitra Madhyamaka dasar tentang sunyata (kekosongan) cita, yang merupakan langkah kedua dalam cara Sakya untuk bermeditasi pada sunyata. Semua hal adalah penampakan dari cita dan berasal dari kecenderungan karma yang merupakan penyematan pada cita, tetapi cita itu sendiri tidak memiliki kemunculan sejati; ia tidak memiliki keberadaan sejati yang dapat ditemukan. Ketiadaan mutlak dari keberadaan sejati yang dapat ditemukan dari cita adalah sunyata dari cita.

Semua ini sangat penting untuk dipahami demi pengembangan bodhicita nisbi yang tepat. Jika kita ingin menolong orang lain, kita perlu menyadari bahwa penampakan dari apa yang “mereka” lakukan, apa yang “aku” lakukan, dan “aku” sebagai orang dan “kalian semua” sebagai orang - semua penampakan ini muncul dari cita, melalui karma dan perpaduan batin. Namun, pada kenyataannya, cita yang menghasilkan penampakan “aku” yang menolong “mereka”, penampakan “mereka” yang ditolong, dan seterusnya, adalah cita yang tidak memiliki keberadaan sejati yang dapat ditemukan. Sebagai hasil dari pemahaman ini, ketika kita membantu orang lain, kita tidak memiliki pelekatan dan genggaman. Ini sangat berkaitan dengan laku jalan bodhisattwa yang tepat.

Lebih jauh lagi, ketika mencoba menolong orang lain, jika kita memahami dua baris pertama ini, kita tidak menjadi melekat pada mereka dan kemudian menjadi marah jika sesuatu tidak berhasil. Kita tidak berpikir, “Semua masalah dan dukaku berasal dari ‘mereka’ dan dari ‘aku’ yang berhubungan dengan ‘mereka’ - malangnya ‘aku’.” Kita perlu menyadari bahwa segala penampakan duka kita yang berasal dari “mereka” di luar sana dan “aku” yang malang di sini sebetulnya berasal dari cita kita dan cita kita tidak memiliki keberadaan yang dapat ditemukan. Oleh karena itu, dengan membersihkan cita kita, adalah mungkin untuk menyingkirkan semua kebingungan dan masalah yang timbul dan benar-benar mencapai kebebasan dan pencerahan. Jadi, ada banyak cara untuk memahami pandangan-pandangan Chittamatra dan Madhyamaka secara bertahap yang berkaitan dengan jalan bodhisattwa dan sangat membantu. Singkatnya, dua baris pertama ini mencakup meditasi bercitra Sakya dasar tentang sunyata.

Pada baris ketiga dari seloka ini, Lawan itu sendiri membebaskan dirinya sendiri di tempatnya sendirilawan mengacu pada sunyata. Sunyata, juga, adalah penyematan oleh kata-kata dan citra-citra (konsep). Melalui kata-kata dan citra, kita dapat memahami sunyata secara bercitra. Tapi kita perlu melampaui pemahaman bercitra itu untuk memperoleh pengetahuan nircitra tentang sunyata. Untuk memperolehnya, kita perlu memahami sunyata itu. Lawan itu sendiri membebaskan dirinya sendiri di tempatnya sendiri. Ini berarti pemahaman bercitra secara bersamaan muncul, berdiam, dan lenyap, yang merupakan pendekatan mahamudra dasar yang ditemukan dalam Sakya. Sunyata sebetulnya melampaui apa yang dapat dicitrakan dengan kata-kata dan citra, dan ketika kita sampai pada pengetahuan nircitra tentang sunyata, itulah lawan yang sebenarnya.

Singkatnya, dari menyadari bahwa pemahaman bercitra atas sunyata membebaskan dirinya sendiri di tempatnya sendiri, kita dapat mencapai pengetahuan nircitra atas sunyata, yang merupakan langkah berikutnya dalam meditasi Sakya atas sunyata. Pemahaman bahwa sunyata itu sendiri berada di luar semua keekstreman dari keberadaan sejati dan keberadaan tak sejati menuntun pada pengetahuan nircitra tentang sunyata yang melampaui kata-kata dan citra. Langkah yang setara dalam aliran Gelug adalah memperoleh pemahaman tentang sunyata dari sunyata dan inilah yang menuntun kita pada pengetahuan nircitra tentang sunyata.

Baris keempat adalah Sifat hakiki dari sang jalan adalah menetap di dalam keadaan landasan yang mencakup segalanya. Apa yang dimaksud dengan meditasi nircitra pada sunyata di luar kata-kata dan citra ini? Meditasi ini mensyaratkan menetap di dalam cita bercahaya jernih dan sunyata. Dalam aliran Sakya, cita bercahaya jernih - tingkat cita yang paling halus - disebut “alaya sebab-musabab”, landasan yang mencakup segalanya. Alaya bercahaya jernih atau cita yang melandasi adalah penyebab dari semua penampakan, baik yang murni maupun yang tidak murni. Menetap ke dalam landasan ini adalah langkah keempat dalam meditasi sunyata Sakya.

Adapun penjelasan Gelug tentang baris-baris ini, Renungkanlah bahwa fenomena-fenomena adalah bagaikan mimpi mengacu pada semua fenomena yang diketahui oleh cita - mereka tidak memiliki keberadaan sejati yang dapat ditemukan. Cermatilah sifat dasar kesadaran yang tidak memiliki kemunculan mengacu pada sunyata cita. Lawan itu sendiri membebaskan dirinya sendiri di tempatnya sendiri mengacu pada sunyata dari orang yang menjadi lawan dari orang yang bermeditasi. Ketiga baris ini bersama-sama mengacu pada meditasi penguraian, atau yang saya sebut sebagai meditasi “pencermatan”. Sifat hakiki dari sang jalan adalah menetap di dalam tataran landasan yang mencakup segalanya kemudian mengacu pada meditasi pemantapan pada sunyata. Sunyata di sini dianggap sebagai landasan yang mencakup-segalanya. Ini adalah cara baku Gelugpa dalam menafsirkan baris-baris ini.

Maka, seloka ini mengacu pada bagaimana kita bermeditasi pada sunyata dalam sesi meditasi kita untuk mengembangkan bodhicita terdalam.

Di sela-sela sesi, bersikaplah seperti orang yang maya.

Bahkan ketika kita tidak sedang bermeditasi atas sunyata, kita harus tetap sadar akan fakta bahwa meskipun tidak ada yang memiliki keberadaan sejati yang dapat ditemukan, segala sesuatu tetap berfungsi, termasuk diriku sendiri. Tanpa menggenggam keberadaan sejati yang dapat ditemukan dari “aku”, atau “hal yang kulakukan”, atau “orang yang kutolong”, di sela-sela sesi meditasi atas sunyata, kita perlu bertindak seperti orang yang maya.

Kesimpulan

Kita telah membahas ajaran-ajaran bodhicita terdalam. Yang secara khusus telah kita pelajari adalah bahwa selain ajaran-ajaran mengenai bodhicita nisbi, semua pokok bahasan lam-rim, baik ajaran-ajaran lingkup awal dan menengah yang mendahuluinya maupun ajaran-ajaran sunyata yang muncul setelahnya, merupakan hal-hal yang perlu kita masukkan ke dalam laku bodhisattwa kita.

Ajaran-ajaran sunyata ini sangat relevan. Kita harus yakin bahwa mencapai pencerahan itu mungkin, yang berarti yakin bahwa membersihkan cita itu mungkin. Adalah mungkin untuk membersihkan sikap negatif kita dan mengembangkan sikap positif. Semua itu mustahil jika cita tidak memiliki sunyata sebagai sifatnya dan jika penampakan semua hal yang gelisah ini tidak berasal dari cita. Seluruh laku bodhisattwa hanya dapat berjalan karena adanya sunyata cita. Jadi, penting sekali bagi kita untuk tidak merasa puas hanya dengan pemahaman bercitra atas sunyata, kita perlu melangkah lebih jauh dan memperoleh pemahaman nircitra juga.

Top