Bodhichita Nisbi dan Tonglen

Menyetarakan dan Menukar Diri dengan Orang Lain

Kita telah membahas Latihan Cita Tujuh Pokok oleh Kadam Geshe Chekawa yang hidup di abad ke-12. Sejauh ini, kita telah membahas dua pokok pertama: persiapan dan latihan bodhicita terdalam. Sekarang, kita siap untuk membahas latihan bodhicita nisbi.

Seloka dalam naskah ini dimulai dengan laku memberi dan menanggung yang disebut “tonglen” dalam bahasa Tibet:

Berlatihlah untuk memberi dan pun menanggung secara bergantian dengan memasang keduanya pada nafas.

Bagian dari naskah ini membahas tentang apa yang akan kita lakukan baik dalam meditasi formal maupun setelahnya. Baris pertama di sini mengacu pada apa yang akan kita lakukan dalam meditasi formal. Seperti yang telah saya katakan sebelumnya, naskah ini cukup maju, seperti halnya laku tonglen. Ini mengandaikan bahwa kita telah mengerjakan tahap-tahap yang diperlukan untuk dapat melakukan laku ini. Tonglen juga cocok dengan laku-laku untuk mengembangkan tujuan bodhicita - keinginan untuk mencapai pencerahan demi manfaat bagi semua insan, dan mencoba menolong orang lain sebanyak mungkin di sepanjang jalan.

Ada dua cara umum untuk mengembangkan bodhicita. Salah satu yang biasanya menjadi bagian dari laku tonglen adalah menyetarakan dan menukar diri dengan orang lain. Dimulai dengan mengembangkan kesetaraan batin, jenis yang sama dengan latihan Hinayana. Kesetaraan batin seperti ini adalah kesetaraan yang menjernihkan cita dan hati kita dari segala jenis perasaan gelisah terhadap makhluk apa pun. Apa yang kita coba lakukan adalah membebaskan diri kita dari ketertarikan dan kemelekatan pada beberapa orang, rasa jijik, penolakan, atau kemarahan terhadap orang lain, serta keluguan dan pikiran tertutup yang membuat kita mengabaikan orang lain.

Secara keseluruhan, cara kita mengembangkan kesetaraan batin adalah dengan menyadari bahwa di sepanjang kelahiran kembali yang tak berawal, yang dalam ajaran Buddha dianggap sebagai aksioma yang pasti, setiap orang telah mengubah hubungan dengan kita. Kadang kita berteman, kadang kita bermusuhan, dan kadang kita menjadi orang asing bagi semua orang. Jadi, tidak pernah ada jenis hubungan yang tetap dengan siapa pun. Perubahan-perubahan dalam hubungan terjadi setiap saat. Dengan mengembangkan kesetaraan batin, kita dapat membersihkan diri kita dari rasa tertarik, jijik, atau acuh tak acuh terhadap siapa pun. Kesetaraan batin adalah landasan, dasar bagi bodhicita, tapi juga merupakan laku yang memiliki kesamaan dengan Hinayana.

Langkah selanjutnya adalah mengembangkan jenis kesetaraan batin Mahayana, yang disebut memiliki sikap yang setara terhadap semua orang atau menyetarakan sikap kita terhadap semua orang, termasuk, tentu saja, diri kita sendiri. Dalam laku ini, kita tidak hanya mencoba mengenali bahwa setiap orang itu setara, tapi kita juga memikirkan alasan mengapa kita semua setara. Jika kita merenungkan hal ini secara mendalam, ada banyak alasan. Sebenarnya, ada sembilan alasan, tetapi kita tidak punya waktu untuk membahasnya satu per satu. Namun, hal yang paling mendasar adalah memahami bahwa semua orang ingin bahagia dan tidak ada yang ingin tidak bahagia. Dalam hal ini, kita semua sama.

[Lihat: Menyetarakan dan Menukar Diri dengan Orang Lain]

Kesetaraan batin membentuk landasan bukan hanya untuk langkah pertama, yaitu membersihkan cita kita dari perasaan gelisah yang menghalangi kita untuk benar-benar terlibat dengan orang lain. Ia juga merupakan laku yang memusatkan perhatian pada pengembangan perasaan positif yang membantu kita untuk melakukan sesuatu yang berguna bagi orang lain. Itulah mengapa pendekatan ini disebut cara khusus Mahayana untuk mengembangkan kesetaraan batin.

Kita mulai dengan memikirkan kerugian dari menyayangi diri sendiri. Sebagai contoh, kita berpikir tentang semua masalah dan kesulitan yang terjadi ketika kita benar-benar sibuk dengan diri kita sendiri. Ini seperti saat kita tertekan dan berpikir, “Malangnya aku.” Atau kita pergi ke suatu tempat, dan seseorang menyiapkan makanan yang tidak kita sukai, dan akibatnya, kita jadi tidak bahagia. Kita cenderung tidak berpikir dalam kerangka niat orang lain, yang tidak bermaksud membuat sesuatu yang tidak kita sukai. Ada pembahasan yang sangat luas tentang pendekatan ini, tapi kita tidak punya banyak waktu untuk membahasnya. Ini adalah pokok yang sangat mendalam yang penting untuk dipertimbangkan ketika kita merasa sengsara dan tak bahagia: mengenali apa sumber dari kesengsaraan dan ketakbahagiaan ini. Biasanya, kita akan menemukan bahwa hal itu dapat ditelusuri dengan berpikir tentang “malangnya aku” dan memiliki sikap menyayangi diri sendiri.

Tahap berikutnya adalah memikirkan manfaat dari menyayangi orang lain, yang sebenarnya adalah sumber dari semua kebahagiaan kita. Dengan kata lain, ketika kita merasa tertekan, jika kita dapat memikirkan orang lain, atau terlibat dalam membantu mereka, itu akan mengalihkan pikiran kita dari masalah kita sendiri. Kita sebenarnya menerima sesuatu dari mereka, dalam arti bahwa melakukan sesuatu untuk orang lain akan meningkatkan rasa harga diri kita. Metode ini bahkan diakui dalam psikologi Barat. Jelas, orang lain akan tidak menyukai kita jika kita egois, dan akan lebih menyukai kita jika kita memikirkan mereka. Sebagai contoh, jika kita berbicara dengan seseorang di telepon dan hanya membicarakan diri kita sendiri dan tidak menanyakan kabarnya, orang tersebut akan merasa sangat tidak nyaman. Tetapi jika kita dengan tulus - dan bukan hanya bersikap sopan - peduli dengan apa yang terjadi dengan mereka, maka orang lain tidak hanya akan merasa lebih bahagia, tetapi mereka juga akan menyukai kita.

Sekali lagi, ada pokok-pokok yang jauh lebih dalam dan bermakna yang dapat diangkat dalam hal menyayangi orang lain sebagai sumber kebahagiaan. Kita bisa melihat hal ini dengan sangat jelas pada Yang Mulia Dalai Lama, misalnya. Ia berkata baru-baru ini dalam sebuah wawancara bahwa ia tidak pernah depresi, dan ia merasa agak sedih karena sulit baginya untuk berempati pada orang lain tentang hal ini, karena ia tidak pernah mengalami perasaan itu. Ketika Anda melihatnya - terutama jika Anda dapat menghabiskan banyak waktu bersamanya - dia selalu bahagia.

Ketika Anda memikirkan semua masalah yang dihadapi Yang Mulia dengan orang-orang Cina, secara internal di dalam komunitas Tibet, dan jadwal perjalanannya yang luar biasa ke seluruh dunia, sungguh menakjubkan bahwa ia tidak pernah tertekan, tidak pernah merasa, “Saya tidak ingin pergi dan bertemu dengan sejuta orang hari ini. Saya hanya ingin memiliki waktu dan ruang untuk diri saya sendiri.” Yang memberinya sukacita terbesar adalah bertemu dengan orang lain. Anda tahu, ketika Yang Mulia bertemu dengan orang lain, itu adalah hal yang paling indah di dunia. Ia sangat senang bertemu dengan Anda dan ia juga seperti itu pada semua orang - selalu memikirkan orang lain.

Suatu ketika, Yang Mulia berkata bahwa bodhisattwa adalah orang yang paling egois karena mereka tahu cara-cara untuk membuat diri mereka sendiri paling bahagia sepanjang waktu - dengan membuat orang lain bahagia. Ada sebuah diskusi yang sangat menarik pada pertemuan pertama Jaringan Guru-guru Buddha Barat, di tahun 1993. Seseorang bertanya kepada Yang Mulia, “Apa yang kita lakukan ketika kita memiliki rasa ingin beristirahat dan bersantai,” dan ketika, “Sungguh sulit untuk selalu menjadi guru, untuk selalu berada dalam keadaan seperti itu.” Ada banyak pembahasan tentang bagaimana kita menghadapi persoalan mengambil cuti dan menjalani kehidupan yang 'normal'. Yang Mulia berkata bahwa para bodhisattwa tidak akan pernah menginginkan waktu istirahat atau cuti. Perasaan ini mustahil, sebuah kontradiksi, bahwa kita menginginkan cuti sebagai seorang bodhisattwa. Jika kita benar-benar tulus, kita akan bersuka cita menjadi seorang bodhisattva sepanjang waktu. Itulah hal tentang menyayangi diri sendiri versus menyayangi orang lain. Menyayangi diri sendiri berpikir: “Aku ingin waktu untuk diriku sendiri.”

Tentu saja, kita membutuhkan keseimbangan dalam hidup kita, terutama jika kita belum mencapai titik di mana kita dapat bersukacita dalam menolong orang lain. Kadang-kadang ketika kita terlibat dalam upaya menolong orang lain, dan hanya memikirkan “aku”, kita membencinya dan menjadi sangat frustrasi. Jadi, tentu saja ada kebutuhan akan keseimbangan. Bahkan Shantidewa menunjukkan bahwa kalau kita berjuang untuk menjadi seorang bodhisattwa dan mencoba bertindak seperti itu, kita tentu perlu mengurus kebutuhan kita sendiri. Seperti halnya kita perlu memberi makan seorang pelayan atau orang yang bekerja untuk kita, kita juga perlu menjaga diri kita sendiri agar mampu terus bekerja untuk orang lain. Kita tidak bisa mendorong diri kita sendiri sampai pada titik di mana kita tidak lagi mampu menghadapi orang atau situasi. Merawat diri kita sendiri, seperti beristirahat ketika kita membutuhkannya untuk “mengisi ulang baterai” seperti yang kita katakan, bukanlah suatu bentuk sayang diri sendiri. Hal ini justru membantu kita untuk lebih mendukung orang lain.

Melanjutkan rangkaian ini, kita kemudian menjalankan laku tonglen yang sebenarnya, memberi dan menanggung, yang dilakukan bersamaan dengan welas asih dan cinta kasih. Biasanya, kita berpikir bahwa urutannya adalah cinta kasih pertama dan kemudian welas asih - keinginan agar orang lain bahagia, dan kemudian diikuti oleh keinginan dan hasrat untuk menghilangkan duka orang lain. Namun dalam praktiknya, yang terjadi adalah sebaliknya. Orang tidak akan dapat menghargai atau menikmati kebahagiaan atau apa pun yang mereka butuhkan jika kita tidak terlebih dahulu meringankan penderitaan mereka. Jadi, dengan welas asih, keinginan agar orang lain terbebas dari duka dan sebab-sebab duka, kita membayangkan menanggungnya sendiri, menyingkirkannya dari orang lain. Dan ini bukan sekadar menyingkirkan duka dan sebab-sebabnya dari diri mereka tanpa berurusan dengan mereka, tapi laku tonglen juga melibatkan rasa empati untuk mengalami duka mereka. Kemudian, dengan cinta kasih - keinginan agar mereka bahagia dan memiliki sebab-sebab kebahagiaan - kita membayangkan memberi mereka apa pun yang akan membuat mereka bahagia, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Lebih jauh lagi, jika kita memiliki kemampuan, kita benar-benar memberikan apa yang mereka butuhkan - tidak hanya membayangkan memberikannya kepada mereka.

Namun, sekalipun kita membayangkan melakukan hal ini dalam skala yang sangat luas, ini adalah tentang mengembangkan tekad yang sesungguhnya, yang disebut Yang Mulia sebagai “tanggung jawab semesta”. Dengan bersungguh-sungguh menjalankan rasa tanggung jawab kita, kita sungguh-sungguh mencoba memberi manfaat bagi setiap insan, semua makhluk. Kita mencoba sebaik mungkin untuk memberi manfaat bagi mereka sampai ke tingkat tertinggi. Tekad luar biasa seperti inilah yang sebetulnya menuntun kita pada bodhicita, dan karena tekad yang sangat kuat inilah kita berupaya mencapai pencerahan. Kita menyadari bahwa mencapai pencerahan adalah satu-satunya cara agar kita mampu memberi manfaat bagi orang lain sebanyak mungkin.

Kita telah membahas rangkaian pertama untuk mengembangkan bodhicita, menyetarakan dan menukar diri dengan orang lain, dan dalam lingkung inilah tonglen diajarkan.

Top