Tinjauan Umum Dua Puluh Dua Pelatihan
Terakhir dalam pembahasan kita adalah pokok ketujuh, yang terdiri dari daftar dua puluh dua pelatihan, atau pokok yang melatih cita dalam membersihkan sikap kita.
Yang pertama dari pelatihan ini adalah:
Lakukan semua yoga dengan satu tujuan.
Hal ini mengacu pada, apa pun yang kita lakukan, berusaha melakukannya dengan tujuan membantu orang lain. Ketika kita makan dan tidur, kita melakukannya agar kita merasa segar dan bugar untuk membantu orang lain. Misalnya, sebelum kita makan, kita dapat mengucapkan seloka, "Saya makan makanan ini bukan karena keserakahan atau nafsu, tetapi sebagai obat agar dapat membantu orang lain." Ada juga laku ketika kita makan bahwa kita akan memberi makan delapan puluh empat ribu kuman, bakteri, dan mikroorganisme dalam tubuh kita. Jika kita tidak dapat mempertahankan dorongan semacam ini selama makan, setidaknya kita mencoba memulainya dengan niat ini.
Latihan kedua adalah:
Hancurkan semua yang terdistorsi dengan satu tindakan.
Di sini, hancurkan berarti menindas atau menginjak-injak sesuatu. Untuk menyingkirkan perasaan gelisah kita – serta segala sesuatu yang terdistorsi – kita terutama menggunakan laku tonglen. Kita menanggung duka orang lain, sehingga kita dapat mengalaminya secara langsung dan mengatasinya dengan cara yang tepat.
Jika saat melakukan tonglen, duka kita terasa semakin kuat sebelum kita bisa menghilangkannya, ini adalah pertanda baik. Untuk menghilangkan hal-hal yang tidak terwujud atau tersembunyi di dalam diri kita, mereka harus terlebih dahulu muncul ke permukaan sebelum dapat terbakar habis. Ini seperti pepatah: jika kamu menyalakan api dan ada banyak asap di awal, itu akan menjadi api yang baik; jika hanya ada sedikit asap, maka itu tidak akan menjadi api yang baik. Selain itu, hal ini mirip dengan proses mencapai shamatha (Skt. śamatha), keadaan cita yang tenang dan mantap dengan konsentrasi sempurna. Pada awalnya, tampaknya ada lebih banyak pikiran yang berkeliaran daripada sebelumnya, tetapi itu hanya karena kita sekarang menyadarinya; sebelumnya, kita tidak pernah benar-benar memperhatikan. Seperti yang dapat kita lihat, dengan menanggung duka lebih banyak melalui tonglen, seolah-olah kita terus-menerus mengalami perasaan gelisah yang bahkan tidak kita sadari sebelumnya. Sebenarnya, ini adalah tanda yang sangat baik bahwa perasaan-perasaan ini muncul. Mereka harus muncul terlebih dahulu sebelum kita benar-benar dapat bekerja untuk menyingkirkannya.
Kadang-kadang kita telah bekerja dengan Dharma selama bertahun-tahun dan kita berpikir bahwa kita telah mengatasi suatu masalah, “Aku tidak lagi terlalu terikat, jatuh cinta secara gila, dan kehilangan kendali, dan sebagainya. Aku mampu menghadapi perasaan gelisah yang sangat kuat.” Namun, sepuluh, lima belas, atau dua puluh tahun kemudian, kita mengalami episode lain dari perasaan gelisah yang kuat ini, muncul kembali. Yang terbaik adalah tidak terganggu oleh hal ini, tetapi menerimanya dan hanya berkata, “Berikan lebih banyak! Hadapi saja, karena jelas masih ada jejak yang belum terwujud yang belum aku tangani, jadi bagus! Hadapi saja, sehingga aku bisa mengerjakannya lebih lanjut.” Dengan berpikir seperti itu, kita tidak akan putus asa.
Ini adalah sikap yang sangat membantu. Tidak diragukan lagi, masalah-masalah ini kembali muncul pada praktisi jangka panjang. Saya sendiri telah mengalaminya. Kita berpikir kita tidak akan marah; kita merasa sudah cukup mengatasi amarah kita. Kita tidak benar-benar terganggu oleh apa pun lagi, dan kemudian dua puluh tahun kemudian sesuatu terjadi, dan kita menjadi sangat marah. Penting untuk diingat bahwa kita tidak akan bebas dari semua perasaan gelisah ini sampai kita menjadi arhat, jadi apa yang kita harapkan?
Latihan ketiga adalah:
Di awal dan di akhir, lakukan dua tindakan tersebut.
Tujuan di sini adalah untuk membantu orang lain terlebih dahulu, dan kemudian mempersembahkan daya positif, atau kebajikan, setelahnya. Untuk membantu kita mempertahankan niat ini, kita dapat menggunakan teknik batu putih dan hitam yang diajarkan oleh Geshe Ben Gungyal, yang telah saya sebutkan sebelumnya. Beberapa orang melakukan ini dan menemukannya bermanfaat.
Latihan keempat adalah:
Apa pun yang terjadi, bersabarlah.
Apa pun yang dimaksud dengan tidak peduli apakah kita bahagia atau menderita, kita bersabar, memberikan kebahagiaan kepada orang lain dan menanggung penderitaan mereka. Baik kita kaya atau miskin – kedua ekstrem ini – kita tidak berubah; kita mempertahankan sikap yang sama. Misalnya, jika tiba-tiba kita mendapat banyak uang, lalu tiba-tiba kita kehilangannya, kita tidak menjadi sombong dan angkuh di satu sisi atau tertekan di sisi lain. Jika kita kaya, kita dapat menggunakan uang kita untuk membantu orang lain, dan jika kita miskin, setidaknya kita dapat membayangkan memiliki sumber daya yang melimpah untuk diberikan kepada orang lain. Pada dasarnya, kita dapat menggunakan kedua keadaan tersebut untuk membantu orang lain dan mengembangkan bodhicita (Sanskerta: bodhicitta). Jadi, ketika kita bahagia, kita membayangkan berbagi kebahagiaan kita dengan orang lain: "Semoga orang lain memiliki kebahagiaan ini." Namun, kita melakukannya tanpa memamerkannya, atau dengan terus-menerus mencari konfirmasi, "Bukankah kita bersenang-senang?"
Latihan kelima adalah:
Lindungilah keduanya dengan mengorbankan nyawaku.
Keduanya di sini adalah: tekad dan sumpah umum kita, dan laku serta pelatihan ikatan erat dari latihan cita. Sangat penting untuk memeriksa apakah kita dapat menepati sumpah apa pun sebelum kita mengambilnya dan melihat apakah kita dapat menepatinya seumur hidup kita. Hal ini terutama berlaku saat mengambil pembayatan tantra – bukan hanya sumpah, tetapi juga tekad untuk melakukan laku harian. Kita harus bertanya, "Apakah aku benar-benar bersedia dan mampu melakukan ini setiap hari selama sisa hidupku?" Jika kita tidak menepati sumpah kita tetapi kita ingin melanjutkan ke laku tingkat lanjut, itu sangat berbahaya. "Suatu hari, rumah tanpa fondasi ini akan runtuh," seperti yang dijelaskan Geshe Dhargyey. Jadi, sebelum kita meminta laku tingkat lanjut kepada para guru, kita perlu bertanya kepada diri kita sendiri tentang sila kita sendiri.
Latihan keenam adalah:
Berlatilah dalam tiga hal yang sulit.
Tiga hal yang sulit merujuk pada situasi ketika perasaan gelisah muncul. Hal yang pertama adalah menyadari lawannya, yang kedua, membalikkannya dengan menerapkan lawannya, dan yang ketiga, memutuskan kesinambungan perasaan gelisah ini. Jangan biarkan mereka muncul berulang kali. Kita melakukan semua ini dengan mencoba untuk tetap menyadari kerugian dari perasaan gelisah, seperti sikap sayang diri.
Latihan ketujuh adalah:
Ambil tiga penyebab utama.
Tiga penyebab utama keberhasilan dalam perkembangan kita adalah bertemu dengan guru-guru spiritual yang terampildan bergantung pada mereka; mempraktikkan ajaran yang kita terima dari guru-guru ini, benar-benar menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari; dan mendapatkan keadaan yang mendukung untuk laku. Unsur-sebab yang paling mendukung adalah kepuasan – misalnya, merasa puas dan bahagia dengan makanan sederhana, tempat tinggal sederhana, jumlah uang yang sederhana, dan sebagainya. Tentu saja, kita membutuhkan cukup untuk dapat hidup, tetapi setelah mencapai tingkat ini, kita seharusnya merasa puas dan bahagia. Kita tidak terus-menerus berusaha mendapatkan lebih banyak atau yang lebih baik; sebaliknya, kita menggunakan apa yang kita miliki, terutama jika itu sudah cukup dan memadai sebagai unsur-sebab untuk berlatih.
Latihan kedelapan adalah:
Bermeditasilah pada tiga hal yang tidak pernah surut.
Bermeditasi juga berarti membiasakan diri, menjadikannya kebiasaan. Hal pertama yang harus kita miliki adalah keyakinan dan kekaguman terhadap guru spiritual kita – jelas ini merujuk pada guru spiritual yang benar-benar terampil – tetapi ini juga bisa berarti menghormati dan mengagumi semua orang. Sangatlah penting untuk berlatih dengan kerendahan hati. Salah satu alasan kita tidak dapat mengembangkan bodhicita dan fokus pada membantu orang lain adalah karena kita meremehkan beberapa orang, merasa bahwa kita lebih baik atau bahkan yang terbaik. Pertimbangkan, misalnya, seorang cendekiawan yang memiliki pengetahuan luas tetapi sangat sombong: pengetahuan cendekiawan tersebut tidak akan bermanfaat bagi siapa pun, bahkan bagi dirinya sendiri. Orang-orang sering kali merasa tidak nyaman dengan getaran seseorang yang sangat sombong; mereka bahkan tidak akan mendengarkan orang seperti itu.
Dengan kesombongan, kita menolak pemikiran orang lain; kita sebenarnya tidak bisa belajar dari mereka. Sebaliknya, kita berusaha memaksakan ide-ide kita sendiri pada orang lain. Bahkan jika kita salah, kita menolak nasihat orang lain. Namun, jika kita rendah hati dan mendengarkan orang lain, kita dapat belajar banyak dari orang-orang yang memiliki pendidikan dan pengetahuan yang minim, atau bahkan dari anak-anak. Dengan kesombongan, kita mengabaikan kata-kata orang lain dan menjadi sangat bertahan diri. Oleh karena itu, penting untuk memiliki rasa hormat yang tak pernah pudar – tidak hanya terhadap guru, tetapi juga terhadap semua orang.
Hal kedua yang tidak pernah surut adalah kesediaan kita untuk berlatih. Artinya, kita tidak boleh menganggap latihan cita ini sebagai sesuatu yang dipaksakan pada kita, melakukannya hanya karena kewajiban untuk menyenangkan guru kita, atau hal semacam itu. Namun, jika kita memiliki semangat dan kegembiraan dalam melakukannya, hal itu dapat memberikan manfaat yang besar. Ketika kita merasa dipaksa untuk melakukan sesuatu atau merasa terpaksa melakukannya, kita biasanya akan melakukan hal yang sebaliknya. Kita harus waspada terhadap hal ini.
Hal ketiga yang tidak pernah surut adalah tekad kita dari latihan cita ini, tekad tersebut tetap tidak pernah surut.
Latihan kesembilan adalah:
Milikilah tiga hal yang tak terpisahkan.
Tiga hal yang tak terpisahkan adalah raga, wicara, dan cita. Kita harus berusaha agar ketiga hal ini selalu terhubung dengan laku spiritual. Misalnya, kita berusaha untuk berhati-hati dan berlatih agar tidak duduk gelisah atau bergerak-gerak. Kita juga berusaha untuk tidak hanya mengoceh, berbicara omong kosong, atau membiarkan cita dipenuhi dengan berbagai pikiran aneh. Sebaliknya, kita berusaha untuk selalu menjaga hubungan dengan tindakan yang membangun dan positif. Seperti yang biasa dikatakan oleh Geshe Dhargyey, “Jangan tidur seperti seekor sapi yang langsung jatuh dan pingsan,” tetapi lakukan tiga sujud-sembah sebelum tidur dan saat bangun di pagi hari.
Latihan kesepuluh adalah:
Bertindaklah dengan murni tanpa berpihak pada sasaran apa pun.
Hal ini mengacu pada latihan bersama semua makhluk, untuk memiliki sikapmembangun ini terhadap semua orang – bukan hanya terhadap teman-teman kita.
Latihan kesebelas adalah:
Hargailah (terapkan) latihan yang luas dan mendalam terhadap segala sesuatu.
Ini berarti melatih sikap-sikap positif ini secara intensif terhadap segala hal, baik terhadap benda hidup maupun benda mati. Misalnya, kita tidak marah pada mobil kita atau komputer kita ketika mereka tidak melakukan apa yang kita inginkan dan tiba-tiba mogok hal-hal seperti itu. Pokoknya di sini terkait dengan melakukan tonglen dalam keadaan seperti ini, “Semoga duka semua orang yang komputernya mogok datang kepadaku, aku akan mengatasinya.” “Semoga spam dari seluruh alam semesta datang ke komputerku. Aku akan menanggung semua spam dari alam semesta,” jenis pemikiran seperti ini. “Kirimkan lebih banyak!”
Latihan kedua belas adalah:
Selalu bermeditasi kepada mereka yang disisihkan (dekat).
Disisihkan berarti mereka yang memiliki hubungan dekat dengan kita – orang-orang yang tinggal bersama kita, orang tua kita, guru spiritual kita – dan bukan hanya dekat dalam arti kita menyukai mereka atau memiliki hubungan positif dengan mereka, tetapi juga termasuk musuh-musuh kita atau orang-orang yang tidak menyukai kita. Ada orang-orang tertentu yang kita langsung suka atau langsung tidak suka pada pandangan pertama; itu disebabkan oleh hubungan karma. Orang-orang yang menyakiti kita jelas memiliki hubungan karma yang sangat dekat dengan kita. Semua orang ini sangat sulit untuk dilatih dalam hal memiliki kesetaraan batin terhadap mereka. Oleh karena itu, kita perlu berlatih dengan baik terutama terhadap mereka yang disisihkan sebagai orang dekat.
Latihan ketiga belas adalah:
Jangan bergantung pada keadaan lain.
Dengan kata lain, jika kita menunggu hingga keadaan sempurna terpenuhi untuk berlatih dan melakukan pelatihan ini, kita tidak akan pernah menemukannya. Sebagaimana pepatah Tibet mengatakan: “Orang menunjukkan sisi religius mereka ketika segala sesuatunya berjalan lancar, tetapi mereka menunjukkan bentuk asli mereka dalam situasi sulit dan buruk, ketika segala sesuatunya tidak berjalan baik.” Kita tidak boleh seperti itu. Jika kita benar-benar ingin mencapai pencerahan, kita tidak boleh bergantung pada keadaan luar.
Seperti yang dikatakan Nagarjuna, kita tidak bisa dikeluarkan dari samsara (Skt. saṃsāra) seperti seorang nelayan yang mengeluarkan ikan dari air. Guru spiritual hanya bisa membantu sampai batas tertentu. Kita tidak boleh mengharapkan bahwa kita akan menemukan guru besar dan mendapatkan pembebasan instan, seperti kilatan ajaib dari sang guru. Tanggung jawab ada pada kita. Kita harus berdiri di atas kaki kita sendiri. Seperti yang pernah dikatakan Geshe Dhargyey, jika kita tidak melakukan apa-apa dan hanya menyerahkan segalanya kepada guru kita, semua yang bisa dia lakukan hanyalah mengusap kepala kita dan mengucapkan kata-kata manis. Laku kita akan menghasilkan apa-apa Apa yang akan kita lakukan, hanya duduk dan mengibaskan ekor?
Latihan keempat belas adalah:
Latihlah terutama sekarang.
Ini berarti jangan menjadi turis di samsara, mengalami segala hal di samsara, atau berkeliling mencoba setiap laku dan setiap guru. Kita harus memilih pelatihan sikap ini, memutuskan untuk mengerahkan semua usaha kita dalam mengembangkan dua bodhicita dan mencapai pencerahan. Jangan menunda-nunda. Fokuslah pada Dharma dan bukan pada hal-hal duniawi; pada kehidupan mendatang, bukan pada kehidupan ini; pada pembebasan, bukan pada hal-hal samsara; dan pada orang lain, bukan pada diri sendiri – sebagaimana ajaran “melepaskan empat pelakatan.”
Latihan kelima belas adalah:
Jangan memiliki pemahaman yang terbalik.
Ini merujuk pada daftar enam jenis hal yang terbalik, yang tidak boleh kita praktikkan.
Yang pertama adalah welas asih yang terbalik, atau yang berlawanan. Misalnya, kita memiliki welas asih dan merasa kasihan pada praktisi Dharma yang berpakaian sederhana, daripada welas asih pada orang-orang duniawi yang berpakaian mewah, bertindak merusak, dan kaya raya. Misalnya, ada tiga saudara perempuan kaya yang ketika pertama kali melihat Milarepa berkata, “Oh, kami merasa sangat kasihan padamu, kami memiliki welas asih yang besar padamu, kamu begitu miskin.” Milarepa menjawab, “Tidak, sebenarnya akulah yang memiliki welas asih yang besar padamu.”
Yang kedua adalah kesabaran dan toleransi yang terbalik. Alih-alih bersabar dan toleran terhadap orang lain yang marah kepada kita, kita lebih toleran terhadap perasaan gelisah kita sendiri dan tidak melakukan apa pun untuk mengatasinya. Atau, kita tidak sabar untuk duduk dalam ceramah Dharma selama berjam-jam, tetapi kita memiliki kesabaran sempurna untuk memancing selama berjam-jam atau berdiri dalam antrean panjang untuk konser musik, hal-hal semacam itu.
Yang ketiga adalah niat terbalik. Ini berlaku untuk hal-hal duniawi daripada Dharma. Alih-alih bekerja menuju kebahagiaan batin, kita memiliki niat untuk mencoba mendapatkan keuntungan duniawi.
Keempat adalah rasa yang berlawanan atau terbalik. Ini terjadi ketika kita sebenarnya tidak ingin mengalami pengalaman spiritual dari mendengarkan, berpikir, dan meditasi tentang Dharma, tetapi ingin merasakan sensasi eksotis dari seks, narkoba, makanan, dan sebagainya.
Kelima adalah minat yang terbalik, yang berarti mendorong orang lain untuk tertarik pada hal-hal di luar laku spiritual. Misalnya, kita mendorong mereka untuk terjun ke dunia bisnis, mencari uang lebih banyak, atau mengikuti mode dan tren terbaru, dan sebagainya.
Terakhir, yang keenam adalah sukacita terbalik. Ini adalah bersukacita atas duka orang yang tidak kita sukai, alih-alih bersukacita atas kebahagiaan mereka.
Jadi, itulah keenam pemahaman terbalik.
Untuk melanjutkan, latihan keenam belas adalah:
Jangan berselang-seling.
Berselang-seling berarti berlatih satu hari dan tidak pada hari berikutnya, atau hanya berlatih sesekali. Kita perlu konsisten. Selain itu, kita sebaiknya menghindari beralih ke laku baru saat belum menguasai laku yang sedang dilakukan. Jangan berpindah-pindah dari satu laku ke laku lain, tetapi tetap konsisten seperti sungai besar.
Latihan ketujuh belas adalah:
Berlatihlah dengan tekad yang kuat.
Ini berarti berlatih dengan tegas dan lugas, dengan tekad yang bulat, jangan setengah-setengah. Seperti yang pernah dikatakan ibu saya, Rose Berzin, dengan kebijaksanaan seorang ibu, “Jika kamu akan melakukan sesuatu, lakukanlah dengan tulus dan sepenuh hati. Jangan melakukannya dengan cara yang tidak jelas.” Jangan setengah-setengah dalam berlatih. Jika kamu akan melakukannya, lakukannya dengan benar, dan lakukan sepenuhnya.
Pepatah kebijaksanaan ibu ini terkadang sangat membantu. Nenek saya, Jennie Berzin, memiliki pepatah lain yang berlaku untuk ajaran ini, tentang bersikap sombong dan bangga dengan kedudukan tinggi kita. Dia akan berkata, “Gelar tinggi dan lima sen pun bisa membuatmu naik bus.” Dengan kata lain, kedudukan tinggi atau jabatan kita tidak membuat perbedaan dalam kehidupan sehari-hari. Siapa pun kita, tetap harus membayar dua euro untuk naik kereta bawah tanah.
Latihan kedelapan belas adalah:
Membebaskan diri melalui penyelidikan dan pemeriksaan yang teliti.
Kita perlu menggunakan penyelidikan untuk meninjau sikap-sikap kita pada tingkat yang mendasar; dan melalui pemeriksaan yang teliti, memeriksa dengan cermat apakah kita benar-benar telah melatih sikap-sikap kita dan benar-benar membersihkan sikap-sikap negatif kita. Secara keseluruhan, kita perlu menentukan apakah kita telah menangani perasaan gelisah dan sikap sayang diri kita secara tuntas dan efektif, dan bukan hanya menekannya. Satu-satunya cara untuk membebaskan diri sepenuhnya dari hal-hal ini adalah melalui introspeksi yang mendalam.
Latihan kesembilan belas adalah:
Jangan bermeditasi dengan perasaan kehilangan.
Pokok ini dapat merujuk pada beberapa hal. Misalnya, dalam cita kita, kita membuat persembahan, “Semoga semua makhluk hidup menikmati ini,” “Aku memberikan ini kepada semua orang,” tetapi ketika seseorang datang untuk menerima atau mengambil sesuatu dari kita, kita merasa enggan. Di India, dulu saya sering membayangkan membuat persembahan bunga dalam meditasi saya, tetapi suatu hari ketika anak-anak setempat datang ke kebun saya dan memetik semua bunga, saya menjadi sangat marah. Namun, saya telah membuat persembahan untuk orang lain, jadi jika orang datang dan mengambilnya, itu sebenarnya sudah milik mereka, bukan milik saya.
Selain itu, laku ini juga berarti tidak mengingatkan orang lain tentang kebaikan yang telah kita lakukan untuk mereka. Kita tidak boleh mengatakan, “Aku telah bekerja untuk kebaikanmu.” Kita juga tidak boleh membanggakan diri atau menyebarkan tentang laku kita sendiri, seperti, “Aku telah melakukan begitu banyak sujud-sembah,” atau merasa bahwa itu adalah kerugian, dalam arti betapa sulitnya, “Betapa besar harga yang harus aku bayar untuk mencoba mencapai pencerahan.” Ini sama sekali tidak pantas. Jika kita, misalnya, melakukan 100.000 sujud-sembah dengan dorongan yang benar, tentu saja kita akan mendapatkan daya positif dari itu. Namun, kita tidak mendapatkan daya positif atau potensi tambahan dengan memamerkan kepada orang lain apa yang telah kita lakukan. Hal ini terutama berlaku jika kita masuk ke dalam retret panjang, dan ketika kita keluar dari sana, kita memandang rendah teman dan kerabat lama kita sebagai, “Kalian makhluk malang yang terjerat dalam samsara.” Ini tidak baik.
Kita harus melakukan semua laku dengan cepat dan diam-diam, tanpa sombong. Kita tidak boleh berlatih dengan cara yang mencolok. Contoh cara yang mencolok adalah, misalnya, kita datang sedikit terlambat ke ajaran, lalu bersujud-sembah di depan kerumunan agar semua orang bisa melihat betapa tekunnya kita, daripada bersujud-sembah di pintu belakang di mana tidak ada yang melihat kita.
Selain itu, kita tidak boleh bergantung atau mengandalkan orang lain untuk bantuan. Bergantunglah hanya pada Dharma – Buddha, Dharma, dan Sangha. Jangan berpikir, “Kasihan aku, tidak ada yang membantu aku. Aku menderita begitu banyak karena menjadi praktisi Dharma.” Jika kita jujur dalam laku kita, maka segala sesuatu akan berjalan baik – meskipun saya selalu diingatkan oleh pepatah Persia, “Percayalah pada Tuhan, tetapi ikat untamu.” Janganlah naif dan berpikir bahwa Tuhan akan memberikan segalanya tanpa kita melakukan apa pun. Meskipun naskah-naskah mengatakan bahwa tidak ada meditator yang tulus yang pernah mati kelaparan, tetapi janganlah terlalu optimis dan tentu saja jangan mengeluh tentang betapa sulitnya laku Dharma. Ini adalah meditasi dengan rasa kehilangan dengan mengeluh, “Sangat sulit memahami ajaran tentang sunyata ini,” atau “Sangat rumit!” dan sebagainya.
Latihan kedua puluh adalah:
Jangan membatasi diri dengan kepekaan berlebihan.
Ini berarti marah karena provokasi sekecil apa pun. Kepekaan berlebihan benar-benar melumpuhkan kita. Kita harus berusaha untuk tidak begitu terbatas, “Aku bisa menerima kritik saat sendirian, hanya satu lawan satu, tetapi aku tidak bisa menerimanya saat berada di tengah kerumunan.” Dalam situasi seperti ini, Shantidewa menyarankan untuk tetap tenang seperti batang kayu saat seseorang menghina kita. Akhirnya, orang yang menghina dan berteriak pada kita akan kehabisan kata-kata atau bosan dan berhenti. Ini seperti anjing tetangga yang akhirnya berhenti menggonggong, daripada kita membuat keributan untuk mencoba membuat anjing itu diam. Namun, semua ini harus dilakukan dengan dorongan yang baik. Jika dorongannya negatif atau neurotik, maka kita hanya menahan pikiran negatif di dalam diri dan menekannya. Akibatnya, kita mungkin akan mengalami tukak lambung atau mencoba membalas dendam di kemudian hari. Ingat, menahan tidak efektif; pikiran dan perasaan negatif biasanya akan muncul kembali di kemudian hari.
Latihan kedua puluh satu adalah:
Jangan bertindak hanya untuk sesaat.
Dengan kata lain, janganlah mudah berubah-ubah. Pujian sekecil apa pun membuat kita bahagia, tetapi ketika seseorang mengerutkan kening, tidak menyapa, atau tidak mengucapkan selamat tinggal, kita menjadi murung. Jika kita seperti itu, orang lain akan menganggap kita tidak mantap dan tidak seimbang. Di sisi lain, jika kita terlalu bersemangat atau marah terhadap siapa pun yang mengatakan hal yang sedikit salah, kita benar-benar menjadi beban bagi orang lain. Kita perlu bersikap santai dan mudah beradaptasi dengan orang lain. Saat bersama orang lain, kita harus menyesuaikan diri dengan suasana umum. Kita tidak boleh menghabiskan waktu untuk gosip, tetapi menyapa teman-teman, menanyakan kabar mereka, tersenyum, dan bersikap ramah. Dan kita tidak boleh mengganggu orang lain yang tinggal bersama kita dengan membuat kebisingan berlebihan, memutar musik terlalu keras, atau sebaliknya, selalu diam dan tidak berkomunikasi dengan mereka.
Jika kita fleksibel, santai, dan rileks dalam laku Dharma kita, kita dapat mempertahankannya sepanjang hidup, bukan hanya untuk sementara waktu. Namun, ketika kita kaku dan tidak fleksibel, kita biasanya menyerah setelah beberapa waktu. Selain itu, kita tidak boleh menjadi terlalu fanatik atau tegang dalam laku Dharma kita. Kita tahu bagaimana orang-orang yang sangat tegang dalam laku Dharma mereka dan stres karenanya. Itu karena mereka kaku sehingga mereka menyerah dengan kelelahan.
Latihan terakhir, yang kedua puluh, adalah:
Jangan mengharapkan (apa pun) ucapan terima kasih.
Ini berarti tidak menginginkan ketenaran, rasa syukur, atau hal-hal semacam itu, atau mengharapkan ucapan terima kasih atas pelatihan sikap yang kita lakukan ini.
Sehubungan dengan hal ini, kita perlu berusaha untuk berlatih tanpa terombang-ambing oleh delapan hal selintas dalam kehidupan, yang disebut delapan dharma duniawi. Terkadang saya menyebutnya sebagai delapan perasaan kekanak-kanakan. Misalnya, ketika menerima hadiah dan sebagainya, kita semua merasa bahagia, tetapi merasa sedih ketika tidak menerima apa-apa; atau kita menjadi sangat bersemangat ketika segala sesuatu berjalan lancar, tetapi merasa depresi ketika tidak; atau ketika mendengar hal-hal yang menyenangkan atau suasana tenang dan damai, kita merasa bahagia, tetapi jika mendengar hal-hal yang tidak menyenangkan atau suasana bising, kita menjadi kesal; atau kita menjadi sangat bersemangat ketika dipuji, tetapi sangat sedih ketika dihina. Hanya ketika kita mengharapkan dan berharap akan menerima sesuatu, segala sesuatu berjalan lancar, dan orang-orang berbicara dengan baik kepada kita, memuji kita, dan sebagainya, kita terjebak dalam masalah dalam laku kita. Inilah delapan hal selintas – pujian, kecaman, dan sebagainya – yang menyebabkan suasana hati kita naik turun, dan menimbulkan perasaan-perasaan kekanak-kanakan sebagai tanggapan. Pada dasarnya, kita ingin menghindari reaksi berlebihan apa pun yang terjadi.
Mengapa saya menyebutnya delapan “hal yang selintas”? Nah, begitulah cara Serkong Rinpoche menjelaskannya. Istilah Tibet yang biasanya diterjemahkan sebagai “duniawi”, jigten, terdiri dari dua kata. Kata kedua berarti “dasar dari sesuatu”, dan kata pertama berarti ‘hancur’. Inilah arti dari “duniawi”, sesuatu yang tidak memiliki dasar yang dapat menopang kita, karena ia hancur, ia lenyap. Ini berlawanan dengan keadaan seorang arya (Skt. ārya), ketika kita telah mencapai pengenalan nircitra tentang sunyata. Itu melampaui, biasanya diterjemahkan sebagai “di luar duniawi,” tetapi artinya mantap, bukan sesuatu yang selintas, “bahwa dasarnya akan hancur.” Itu masuk akal.
Ini melengkapi daftar dua puluh dua pokok untuk melatih sikap kita, dan tujuh pokok dari latihan cita ini. Geshe Chekawa mengakhiri teks dengan dua seloka. Seloka pertama berbunyi:
(Seperti ini,) ubahlah menjadi jalan menuju pencerahan saat ini (ketika) lima kemerosotan merajalela.
Dengan kata lain, dengan laku-laku ini, kita akan mampu mengubah keadaan sulit di masa lima kemerosotan. Kemerosotan pertama adalah bahwa usia harapan hidup kita telah menurun. Banyak orang meninggal lebih muda daripada sebelumnya. Meskipun orang memang hidup lebih lama, pokok ini merujuk pada bagaimana – melalui perang, kecelakaan, overdosis heroin, penyakit seperti AIDS, dan sebagainya – banyak orang meninggal semakin muda. Atau, jika kita melihatnya dalam konteks modern, orang-orang menjalani usia mereka dengan jauh lebih cepat. Anak-anak tidak diizinkan untuk memiliki masa kanak-kanak yang panjang lagi. Saat ini, pada usia tiga belas tahun, mereka sudah mengalami minum-minuman keras, narkoba, seks, dan sebagainya.
Kemerosotan kedua adalah sikap yang gelisah. Hal ini merujuk pada orang-orang yang meninggalkan rumah tangga mereka untuk menjadi biksu atau biksuni. Bahkan mereka memiliki tiga sikap beracun, atau perasaan beracun, yang terdiri dari hasrat mendamba, amarah, dan ketakacuhan.
Yang ketiga adalah pandangan yang memburuk dan merujuk pada para perumah tangga. Mereka tidak memiliki rasa hormat terhadap apa pun atau siapa pun di masa yang merosot.
Yang keempat merujuk pada makhluk yang merosot dan fakta bahwa manusia dan hewan kurang mampu mengurus diri mereka sendiri – misalnya, hewan yang perlu hidup di kebun binatang dan tidak dapat bertahan hidup di alam liar lagi. Selain itu, banyak hewan yang punah.
Terakhir, masa kemerosotan kelima adalah ketika terjadi banyak bencana alam. Kita dapat melihat hal ini hari ini sebagai akibat dari pemanasan global.
Oleh karena itu, ubah masa ini, ketika lima kemerosotan merajalela, menjadi jalan menuju pencerahan. Seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya, semua orang selalu menganggap diri mereka hidup di masa terburuk.
Seloka kedua berbunyi:
Intisari nektar petunjuk ini berasal dari silsilah Serlingpa.
Kita telah membahas silsilah ajaran ini, jadi tidak perlu diulang. Kata nektar dalam bahasa Sanskerta, amrta, adalah sesuatu yang mencegah kematian: nektar keabadian. Kata Tibet, dutsi, memiliki makna menekan atau menindas Mara – Mara adalah iblis kematian. Laku bodhicita dan menghargai orang lain membawa kita pada Kebuddhaan, dan dengan itu kita mengatasi jenis kematian samsara yang biasa.
Kesimpulan
Geshe Chekawa mengakhiri naskah ini dengan sebuah seloka yang merangkum bagaimana ia menerima ajaran-ajaran ini dan bagaimana ajaran-ajaran tersebut telah membantunya. Ia berkata:
Dari kebangkitan sisa-sisa karma akibat latihan sebelumnya, kekaguman saya (terhadap laku ini) melimpah. Dan karena sebab itu, mengabaikan duka dan penghinaan, saya memohon ajaran-ajaran panduan untuk menaklukkan genggaman diri. Kini, bahkan jika saya mati, saya tidak menyesal.
Akibat dari naluri karma yang kuat dari kehidupan sebelumnya, Geshe Chekawa memiliki kekaguman dan minat yang sangat besar terhadap laku ini. Begitu dia mendengar tentang laku tersebut, dia tahu bahwa dia benar-benar ingin mempelajarinya. Selama enam tahun ia menghabiskan waktunya untuk mempelajarinya, ia tidak peduli dengan duka dan hinaan yang ia terima karena meminta ajaran-ajaran semacam ini. Sebaliknya, ia menemukan bahwa hal-hal tersebut sangat bermanfaat. Seperti yang ia katakan di baris terakhir, Sekarang, bahkan jika aku mati, aku tidak menyesali apa yang telah aku lakukan.
Jika kita berlatih dengan baik, ada tiga cara kita bisa meninggal. Cara terbaik untuk meniggal adalah dengan keadaan cita yang bahagia – bahwa kita bahagia karena telah melatih diri dengan baik dan bahwa kita akan terus membuat kemajuan di kehidupan mendatang. Cara menengah adalah meninggal dengan keadaan cita yang tenang; dan cara terendah, cara minimal, adalah meninggal tanpa penyesalan.
Di akhir ajaran ini, Geshe Ngawang Dhargyey biasa memberikan nasihat bahwa kita perlu berusaha sekuat tenaga untuk berlatih Dharma dengan sungguh-sungguh, terutama latihan cita ini. Jika kita melakukannya, naluri kita untuk melakukannya akan muncul dengan kuat di kehidupan mendatang, serupa dengan apa yang terjadi pada Geshe Chekawa. Nasihat ini penting untuk dapat meninggal dengan keadaan cita yang bahagia. Jika kita telah berusaha keras untuk melatih diri dengan baik, kita dapat merasa yakin bahwa naluri-naluri tersebut akan matang lebih lanjut dalam kehidupan mendatang.
Lebih jauh, apa pun situasi yang kita hadapi, kita perlu mencoba mengembangkan bodhicita. Jika kita akan berada dalam situasi sulit, kita perlu berlatih terlebih dahulu dan latihan agar kita akan berhati-hati dan terlindungi dari situasi tersebut. Seperti saat kita mengendarai mobil, jika kita melihat ada tikungan di depan, kita akan berhati-hati dan memperlambat laju. Demikian pula, jika kita berhati-hati dalam berlatih dengan benar untuk menghadapi situasi sulit dalam hidup, maka kita akan mampu membuat kemajuan yang mantap – meskipun, tentu saja, dari hari ke hari kemajuan itu naik dan turun.
Seperti yang telah saya nyatakan sebelumnya, apa yang saya jelaskan dalam seri sembilan bagian ini terutama didasarkan pada penjelasan dari Geshe Ngawang Dhargyey, yang ia berikan pada beberapa kesempatan berbeda. Saya juga menggabungkannya dengan ulasan dari Serkong Rinpoche dan Yang Mulia Dalai Lama. Ajaran-ajaran ini cukup maju, tetapi sangat membantu dan mendalam.
Baca dan dengarkan naskah aslinya “Latihan Cita tujuh Pokok” oleh Geshe Chekawa.