Pokok Empat: Pemekatan Laku dalam Satu Masahidup
Pokok keempat adalah memekatkan laku dalam satu masahidup ke dalam lima daya. Ini dapat dilakukan di kehidupan ini, dan juga pada saat kematian, dan ini pun cukup berguna.
Ringkasnya, intisari dari ajaran-ajaran saripati adalah penerapan lima daya.
1. Daya niat – di hidup kita, di setiap harinya, kita bisa berniat benar. Ketika kita bangun di pagi hari, kita bingkai niat, "Semoga aku mampu menolong setiap insan; semoga aku mampu mencapai pencerahan demi menolong setiap insan sepenuh-penuhnya." Niat seperti ini penting bukan hanya saat kita bangun, tapi juga saat kita berjumpa keadaan sukar. Contohnya, kedua anak kita menjerit-jerit di kamar, dan kita hendak menyuruh mereka diam. Atur dahulu niat kita, "Semoga aku tidak marah, dan semoga aku memperlakukan mereka dengan penuh kasih agar mereka berhenti bertengkar." Niat ini harus didorong rasa demi kebaikan si anak, bukan hanya agar pikiran kita tenteram. Sebelum pergi berbelanja, kita bisa pasang niat untuk membeli barang yang kita butuhkan saja, "Aku tidak akan beli cokelat dan kue hanya karena kita lapar-mata saat itu saja".
2. Daya benih putih – niat untuk memperkuat jaringan daya positif dan mencoba melemahkan atau melenyapkan daya negatif kita. Ketika segala sesuatu tengah berjalan baik, itu karena tindakan-tindakan membangun yang kita perbuat sebelumnya dan daya positif yang dihasilkannya; ketika berjalan buruk, itu karena tindakan-tindakan merusak yang kita perbuat sebelumnya dan daya negatif yang tersisa darinya. Benih kesukaran adalah perilaku merusak, jadi kita coba lenyapkan benih tersebut dan menggantinya dengan benih perilaku membangun.
3. Daya pembiasaan – di segala perbuatan, cobalah untuk memanfaatkannya sebagai cara membina kebiasaan positif peduli pada orang lain. Segala perbuatan, termasuk yang biasa, seperti saat makan. Kita makan agar kuat, sehingga mampu menolong orang. Kita pakai baju hangat agar tidak sakit dan mampu menolong orang. Bahkan saat tidur lebih awal atau menonton di bioskop, anggap semua itu cara agar kita santai, sehingga kekuatan kita pulih demi mampu menolong orang lain. Dengan begitu, bersantai pun bisa jadi kegiatan yang sangat positif. Tapi harus tulus. Tidak bisa kalau, "Semangkuk besar es krim ini akan kulahap demi memberi manfaat bagi orang lain." Itu cuma alasan saja. Di segala perbuatan, berpikirlah bahwa kita melakukannya demi manfaat orang lain.
4. Daya pengenyahan sekaligus – begitu perasaan gelisah seperti ketamakan, kemelekatan, dan amarah muncul dalam cita kita, cobalah untuk melenyapkannya sesegera mungkin – secepat-cepatnyanya – seperti saat kita mengusir kucing yang lompat ke meja dan mau mencuri makanan. Langsung usir. Orang Tibet gemar memakai perumpamaan hewan untuk menerangkan ajaran, dan itu berguna sekali.
5. Daya doa – untuk mampu menyelesaikan laku kita. Tidak berarti cuma, "Tuhan mampukan aku," tapi kita juga harus berkeinginan kuat untuk mampu. Kita juga jijik dan muak dengan sikap meninggikan diri dan peduli diri sendiri; kita sangat ingin mengenyahkannya. Seperti kalau lalat mendengung di sekitar kepala; kita jengkel sekali dan berupaya keras untuk mengusirnya ke luar ruangan. Semakin kita menolak dan jijik pada sikap mementingkan diri, semakin lemah pula sikap itu jadinya.
Akhirnya, kita berdoa, "Semoga aku tak pernah terpisah dari bodhicita." Serkong Rinpoche pernah berkata, jangan minta lama mendoakan kesehatan atau keberhasilan bisnis kita. Mintalah lama agar mendoakan supaya kita mampu mengembangkan bodhicita secepatnya. Tentu saja, tetap harus tulus, dan bukan cuma untuk cari muka di hadapan lama! Doa semacam ini amat penting, karena kita terbiasa memanjatkan doa demi hal-hal duniawi yang kita kehendaki saja.
Ajaran saripati untuk penerusan cita Mahayana adalah lima daya itu sendiri, sembari mementingkan jalan kelakuanku.
Pada saat kematian, kita juga bisa menerapkan lima daya ini, yang dianggap sebagai jenis powa (penerusan kesadaran) yang terbaik, ketimbang cara dramatis melontarkan cita ke tanah Buddha, yang mungkin tanpa perasaan kuat di baliknya. Kalau kita tak paham sama sekali dengan yang sedang dilakukan, tingkat dorongan kita hanya sebatas kulit luarnya saja.
1. Daya niatnya – di saat kematian, paling baik kalau kita ingat cita-cita, "Semoga aku mampu mengembangkan bodhicita dan meneruskan laku ini di semua kehidupanku selanjutnya sehingga aku dapat menolong sesama." Amat sangat penting bagi kita untuk memiliki niat seperti ini ketika kita akan mati. Apa itu powa, dan ke mana cita ini ingin kita teruskan? Kita tidak ingin ke surga – ajaran Buddha tidak seperti itu. Yang kita mau adalah meneruskan kesadaran kita ke pencerahan.
2. Daya benih putihnya – menyerahkan segala sesuatu kepada orang lain sebelum kita mati sehingga kita tidak melekat lagi pada uang atau harta atau bahkan raga kita. Lagi-lagi, ini pun penting. Mengenaskan kalau kita lihat apa jadinya harta orang saat dia mati, karena sering mereka yang ditinggalkan justru bertengkar berebut warisan, dan menimbulkan masalah. Atau mungkin kita khawatir mereka seenaknya membuang barang-barang "berharga" kita ke tong sampah karena bagi mereka itu semua tak ada nilainya. Lebih baik kita urus ini semua sebelum mati. Berikan semuanya, bagi keluarga dan sahabat atau yang membutuhkan – itu lebih baik daripada semuanya dibuang jadi sampah setelah kita tiada.
Di lain pihak, mengatasi kemelekatan pada raga kita juga tidak gampang. Ada banyak laku mendalam yang dapat dijalankan untuk tujuan ini. Contohnya, kalau menurut adat kita jasad itu dikuburkan, maka persembahkanlah raga kita untuk cacing-cacing tanah, "Wahai cacing, ini tubuhku untuk kalian makan. Nikmatilah!" Orang Tibet menggunakan ilustrasi yang agak mengerikan: kalau terlalu melekat pada raga, kita akan terlahir kembali sebagai salah satu dari cacing ini yang merangkak di sekujur raga kita yang membusuk, dan melahapnya. Menjijikkan, jadi cobalah untuk tidak terlalu melekat!
3. Daya pembiasaannya – memeditasikan bodhicita berkali-kali sehingga pada saat kematian, saat cita kita menjadi semakin halus, kita bisa terus memusat pada bodhicita dan pencerahan.
Kita perlu tahu bahwa ini merupakan ajaran tantra kelas tertinggi. Pencerahan adalah sifat-Buddha yang berkesadaran penuh, atau cita bercahaya jernih. Dalam tantra tertinggi, anuttarayoga, kita mencoba mati dengan sepenuhnya menyadari bahwa kesadaran kasar dan cita bercitra kita melarut ke dalam cita bercahaya jernih. Kita mencoba tetap terpusat pada pelarutan penuh yang akan datang berikutnya, yang memberi tanda akan kematian kita. Di laku tantra pun demikian, karena kita harus tetap terpusat pada cita bercahaya jernih sama seperti dalam laku bodhicita. Itu dilakukan dengan niat untuk mendiami dan mewujudkan cita ini demi manfaat bagi orang lain.
4. Daya pengenyahan sekaligusnya – pada saat kematian, mengatasi kecenderungan kita untuk menyayangi raga kita sendiri. Ada diajarkan, kita semestinya mati seperti seekor burung yang lepas landas dari batu karang, tanpa melihat ke belakang. Kemudian, jijik pada sikap dan tindakan negatif kita di masa lampau, kita mencoba bersumpah dan melakukan pembayatan-diri sebelum kita mati. Ini tidak begitu sukar, karena dengan sekelumit kesadaran yang tersisa kita bisa menegaskan kembali sumpah-sumpah bodhisattwa kita.
5. Daya doanya – ini yang sulit, karena doa ini merupakan doa agar terlahir kembali di alam neraka untuk menanggung duka semua orang lain, dan agar tidak terpisah dari bodhicita. Bagaimana mungkin kita bisa tulus dengan doa semacam itu? Sama seperti meminta pertolongan para pelindung Dharma untuk menyediakan unsur-sebab agar daya negatif kita terbakar habis, demikian pula, dengan terlahir di alam neraka, kita ingin membakar habis daya negatif kita dan menyelesaikannya. Kita mesti merasa bahwa selama kita punya daya untuk terlahir kembali di neraka atau sebagai seekor binatang, akan lebih baik kalau kita menyelesaikannya sehingga, dengan bodhicita, kita dapat melanjutkan langkah di jalan pencerahan.
Apa itu keinginan untuk masuk neraka? Kita ingin masuk neraka bukan karena kita orang jahat, atau karena sudah sepantasnya. Keinginan untuk terlahir kembali di sana didorong oleh hasrat untuk mampu membawa manfaat bagi orang lain sebanyak mungkin. Dan itu hanya bisa terjadi kalau kita mengenyahkan semua rintangan karma kita. Alih-alih takut dan jijik dengan kelahiran kembali di keadaan sulit, kita menyambut keadaan tersebut sebagai peluang untuk membakar habis daya negatif kita.
Kita dapat pula bercita-cita, "Semoga ini cukup bagi setiap orang yang harus terlahir kembali di neraka." Karena dorongannya positif, daya negatif akan matang ke bentuk yang lebih ringan. Dikatakan bahwa dengan dorongan bodhicita yang kuat, kelahiran kembali di neraka itu seperti bola yang memantul. Kita jatuh jauh ke alam neraka untuk beberapa saat dan kemudian memantul keluar, tapi tetap saja banyak daya negatif yang terbakar habis karenanya. Tentu saja, ini hanya berhasil jika dorongannya tulus: "Aku sungguh-sungguh ingin melenyapkan semua rintangan ini agar aku dapat menolong orang lain lebih lagi. Kalau kita hanya cuma ingin agar tidak terlalu lama di neraka, kita akan gagal.
Banyak orang mengaitkan neraka ini dengan agama bukan Buddha, dan karena mereka kurang nyaman dengan salah satu agama tersebut, mereka tidak mau mendengar soal neraka di agama Buddha. Itu namanya berpikiran picik. Satu cara memahami neraka adalah dengan menimbang betapa, sebagai manusia, tiap-tiap indra kita terbatas dalam hal kemampuannya mencerap seluruh keterangan yang terdapat ranah indernya sendiri. Misalnya, kita hanya mampu memandang cahaya kasatmata, bukan cahaya ultraviolet atau inframerah. Kita tidak mampu mendengar atau mengendus sebaik seekor anjing. Sama juga, pasti ada berbagai tingkat kenikmatan dan rasa sakit yang melampaui kisaran yang dapat diolah oleh alat pengindra sensasi ragawi tubuh kita ini. Jika sudah melampaui tingkat rasa sakit tertentu, dengan sendirinya indra berhenti dan kita pingsan. Kelahiran kembali di neraka adalah kelahiran dengan raga yang memiliki kemampuan pengindraan untuk mengalami, dengan kesadaran penuh, titik-titik ujung terjauh dari kisaran rasa sakit itu. Bagi saya, setidaknya, hal itu tampak cukup mungkin.
Akan tetapi, kalau kita memang takut akan kelahiran kembali di neraka, jangan jalankan laku ini. Dinyatakan dengan sangat jelas di dalam ajaran Buddha, bahwa bodhisattwa bertingkat rendah tidak semestinya mencoba laku bodhisattwa dengan tingkat lebih tinggi. Rubah tidak melompat ke tempat yang bisa dijangkau singa. Semua laku ini amat sukar dan tingkatnya amat lanjut. Dari lima daya ini, kita tentu bisa mencoba tetap terpusat pada bodhicita saat kita mati, dan menyerahkan benda-benda milik kita sehingga kita tidak terlalu melekat padanya. Jangan kita mati meninggalkan kekacauan; maka bersihkanlah semua sebelum kematian. Matilah tanpa rasa sesal, tanpa urusan yang masih belum terbereskan.