Kitaran Waktu dan Karma
Kata kalacakra bermakna kitaran waktu, dan tata Kalacakra menyajikan tiga kitaran – luar, dalam, dan sulih. Kitaran luar dan dalam itu berkenaan dengan waktu sebagaimana kita biasa mengetahuinya, sementara kitaran sulih merupakan laku untuk memperoleh kebebasan dari yang dua itu. Pranata kitaran luar dan dalam itu sepadan, mirip dengan kesejajaran antara jagad-besar dan jagad-kecil yang dibahas dalam filsafat Barat. Ini berarti bahwa hukum yang sama yang mengatur semesta juga berkaitan dengan atom-atom, raga, dan pengalaman hidup kita. Laku kitaran sulih juga mengikuti pranata ini sehingga memungkinkan kita untuk memasuki dan mengatasi daya-daya ini dengan cara yang sangkil. Peniruan semacam itu, sebetulnya, merupakan salah satu fitur khas dari cara tantra anuttarayoga.
Waktu, dalam ajaran Buddha, dimaknai sebagai sebuah pengukuran perubahan. Contohnya, bulan merupakan pengukuran perubahan yang terjadi entah secara luar (bulan yang mengelilingi bumi) atau secara dalam (wanita yang mengalami satu haid ke haid berikutnya). Perubahan-perubahan tersebut bersifat kitaran, dalam arti ada pola yang berulang, meskipun peristiwa-peristiwa dari masing-masing kitaran tidak sama persis. Secara luar, semesta melewati kitaran-kitaran yang berkaitan dengan jagad, angkasa, perbintangan, dan sejarah. Pada tingkat dalamnya, raga melalui kitaran-kitaran jasmani, yang banyak memunculkan pula kitaran-kitaran batin dan rasa yang berkaitan dengannya. Lebih jauh lagi, seperti semesta yang membentuk, meluas, mengerut, hilang, dan kemudian membentuk sekali lagi, makhluk-makhluk pun melalui kelahiran kembali yang berkelanjutan dengan pembuahan, pertumbuhan, penuaan, dan kematian yang berulang.
Biasanya, berjalannya waktu menimbulkan dampak yang melemahkan. Saat kita menua, penglihatan, pendengaran, ingatan, dan kekuatan jasmani kita perlahan melemah dan pada akhirnya kita mati. Karena kemelekatan dan kebingungan yang gandrung akan siapa kita dan bagaimana kita ada, kita terlahir kembali tanpa kendali atas proses atau unsur-sebabnya, tiap kali harus belajar ulang tentang segala sesuatu yang sebelumnya telah kita ketahui. Saat tiap kehidupan kita terbentang di sepanjang jalur waktu, daya-daya karmawi dari perbuatan kita sebelumnya matang pada peristiwa-peristiwa perbintangan, sejarah, dan kitaran hidup ke dalam berbagai peristiwa yang kita alami. Ada yang menyenangkan, banyak yang tidak. Kita tampaknya punya sedikit pilihan saja atas yang terjadi dalam kehidupan.
Pendeknya, kitaran luar dan dalam waktu melukiskan samsara – kelahiran kembali yang berulang tanpa terkendali, yang sarat akan permasalahan dan kesukaran. Kitaran-kitaran ini digerakkan oleh denyut tenaga, yang diketahui di dalam tata Kalacakra sebagai "angin-angin karma". Karma merupakan sebuah daya yang erat terhubung dengan cita dan muncul karena kebingungan akan kenyataan. Membayangkan bahwa diri kita, orang lain, dan segala sesuatu di sekitar kita ada dalam cara cita kita membuat mereka tampak – seolah dengan jatidiri yang maujud dan tetap yang mapan dari dalam masing-masing makhluk atau benda – kita bertindak atas dasar kebingungan ini dengan kemelekatan, amarah, dan kebodohan yang keras kepala. Kita pikir, misalnya, "Aku tentu seperti ini, benda atau orang itu tentu seperti itu, aku harus memiliki benda-benda ini sebagai punyaku dan menyingkirkan mereka yang menggangguku," dan seterusnya. Dan tindakan ragawi, wicara, atau batin yang dilakukan atas dasar cara pikir yang kaku dan rancu itu membina daya karmawi dan kebiasaan. Di bawah unsur-sebab yang sesuai, daya-daya, atau "bibit-bibit karma" matang tersebut dalam rupa denyut-denyut tak terbantahkan untuk mengulang tindakan-tindakan ini, dan memasuki keadaan-keadaan dalam mana tindakan-tindakan serupa terjadi pada kita. Kita bisa langsung melihat ini kalau kita menelaah dengan teliti perilaku mendesak di balik peristiwa-peristiwa pribadi dan sejarawi yang kita alami. Berapa banyak orang yang kawin-cerai, dan berapa banyak negara yang mengalami beranjak dari satu kemelut ke kemelut lainnya?
Daya-daya karma, faktanya, memunculkan selarik luas denyut yang mempengaruhi hidup kita. Daya-daya karma bersama dari perbuatan terdahulu dari sejumlah besar makhluk – termasuk diri kita sendiri – memunculkan, misalnya, denyut bagi sebuah semesta untuk berkembang dengan lingkungan dan rupa kehidupan tertentu yang ke dalamnya kita dan makhluk-makhluk ini kemudian terlahir kembali. Daya-daya bersama ini juga membangkitkan denyut-denyut yang mendorong hukum-hukum ragawi dan hayati yang mengatur semesta tersebut – berkisar dari pola cuaca planet-planetnya sampai kebiasaan kitaran-hidup masing-masing spesies yang hidup di dalamnya. Daya-daya tersebut juga berkenaan dengan denyut-denyut di balik ciri perilaku harian naluriah dari masing-masing rupa kehidupan.
Di dalam lingkung ini, daya-daya karma perorangan, pada persimpangan yang tepat di kitaran dalam dari tiap makhluk – yaitu setelah tiap kematian – membangkitkan denyut untuk terjadinya kelahiran kembali pada lingkungan tertentu dengan raga tertentu. Denyut ini berkaitan dengan suatu titik perkembangan tertentu di dalam kitaran luar dari sebuah semesta. Kita tidak dapat terlahir kembali sebagai seekor dinosaurus di hutan belantara bila rupa dan latar kehidupan ini sudah punah. Semua anasir yang matang dari karma ini bekerja selaras bersama untuk menyediakan "wadah" tempat kita mengalami pematangan daya-daya karma pribadi lainnya dalam rupa perilaku mendesak di balik peristiwa-peristiwa kehidupan. Terlahir di sebuah bangsa yang sedang berperang, kita mendesak menjadi tentara, membom desa-desa musuh, dan suatu hari tewas dalam pertempuran. Berbagai tingkat kitaran luar dan dalam dari waktu berkelindan secara rumit.
Pendeknya, waktu tidak punya awal maupun akhir. Sudah selalu dan akan selalu ada perubahan, yang dapat dicap sebagai lajur waktu. Semesta, peradaban, dan rupa kehidupan bangkit dan jatuh secara terus-menerus. Rupa yang diambil tergantung pada tindakan, dan karena itu cita dari mereka yang mendahuluinya. Inilah mengapa ada kecocokan yang selaras antara raga dan cita makhluk dengan lingkungannya. Orang lahir sebagai seekor ikan untuk mengalami peristiwa-peristiwa kehidupan di air atau sebagai manusia di darat, bukan sebaliknya. Akan tetapi, karena cita makhluk-makhluk berada di bawah pengaruh kebingungan, raga, tabiat, dan lingkungan yang muncul dari tindakan-tindakan karma yang mereka perbuat memiliki dampak yang menghambat dan merugikan terhadap mereka. Anasir-anasir ini membatasi kemampuan mereka untuk membawa manfaat bagi diri mereka sendiri dan orang lain. Orang-orang yang hidup di masa wabah abad pertengahan tidak bisa berbuat banyak untuk menghadapi malapetaka tersebut.
Kebebasan dari Kitaran Waktu
Kitaran-kitaran waktu sulih memerlukan serangkaian laku meditasi bertahap dari tantra anuttarayoga. Kitaran-kitaran ini bukan hanya berlaku sebagai sebuah sulih bagi kitaran-kitaran luar dan dalam, tapi juga sebagai cara memperoleh kebebasan darinya. Akan tetapi, kemungkinan memperoleh kebebasan dari waktu tidak menyiratkan bahwa waktu tidak betul-betul ada atau bahwa seseorang dapat hidup dan membawa manfaat bagi orang lain di luar waktu. Waktu, sebagai sebuah pengukuran perubahan, juga terjadi sebagai ukuran kitaran tindakan dari seorang Buddha. Kebebasan dari waktu berarti menyingkirkan kebingungan dari diri kita sendiri, dan naluri-nalurinya, yang secara berulang membangkitkan denyut-denyut tersebut, atau karma, yang membuat kita berada sepenuhnya dalam cengkeraman malapetaka waktu. Begitu terbebas, kita tidak lagi dirundung kegelapan musim dingin, gerhana, perang, dan seterusnya yang berulang secara berkala. Tidak pula kita dibatasi dengan jenis raga yang berada di bawah kendali daya-daya hayati berkala, seperti rasa lapar, dorongan bersenggama, rasa letih, atau penuaan. Alih-alih, sebagai hasil dari pemahaman purna atas kenyataan, jadi mungkin bagi kita untuk membangkitkan kitaran-kitaran rupa yang bermanfaat bagi yang lain melampaui segala batasan yang dipaksakan oleh waktu.
Jalannya bermula dengan pembayatan Kalacakra. Lewat pemberdayaan yang benar, kita masuk ke dalam pembangkitan dan kemudian laku meditasi dengan tingkat selengkapnya dalam rupa sosok-Buddha yang disebut Kalacakra. Lewat dua tingkat ini, kita memasuki dan menggunakan tataran terhalus dari cita kita untuk melihat kenyataan. Ketika kita tetap terus terpusat pada kenyataan lewat penggunaan tataran terhalus dari cita, ini selamanya menghapuskan kebingungan dan naluri-nalurinya, dan karena itu memunculkan kebebasan dari kitaran waktu luar dan dalam. Ini mungkin terjadi karena tantra dasar kita, cita bercahaya jernih kita, melandasi tiap peristiwa dari pengalaman dan, seperti waktu, ia tidak punya akhir. Begitu cita terhalus dibebaskan dari sebab terdalam yang memunculkan denyut-denyut tenaga yang melanggengkan kitaran waktu dan yang membelenggunya, cita terhalus ini akan membangkitkan raga-raga seorang Buddha, dalam rupa Kalacakra.
Penyebaran Kalacakra
Dalam memutuskan mengambil pemberdayaan Kalacakra atau tidak, baik bagi kita untuk mengetahui awal-mula dari ajaran-ajaran ini dan sejarah penyebarannya. Ini supaya kita lalu merasa yakin bahwa cara-cara ini telah teruji dan terbukti ampuh sampai sekarang.
Menurut pengetahuan turun-temurun, Buddha mengajar Tantra Kalacakara lebih dari dua ribu delapan ratus tahun yang lalu di daerah yang sekarang bernama Andhra Pradesh, India bagian selatan. Para penguasa tanah bagian utara dari Shambhala merupakan hadirin utama saat itu dan melestarikan ajaran-ajaran ini di negeri mereka. Di abad kesepuluh, dua guru India, dalam perjalanan terpisah, berusaha mencapai Shambhala. Di tengah jalan, masing-masing mengalami saujana murni tentang tanah tempat ia menerima warisan pemberdayaan Kalacakra dan pusparagam bahannya. Masing-masing dari mereka menyebarkan ajaran-ajaran ini di India, dengan hanya sekelumit perbedaan dalam penyajiannya. Sebagai satu dari tata tantra terakhir yang muncul secara sejarawi, Kalacakra dengan cepat mencapai kedudukan penting dan ternama dalam berbagai perguruan tinggi agama Buddha di dataran Gangga tengah, dan segera setelahnya, di Kashmir. Empat gaya laku pun akhirnya muncul. Para guru dari wilayah-wilayah ini mengajar Kalacakra di Burma bagian utara, Semenanjung Melayu dan Indonesia, namun ajaran Kalacakra di wilayah-wilayah ini pudar pada abad keempat belas.
Bersama para penerjemah Tibet, para guru India juga menyebarkan Kalacakra ke Tibet. Ada tiga penyebaran utama di antara abad kesebelas dan ketiga belas, dengan masing-masing silsilah melewati campuran berbagai segi dari empat corak India dan memunculkan perbedaan tipis yang lebih lanjut karena masalah terjemahan. Silsilah-silsilah, yang menggabungkan berbagai unsur dari tiga penyebaran ini, telah diturunkan sampai masa kini lewat, pertama kali, aliran Sakya dan Kagyu, dan kemudian juga lewat aliran Gelug. Karena agama Buddha Tibet aliran Nyingma menyebarkan hanya naskah-naskah berbahasa India yang sampai di Tibet dan diterjemahkan sebelum abad kesembilan belas, tidak ada silsilah Kalacakra Nyingma yang langsung. Akan tetapi, para guru Nyingma di masa belakangan telah menerima dan menganugerahkan pemberdayaan Kalacakra dari silsilah-silsilah lain, khususnya dari gerakan Rimey abad kesembilan belas (atau gerakan tanpa-kepicikan), dan tinjauan-tinjauan tertulis atas semua segi ajaran. Lebih lagi, ada pula dzogchen, atau laku kelengkapan luar biasa, gaya Kalacakra.
Di antara empat aliran Tibet, Kalacakra paling menonjol di dalam aliran Gelug. Kajian, laku, dan upacara-upacara Kalacakra pertama sekali menerima perhatian khusus di abad kelima belas di Tashilhunpo, wihara para Dalai Lama terdahulu dan kemudian para Panchen Lama di Tibet tengah. Di pertengahan abad ketujuh belas, ini menyebar ke wilayah yang kemudian disebut bangsa Manchu sebagai "Mongolia Dalam", tempat bangsa Mongol membangun perguruan tinggi Buddha pertama yang dimaksudkan secara khusus untuk Kalacakra. Pada pertengahan abad kedelapan belas, jamak terdapat perguruan-perguruan tinggi Kalacakra di istana kerajaan Manchu di Beijing, lalu diTashilhunpo, di Amdo (Tibet bagian timur laut) yang juga disebut "Mongolia Luar". Selama abad kesembilan belas, bangsa Tibet dan Mongol di Mongolia Dalam dan Luar menyebarkan Kalacakra ke bangsa Mongol Buryat dari Siberia dan mereka, pada gilirannya, di awal abad kedua puluh, menyebarkannya ke bangsa Mongol Kalmyk di Sungai Volga dan rakyat Turki Siberia dari Tuva. Seperti di wilayah-wilayah Mongol dan Amdo, sebagian besar wihara-wihara utama dari masing-masing daerah ini membaktikan diri untuk laku Kalacakra.
Kegairahan bangsa Mongol, rakyat Amdo dan Tuva atas Kalacakra ini barangkali karena anggapan bahwa negara-negara mereka adalah yang diacu oleh tanah dongeng Shambhala sebelah utara. Selama lebih dari seabad, banyak orang Rusia juga telah memeluk keyakinan ini sebagai akibat dari persinggungan mereka dengan orang Buryat dan Kalmyk. Ibu Blavatsky dan Nikolai Roerich, contohnya, memberi peran menonjol bagi Shambhala dalam teosofi dan agni yoga, aliran luar yang masing-masing mereka dirikan. Agvan Dorjiev, utusan Dalai Lama Ketiga Belas untuk istana kerajaan Rusia, meyakinkan tsar terakhir, Nikolai II, untuk menyetujui pembangunan wihara Buddha di St. Petersburg dengan menjelaskan padanya hubungan Rusia dengan Shambhala.
Kalacakra juga menerima perhatian mencolok dalam lembaga pengobatan dan ilmu perbintangan di keempat aliran Buddha Tibet di Tibet sendiri, Mongolia, dan bagian-bagian lain dari Asia Tengah. Ini karena penghitungan untuk menyusun kalender Tibet dan menentukan letak planet, sebagian besar ilmu perbintangan Tibet dan sebagian tertentu dari pengetahuan ilmu pengobatan Tibet berasal dari ajaran-ajaran Kalacakra luar dan dalam. Kalender Mongolia, begitu juga dengan tata ilmu perbintangan dan pengobatannya, kemudian berasal dari kalender, ilmu perbintangan, dan ilmu pengobatan Tibet. Kalacakra, karena itu, merupakan padanan Buddha untuk "wali pelindung" bagi ilmu-ilmu pengetahuan ini.
Kalacakra dan Garis Dalai Lama
Banyak orang bertanya-tanya apa hubungan antara Yang Mulia Dalai Lama dengan Kalacakra, dan mengapa beliau memberikan pembayatan Kalacakra begitu seringnya. Yang Mulia dengan rendah hati mendaku bahwa tidak ada hubungan khusus antara garis para Dalai Lama dan Kalacakra, terlepas bahwa para Dalai Lama dianggap sebagai titisan dari salah satu penguasa Shambhala. Akan tetapi, Dalai Lama Pertama, Kedua, Ketujuh, Kedelapan, dan yang sekarang Keempat Belas, telah menaruh minat yang kuat terhadap tata Kalacakra. Sejak masa Dalai Lama Ketujuh di awal abad kedelapan belas, upacara dan laku meditasi Kalacakra telah menjadi kekhasan Wihara Namgyal, wihara pribadi para Dalai Lama di Istana Potala di Lhasa.
Tidak ada batasan mengenai jumlah kali pemberdayaan Kalacakra boleh diberikan selama masahidup seorang guru dan tidak ada alasan khusus mengapa Yang Mulia Dalai Lama yang sekarang menganugerahkannya dengan begitu sering. Yang Mulia berkata bahwa ia bahagia memberikannya ketika diminta, sejauh unsur-sebabnya mendukung. Sejak 1970, ia telah menganugerahkan pemberdayaan Kalacakra di berbagai tempat di India, juga di Amerika Utara, Eropa, Mongolia, dan Australia. Beberapa guru besar aliran Gelug, Kagyu, Sakya, dan Nyingma juga telah menganugerahkannya secara luas pula. Dari silsilah mana pembayatan Kalacakra diterima itu tipis saja bedanya. Semua itu memberdayakan kita untuk belajar dan menjalankan laku beraneka-ragam ajaran-ajarannya.
Kalacakra dan Kedamaian Dunia
Kita selalu mendengar bahwa pemberdayaan Kalacakra dimaksudkan demi kedamaian dunia. Beberapa orang bahkan lebih memilih Kalacakra dibanding tata tantra anuttarayoga karena kaitan ini. Namun apa persisnya hubungan antara Kalacakra dan kedamaian, dan mengapa ada begitu banyak orang yang menghadirinya? Kendati pemberdayaan untuk tantra-tantra lain diniatkan hanya bagi sejumlah kecil murid saja sekali waktu, ada adat kebiasaan untuk menganugerahkan pembayatan Kalacakra kepada sejumlah besar orang. Buddha pertama sekali memberikannya pada raja Shambhala dan rombongannya yang berisi sembilan puluh enam penguasa kecil. Seiring waktu, keturunan mereka menganugerahkannya kepada seluruh penduduk Shambhala untuk menyatukan mereka melawan kemungkinan ancaman serangan dan mencegah pembinasaan. Inilah asal-muasal hubungan pemberdayaan Kalacakra dengan kedamaian dunia dan adat menganugerahkannya kepada sejumlah besar peserta.
Menurut penyajian Kalacakra tentang kitaran-kitaran sejarawi, segerombolan kaum barbar secara berkala menyerang dunia beradab dan mencoba mengenyahkan segala kemungkinan bagi laku kerohanian. Serangan berikutnya diramalkan muncul pada tahun 2424 dari kalender masehi, dimana dikatakan bahwa akan ada satu lagi perang dunia yang ganas. Pada saat itu, pertolongan akan datang dari Shambhala untuk mengalahkan kaum barbar tersebut. Sebuah masa keemasan baru akan menyingsing, dimana segala sesuatu mendukung laku kerohanian, khususnya Kalacakra. Semua orang yang sebelumnya telah menerima pembayatan Kalacakra akan terlahir kembali pada masa itu di pihak pemenang. Dorongan tertinggi untuk menerima pemberdayaan tersebut adalah agar mampu menjalankan cara-cara Kalacakra demi mencapai pencerahan di masahidup yang sekarang ini. Akan tetapi, sudah jadi kebiasaan bahwa orang-orang berkerumun saat pembayatan Kalacakra dengan dorongan untuk menanam benih karmawi untuk menautkan diri mereka sendiri dengan masa keemasan yang diramalkan ini begitu juga untuk menyelesaikan laku tersebut kemudian.
Shambhala
Karena Shambhala memainkan peran penting dalam tata Kalacakra, kebanyakan orang penasaran untuk tahu apa Shambhala itu sebetulnya dan di mana letaknya. Tidak diragukan lagi bahwa dengan sedikit mengubah nama "Shambhala" penulis romantis Barat James Hilton menetaskan cerita tentang Shangri-la – sebuah surga tersembunyi di Bumi. Walau mungkin ada tempat di dunia ini yang cocok mewakili citra Shambhala, itu bukan itu tanah yang dimaksudkan. Shambhala tidak dapat dijumpai di planet ini atau bahkan di dunia lain yang jauh letaknya dari sini. Namun Shambhala merupakan alam manusia tempat segalanya mendukung laku kerohanian, khususnya Kalacakra.
Para guru meditasi telah menulis buku panduan, dalam bahasa Sanskerta dan Tibet, untuk mencapai Shambhala. Mereka menggambarkan perjalanannya sebagai perjalanan jasmani hanya sampai satu titik tertentu saja. Pengelana tersebut kemudian harus mengulang jutaan mantra dan laku-laku khusus lainnya untuk tiba di tujuan akhir. Perjalanan ke Shambhala, karena itu, utamanya merupakan perjalanan kerohanian. Tujuan menerima pembayatan Kalacakra bukanlah untuk mencapai atau terlahir kembali di Shambhala, namun, seperti semua laku Buddha mahayana, atau "wahana besar", tujuannya adalah untuk memperoleh pencerahan di sini dan sekarang ini demi manfaat bagi semua. Pemberdayaan tersebut menanamkan benih yang memampukan kita mencapai tujuan ini dan membantu memurnikan rintangan-rintangan batin yang kasar yang akan menghalangi pemerolehannya.
Menilai Persiapan Kita untuk Menerima Pemberdayaan
Katakanlah kita menumbuhkan minat terhadap Kalacakra atas dasar mengetahui suatu hal tentang isian khusus dari ajarannya, sejarahnya, dan kaitannya dengan kedamaian dunia. Kita masih perlu memutuskan apakah kita betul-betul siap untuk menerima pemberdayaan dan berangkat menjalani lakunya, ataukah lebih baik hadir sebagai pengamat yang berpengetahuan dan berkekaguman. Jalan paling masuk akal adalah melandaskan keputusan kita pada seberapa siap kita. Walaupun ratusan ribu sujud-sembah, pengulang-ulangan mantra Vajrasattwa yang seratus suku kata jumlahnya dan seterusnya bersifat amat sangat berguna, persiapan utamanya adalah latihan lam-rim – jalan bertahap dalam berperilaku, berhubungan, berpikir, dan merasa yang menuju ke pencerahan.
Langkah pertama adalah dengan mengambil haluan yang aman dan positif dalam hidup kita, seperti yang telah ditunjukkan oleh para Buddha, ajaran-ajaran mereka dan masyarakat yang telah bertingkat lanjut dalam haluan tersebut. Biasa diterjemahkan sebagai "berlindung", ini merupakan haluan upaya diri kita untuk mengatasi permasalahan dan memperoleh sifat-sifat yang diperlukan untuk mendatangkan manfaat bagi sesama sepenuh-penuhnya. Mengambil haluan ini dalam kehidupan kita berarti membimbing kehidupan kita di atas dasar pemahaman dan keyakinan pada hukum-hukum sebab dan akibat berperilaku. Untuk menghindari duka dan permasalahan, kita menahan diri dari bertindak merusak, dan untuk mengalami kebahagiaan, kita bertindak dalam sikap yang membangun.
Persiapan terpenting untuk tantra adalah berjuang mengembangkan tiga sikap, atau cara pandang, jalan asasi dalam kehidupan: penyerahan, bodhicita, dan pemahaman akan sunyata. Penyerahan adalah kesediaan untuk meninggalkan permasalahan dan sebab-sebabnya, dan ini didasarkan pada tekad kuat untuk terbebas dari duka yang ditimbulkannya. Contohnya, karena kita jijik sekali dengan rasa kesepian dan kegusaran, kita bersedia dan bertekad untuk meninggalkan bukan hanya hubungan tak sehat kita dengan orang lain, tapi juga watak kepribadian kita yang negatif dan diliputi kebingungan, citra-diri terpiuh yang membuat hubungan-hubungan kita jadi tidak memuaskan. Bodhicita adalah hati yang dicanangkan untuk mencapai pencerahan – mengatasi segala kekurangan dan mewujudkan segala daya – demi semua orang. Bodhicita didorong oleh kasih dan welas asih bagi semua makhluk, dan rasa tanggung jawab untuk menolong mereka sebanyak mungkin untuk mengatasi permasalahan mereka dan untuk memperoleh kebahagiaan yang langgeng. Sunyata berarti tiadanya cara mengada yang mustahil.
Biasanya, kita membayangkan diri kita, orang lain, dan segala gejala itu ada dalam cara-cara mustahil yang tidak sesuai dengan kenyataan. Dalam hati kita mereka-reka khayalan berbagai tingkat kehalusan dan mengarahkannya pada diri kita sendiri dan pada segala sesuatu dan setiap orang di sekeliling kita. Contohnya, pada satu tingkat kita membayangkan kita terlahir sebagai orang kalah, kita takkan pernah bisa berhasil dalam membangun atau memelihara hubungan yang memuaskan dengan siapa saja, dan bahwa orang lain atau unsur-sebab luar tersebut takkan pernah keliru ketika segala sesuatu kacau. Pada tingkat yang lebih halus, kita sibuk sendiri, berpikir bahwa kita ini mengada sebagai "aku" yang padu di dalam kepala kita, dan kita takut tak ada orang yang akan menyukai si "aku" tersebut dan setiap orang akan menolaknya. Dengan merancukan khayalan-khayalan ini dengan kenyataan, kita bertindak atas dasar kebodohan dan rasa tidak aman yang dibangkitkannya. Bahkan sebelum perseteruan timbul, kita gugup dan merasa sendiri bahwa hubungan tersebut pasti gagal. Perilaku kita tidak hanya membina dan menguatkan sebuah pola daya karmawi bagi masalah untuk matang di hubungan berikutnya, tapi juga memicu pematangan daya masa lampau untuk matang dalam bentuk berbagai penolakan yang kita alami di masa sekarang.
Sebelum memasuki laku tantrawi, kita perlu memahami bahwa setidaknya tingkat-tingkat terkasar dari pengarahan kita tidak mengacu pada kenyataan apapun. Tak ada orang yang terlahir sebagai pecundang dan tak ada hubungan yang dikutuk gagal. Pemahaman tersebut berasal dari suatu cara pandang akan kenyataan, atau "pandangan yang benar" akan sunyata, sehubungan setidaknya dengan salah satu tata mahayana dari ajaran-ajaran filsafati yang diajarkan Buddha -chittamatra atau salah satu dari yang madhyamaka. Menurut tata-tata ini, segalanya, bukan hanya diri kita sendiri, itu tidak mengada dalam cara-cara yang dikhayalkan ini. Tata-tata tersebut berbeda utamanya menurut tingkat kehalusan khayalan yang dibahasnya.
Sebagai persiapan lebih lanjut untuk tantra, iman dan keyakinan dibutuhkan dalam cara-cara tantrawi pada umumnya, dan khususnya pada golongan tertingginya, anuttarayoga, sebagai yang membangun cara-cara paling sangkil dan ampuh untuk memperoleh pencerahan. Siapapun yang memiliki keyakinan penuh ini, bingkai cita dari tiga jalan asasi dan latar belakang dalam latihan lam-rim, disebut sebagai "wadah yang benar" untuk menerima pemberdayaan Kalacakra. Kita harus menilai sendiri apakah kita sudah cukup siap atau tidak.
Ikhtisar Pembayatan
Proses pembayatan tersebut berlangsung selama beberapa hari, dengan hari pertama sebagai upacara persiapan, diikuti biasanya dengan dua atau tiga hari untuk pemberdayaan yang sebetulnya. Bagian terpenting dari tatacara awalnya adalah berlindung dan mengambil sumpah-sumpah bodhisattwa dan tantrawi. Tanpa ketiganya, kita tidak bisa betul-betul menerima pemberdayaan, meskipun kita boleh menyaksikannya dan memperoleh manfaat luar biasa karenanya. Pemberdayaan itu sendiri melibatkan suatu tatacara rumit tentang pembayangan diri beralih-rupa menjadi serangkaian rupa istimewa, memasuki mandala Kalacakra sosok-Buddha, dan mengalami serangkaian pemurnian di dalamnya dan kebangkitan serta pengayaan daya demi keberhasilan laku kita di masa depan. Mandala tersebut merupakan sebuah istana berlantai banyak yang besar sekali, yang di dalam dan di sekelilingnya terdapat 722 sosok, termasuk sepasang yang utama di tengah-tengahnya. Guru yang menganugerahkan pemberdayaan secara sekaligus tampil sebagai semua sosok ini, bukan hanya sebagai sosok yang pusat saja. Oleh karena itu, di sepanjang proses kita mengejawantahkan diri, guru kita, dan sekeliling kita dalam suatu cara yang amat khusus.
Langkah-langkah pembayatan ini amat sangat rumit dan, kalau tidak terbiasa, pengejawantahan yang kita lakukan bisa jadi agak membingungkan. Namun apabila, sebagai wadah yang benar, kita mengambil sumpah-sumpah tersebut dengan ketulusan sepenuh hati dan setidaknya merasa, dengan iman yang kuat, bahwa semua pengejawantahan tersebut betul-betul terjadi, kita boleh yakin bahwa kita sedang menerima pemberdayaan itu. Dengan diamankannya dasar ini, langkah berikutnya adalah mencari arahan lebih lanjut dan kemudian mencoba, setulus mungkin, untuk menapaki sepanjang jalan menuju pencerahan sebagaimana disajikan di dalam Tantra Kalacakra.