Kita telah membahas hal-hal mendasar yang kita butuhkan sebelum mengambil sumpah bodhisattwa. Kita telah membahas landasan-landasan dalam lam-rim, tingkat-tingkat bertahap sang jalan, dan kita sudah membahas proses dan meditasi untuk membina dorongan bodhicita. Dan sudah pula kita bicarakan bahwa pengembangan bodhicita itu sendiri berjalan melalui berbagai tahap, bodhicita berharapan (dengan dua tatarannya, berharap semata dan tataran yang diikrarkan); dan bahwa tahap ini melibatkan lima jenis latihan guna mencegah melemahnya perkembangan bodhicita kita di kehidupan saat ini dan selanjutnya; dan bahwa kita juga membutuhkan landasan berupa sumpah pratimoksha, baik sebagai orang awam maupun biksu/biksuni. Berdasarkan semua ini, ketika kita mengembangkan tataran bodhicita terlibat, kita mengambil sumpah bodhisattwa.
Jadi, sebelum kita masuk ke pembahasan mengenai sumpah, apakah ada pertanyaan untuk hal-hal yang sudah kita bahas sejauh ini?
Tadi Anda berkata, saat kita mengambil sumpah-sumpah pratimoksha yang pertama ini, kita tidak wajib memberi tahu guru sumpah apa persisnya yang kita ambil. Tidakkah sumpah ini kita ambil di hadapan guru?
Ya, kita memang mengambil sumpah itu di hadapan guru, tapi seringnya dalam kelompok besar. Jadi, di keadaan seperti itu, kita tidak berkesempatan untuk berkata apa pun, dan sekalipun kita menerima sumpah-sumpah ini secara sendiri-sendiri, satu orang di hadapan gurunya, mengungkapkan berapa banyak sumpah yang diambil bukan bagian dari upacara tersebut. Tentu, kalau ingin memberi tahu guru, boleh saja, tapi tidak wajib. Mungkin juga dalam perkembangan kita di awalnya, kita hanya bisa mengambil, misalnya, tiga atau empat dari semua sumpah ini. Lalu setelahnya kita merasa siap untuk mengambil sisanya atau satu tambahan lagi saja. Kita bisa mengambil sumpah-sumpah ini lagi karena upacaranya kerap dilangsungkan, dan di kali kedua kita mengambilnya, kita tambah sumpah yang lain. Atau, sebaliknya, kalau kita telah mengambil kelima-limanya dan ternyata kita tidak sanggup menepati salah satu darinya, di kali kedua kita mengambil sumpah-sumpah tersebut, kita bisa melepaskan satu. Tidak perlu malu karenanya.
Makin banyak sumpah yang kita tepati, tentunya makin kuat sila kita. Dan Tsongkhapa mengatakan bahwa jika kita ini biksu/biksuni yang telah ditahbiskan sepenuhnya, inilah landasan terbaik untuk memeroleh pewujudannya karena kita tidak punya tanggung jawab lain di samping laku kerohanian (walau, boleh jadi tetap ada tanggung jawab di lingkungan wihara). Tapi itu tidak berarti bahwa kalau jumlah sumpah pratimoksha kita lebih sedikit, maka mustahil bagi kita untuk memeroleh pewujudan. Hanya perkara mudah atau tidak saja. Jadi, demi kebaikan kita sendiri, makin kuat sila kita, makin mudah kita mendapatkan kemajuan rohani. Tapi menepati lebih banyak sumpah itu demi kebaikan kita sendiri yang menjalankannya, agar kita lebih mampu memberi manfaat bagi sesama, bukan demi menyenangkan hati guru atau sang Buddha.
Saat kita mengambil sebuah sumpah, salah satu hal yang tersingkir karenanya adalah sikap plin-plan. Misalnya, untuk minum minuman keras, sekalipun kita sudah mantap memutuskan untuk tidak minum, atau mau mencoba untuk berhenti minum; setiap kali ditawari minuman, kita masih harus memutuskan: terima atau tidak, ya? Dan itu tataran cita yang gelisah. Plin-plan adalah sikap gelisah. Kita tidak tenang karena tidak betul-betul tahu apa yang perlu diperbuat. Tapi kalau kita telah mengambil sumpah, jelas sudah. Kita sudah memutuskan sekali dan untuk seterusnya. Jadi, di awal-awal sekali pun, mengambil sumpah dapat membebaskan kita dari sikap plin-plan. Pratimoksha sangat berguna untuk kebebasan kita sendiri. Kebebasan di sini mengacu pada kebebasan dari samsara. Tapi di tingkat yang masih permukaan pun, pratimoksha membebaskan kita dari sikap plin-plan, setidaknya plin-plan untuk jenis perilaku tertentu.
Apakah efektif kalau kita mencoba menjalankan laku tantra sementara kita hanya bertemu guru tantra selama lima belas menit setiap tahunnya? Apakah efektif kalau kita hanya membaca beberapa buku tentang laku tantra dan tidak senantiasa bersinggungan dengan guru?
Ya, tetap bisa efektif. Rata-rata kita memang tidak selalu berhubungan dengan guru rohani atau guru tantra kita. Fungsi utama dari guru tantra, tentu, adalah memberikan pemberdayaan, memberikan sumpah, dan ilham; dan memang itulah fungsi utama dari semua guru rohani. Dan guru tantra juga memberikan pengajaran dan penjelasan lisan kepada kita. Tetapi untuk laku sehari-hari, kita mungkin perlu mencari saran dari orang lain. Ada banyak buku mengenai tantra. Para pelaku rohani di Tibet pun begitu, mereka bisa membeli atau membaca di perpustakaan buku yang menjelaskan begitu banyak hal mengenai laku tantra.
Yang Mulia sering bercanda, untuk ajaran yang semestinya tidak dituliskan pun kadang ada dalam bahasa Tibet, bukan hanya ditulis dan dicetak, tetapi saking konyolnya buku cetak tersebut dibuka dengan kalimat: “Tidak untuk dicetak; tidak untuk dituliskan.” Sungguh lucu. Jadi, bukan hanya orang Barat saja, orang Tibet pun menyediakan ajaran mengenai tantra yang semestinya dirahasiakan. Jadi Yang Mulia berkata, kalau informasinya memang sudah ada, alangkah baiknya kalau informasi yang disediakan itu benar.
Risiko di balik tersedianya informasi seperti ini – yang bisa Anda beli di toko, atau unduh dari internet – adalah kita bisa keliru menyangka bahwa laku tantra dapat dijalankan tanpa guru, semacam tantra “swakriya”. Ini sangat berbahaya karena kita tidak hanya bisa salah dalam menjalankan laku dan tidak punya tempat mengadu untuk mencari jawaban atas masalah atau pertanyaan, tetapi kita juga kehilangan sumber ilham. Dan peran ilham dari yang dicontohkan oleh guru jangan pernah diremehkan. Semua naskah mengatakan betapa pentingnya hal tersebut.
Nah, tentu saja masalahnya adalah, sekalipun kita menghadapi kesulitan atau berbuat kesalahan dalam laku kita, seringnya kita tidak berkesempatan untuk mendatangi guru, atau guru tidak sempat untuk benar-benar mengamati laku kita atau menanyai kita. Sebetulnya, jarang sekali ada hubungan dekat antara guru dan muridnya. Khususnya sekarang ini, keadaan yang kita alami di Barat: guru datang dan memberikan pembayatan untuk sekian banyak orang, lalu mereka melanjutkan perjalanannya, dan tidak ada orang di tempat kita yang cukup mumpuni untuk memberikan panduan.
Di Tibet, rata-rata pelaku rohani, yang memang serius, tinggal di wihara. Atau kalau bukan warga wihara, mereka adalah orang awam yang tinggal dekat sekali dengan wihara. Jadi, cukup banyak orang di sekitar mereka untuk dijadikan tempat bertanya. Bagi kita, keadaannya jauh lebih sulit. Dan yang lebih berbahaya lagi adalah orang-orang tidak mumpuni di sekitar kita yang, kalau kita tanyai, mungkin memberikan nasihat yang keliru, pura-pura tahu padahal tidak. Maka, dalam keadaan seperti ini, kita mesti memeriksa: seberapa bersungguh-sungguh kita dengan laku kita? Berapa banyak waktu dan upaya yang mau kita curahkan untuk laku? Dan, apakah laku ini merupakan hal terpenting dalam hidup kita?
Sayangnya, bagi rata-rata orang Barat, hal ini bukan hal terpenting dalam hidup mereka. Karena itu, bagi orang Tibet, sulit untuk bersungguh-sungguh dengan murid yang baginya laku Dharma bukanlah hal utama atau yang menganggap laku Dharma sebagai hobi untuk mengisi waktu luang semata. Tapi kalau kita memang bersungguh-sungguh dan laku Dharma adalah hal terpenting dalam hidup kita, sebagai murid kita mesti berupaya keras agar bisa dekat dengan guru dan mendatangi guru ke tempatnya berada. Lihatlah upaya keras orang Tibet di masa lalu, yang berjalan kaki ke India untuk memeroleh ajaran; dan betapa hebat Milarepa berusaha demi mendapatkan ajaran dari Marpa. Jadi jangan kita menyangka akan mudah untuk mendapatkan ajaran dan arahan langsung. Kita harus menunjukkan kepada guru bahwa kita sungguh mau berusaha. Dan sekalipun kita bisa datang ke tempat guru berada – misalnya kita menerima pembayatan dari Yang Mulia Dalai Lama – tidak berarti kita akan berkesempatan memeroleh pengajaran langsung, privat, dari Yang Mulia, apalagi beliau saat ini sudah begitu tua. Tapi ada guru-guru lain yang, walau tidak setinggi Yang Mulia Dalai Lama tingkatnya, tetap mumpuni untuk membimbing kita.
Jadi kalau kita mengandalkan buku untuk arahan dan ajaran, jangan anggap itu sebagai pengganti hubungan dengan seorang guru rohani. Namun, dalam laku ajaran Buddha, kita tidak perlu selalu dibimbing, di setiap langkah. Guru memberikan ajaran dan kita menjalankannya. Tugas kita sendirilah untuk mengamalkannya. Bukan tugas guru untuk selalu mengawasi dan memastikan kita menjalankan ajaran. Pada akhirnya, semua pencapaian kita bergantung pada usaha sendiri.
Ada yang bilang, saat kita mengambil sumpah pratimoksha, lima sumpah orang awam, guru hanya seperti saksi, yang di hadapannya kita mengambil sumpah tersebut, dan daya utama yang menggerakkan kita adalah keputusan untuk mengambil sumpah ini. Jadi ketika kita mengambil sumpah pratimoksha, kita butuh guru untuk menjadi saksinya. Kalau guru tidak ada, bisa saja kita menipu diri sendiri; tapi kalau guru ada, semisal kita melanggar sumpah, itu berarti kita menipu diri sendiri dan guru kita. Mereka menekankan bahwa peran guru adalah seperti saksi, bukan orang yang memberikan sesuatu kepada kita. Apakah pandangan ini benar?
Baik, sekarang kita bicara agak teknis. Dalam kerangka sumpah pratimoksha, kita sebetulnya mengambil sumpah di hadapan sang Buddha, Dharma, dan Sangha. Jadi, kita berjanji kepada sang Buddha, Dharma, dan Sangha, guru adalah pihak yang memperantarainya. Dan guru adalah perwakilan dari silsilah ajaran yang tidak terputus. Itu penting sekali, harus ada silsilah ajaran yang tidak terputus. Mengenai apakah betul silsilah tersebut murni, sulit untuk menjamin bahwa setiap orang di dalam silsilah tersebut telah menepati semua sumpahnya secara mutlak murni. Sulit untuk dipastikan, bukan? Terlepas dari itu, prasyaratnya memang bahwa silsilahnya utuh dan, secara teori, murni, tidak terputus. Ini yang jadi masalah dalam hal memulihkan sumpah biksuni di aliran Tibet karena silsilahnya sering sekali putus. Tapi, tanpa masuk ke perincian teknis tentang hal itu, silsilah yang tidak terputus menjadi syarat penting. Baik, begitu penjelasan untuk hal tersebut.
Sekarang, untuk sumpah tantra, Anda memandang bahwa guru adalah sosok tantra, dan karenanya orang menerima sumpah di hadapan guru sebagai sosok Buddha. Tapi masalah yang Anda tanyakan di sini adalah pemahaman kita tentang apa arti bersumpah. Sumpah bukan sesuatu yang dimiliki guru, seperti bola – ini ada bola, atau sumpah, dan sekarang saya berikan ini kepada Anda, dan Anda memiliki bolanya. Sumpah bukan "benda" yang dimiliki setiap guru, benda yang memang ada, dan sekarang, ini, saya berikan kepada Anda, dan Anda mengambilnya, menjadikannya bagian dari diri Anda – seperti saya melemparkan sesuatu dan Anda menangkapnya. Tidak seperti itu. Sumpah itu muncul di kesinambungan batin Anda sebagai sesuatu yang muncul, bergantung pada aneka sebab, keadaan, dan unsur-sebab. Ini merembet ke hal yang ingin saya bahas berikutnya, yakni sumpah.
Apa itu sumpah? Sumpah bukan sesuatu yang mengada sendiri, atas daya dan dirinya sendiri, murni dari sisi si guru, dan digeser ke sisi kita. Itu yang perlu kita bantah. Itu cara mengada yang mustahil bagi sumpah, seperti sikap berikut: “Aku telah menjaganya bersih dan murni. Sekarang kuberikan ini kepadamu. Jagalah agar tetap bersih dan murni, dan teruskanlah ini kepada murid-muridmu.” Tidak seperti itu, walau mungkin itu cara pandang kekanak-kanakan kita terhadap sumpah. Seperti yang saya katakan, sumpah adalah hal yang muncul sebagai sebuah gejala yang bergantung pada hal-ihwal lainnya. Pada apa sumpah bergantung? Ia bergantung pada silsilah yang tidak terputus, perwakilan dari silsilah yang tidak terputus yang kehadirannya akan memunculkan sumpah ini.
Untuk sumpah bodhisattwa, berbeda dari sumpah pratimoksha dan tantra. Ada dua cara mengambil sumpah bodhisattwa. Yang pertama dengan guru, dan yang kedua tanpa guru: cukup dengan membayangkan Buddha dan para bodhisattwa saja. Jadi untuk sumpah bodhisattwa sekalipun Anda sebetulnya tidak butuh seorang guru. Entah mengapa, silsilah dan silsilah yang tidak terputus sangat penting perannya dalam sumpah pratimoksha dan sumpah tantra: guru berperan dan guru hadir di sana. Sumpah bodhisattwa mesti diambil dari seseorang yang memiliki sumpah bodhisattwa murni yang tidak terputus. Kapan pun Anda memang bisa meninjau kembali sumpah bodhisattwa, dan sebetulnya kita bisa memperbaruinya setiap hari, sendiri, dengan pembayangan dan pendarasan upacara kecil. Tapi untuk sumpah bodhisattwa, kita mengambilnya dengan dihadiri para Buddha dan bodhisattwa – mereka punya sumpah bodhisattwa yang tidak terputus. Jadi ini berbeda. Saya tidak menerangkan sejelas-jelasnya karena saya tidak tahu mengapa begitu, mengapa untuk sumpah bodhisattwa kita boleh mengambilnya tanpa kehadiran seorang guru. Saya belum pernah mendengar satu pun alasan yang terang jelas tentang itu.
Terlepas dari itu, kalau kita bicara dalam kerangka yang lebih umu, kita perlu sebagai unsur-sebab seseorang dengan sumpah yang tidak terputus, baik itu guru atau, dalam hal ini, para Buddha dan bodhisattwa. Untuk sumpah pratimoksha, sudah pasti kita butuh penyerahan, tekad untuk bebas. Untuk sumpah bodhisattwa, sudah pasti kita butuh pengembangan bodhicita yang tulus, dan khususnya tataran bodhicita terlibat. Dan untuk sumpah tantra ada lagi prasyarat lain yang harus kita penuhi – selain penyerahan dan bodhicita, kita juga butuh pemahaman dasar mengenai sunyata, atau laku persiapan; ada banyak hal yang kita butuhkan. Dan kita harus punya niat dengan kesadaran kuat untuk membangkitkan sumpah ini di dalam kesinambungan batin kita, dan niat untuk menepatinya sebaik-baiknya. Untuk sumpah biksu dan biksuni, ada lebih banyak hal lain yang diperlukan, orang-orang yang hadir di upacaranya. Tetapi cara mengambil sumpah biksu dan biksuni bukan pokok bahasan kita.
Jadi apa sesungguhnya sumpah itu? Ada dua pandangan mengenai hal ini. Pandangan yang pertama ada dalam aliran Sautrantika. Menurut aliran-aliran ini, sumpah adalah anasir batin yang menahan kita dari suatu perilaku merugikan, perilaku yang, dalam upacara tertentu, kita janjikan untuk tidak dilakukan. Dalam pengertian ini, sumpah itu seperti sila yang lebih kuat, yang berdasar pada janji yang diikrarkan dalam sebuah upacara. Tetapi menurut pandangan Vaibhashika, Chittamatra, Sautrantika Svatantrika dan Prasangika Madhyamaka, sumpah adalah sebuah bentuk tan-ungkap – yang maksudnya nanti akan saya jelaskan – di atas kesinambungan batin seseorang yang menjalankan fungsi yang sama seperti anasir batin tadi. Sumpah adalah hal yang membentuk perilaku kita.
Jadi, apa maksud bentuk tan-ungkap (rig-byed ma-yin-pa’i gzugs)? Ia bentuk yang teramat sangat halus. Ia tidak terbuat dari atom. Dan disebut “tan-ungkap” karena tidak mengungkapkan dorongan awal yang dengannya tindakan dilakukan. Bentuk tan-ungkapnya dimulai dari awal tindakan, ketika kita mulai melakukan tindakan itu, dan terus lanjut setelah tindakannya usai – ia berlanjut lebih jauh di atas kesinambungan batin kita dan akan terus ada di sana selama kita berniat mengulangi jenis tindakan tersebut. Kalau kita memutuskan untuk tidak pernah melakukannya lagi, bentuk tan-ungkap itu hilang.
Lalu, apa fungsi dari bentuk tan-ungkap ini? Walau saya belum pernah mendengar atau melihatnya dibahas di naskah, dari telaah saya sendiri tampak fungsinya adalah bahwa, sebagai akibatnya, ia matang menjadi pengulangan tindakan yang serupa dengan tindakan yang kita perbuat sebelumnya. Dan ini salah satu hal yang matang dari kelanjutan karma. Dan karenanya jadi masuk akal kalau kita memutuskan untuk tidak pernah melakukannya lagi, bentuk tan-ungkap tersebut hilang dan kita tidak pernah melakukannya lagi.
Apa fungsi bentuk tan-ungkap ini? Sumpah biasanya bertujuan untuk menahan diri dari suatu hal negatif, hal merugikan. Sumpah ini akan menjadi penyebab yang membuat kita tidak mengulangi perilaku tersebut. Dan sumpah itu hilang ketika, antara lain, kita memutuskan untuk tidak pernah melakukannya lagi.
Kalau saya bersumpah untuk tidak makan setelah siang hari, sumpah ini akan memunculkan sebab untuk saya tidak makan setelah siang hari. Kalau saya memantapkan hati dan menganggap perbuatan itu konyol, dan saya takkan lagi melakukan kebiasaan itu, saya akan selalu makan di malam hari, maka sumpah tersebut hilang. Itulah arti sumpah, dan ia merupakan bentuk yang sangat halus yang berlanjut di kesinambungan batin kita. Tapi bentuk halus ini bukan seperti bola yang bergeser dari kesinambungan batin guru, atau para Buddha dan bodhisattwa, ke kesinambungan batin kita. Mereka tidak memberikan kita sesuatu, seperti dalam ungkapan “memberikan” sumpah; dan kita tidak mengambilnya dari mereka.
Kata yang digunakan di bahasa Tibet adalah “menerima” sumpah di atas kesinambungan batin kita. Itu tidak lantas berarti kita mendapatkannya dari orang lain, seperti menerima sepucuk surat dari orang lain. Itu makna konotatif yang berarti kita “memerolehnya”. Ia muncul karena banyak sekali anasir yang harus hadir, seperti tadi saya jelaskan. Dan ia muncul di atas kesinambungan batin kita, kita membangkitkannya, lalu kita mencoba menjaganya sebaik-baiknya. Jadi istilah yang sering kita pakai, “breaking a vow” (memecahkan sumpah), sebetulnya agak menyesatkan, karena kalau kita tidak mengikuti perilaku yang kita sumpahkan untuk kita ikuti – kalau kita tidak menjalankan perilaku tersebut – yang terjadi adalah kita melemahkan sumpahnya. Jadi istilah “transgressing a vow” (melanggar sumpah) saya rasa paling tepat. Kita melanggarnya. Kita melanggar batas-batas sumpah tersebut. Dan ada berbagai anasir yang akan memengaruhi seberapa hebat kita melemahkan sumpah tersebut. Dan saat sumpah melemah, kekuatannya menyusut, lebih lemah dalam membangkitkan perilaku tertentu yang ingin senantiasa kita ulang, seperti tidak makan setelah siang hari.
Misalnya, saya bertekad untuk tidak makan setelah siang hari. Lalu, di satu hari saya makan setelah siang. Di hari lain, saya makan setelah siang. Kekuatan tekad tersebut melemah karena kadang kita tidak menepatinya. Kita perlu memahami apa maksudnya melemahkan kekuatan sumpah. Tenaganya untuk menghasilkan perilaku yang sama berulang kali jadi berkurang. Dan ada banyak sekali anasir, yang berhimpun, untuk benar-benar menghilangkan sumpah tersebut dari kesinambungan batin kita, tapi itu akan kita bahas nanti.
Baik. Sudah lebih jelas? Arti sumpah memang agak pelik dan rumit, tetapi saya rasa kita mesti memahaminya. Ia adalah suatu bentuk halus yang kita bangkitkan pada kesinambungan batin kita, yang akan membentuk perilaku kita ke depannya, dan kekuatannya cukup hebat karena kita membangkitkannya atas dasar janji yang sangat kuat.
Di dalam abhidharma ada pembahasan mengenai sumpah; dan sesuatu yang mungkin sulit sekali diterjemahkan (mungkin “anti-sumpah” atau semacamnya); lalu ada lagi hal di antaranya. Jadi sumpah adalah hal yang telah dirumuskan oleh Buddha, Buddha Shakyamuni: sumpah pratimoksha, sumpah bodhisattwa, dan sumpah tantra. Spesifik sekali. Sumpah di sini bukan seperti sumpah pernikahan dalam agama Kristen atau semacamnya Sumpah seperti itu tidak akan dipahami sebagai sumpah dalam pengelompokan ini; ia akan berada di kelompok antaranya. Anti-sumpah (tadi saya katakan sulit sekali mendapatkan terjemahan baiknya) adalah sumpah untuk melakukan hal merusak seperti, contohnya, masuk tentara lalu bersumpah untuk membunuh musuh. Jadi, maksudnya adalah bersumpah untuk melakukan kebalikan dari hal yang tidak akan kita lakukan dalam sumpah di ajaran Buddha. Lalu, yang menjadi titik antaranya adalah janji, janji yang kuat, untuk melakukan hal yang biasanya tidak tergolong ke dalam dua kelompok ini
Saya beri contoh dari sumpah mengenai etika seksual. Sumpah untuk menahan diri dari perilaku seksual yang tidak patut berisi daftar panjang tentang apa yang tidak patut. Katakanlah kita merasa siap untuk tidak melakukan hal-hal di dalam daftar ini, misalnya, memerkosa orang lain. Tentu, kita tidak akan berbuat sejauh itu, tetapi ada hal-hal lain di dalam daftar tersebut yang saya rasa belum siap untuk tidak melakukannya. Jadi, misalnya kita bilang, “Baik, aku akan ambil sebagian saja dari sumpah itu.” Tidak bisa begitu kalau bersumpah. Sumpah itu diambil utuh atau tidak diambil sama sekali. Tidak ada yang memaksa Anda untuk mengambilnya. Yang bisa kita lakukan: mengambil sumpah dari kelompok antara tadi, yang berupa janji kuat bahwa kita akan menjauhi sebagian dari seluruh isi sumpahnya. Tidak sekuat mengambil sumpah Buddha, tetapi tetap jauh lebih kuat ketimbang kadang-kadang tidak melakukannya. Jadi janji yang kuat ini sangat positif, dan sumpah bahwa saya tidak akan memerkosa, misalnya; dan ini akan membina daya positif yang jauh lebih besar daripada sekadar tidak memerkosa saja. Kita benar-benar bersumpah, tetapi tidak sekuat sumpah untuk tidak memerkosa sebagai bagian dari paket sumpah Buddha yang lebih lengkap untuk perilaku seksual yang tidak patut.
Apakah pemahaman saya ini tepat? Kalau saya merasa bahwa sumpah yang saya ambil itu tidak benar atau konyol, dan saya tidak menepati sumpah itu lagi, maka sumpah tersebut hilang? Tapi kalau saya cuma kadang-kadang tidak mampu menepati sumpah ini, karena satu dan lain hal, tapi saya mungkin akan menepatinya lagi, maka sumpah saya itu hanya melemah, bukan hilang?
Benar. Kita akan bahas perinciannya nanti supaya pemahamannya jadi makin jelas.