Ulasan: Kehidupan Manusia yang Berharga
Kita mengawali tadi pagi dengan menyusuri tingkat-tingkat bertahap lam-rim sang jalan dan melihat seperti apa semua itu membantu kita mengembangkan rasa diri yang sehat. Dan kita telah melihat bahwa berpikir dalam kerangka kelahiran kembali sebagai manusia yang berharga akan membuat kita bersikap sangat positif terhadap diri sendiri karena kita mengerti betapa beruntungnya kita ini. Kita mengerti betapa langka kesempatan untuk memiliki hal yang kita miliki sekarang: untuk sementara lepas dari keadaan-keadaan yang lebih buruk dan berbagai kesempatan lain, khususnya jika kita bandingkan diri kita dengan mayoritas besar populasi dunia. Juga jika kita bandingkan diri kita dengan semua rupa kehidupan lainnya, baik itu dalam kerangka enam alam para makhluk, atau jika itu terlalu ganjil bagi Anda, setidaknya dengan rupa-rupa kehidupan lain di planet ini, kita melihat bahwa keadaan yang kita miliki sekarang sebetulnya cukup langka.
Jadi, dalam diri kita tumbuh rasa menghargai yang kuat; kita sangat bersyukur atas kenyataan bahwa kita memiliki kehidupan sebagai manusia yang berharga ini sekarang. Kita sangat menghargainya dan kita sadar bahwa hal ini tidak berlangsung selamanya. Kita akan tua; kita bisa sakit; dan kita pasti akan mati. Dan setelah kita mati, maka – jika kita berpikir dalam kerangka “aku” lazim yang ada dan abadi – kita akan melanjutkan keberadaan kita dalam suatu rupa kehidupan dengan pengalaman yang lebih lanjut pula. Mungkin saat ini masih tidak kita ketahui seperti apa, tapi tentu saja bisa jadi jauh lebih buruk.
Jenis-Jenis Rupa Kehidupan yang Lain dan Berbagai Tingkat Kebahagiaan dan Ketakbahagiaan
Selalu sulit rasanya kalau kita dihadapkan pada berbagai jenis rupa kehidupan lain yang diajukan dalam agama Buddha. Sulit untuk dijajaki dengan sungguh-sungguh. Tapi cara saya sendiri dalam menjajakinya adalah dengan berpikir, sekali lagi, dalam kerangka kegiatan batin, seperti yang sudah kita bicarakan. “Aku” disematkan pada suatu kesinambungan kegiatan batin mengalami, dan kegiatan batin tersebut akan berisi berbagai anasir batin yang menyertainya dan jenis kesadaran yang berbeda-beda: berbagai jenis kesadaran indrawi, kesadaran batin, dan juga anasir-anasir batin, khususnya kebahagiaan, ketakbahagiaan – tingkat kebahagiaan tertentu. Dan batas-batas dari hal yang mampu kita alami di bidang tertentu apa pun – baik itu mengenai sensasi ragawi atau penglihatan, atau kebahagiaan, ketakbahagiaan, dll. – semuanya akan berkaitan dengan segi-segi ragawi yang kita miliki, perangkat tubuh kita.
Kita tahu bahwa, dari contoh sederhana saja, dengan otak manusia kita bisa memahami jauh lebih banyak ketimbang dengan otak lalat – walau kedua makhluk ini sama-sama memiliki otak. Tapi perangkat keras yang tersedia bagi kita untuk memahami, kalau otak kita otak lalat, tentu tidak akan canggih-canggih amat, bukan? Dan mata dari jenis hewan yang berbeda-beda – sebagian bisa melihat dalam gelap; mata manusia tidak bisa berbuat banyak dalam keadaan gelap gulita. Mata elang bisa melihat sangat jauh; mata manusia tidak bisa sampai sejauh itu. Hidung anjing memiliki kemampuan yang lebih hebat untuk mengendus ketimbang hidung manusia – jauh lebih hebat, malah. Banyak hewan yang dapat mendengar lebih baik dari kita. Jadi, cukup jelas bahwa, dengan perangkat indrawi, lingkup pengalaman kita sangat bergantung pada dasar ragawinya, perangkat kerasnya.
Sehingga, demikian pula kiranya dalam hal sensasi ragawi: rasa nikmat dan sakit. Setelah tingkat rasa sakit tertentu, tubuh manusia akan hilang sadar. Itu berarti kita tidak bisa mengalami hal di luar batas kesanggupan tubuh ini. Kalau kita luaskan, begitu juga dengan rasa bahagia dan tidak bahagia. Soal duka, kita tidak membahas mengenai sensasi sakit ragawi, tapi tentang anasir batin dari kebahagiaan dan ketakbahagiaan. Kebahagiaan: Anda ingin meneruskannya, Anda tidak ingin berpisah darinya. Ketakbahagiaan: Anda benar-benar ingin berpisah darinya.
Kita jadi mulai bertanya-tanya, apakah kapasitas untuk ketakbahagiaan dan kebahagiaan juga sebanding atau bergantung pada dasar ragawi yang kita miliki untuk mengalaminya, baik itu tataran batin atau tataran ragawi? Ini menjadi bahan telaah yang sangat menarik. Coba bandingkan berbagai tingkat ketakbahagiaan. Orang yang menderita Down Syndrome, misalnya, dan bahkan tidak sadar dengan keadaan sekelilingnya; dan seseorang dengan kecerdasan tinggi yang menelaah depresi atau ketertekanan yang dialaminya. Kita selalu diajarkan bahwa duka batin itu jauh lebih buruk, jauh lebih hebat, dari duka ragawi.
Dengan demikian, saya rasa tingkat kebahagiaan dan ketakbahagiaan yang mampu kita pahami – kisarannya – cukup berbeda-beda tergantung pada jenis tubuh ragawi dan jenis rupa kehidupan yang kita miliki. Bila kita luaskan, kita dapat membayangkan kisaran penuh dari kebahagiaan-ketakbahagiaan, rasa nikmat-rasa sakit, dan bahwa ada dasar-dasar ragawi yang memiliki kesanggupan untuk mengalami bagian tertentu dari kisaran ini.
Jadi kalau kita akan menjadi tiada, kalau itu yang kita yakini, setelah kita mati, “Sekarang aku mati”, dan tidak jelas, tidak kita ketahui seperti apa keadaan itu sebetulnya – rasanya itu menakutkan. Bila Anda tidak ada, apakah itu membuat Anda tertekan? Atau apa? Orang mulai bertanya-tanya apa ciri-ciri “tiada” dari mengalami “ketiadaan”?
Tapi, “tidak ada” yang terjadi; kalau “tiada” yang terjadi, tidakkah Anda merasa bosan? Anda merasa tak senang kalau tiada yang terjadi; coba bayangkan, tiada yang terjadi selamanya. Betapa membosankan. Anda jadi tidak bahagia. Saya tidak tahu apakah itu cukup masuk akal ataukah cuma candaan saja, tapi saya rasa ini dapat membantu mengembangkan rasa “Aku tidak ingin, setelah aku mati, keadaan jadi lebih buruk dari yang sekarang.” Kita tidak ingin terjebak dalam Ketiadaan Besar selamanya. Dan kalau kita pengikut ajaran Buddha, kita tentu tidak ingin terlahir kembali dengan dasar ragawi, atau dalam rupa manusia sekalipun, yang membuat kita jauh lebih menderita dan didera jauh lebih banyak masalah, dan kita tidak mampu melanjutkan langkah kita di jalan kerohanian.
Haluan Aman
Jadi, kita kembangkan rasa takut yang sehat akan keadaan-keadaan ini. Penting dipahami bahwa ada dua jenis rasa takut.
- Pertama, merasa bahwa tidak ada hal yang dapat diperbuat, “Aku tak berdaya, dan tidak ada harapan”. Itu rasa takut yang sangat mengerikan, sangat sulit ditanggung.
- Tapi ada rasa takut yang sehat, yang dengannya kita tahu bahwa ada sesuatu yang dapat diperbuat untuk menghindari keadaan yang buruk, sehingga Anda lebih berhati-hati. Seperti saat mengemudikan mobil – “Aku harus mengemudi dengan hati-hati, karena aku takut nanti bisa kecelakaan.” Kalau tidak peduli dengan risiko kecelakaan, kalau tidak takut, kita akan mengemudi dengan sangat ceroboh dan itu dapat berujung musibah.
Ketika kita berbicara soal sebab-sebab berlindung, yang lebih suka saya sebut “haluan aman”, dikatakan bahwa salah satu sebabnya adalah rasa takut – rasa takut yang sehat ini. Dan rasa takut itu didasarkan pada rasa “aku” yang sehat dari “aku” yang lazim – bahwa “Aku peduli dengan keadaanku dan aku tidak ingin tertimpa kemalangan yang membuatku tidak dapat berkembang lagi, dan kulihat ada cara untuk menghindari keadaan itu. Karena itu, aku akan menggunakannya.” Dan penting untuk dipahami bahwa tanpa rasa “aku” yang sehat, kita tidak akan pernah terpikir untuk menempatkan haluan yang positif dan aman dalam hidup kita, seperti ditunjukkan oleh “berlindung”.
Dan jika aku tidak peduli dengan diri sendiri, aku tidak akan mau berupaya untuk menghindari duka. Peduli amat. Kita melihat jenis sikap seperti ini ada pada diri orang-orang yang tidak mau berhenti merokok, “Peduli amat dengan kanker. Aku tidak peduli; aku ingin merokok.” Jadi mereka tidak sungguh peduli dengan diri mereka. Tersungging senyum lebar rasa bersalah – rasa malu – di wajah para perokok di antara hadirin di sini. Tapi maksud saya kalau Anda sungguh-sungguh dengan semua ini, Anda akan berpikir: aku memiliki kehidupan sebagai manusia yang berharga, aku tidak ingin kehilangan itu; aku ingin berbuat sesuatu yang dapat menjaga kelangsungannya selama mungkin sehingga aku dapat menggunakan kesempatan ini sebelum ia berakhir dan aku ingin mencoba untuk tetap bisa mendapatkan kesempatan ini di masa depan. Seperti itulah pendirian Anda; dan itu semua didasarkan pada rasa “aku” yang sehat.
Nah, kita bisa berbuat sesuatu untuk menghindari keadaan yang lebih buruk di kemudian hari: menempatkan haluan aman Buddha, Dharma, dan Sangha dalam kehidupan kita. Dan kita harus memahami, apakah haluan itu? Apakah Triratna yang sebenarnya itu? Ada beberapa tingkat Buddha, Dharma, dan Sangha, tapi kalau Anda lihat tingkat yang terdalam, maka Ratna Dharma merujuk pada penghentian sejati masalah – duka, semua jenis duka – dan jalan sejati, jalan cita sejati: itulah tingkat pemahaman sejati yang akan memunculkan penghentian sejati atas masalah sehingga ia tidak pernah muncul lagi. Jadi, itu Kebenaran Mulia yang ketiga dan keempat.
Itulah arah yang ingin kutuju. Aku menggunakan arah itu sebagai haluan untuk mencoba memeroleh penghentian sejati dari sebab-sebab duka dan masalah dan aku ingin memeroleh pemahaman sejati atau jalan cita untuk memahaminya, yang akan memunculkan penghentian sejati tersebut. Itulah haluan kita, haluan yang sangat positif. Masuk akal. Para Buddha adalah mereka yang telah betul-betul memeroleh hal ini sepenuhnya dan telah mengajarkan serta menunjukkan jalan untuk mencapainya sendiri dan Arya Sangha adalah mereka yang telah mulai memeroleh penghentian sejati dan pemahaman sejati. Mereka telah memeroleh sebagian dari padanya. Dan pemahaman ini sangat berguna karena ternyata ada berbagai tingkat (para Arya) dan ini membuat kita lebih bersemangat karena upaya mencapai tingkat Buddha merupakan hal yang dapat dikerjakan secara bertahap. Jadi tampak lebih mungkin diperoleh. Kita jadi lebih terdorong dengan mengetahui bahwa ada yang namanya Arya Sangha.
Baik, jadi itulah Triratna; itulah arah yang ingin kita tuju, dan kita peduli dengan diri kita, kita bersungguh-sungguh dengan diri kita. Dan ada haluan yang dapat kita ambil untuk menghindari duka. Aku sendiri ingin bahagia. Aku tidak ingin tidak bahagia. Sehingga, kita ingin mencoba mengambil haluan tersebut. Kita lihat bahwa itu mungkin dilakukan. Coba renungkan itu.
Sangat disayangkan karena banyak orang meremehkan peran berlindung, dan saya rasa itu karena mereka belum benar-benar memahami maksudnya secara mendalam. Jadi, meditasi yang dianjurkan dalam sebagian dari lam-rim di tingkat lanjut amat sangat membantu untuk hal ini. Kita bermeditasi dengan membayangkan diri jatuh dari tepi jurang ke dalam alam rendah – kelahiran kembali yang lebih mengerikan – dan betapa buruknya hal tersebut. Dan kalau kita tahu bahwa ada cara untuk menyelamatkan diri kita – membuka parasut atau apa pun itu – kita pasti ingin melakukannya. Kemudian kita membayangkan kita hampir jatuh. Kita berada tepat di tepi jurang, hampir jatuh. Anda begitu takut jatuh sehingga Anda menguatkan otot-otot tubuh Anda supaya tetap mampu menjaga keseimbangan dan tidak terjatuh. Lalu Anda membayangkan Anda berada di atas sabuk penghantar dan sabuk tersebut bergerak ke arah tepi jurang itu dan akan “menuang” Anda jatuh ke jurang, dan betapa kita begitu ingin tetap terjaga agar bisa melompat turun dari sabuk penghantar tersebut.
Ini pembayangan yang cukup kuat yang dapat kita gunakan untuk memunculkan rasa takut, dan kita menyentuh naluri kita yang paling mendasar. Naluri bertahan hidup dan tidak jatuh ke dalam api atau sesuatu seperti itu. Itulah jenis dorongan naluriah utama yang ingin kita gunakan dalam menempatkan haluan aman dalam hidup kita, sehingga ia dapat benar-benar menjadi naluri dasar dalam diri kita. Dan karena itu, kita benar-benar ingin menghilangkan sebab dari kelahiran kembali yang lebih buruk; atau menghilangkan sebab dari siksaan abadi di neraka; atau menghilangkan sebab-sebab mati dengan penyesalan dan rasa takut jatuh ke jurang ketiadaan yang tidak kita kenal.
Tolong direnungkan. “Aku ingin menghindari kelahiran kembali yang lebih buruk dan untuk itu aku mesti menghindari dan menghilangkan sebab-sebab kelahiran kembali yang lebih buruk. Aku mau mencegahnya” – “langkah-langkah pencegahan” adalah terjemahan harfiah dari “Dharma”.
Baik, sekarang, hal pertama yang kita perbuat, dalam kerangka menempatkan haluan aman dalam hidup kita, adalah menghilangkan sebab-sebab duka kasar, dukanya duka – sebab-sebab ketakbahagiaan – dan mengalami kelahiran kembali yang buruk dan segala jenis hal tidak mengenakkan yang terjadi pada kita. Dan menurut ajaran dalam agama Buddha, ajaran karma, jenis duka dari duka kasar, bila kita mengalaminya, hukum karma pertama menyatakan bahwa itu merupakan akibat dari perilaku merusak.
Karma
Jika kita bicara soal karma – ingin saya tekankan di sini – yang kita maksud bukanlah soal tindakan, walaupun kata dalam bahasa Tibet untuk “karma” sama dengan kata yang biasa dipakai untuk “tindakan” dalam bahasa tersebut. Dan orang Tibet juga cukup sering, ketika berbicara dalam bahasa Inggris, menerjemahkan kata “karma” dalam maknanya untuk tindakan. Dalam lingkung pembahasan kita ini, maknanya bukan tindakan. Kalau maksudnya memang tindakan, coba pikirkan kelanjutan logisnya. Kita ingin sepenuhnya menghapus semua karma – Anda ingin menyingkirkan semua karma. Nah, kalau karma maknanya tindakan, itu berarti Anda harus berhenti melakukan apa pun, supaya bisa terbebaskan. Tentu bukan itu pengertian dari kata tersebut.
Ada cara telaah lain yang kita gunakan dalam agama Buddha. Lihat apakah ada kesimpulan muskil yang ditarik dari sebuah pernyataan. Dan di sini pernyataannya adalah “karma itu tindakan”. Kalau karma itu tindakan, maka Anda harus menyingkirkan semua karma (semua tindakan). Kalau saya menyingkirkan semua tindakan, apakah saya terbebaskan? Tidak. jadi, pernyataan karma itu tindakan adalah pernyataan keliru. Ini perkara terjemahan.
Yang dimaksud dengan karma adalah kegandrungan. Perilaku kita memiliki segi gandrung; gandrung karena naluri, kecenderungan yang telah terbangun dari perasaan gelisah dan kebingungan kita. Karenanya, kita bertindak secara gandrung. Kita tidak dapat mengendalikannya. Makan secara gandrung, mengetuk-ngetukkan jari secara gandrung – semacam itu.
Apa beda antara “naluriah” dan “gandrung”?
“Naluriah” berarti tindakan tersebut terbersit di benak kita. “Gandrung” (berarti kita tidak bisa mengendalikannya, misalnya) gandrung berbohong, gandrung makan. “Gandrung” di sini, saat kita bicara soal karma, bersifat positif dan negatif. Jadi bukan hanya gandrung berbohong atau mencuri atau sejenisnya. Tapi juga, perfeksionis yang gandrung, yang sudah mirip seperti gangguan jiwa. “Aku harus sempurna; aku harus bagus.” Jadi sikap itu berdasar pada “aku” yang sangat besar. Berdasar pada sikap yang gelisah, dan sifatnya gandrung. Perfeksionisme adalah contoh yang sempurna. Orang yang gandrung membersihkan rumahnya, gandrung mencuci tangannya. Positif memang; tidak ada yang negatif dengan hal itu, tapi betul-betul di luar kendali dan sangat neurotik. Atau gandrung mengoreksi orang lain.
Jadi, itulah karma. Itulah yang kita maksud dengan karma. Yang ingin kita singkirkan adalah kegandrungan ini. Bukan ingin berhenti melakukan apa pun. Coba kita camkan karena mungkin ini baru.
Dan itu sesuai dengan pengertiannya. Itu yang penting – Anda dapat pengertiannya, kemudian Anda coba memahami apa maksudnya. Jadi ketika rasa-rasanya kita ingin berbohong atau rasa-rasanya kita ingin membuka kulkas, hal-hal seperti inilah yang matang dari kecenderungan karma. Rasa-rasanya Anda ingin melakukannya. Karma merupakan kegandrungan yang menarik Anda untuk melakukan suatu tindakan. Pertama, Anda merasa ingin melakukannya, lalu kegandrungan itu menarik Anda untuk berbuat, akhirnya Anda melakukannya.
Begitu, ya. Nah, dalam penyajian klasik atas karma pada lingkup awal lam-rim, dinyatakan bahwa sebab dari dukanya duka kita adalah ketaksadaran akan sebab dan akibat, sebab dan akibat berperilaku. Kita tidak tahu bahwa kalau kita tidak bahagia dan berduka, hal tersebut muncul dari perilaku merusak. Kita tidak tahu-menahu tentang hal itu. Atau kita dengan keliru menganggap hal itu muncul begitu saja. Jadi kita berupaya menyingkirkan ketaksadaran atau ketidaktahuan tingkat pertama ini – ketaksadaran akan sebab dan akibat berperilaku. Yang kita maksud di sini bukan sebab dan akibat menendang bola dan bolanya mencelat ke sana; yang kita maksud di sini sebab dan akibat dalam kerangka perilaku dan pengalaman kita.
Ajaran klasiknya seperti ini: “Aku tidak ingin tidak bahagia, aku tidak ingin memiliki duka kasar, dan aku mengerti bahwa itu muncul dari perilaku merusak. Jadi, saat rasa-rasanya aku ingin bertindak merusak – karena rasa itu muncul dari sebab-sebab sebelumnya – aku tidak akan melakukannya. Aku akan menahan diri.” Itulah ajaran baku dari tingkat lingkup awal menghadapi karma. Saya mengajarkan lam-rim kepada murid-murid saya dengan sangat perlahan, mengikuti Lam-rim chen-mo [Penyajian Akbar atas Tingkat-Tingkat Bertahap dari sang Jalan], naskah Tsongkhapa; kami mempelajarinya selama lebih dari empat tahun, sekali seminggu, dan saat kami sampai di bagian ini, saya bertanya kepada murid-murid saya “Mengapa kamu tidak berbohong? Mengapa kamu tidak menipu? Apa alasannya?”
Alasan-Alasan untuk Tidak Bertindak Merusak
Jadi tolong telaah diri Anda sendiri sejenak. Mungkin Anda pernah menipu, merundung, dan berbohong, tapi kalau Anda tidak melakukannya, mengapa? Apakah karena Anda takut akan kelahiran kembali yang lebih buruk dan ketakbahagiaan yang akan timbul karena hal itu sehingga Anda menahan diri? Coba jujur kepada diri sendiri. Mengapa kita tidak menipu dan merugikan atau mencelakai orang lain?
Kita tidak ingin orang lain berpikiran buruk tentang kita.
Jadi kalau Anda bisa berkelit dari itu, boleh-boleh saja kalau tidak ada orang yang tahu?
Tidak ada gunanya berbohong karena perkaranya bukan apakah orang lain akan tahu atau tidak. Berbohong itu hanya berguna sesaat saja. Dalam jangka panjang, pasti akan terbongkar.
Baik; jadi Anda percaya dengan sebab dan akibat.
Dan rasa bersalah karena saya merasa tidak enak.
Baik, kita mulai mengarah ke tanggapan murid-murid saya. Ada yang lain?
Saya tidak berbohong karena saya tidak ingin orang berbohong kepada saya.
Benar, itu lebih dekat ke ajaran Dharma yang sebenarnya: bahwa akibat dari berbohong kepada orang lain adalah orang lain berbohong kepada kita. Akibat menipu orang lain, orang lain akan menipu kita. Akibat selalu menyela bicara orang dan mengutarakan hal-hal remeh, orang lain tidak menganggap kita serius.
Baik, kalau kita tulus tidak menginginkan ganjarannya, kita tidak ingin menyebabkan masalah dan seterusnya – baik. Itu pas sekali dengan ajaran Dharma. Tapi tanggapan yang saya dengar dari murid-murid saya, dan yang melintas di benak saya juga, adalah “Rasanya itu bukan tindakan yang benar”. Menipu, berbohong, menjadi orang yang menyebalkan itu rasanya tidak benar. Jawaban yang sangat sederhana, tapi sangat mendalam. Anda merasa tidak enak. Setuju dengan itu?
Nah, sekarang kita sertakan kerangka pikir konseptual mengenai lima puluh satu sikap batin, dan kita lihat yang mana dia. Bagaimana kita menggambarkan gejala “rasanya itu bukan tindakan yang benar”? Dan ada satu anasir batin yang disebut “rasa martabat diri yang berakhlak (ngo-tsha shes-pa)”. Kita peduli dengan keadaan kita dan bahwa perbuatan kita memengaruhi kita. Jadi, itu rasa martabat diri, harga diri. “Harga diri saya cukup kuat untuk tidak merendahkan diri dengan berbuat seperti itu. Saya bermartabat. Tidak baik rasanya berbuat serendah ini. Saya hormat kepada diri saya sendiri; saya tidak ingin menjadi orang yang seperti itu.”
Kita temukan bahwa Vasubandhu dalam Abhidharmakosha (Lumbung Pokok-Pokok Khusus Pengetahuan) berkata bahwa inilah anasir batin yang menyertai semua perilaku membangun. Kita bertindak merusak ketika anasir batin ini tidak ada; ketika yang terjadi sebaliknya, kita tidak memiliki rasa martabat diri. Kita tidak peduli bahwa perilaku kita mencerminkan diri kita. Jadi bukan seperti apa orang lain memandang kita, tapi seperti apa kita memandang diri kita sendiri. Itulah yang akan memengaruhi perilaku kita. Itu berarti rasa “aku” lazim yang sangat sehat, bahwa kita menghormati diri sendiri. Dan Anda bisa melihat bahwa ada rangkaian perkembangan sikap yang makin positif terhadap diri sendiri di sini. Inilah yang saya maksud dengan istilah Barat “rasa diri yang sehat”. Coba renungkan.
Baik, anasir batin kedua yang menyertai semua perilaku membangun mungkin jauh lebih relevan dengan lingkung budaya Asia. Kita harus menelaah seberapa relevan ini bagi kita. Kita peduli bahwa tindakan kita akan berdampak pada orang lain (khrel-yod). Orang Asia biasanya tidak menanggap diri mereka sebagai insan perorangan, tetapi sebagai bagian dari sebuah keluarga, dan karena itu “Caraku bertindak berpengaruh pada kehormatan keluargaku, keluarga besarku. Karena itu aku tidak ingin mempermalukan atau merusak nama baik dari keluargaku ini.” Keluarga di sana bisa jadi desa Anda, atau bisa juga negara Anda – apa kata dunia nanti tentang orang Latvia, orang Jerman, atau Amerika, atau umat Buddha. Jadi perilaku saya berdampak pada citra orang lain. Kalau kita peduli dengan hal itu, kita juga akan menahan diri dari perilaku merusak. Jadi, menurut Vasubandhu ini pun termasuk dalam tataran cita menahan diri dari tindakan merusak, sebagaimana “perilaku membangun” diartikan.
Seperti saya katakan, untuk masyarakat Barat, dengan penekanan yang begitu kuat pada diri sebagai orang-per-orang, saya mencoba mengira-ngira seberapa ada anasir batin ini dalam perilaku membangun kita. Saya tidak tahu. Orang harus menelaah dirinya sendiri, apakah ada rasa “aku” yang sehat yang lebih luas yang, dalam lingkung Asia, termasuk keluarga besar kita, yang berkaitan dengan pembahasan ini? Apakah ada satuan yang lebih luas yang saya rasa merupakan bagian dari jati diri saya? Itu saya rasa merupakan perkara pribadi, tapi menarik untuk merenungkan seperti apa ini berkaitan dengan diri saya.
Bisa jadi, misalnya, kalau Anda perempuan, seperti apa ini mencerminkan kaum hawa pada umumnya? Ada rasa “Kalau seorang perempuan bertindak seperti ini atau itu, orang akan berpendapat buruk tentang perempuan. Jadi saya harus bertindak sedemikian rupa supaya masyarakat menghormati perempuan, supaya perempuan diperlakukan setara.” Bisa jadi seperti itu. Kita mungkin bahkan belum mempertimbangkan betapa berkaitannya ini dengan sila kita.
Saya rasa lebih mungkin bagi orang yang lebih terlibat dalam agama Buddha untuk berpikir seperti apa anggapan orang terhadap cara umat Buddha bertindak.
Baik, apa anggapan orang terhadap cara umat Buddha bertindak? Seperti apa anggapan orang terhadap negara kecil seperti Latvia ini? Dunia berpikir, “Ah negara kecil tak berarti, memangnya apa bedanya?” Jadi, Anda terdorong oleh pertimbangan bahwa “Kalau aku berhasil, kalau aku berbuat hal yang benar dan patut dipuji, aku mencerminkan citra negaraku.” Seperti saya katakan, mungkin berbeda-beda untuk tiap orang.
Tapi apa pun alasannya, yang kita kembangkan dari hal ini adalah rasa tanggung jawab atas tindakan kita. Ini membangun rasa “aku” yang sehat – dari cara kita bertindak, cara kita bicara, cara kita berpikir – rasa tanggung jawab. “Aku tidak ingin tidak bahagia; aku ingin bahagia. Dan bukan sekarang saja – bukan kepuasan yang langsung didapatkan – tapi untuk hari depan. Aku bersedia menunda kepuasan yang langsung didapatkan guna memastikan kebahagiaan ke depannya” – umpama menabung untuk hari tua, atau hanya membeli barang yang sanggup kita beli, bukan belanja apa saja dengan fasilitas kredit, sehingga Anda tidak harus khawatir tidak mampu melunasinya dan terpaksa kehilangan segalanya. Itu contoh modernnya.
Jadi, ia berupa rasa tanggung jawab atas dasar “aku” yang sehat [yang menyebabkan saya menahan diri dari tindakan merusak.] Rasa tanggung jawab ini [timbul karena kita tahu] bahwa aku akan mengalami – maksud saya ini pertimbangan pertamanya – bahwa aku akan mengalami ganjaran dari perilakuku. Dan kita mengerti bahwa aku merasa tidak tenang kalau menipu, kalau berbohong, kalau menimbulkan masalah bagi orang lain. Bukan untuk sekarang saja tapi juga untuk ke depannya; aku merasa tidak tenang.
Contoh bagusnya: khawatir, khawatir yang gandrung. Anda senang kalau khawatir? Tidak, tentu tidak. Dan ketakbahagiaan yang ditimbulkan bisa panjang, bisa berujung pada ketertekanan. Kita selalu khawatir, secara gandrung, sehingga ia berulang dan seterusnya. Kita perlu memahami kaitan seperti ini, bahwa perilaku yang merusak diri sendiri ini menyebabkan ketakbahagiaan bagiku. Agar kita bertanggung jawab. “Aku ingin menghindarinya; aku ingin menghentikannya.” Mungkin tidak akan mudah; perilaku gandrung sangat sulit dihentikan. Dan ia membutuhkan kendali diri.
Mengendalikan Diri
Inilah siasat kita dalam lingkup awal lam-rim: siasat mengendalikan diri. Bila aku merasa ingin bertindak merusak, aku paham bahwa itu akan merusak diriku sendiri dan akan memunculkan lebih banyak masalah, dan aku akan mengendalikan diri untuk tidak melakukan hal yang kurasa ingin kulakukan. Kalau Anda pernah mencoba diet, Anda pasti tahu apa maksud saya. Anda diet: “Aku ingin menurunkan berat badan” atau apa pun alasannya: untuk kesehatan, penampilan, apa saja. Tapi hanya karena memutuskan untuk diet tidak berarti bahwa aku akan berhenti merasa ingin makan. Aku akan merasa ingin makan. Itulah pematangan dari kebiasaan karma Anda sebelumnya: aku berjalan melewati toko roti, aku melihat kue, dan aku merasa ingin sekali mencicipi sepotong. Itu akan muncul dengan sendirinya. Itulah pematangan karma. Kita tidak akan mampu menyingkirkannya di tingkat ini. Jadi, jangan merasa kecil hati. Pokok yang kita tekankan adalah pengendalian diri manakala kita merasa ingin masuk ke toko dan membeli kuenya. Jangan lakukan. Jangan dengan gandrung Anda masuk dan membelinya atau membuka kulkas dan mengambilnya.
Tidak mudah, bukan? Tapi pada apa pengendalian diri ini bergantung? Bukan hanya pada kesadaran pembeda antara apa yang bermanfaat dan apa yang merugikan. Seperti, “Kalau aku bertindak merusak, itu akan berbuntut masalah.” Saya tahu Anda bisa saja bilang, “Tahu sih, tapi aku tak bisa mengendalikan diri.” Begitu, bukan? Seperti, “Aku tahu harusnya aku tidak merokok dan aku mencoba berhenti tapi tetap saja aku merasa ingin merokok.” Rasa itu, keinginan itu, akan muncul. Nah, selain tahu apa yang bermanfaat dan apa yang merugikan, Anda membutuhkan rasa “aku” yang sehat – bahwa aku menghargai diri sendiri; aku punya rasa positif terhadap diriku sehingga, atas dasar itu, aku bisa menjalankan kehendak kuat dari diri yang biasa, “aku”.
Para perokok di ruangan ini tampak gelisah dan wajahnya memerah. Tapi bagaimana pun, saya rasa memang kita baru bisa mengendalikan diri dan berkehendak kuat secara positif kalau kita bersikap sangat positif terhadap diri sendiri – rasa martabat diri ini. Kalau tidak, “Ya, peduli amat.” Kalau peduli amat, Anda tidak akan mengendalikan diri. Anda tidak punya kehendak kuat. Menarik sekali untuk ditelaah, apa yang akan memperkuat kendali diri dan kehendak kita?
Kita harus agak hati-hati di sini karena meskipun kita tengah membangun rasa “aku” lazim yang sehat untuk mampu mengendalikan diri dan seterusnya, ini juga bisa justru memperkuat rasa diri yang dibesar-besarkan. Jadi, sembari kita membangun “aku” yang lazim dan kita sedang mengupayakannya, kita bisa mulai mengawasi rasa “aku” yang dibesar-besarkan ini. Rasa “aku” yang dibesar-besarkan ini adalah diri yang “harusnya mampu mengendalikan diri”; diri yang harusnya dan mestinya bisa mengendalikan diri. Dan kalau tidak bisa, kita merasa bersalah, kecil hati. Itulah rasa “aku” yang dibesar-besarkan. Seperti orang yang menjadi polisi, mereka mencoba mengawasi dan menertibkan diri sendiri sehingga menjadi sosok yang kaku dan seterusnya. Itu tidak sehat. Ketika mereka 'kelepasan' dan tidak mampu mengendalikan diri, mereka merasa sangat bersalah dan “aku harusnya bisa mengendalikan diri” dan mereka menyiksa diri secara batin.
Tentu, kalau kita melihat ajaran dan contoh yang ada, bisa kita bayangkan betapa mudahnya kita menjurus ke titik ekstrem seperti itu. Saya teringat contoh dari Ben Gungyal (’Ban Gung-rgyal, ’Phen rKun-rgal) – itu nama Tibet – yang punya sekantong batu berwarna putih dan hitam, dan di penghujung setiap hari ia akan menilai dan mengingat semua pikiran negatif dan perbuatan merusak yang dilakukannya. Ia menandai masing-masing pikiran dan perbuatan negatif itu dengan batu hitam; dan untuk yang positif, batu putih. Kalau jumlah batu hitam lebih banyak, ia memarahi dirinya sendiri. Kalau batu putih lebih banyak, ia menyelamati diri dan bertekad untuk lebih baik ke depannya. Tampak cukup 'hitam-putih', ya?
Penilaian diri di ujung hari seperti ini tentu akan sangat berguna kalau kita tidak sadar dengan apa yang terjadi dengan hidup kita. Seberapa sering Anda bertindak membangun atau merusak? Memang berguna; tapi berhati-hatilah agar Anda tidak terjebak pada “aku” yang padu, si polisi dengan “aku” yang diadilinya – itu pandangan 'hitam-putih' namanya. Salah seorang mahaguru pernah berkata bahwa kalau kita menilai hidup kita dengan jujur untuk melihat berapa kali dalam hidupku aku marah, menjengkelkan, dan tidak baik, dan berapa kali dalam hidupku aku berbaik hati dan berbuat hal yang bermanfaat bagi orang lain – kita bikin daftarnya – maka akan sangat jelas tempat kita di kehidupan kita yang selanjutnya.
Jadi ini cara dasar dalam menilai diri untuk mendorong kita berbuat sesuatu. Pengembangan kendali diri dan kehendak kuat atas dasar kesadaran pembeda – penilaian yang benar atas cara kita bertindak – perlu dilakukan dengan rasa “aku” yang sehat serta sikap awas terhadap “aku” yang dibesar-besarkan. Jadi, coba tolong renungkan itu.
Baik, tadi saya hanya ingin menggarisbawahi apa yang perlu kita awasi; tapi, sebetulnya dalam rangkaian awal pengembangan diri ini, rasa diri yang sehat melalui lam-rim, pengendalian diri dan kehendak kuat pasti nantinya akan berdasar pada rasa “aku” yang dibesar-besarkan, bahwa “Aku harus pegang kendali”. Baru pada lingkup madyalah kita akan menghadapi persoalan itu (persoalan rasa “aku” yang dibesar-besarkan); jadi, di awal-awal, cukup lumrah kalau seperti inilah cara kita menjajakinya. Begitu? Seperti itulah Anda memulainya. Lalu, kita akan menyempurnakan cara kita menjalankan sila.
Pertanyaan
Menelaah Kecenderungan Karma
Cerita toko roti tadi – begitu kita melewati toko roti dan mencium bau sedapnya, kita melihat kuenya. Habis cerita; kita tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Jadi, seperti apa cara kita menjajaki ini? Mungkin dengan memilih jalur lain, mungkin melakukan hal lain... Apa kira-kira saran dari Anda?
Togme Zangpo dalam 37 Laku Bodhisattwa berbicara tentang saat bodhisattwa meninggalkan tanah airnya. Cerita soal hasrat merindu yang menyeret kita ke satu arah dan amarah menyebabkan kita berbuat begitu merusak – saya lupa kutipan tepatnya – tapi pokok dari cerita tersebut adalah ketika keadaannya begitu kuat pengaruhnya dalam memunculkan unsur-sebab bagi perasaan gelisah, kalau kita tidak sanggup menanggungnya, hindari. Memang itu tidak membuat masalahnya selesai, tapi setidaknya kita mendapatkan jeda sementara untuk bisa mengupayakan penyelesaiannya.
Ketika kita menghadapi keadaan seperti ini dan Anda jeda untuk menghindari hal yang akan memicu perilaku gandrung dan perasaan gelisah, Anda harus mulai menelaah. Tadi Anda bertanya: seperti apa cara Anda mengupayakannya, jadi saya akan coba menjawab itu. Jadi, kita jeda dan mencoba menelaah hal yang terjadi. Dan seperti telah saya sebutkan kemarin, telaah atas sebab dan keadaan menjadi sangat berguna di sini. Ingat, yang kita bahas ini tentang ketika Anda menghadapi keadaan tertentu, Anda melihat bahwa itu timbul bukan hanya dari sebab-sebab karma, tapi juga dari begitu banyak keadaan lainnya.
Kita mesti melihat bahwa terdapat banyak keadaan yang akan menyebabkan kecenderungan karma untuk ingin makan berlebihan, membeli kue itu, dan sejenisnya. Akan terdapat banyak keadaan yang menyebabkan kecenderungan itu matang ke dalam rasa ingin makan kue. Jadi salah satu dari keadaan tersebut tentunya merupakan rangsangan dari luar: kuenya ada di situ, dan kita ditawari pula – yang membuat keadaannya makin sulit. Dan kalau kita telaah, kita melihat bahwa terdapat begitu banyak sebab dan keadaan yang menjadi alasan rasa ingin kita untuk makan: ada tekanan dari orang sekitar – katakanlah kalau kue dihidangkan ke semua orang di sana, maka tekanannya adalah 'harus makan sepotong'; bisa juga karena kita sedang diet – tapi kita lapar; bisa jadi keadaan ekonomi – sekarang ini kue lebih mudah dibeli ketimbang waktu zaman Soviet dulu. Terdapat banyak sekali keadaan yang berlangsung di sini selain kecenderungan karma untuk makan berlebihan dan kecenderungan kuat untuk mengejar kepuasan diri.
Telaah seperti ini membantu kita mengatasi salah satu rintangan yang ada, yaitu yang tadi saya sebutkan, rasa “aku” yang dibesar-besarkan – bahwa “Aku harusnya mampu mengendalikan diri, tapi aku gagal.” “Aku merasa bersalah dan rasanya ingin lari saja.” Rasa yang seperti itu muncul dan kemudian Anda undur sejenak; tapi selama masa jeda itu Anda tidak bisa lepas dari rasa bersalah. Jadi Anda harus mengupayakannya. Jeda itu bukan hukuman; kita bisa melihatnya sebagai hukuman – tapi itu cara pandang yang sangat tidak sehat. “Aku tidak sanggup ada di sana dan menghadapi kue-kuean itu. Ah, aku pergi saja.” Sikap seperti itu sarat akan rasa rendah diri.
Jadi kita harus berupaya lebih keras untuk membongkar rasa “aku” yang dibesar-besarkan ini; bahwa ini semua karena kita tidak cukup baik, karena aku tidak bisa mengendalikan diri. Kita coba upayakan itu dan melihat bahwa mampu mengendalikan diri dan merasa ingin makan dan seterusnya – semua ini berdasar pada begitu banyak sebab dan keadaan. Dan karena berdasar pada begitu banyak sebab dan keadaan, bukan berarti Anda sepenuhnya lepas tangan, tapi setidaknya Anda mendapatkan sudut pandang yang lebih luas.
Saya rasa contoh yang lebih jelasnya, yang lebih mudah dipahami, itu begini: misalkan Anda sedang menjalani hubungan yang tak sehat dengan seseorang; Anda terus bertengkar dengan pacar dan Anda berdua sama-sama keras. Dan Anda sudah tidak sanggup lagi. Siasat terbaiknya adalah berpisah, tinggalkan orang tersebut. Itu siasat yang sama dengan kue-kuean tadi. Nah, jadi Anda memutus hubungan dari sindrom tadi dengan beranjak pergi; tapi kemudian kalau Anda pergi dengan rasa “Ini semua salahku” atau “Ini semua salahmu” dan Anda terpaku pada hal itu, Anda tidak bisa cepat pulih dan mungkin akan terjerat pola yang sama di hubungan berikutnya.
Kuenya tidak ada, jadi Anda tidak gandrung makan kue; Anda gandrung makan yang lain. Masalahnya belum Anda atasi. Jadi, ketika kita beranjak keluar dari hubungan yang tidak sehati ini, lagi-lagi Anda harus menelaah bahwa “Aku bertindak seperti ini karena aneka ragam sebab dan keadaan. Dia bertindak seperti itu juga karena beraneka macam sebab dan keadaan dari pihaknya dan semua ini terjadi di sebuah lingkungan, di sebuah masyarakat, pada masa dan keadaan ekonomi yang juga timbul dari sejuta sebab dan keadaan.” Anda membongkarnya; bukan salah orang tertentu, kendati kita tetap bertanggung jawab atas cara kita berbuat. Jadi, rasa “aku” lazim yang sehat; bukan yang dibesar-besarkan, “Itu semua salahku” atau “Itu semua salahmu”.
Mungkin dengan meninggalkan hubungan yang tidak sehati ini sebetulnya kita tidak menyelesaikan masalahnya sama sekali karena masalah dengan satu orang ini belum selesai lalu kita mundur dari hubungan itu dan mungkin kita menjalin hubungan lagi di kesempatan berikutnya, yang polanya akan serupa, dan dengan begitu, berarti sama saja.
Itu mengapa saya tadi katakan bahwa ketika kita jeda, ketika kita mundur, kita gunakan waktu tersebut untuk menelaah dan mencoba memahami kenyataan dari hal yang sebenarnya terjadi; dan yang terjadi itu muncul secara bergantung pada sejumlah besar sebab dan keadaan, dan bukan hanya karena “Kamu jahat” atau “Aku tidak baik atau” atau “Pasti aku yang benar” – sikap membesar-besarkan diri sendiri dan orang lain. Jadi jangan kabur lalu menjalin hubungan baru. Gunakan ruang itu untuk menelaah, untuk mencoba memahami. Yang kita upayakan adalah diri sendiri.
Nah, kita bisa mengupayakan diri lalu memutuskan ingin kembali ke dalam hubungan itu atau tidak. Ada hubungan yang bisa ditinggal saja dan memang tidak ada ikatan; tapi ada juga hubungan lain seperti antara anak dan orang tua atau antara Anda dan anak, yang tidak bisa ditinggal begitu saja selamanya. Bisa sih memang, tapi tentunya sangat tidak mengenakkan rasanya. Jadi, tergantung. Tapi kalau Anda memang perlu kembali dan menjalin kembali hubungan dengan orang tersebut dalam keadaan Anda telah mengupayakan diri sendiri, bukan berarti dia sudah mengupayakan dirinya pula. Jadi kita memang akan berhadapan dengan itu juga.
Atau, bisa juga saya contohkan lewat pengalaman teman saya yang bekerja di sebuah kantor, dan kantor itu sangat kacau dan tekanannya mengerikan dan dia tidak sanggup. Dia kesal sekali – kena serangan panik dan sebagainya. Jadi dia memutuskan untuk keluar dari perusahaan itu. Dia mundur sejenak dan mengupayakan dirinya; tapi kalau pun dia kembali dia tidak harus kembali ke pekerjaan yang sama. Tidak ada kewajiban untuk kembali ke sana. Tapi dia juga tidak semestinya mengharap kalau dia melamar ke kantor lain, pekerjaan lain, maka keadaan di situ akan nyaman luar biasa. Tidak, akan ada tekanan yang lain. Jadi kita perlu realistis, seperti kata Shantidewa, saat menghadapi orang lain, setiap orang itu kekanak-kanakan, dan Anda mesti mampu menghadapinya dengan penuh kesabaran.
Oleh karena itu kita berupaya mengembangkan semua sifat yang perlu ada untuk bisa bersabar dan gigih, pengertian terhadap orang lain, dll. karena dunia ini sarat akan orang-orang yang kekanak-kanakan. Inilah sebab untuk mengembangkan welas asih. Tapi untuk mengembangkan welas asih orang harus memiliki rasa “aku” sehat yang amat sangat kuat: bahwa “aku percaya diri dan kuat untuk mampu menolong sesama menghadapi duka mereka.” Tapi itu semua harus bertumpu pada rasa “aku” yang sehat, bukan yang dibesar-besarkan seperti sikap “aku akan menyelamatkan dunia”.
Munculnya Kecenderungan dan Anasir Batin
Dari mana datangnya pikiran? Karena untuk contoh kue tadi, bisa jadi terbersit dalam benak kita “aku bisa membeli kue ini untuk memuaskan hasratku sendiri”. Pikiran yang lain bisa jadi “aku bisa membeli kue itu untuk menyenangkan hati orang lain”. Dan pikiran yang ketiga, tak berkaitan, “Langitnya biru.” Jadi dari mana datangnya pikiran dan jenis proses berpikir seperti apa yang akan menyokongnya? Bagaimana pikiran itu ditentukan?
Oh, sekarang kita masuk ke dalam telaah yang lebih rumit mengenai sebab-akibat. Dalam agama Buddha, ada istilah yang suka saya terjemahkan menjadi “kecenderungan”. Secara harfiah, makna istilah tersebut “bibit” tapi jangan kita berpikir tentang bibit betulan yang ditanamkan ke dalam cita kita; maksud saya, itu perumpamaan sederhana agar para petani bisa memahaminya. Jadi, sepanjang waktu yang tiada bermula, kita telah membina begitu banyak kecenderungan yang berbeda-beda. Ada kecenderungan karma dari perilaku kita, dan kecenderungan ini berulang, serasa ingin mengulang perilaku tersebut. Kita benar-benar ingin mengulanginya. Kecenderungan karma juga matang ke dalam rasa bahagia dan tidak bahagia; dan matang ke dalam pengalaman menerima tindakan yang sama seperti yang kita perbuat terhadap orang lain.
Kalau kita hendak membeli kuenya, pertama-tama pikiran yang muncul adalah pikiran ingin membeli kue itu, kemudian keinginan untuk benar-benar masuk ke dalam toko dan membelinya. Jadi, maksud saya, ada rangkaian, dan yang muncul pertama adalah pikiran – denyut batin dari kegandrungan akan pikiran untuk berpikir masuk ke dalam toko dan membelinya. Tapi semua anasir batin kita juga berjalan pada tata kecenderungan yang sama. Anasir batin kebaikan hati atau anasir batin keserakahan – hasrat merindu. Semua ini tidak akan matang terus-menerus tanpa henti; hanya sesekali saja.
Jadi, tiap-tiap dari hal ini – kecenderungan untuk munculnya anasir batin kebaikan hati; kecenderungan untuk munculnya anasir batin keserakahan; anasir batin untuk munculnya lamunan tentang hal-hal tak berarti dari percakapan tak berarti dan seterusnya – tiap-tiap ini semua akan berbeda-beda kekuatannya, tergantung pada seberapa sering kita telah melakukannya dan dengan intensitas seperti apa, dll. Ada tiga belas variabel yang memengaruhi kekuatan semua ini.
Ada banyak anasir dan keadaan yang berperan atas matangnya kecenderungan tertentu di waktu tertentu. Pasti ada keadaan yang memungkinkannya terjadi. Keadaan tersebut bisa jadi hal yang sepenuhnya di luar diri kita, seperti cuaca: hujan di luar jadi Anda ingin berteduh dan bangunan terdekat adalah toko roti. Jadi, Anda masuk ke toko roti. Itu satu keadaannya. Lalu Anda melihat kue itu dan ingin sekali memilikinya; kalau tidak begitu, Anda pasti akan berjalan lalu saja.
Saya geli karena teringat pengalaman diri sendiri. Saya punya hubungan karma yang sangat kuat dengan Tibet, dan saya suka sekali makanan Tibet – khususnya momo, pangsit daging. Lalu saya pindah ke Berlin dan saya pindah ke apartemen seorang teman yang belum pernah saya lihat sebelum pindah ke sana. Saya dapat kesempatan untuk tinggal di apartemen itu bersama seorang teman untuk sementara, dan saya memutuskan untuk pindah ke sana. Tapi saya tidak pernah melihat apartemen itu sebelumnya. Dan Anda tahu seperti apa lingkungan sekitar apartemen itu? Di sana ada empat rumah makan yang menyajikan hidangan Tibet, momo, yang jaraknya cuma selemparan batu dari apartemen. Kok bisa? Bukan cuma satu, tapi empat! Luar biasa. Kalau itu bukan contoh matangnya karma sehingga pengalaman untuk bisa terus makan makanan Tibet... Maksud saya di situ bahkan ada rumah makan yang menyajikan teh Tibet. Luar biasa.
Maksud saya di sini, apakah itu masuk ke dalam toko, atau pikiran tentang kebaikan hati yang muncul dan saya ingin membeli kue untuk orang lain, atau sekadar lamunan sambil lalu saja yang muncul – segalanya tergantung pada kekuatan tiap-tiap kecenderungan untuk jenis anasir batin atau proses berpikir itu, selain segala unsur-sebab yang akan berperan di sana secara eksternal. Segala hal yang terjadi muncul secara bergantung dari gabungan semua hal ini, dan mana yang lebih kuat serta mana yang lebih lemah.
Firasat
Kadang pilihan ditentukan sesuai firasat; jadi, apa arti firasat dalam pandangan agama Buddha?
Arti firasat itu pada dasarnya seperti ingin melakukan sesuatu, bukan begitu? Dia muncul saja, dan dengan firasat biasanya ada rasa pasti dalam kadar tertentu tergantung pada sejauh apa kita percaya pada firasat kita. Ada berbagai macam hal yang dapat kita jajaki dengan firasat; tidak mudah ditelaah memang. Bisa saja kita punya firasat tentang cara memperbaiki sesuatu. Ada yang salah dengan komputer kita, jadi saya berfirasat tombol mana yang perlu ditekan. Tapi itu sebetulnya, pada dasarnya, berasal dari pengalaman sebelumnya dengan jenis mesin atau mekanisme yang sama, bukan begitu? Kita mungkin memang tidak secara khusus tahu cara mengatasi masalah komputer itu, tapi atas dasar firasat Anda bisa melakukannya karena pengetahuan dan pengalaman dengan hal-hal serupa lainnya.
Ada tindakan-tindakan tertentu yang Anda perbuat secara disengaja sebelumnya – ini ada dalam ajaran mengenai karma – dan ada pula yang tidak secara disengaja. “Tidak disengaja” berarti “Tidak saya pikirkan dahulu: bagaimana caranya? Saya beginikan, atau begitukan?” Anda melakukannya saja, dan Anda katakan firasat Anda bilang begitulah caranya. Tidak disengaja atau dipikirkan dan dipecahkan secara sadar terlebih dahulu. Tapi tentunya itu berdasarkan pada pengalaman sebelumnya.
Tapi ketika kita berfirasat bahwa hujan akan turun – firasat mengenai masa depan, kejadian di masa depan – itu sedikit lebih sulit untuk ditelaah. “Aku berfirasat bahwa kamu akan meneleponku” – kira-kira seperti itu. Saya tidak tahu Anda pernah mengalaminya atau belum. Saya pernah; waktu itu saya berpikir tentang seseorang dan tiba-tiba dia menelepon saya. Tapi tentunya kita tidak membesar-besarkannya, menganggapnya seperti di Star Wars – “Luke, gunakan the Force; teleponlah aku!” Tentu bukan begitu – kita tidak menggunakan the Force, dan membuat mereka menelepon kita.
Tapi, tidak tahu juga, ya. Saya tidak tahu dari mana datangnya karena kadang benar, kadang tidak. Apakah itu berdasar pada semacam penarikan kesimpulan? Ataukah sejenis telepati? Saya tidak tahu; tapi tentu jangan berpikir bahwa kitalah yang menyebabkan mereka menelepon – kalau di tingkat kita yang sekarang ini, tidak. Anda bisa mengerahkan pengaruh – kalau Anda punya daya pemusatan dan kekuatan yang sudah amat sangat berkembang, Anda bisa punya kemampuan untuk memengaruhi orang; tapi tentu kita belum sampai ke tingkat itu.
Kadang ketika Anda berkomunikasi secara sangat intensif dengan seseorang, bisa saja Anda berdua saling menelepon pada saat yang sama, tanpa janjian. Tampaknya orang-orang tertentu begitu selaras dalam hal mode operasinya, sehingga itu bisa terjadi hampir-hampir secara alami.
Ya, itu juga. Begini, Anda bisa melatih dua ekor monyet; Anda bisa membuat mereka melakukan hal yang sama pada saat bersamaan. Jadi itu mirip seperti semacam latihan, bukan? Kalau Anda punya kebiasaan sering berkomunikasi dan bercakap-cakap dan seterusnya, Anda berpeluang untuk berkomunikasi secara serentak. Secara statistika, itu akan terjadi. Kalau kita anggap itu seperti “Getar hidup kita selaras” dan sejenisnya, saya rasa itu agak berlebihan. Hal-hal seperti itu memang terjadi. Kita begitu akrab sehingga boleh jadi kita akan merasa ingin berkomunikasi, secara bersamaan. Itu tidak ganjil.
Saya suka sekali dengan hal yang selalu ditekankan salah seorang guru saya, “tak ada yang istimewa”. Kita menelepon pada saat yang sama – tak ada yang istimewa. Jangan dibesar-besarkan menjadi, “Wah, ajaib!” Kita memang sehati sejiwa” – dan sejenisnya.
Tapi itu tampak terjadi secara begitu alami...
Ya, tampak begitu alami, dan tidak ada yang istimewa. Jadi ya ikuti saja alurnya. Masalah muncul jika kita mengharapkannya; dan kalau Anda mengharapkannya selalu terjadi, padahal tidak, ada masalah di sana. Jadi, “tak ada yang istimewa” sangat membantu kita di sini.