Dua Tingkat Sila Lainnya

Tinjauan

Di tingkat awal pengembangan kerohanian, kita melatih sila untuk menahan diri dari perilaku merusak. Tujuan kita menghindari memburuknya keadaan bukan saja di masahidup yang sekarang ini, tetapi juga di masahidup selanjutnya. Kita berjuang demi kelahiran kembali yang lebih baik dan jenis kebahagiaan biasa yang dapat kita alami di kelahiran kembali tersebut. Kita tergerak untuk mencapai tujuan itu karena takut mengalami duka dan ketakbahagiaan yang lebih banyak lagi. Namun kita paham bahwa ada cara untuk menghindarinya, yaitu melatih kendali diri dan menghindari tindakan merusak. Ketika kita merasa hendak berbuat, berkata, atau berpikir hal yang sifatnya merusak, yang dilandasi perasaan gelisah seperti ketamakan atau amarah, kita menyadari kemunculan rasa tersebut dan tidak melakukannya. Kendati kita harus sering-sering menenangkan diri untuk menyadari ruang di antara rasa ingin melakukan sesuatu dan tindakan gandrung yang sebenarnya, dan pastinya hal tersebut sulit di awal-awal, kita bisa melatih diri kita untuk mampu mengetahuinya.

Bayangkan Anda sedang duduk dan mencoba bekerja, dan Anda merasa bosan. Kemudian timbul rasa ingin memeriksa lagi laman Facebook atau berita yang sedang hangat di ponsel Anda, atau mengirim pesan singkat ke seorang teman. Di tingkat perkembangan kita yang ini, kita sadar ketika rasa tersebut muncul dan dengan tegas memutuskan, "Kalau kulakukan, pekerjaanku tidak akan selesai dan itu bakal jadi masalah. Jadi tidak peduli biarpun rasa ingin itu muncul, aku tidak akan melakukannya."

Video: Dr Chönyi Taylor — ”Mengurai Pola-Pola Kecanduan”
Untuk menyalakan subtitle, klik ikon Subtitel di sudut kanan bawah layar video. Untuk mengubah bahasa subtitel, klik ikon “Setelan”, lalu klik “Subtitel” dan pilih bahasa yang Anda inginkan.

Tingkat Kedua: Berupaya Mengatasi Kelahiran Kembali Sekaligus

Dorongan lam-rim tingkat menengah berupa upaya mengatasi kelahiran kembali yang berulang tanpa terkendali sekaligus. Ingat, inilah arti "samsara", kelahiran kembali yang berulang tanpa terkendali, yang berisi masalah yang berulang tanpa terkendali juga, dan Anda tak bisa menghentikannya. Bukan hanya masalah ketakbahagiaan, tapi juga dua segi lain dari duka sejati yang ditunjukkan Buddha: duka perubahan dan duka serba-merembes.

Kebahagiaan Biasa

Duka perubahan mengacu pada kebahagiaan kita yang biasa, yang sayangnya sarat dengan masalah. Pertama-tama, kebahagiaan tersebut tidak langgeng – itu mengapa ia disebut "duka perubahan" – dan tidak kunjung memuaskan, karena kita selalu ingin lebih. Kalau kebahagiaan itu terlalu banyak dan terlalu lama, kita jadi bosan dan ia berubah menjadi duka. Misalnya, berjemur di bawah matahari: rasanya nyaman kalau sebentar, tapi Anda pasti tidak mau berada di bahwa terik matahari selamanya. Setelah beberapa saat, rasanya jadi berlebihan dan Anda lalu mencari tempat berteduh. Atau misalkan orang yang Anda cintai membelai-belai tangan Anda. Ya, kalau orang itu melakukannya tanpa henti selama tiga jam, tangan Anda pasti jadi sakit! Jadi, begitulah, kebahagiaan yang biasa itu mengandung masalah.

Kebahagiaan biasa merupakan akibat dari perbuatan yang kita lakukan secara membangun dan positif, tetapi masih bercampur dengan kebingungan, sebagaimana dicontohkan dengan orang perfeksionis yang gandrung membersihkan rumahnya dan memastikan semua hal tertata rapi. Ketika mereka selesai membersihkan, mereka bahagia sebentar, tapi kemudian rasa tak puas pun timbul dan mereka berpikir, "Masih kurang bersih. Mungkin ada yang belum tersentuh. Harus kubersihkan lagi." Kebahagiaan apa pun yang dialami orang seperti itu tidak berlangsung lama. Mereka selalu merasa rumah mereka seharusnya bisa lebih bersih lagi.

Masalah Serba-Merembes

Jenis duka ketiga disebut "masalah serba-merembes". Mengacu pada kelahiran kembali yang berulang tanpa terkendali yang kita alami, faktanya adalah bahwa di tiap kelahiran kembali kita memiliki jenis raga dan cita yang dengan sendirinya menghasilkan masalah dan kesulitan. Coba pikir. Dengan jenis raga yang kita punya sekarang ini, mustahil Anda bisa berjalan tanpa menginjak sesuatu dan membunuhnya. Mustahil Anda bisa makan apa pun tanpa ada serangga atau makhluk lain apa pun yang mati dalam proses produksi makanan tersebut, sekalipun Anda vegetarian. Raga kita bisa sakit dan raga serta cita kita bisa lelah. Kita harus istirahat; kita harus makan; kita harus cari makan. Tidak mudah, bukan?

Kemudian di kehidupan kita yang berikutnya, kalau kita cukup beruntung, kita terlahir kembali sebagai manusia dan kembali kita menjadi bayi. Bayangkan! Anda tidak bisa mengutarakan apa pun kecuali dengan tangisan; Anda tak bisa melakukan apa pun sendiri dan harus belajar semua hal lagi dan lagi. Sungguh membosankan! Dan yang mengerikan adalah bahwa kita harus melakukan semua ini lagi dan lagi, berkali-kali sampai tak terhingga. Bayangkan, Anda harus bersekolah lagi! Apa Anda mau bersekolah sejuta kali lagi, dan mengerjakan tugas rumah dan ujian yang tak terhitung jumlahnya?

Jadi, inilah masalah serba-merembes yang kita punya sebagai ganjaran dari kelahiran kembali yang berulang tanpa terkendali. Sekalipun kita terlahir dalam keadaan yang lebih baik, sekalipun dengan kelahiran kembali sebagai manusia yang mulia, kita tetap memiliki masalah serba-merembes ini. Dari hal inilah kita ingin bebas dan, untuk melakukannya, kita harus mengatasi segala bentuk karma yang gandrung, bukan cuma jenis yang negatif saja, tapi juga yang positif.

Kebahagiaan yang Datang dari Kebebasan

Coba pikir lagi tentang kebahagiaan kita yang biasa. Secara teknis, ia disebut "kebahagiaan bernoda" karena bercampur dengan kebingungan, dalam arti ia muncul dari kebingungan, disertai dengan kebingungan dan, kecuali kita ubah sikap kita terhadapnya, memunculkan semakin banyak kebingungan. Yang kita inginkan adalah memperoleh jenis kebahagiaan yang tidak bercampur dengan kebingungan. Jenis kebahagiaan yang seperti ini bersifat langgeng dan memuaskan. Ia merupakan jenis kebahagiaan yang sepenuhnya berbeda dari jenis biasa. Ia merupakan kebahagiaan yang berasal dari bebasnya kita dari semua perasaan gelisah. Tidak ada yang membingungkan darinya.

Kita ambil contoh yang sedikit mirip dengan kebahagiaan semacam itu, tetapi sebetulnya tidak sama: Anda mengenakan sepatu yang sangat ketat seharian. Di akhir hari, Anda melepas sepatu tersebut dan ada perasaan lega. "Ah! Aku bebas dari kungkungan dan rasa sakit di kakiku ini!" Itu merupakan jenis kebahagiaan yang berbeda dari kebahagiaan karena makan hidangan yang kita suka, bukan? Maksudnya di sini hampir seperti rasa lega karena bebas dari pikiran-pikiran neurotik, bebas dari kekhawatiran, dari rasa tak aman, dari semua hal sejenisnya. Bukankah luar biasa rasanya kalau perasaan Anda tidak pernah lagi goyah, merasa tidak aman atau khawatir? Betapa melegakannya!

Ini petunjuk dari maksud kita saat bicara soal kebebasan dari kelahiran kembali yang berulang tanpa terkendali – kebebasan dari semua duka sejati, yang mencakup kelahiran kembali itu sendiri. Untuk melakukannya, kita harus mengatasi kegandrungan semua bentuk karma, bukan hanya jenis yang merusak saja. Kita harus mengatasi daya paksa untuk bertindak secara positif sekalipun. Tidak ada yang salah dengan kebersihan dan mencoba melakukan segala hal dengan baik. Masalah muncul ketika hal tersebut berupa sebuah sindrom gandrung dan neurotik, yang mengusik kedamaian cita kita dan yang tidak terkendali; itulah yang harus kita singkirkan.

Membedakan Perasaan Positif dan Sikap Gelisah

Saat kita bertindak secara positif, ada perasaan positif yang menyertai hal tersebut, seperti:

  • Ketakmelekatan – keadaan tidak bergantung pada apa pun. Ini merupakan kebalikan dari kemelekatan.
  • Tidak berkeinginan membuat celaka
  • Tidak lugu – yang berarti peka dengan dampak perilaku kita terhadap diri sendiri dan orang lain.

Kemudian ada pula anasir-anasir batin lain yang bersifat membangun yang juga menyertai perilaku positif atau membangun:

  • Rasa hormat terhadap sifat-sifat baik dan terhadap orang yang memilikinya
  • Kendali diri untuk tidak berbuat secara negatif
  • Rasa martabat diri, sehingga kita hormat pada diri kita sendiri dan pada rasa kita
  • Peduli pada fakta betapa tindakan kita akan merembet pada citra diri orang lain.

Tidak satu pun dari perasaan positif ini akan memunculkan masalah. Kesemuanya menyertai perilaku positif dan membangun; kita tidak ingin menyingkirkannya. Akan tetapi, pembuat onarnya di sini, yang juga menyertai perilaku gandrung positif kita, adalah sikap gelisah. Dalam bahasa sederhananya: menanggap "aku" yang padu. Contohnya, karena bingung dengan cara kita mengada, kita membayangkan bahwa kita mengada sebagai suatu ihwal yang padat dan padu, sebagai "aku", dengan jati diri sejati yang tetap, misalnya, sebagai orang yang harus bagus terus setiap saat, yang harus sempurna. "Aku harus bagus. Aku harus bisa membantu. Aku harus berguna."

Contoh yang lumrah kita temui adalah orangtua yang anaknya sudah dewasa. Si orangtua masih ingin dibutuhkan dan berguna, jadi mereka menawarkan nasihat dan bantuan, sekalipun saat si anak tidak menginginkannya. Ini bersifat gandrung karena mereka merasa menjadi "aku" yang padu dan berpikir, "Aku hanya berharga dan ada kalau anak-anakku masih membutuhkanku." Mereka bergantung pada pemikiran bahwa itulah jati diri sejati dari "aku" yang padu, sebagai cara untuk mengamankan si "aku". Seolah mereka merasa, kalau aku membantu anak-anakku, maka aku ada.

Perasaan di balik tawaran nasihat dan bantuan mereka itu memang positif. Mereka menawarkannya karena mengasihi anak-anak mereka. Mereka ingin jadi orangtua yang baik dan bisa membantu. Tidak ada yang salah dengan hal itu. Masalahnya adalah sikap mereka atas diri mereka sendiri, atas si "aku" tadi: "Aku hanya berharga sebagai manusia kalau anak-anakku masih membutuhkanku." Inilah yang menyebabkan munculnya segi neurotik dan gandrung dari tindakan menawarkan bantuan, sekali pun sepenuhnya bantuan itu tidak perlu atau tidak pada tempatnya.

Anda bisa merasakannya saat mengalami segi neurotik ini karena, lagi-lagi, "perasaan gelisah" dan "sikap gelisah" itu keduanya mengandung kata yang sama, dengan arti yang sama, yaitu "gelisah". Kedua sikap dan perasaan tersebut membuat kita kehilangan kedamaian cita dan kendali diri. Ketika Anda menjadi orangtua yang sikapnya atas diri sendiri berupa "Hanya kalau aku bisa melakukan sesuatu untuk anak-anakku lah aku baru punya nilai sebagai manusia", apa tanda bahwa Anda telah kehilangan kedamaian cita? Tandanya adalah rasa tidak aman; Anda merasa tidak aman, sehingga Anda merasa Anda selalu harus memaksa masuk ke urusan anak-anak Anda, contohnya, tentang cara mereka membesarkan anak-anak mereka. Anda tidak punya kedamaian cita dan pastinya pula tidak ada kendali diri, terlepas dari perasaan positif berupa kasih dan kepedulian yang memang ada di baliknya. Hal inilah yang perlu kita perbaiki lewat sila.

Maka itu, kita membutuhkan sila untuk mengatasi kegandrungan karma positif dan membangun, yang hanya mendatangkan kebahagiaan yang biasa – kebahagiaan seumur jagung yang segera berubah menjadi hal yang tidak menyenangkan. Ketika, atas dasar rasa tak aman dan keinginan untuk merasa berharga, kita merasa ingin menawarkan nasihat yang tak diinginkan, walau didasari rasa kasih dan kepedulian, kita menyadari bahwa, kendati mungkin kita merasa bahagia untuk sesaat, rasa itu segera berubah menjadi ketakbahagiaan saat putri kita mengutarakan kejengkelannya karena dia tidak senang dengan perkataan kita. Oleh karena itu, kita terapkan sila dan tidak berkata apa-apa. Tapi sulit memang untuk menjaga mulut tetap tertutup!

Tingkat Kedua Sila Sesuai dengan Dorongan Lam-rim Tingkat Menengah

Kendati penggunaan kendali diri (tingkat sila yang pertama) dapat membantu kita menghindari masalah duka perubahan sebagaimana tersebut di atas, masih terdapat masalah serba-merembes dari kelahiran kembali yang berulang tanpa terkendali. Corak lebih sederhana dari hal ini adalah bahwa sindrom menawarkan nasihat yang tidak diinginkan ini berulang lagi dan lagi, dan kita tidak punya kendali atas hal tersebut. Kita tidak bisa menghentikan desakan ingin campur tangan dengan dorongan yang baik, yaitu rasa kasih, tapi yang juga berdasar pada rasa tidak aman.

Untuk betul-betul mengatasi duka perubahan dan semua masalah serba-merembes ini, kita harus menerapkan tingkat sila yang kedua. Ini berarti menerapkan sila untuk membersihkan diri dari sikap gelisah dan membingungkan karena menanggap "aku" yang padu. Bukan berarti kita berhenti menolong dan berhenti mengasihi anak-anak kita, tapi yang kita mau adalah menghentikan rasa tak aman yang neurotik ini dan penanggapan atas "aku" yang padu ini, yang berada di balik perilaku gandrung kita yang berulang.

Coba kita ambil contoh, misalnya rasa kasih, sebagai hal yang perlu kita upayakan. Makna dari kasih dalam ajaran Buddha adalah keinginan agar orang lain bahagia dan memiliki sebab-sebab kebahagiaan, terlepas dari perbuatan orang lain tersebut. Akan tetapi, rasa kasih dapat bercampur dengan kebingungan, kemelekatan, dan rasa tak aman. "Jangan pernah tinggalkan aku!" "Mengapa kamu tak meneleponku?" "Kau tak mencintaiku lagi." "Aku membutuhkanmu." "Aku, aku, aku." Kita masih ingin orang lain bahagia, tapi "Jangan pernah tinggalkan aku" dan "Kau harus meneleponku setiap hari!" Rasa kasih bukan masalahnya. Masalahnya adalah kemelekatan dan rasa keakuan yang kuat di balik semua itu. Pada tingkat menengah, kita menggunakan sila untuk mengatasi sikap gelisah "aku, aku, aku" yang merusak diri sendiri ini.

Refleksi tentang Tingkat Kedua Sila

Sebelum kita lanjut ke tingkat ketiga, boleh kiranya kita meluangkan beberapa menit terlebih dahulu untuk mencerna semua hal yang dipaparkan barusan. Coba untuk mencermati hal yang telah kita bahas di dalam hidup kita sendiri. Seperti yang biasa dikatakan penganut Buddha, "Jangan arahkan cermin Dharma ke luar untuk melihat masalah dalam diri orang lain (seperti dalam diri orangtua kita), tapi palingkan ke dalam dan lihatlah diri sendiri." Jadi cobalah mencermatinya di dalam hidup Anda sendiri, pengalaman Anda sendiri, betapa tindakan membangun sekali pun, kalau dilakukan secara neurotik dan demi diri sendiri, akan tetap membuahkan masalah. Cobalah untuk mengenali "aku" yang padu di balik semua sindrom ini, yang dengannya kita merasa, "Aku harus sempurna. Aku harus bagus. Aku harus bisa membantu. Aku harus dibutuhkan dan berguna." Kenali masalah yang dimunculkannya.

Cobalah untuk menyadari bahwa tak ada hal yang perlu kita buktikan. Kita tidak harus membuktikan bahwa kita orang baik dengan selalu menawarkan bantuan, sekali pun orang tidak menginginkannya. Kita tidak harus membuktikan bahwa kita orang yang bersih atau bahwa kita orang yang sempurna. Apakah ada pemikiran di benak kita, "Aku bersih, maka aku ada" atau "Aku sempurna, maka aku ada," seperti filsafat "Aku berpikir, maka aku ada"? Hanya karena kita merasa tak aman atas "aku, aku, aku" lah maka kita merasa harus membuktikan bahwa kita ini baik dan berharga.

Kita tidak harus membuktikan apa pun. Coba renungkan itu. Apa yang sedang kita coba buktikan dengan menjadi begitu sempurna, begitu baik, begitu bersih, begitu produktif? Di situlah terletak rahasianya: tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan, dan tidak ada hal yang perlu dibuktikan. Lakukan saja! Tolonglah orang lain.

Tentu saja, tidak gampang menerapkan sila hanya dengan berkata, "Berhentilah merasa tak aman." Kita perlu paham bahwa rasa tak aman itu berdasar pada kebingungan mengenai cara kita mengada, dan kebingungan itu tidak berdasar pada hal apa pun yang berkaitan dengan kenyataan. Apa yang kita khawatirkan? Mitos! Mitos bahwa kalau aku produktif atau berguna, maka aku ada. Kalau aku tidak produktif, apakah aku berhenti mengada? Rasanya ganjil, bukan? Apa yang harus kubuktikan dengan menjadi seorang penggila kerja? Kalau aku ingin menolong orang lain, boleh saja. Tolonglah orang lain, tapi jangan gandrung. Itulah masalahnya. Inilah yang harus kita hentikan. Itulah tingkat kedua, atau cakupan menengah dari sila. Kita gunakan sila untuk memahami bahwa tidak ada yang harus dibuktikan dan, dengan pemahaman tersebut, kita menghalau rasa tak aman yang mendasari perilaku karma kita yang gandrung.

Tingkat Ketiga: Mengatasi Ketidaktahuan akan Karma Orang Lain

Dengan tingkat lanjut dari dorongan lam-rim, kita berupaya mengatasi ketidaktahuan akan karma orang lain. Kita ingin menolong orang lain. Jika kita telah memperoleh kebebasan, kita terbebas dari kelahiran kembali yang berulang tanpa terkendali sehingga kita tidak lagi gandrung, kita tidak bertindak secara merusak, dan kita tidak lagi punya dorongan neurotik untuk secara gandrung melakukan tindakan membangun sekali pun hal itu tidak pada tempatnya. Begitupun, masalahnya adalah bahwa, kendati kita punya keinginan yang kuat untuk menolong orang lain, kita tidak tahu apa cara terbaik untuk melakukannya. Kita tidak mengetahui alasan dan latar belakang karma yang menyebabkan setiap orang jadi seperti apa adanya mereka sekarang. Juga, kita tidak mengetahui apa pengaruh yang timbul dari hal apa pun yang kita ajarkan kepada mereka – bukan hanya pengaruhnya terhadap diri mereka, tapi juga terhadap setiap orang lain yang akan bersinggungan dengan mereka. Karena kita tidak tahu sama sekali hal apa yang akan timbul dari nasihat dan ajaran yang kita berikan, kita jadi sangat terbatas dalam upaya kita menolong orang lain.

Berupaya Demi Manfaat Bagi Orang Lain

Bagaimana sila akan membantu kita menghadapi kesulitan ini? Pertama, dengan sila kita mesti berupaya untuk tidak bersikap masa bodoh dan berpuas diri. "Karena aku sudah bebas dari duka, cukuplah aku duduk di sini, bermeditasi, dan merasa bersuka dan berbahagia setiap saat." Kita butuh sila untuk berupaya lebih jauh demi sesama. Anda akan merasakannya sebelum tingkat ini ketika Anda telah memperoleh keberhasilan berarti dalam meditasi Anda. Anda duduk, cita Anda bebas dari kelana batin dan ketumpulan, dan rasanya penuh sukacita – yang bebas dari kegelisahan – dan itu membuat Anda merasa senang sekali. Anda merasa sangat puas dan ingin tetap seperti itu. Kalau laku Anda sudah sungguh-sungguh lanjut, Anda bisa mempertahankan keadaan itu dalam waktu yang sangat lama, dan kalau Anda sudah sampai pada tingkat terbebaskan, Anda bisa seperti itu selamanya.

Apa yang menarik Anda keluar dari rasa berpuas dan bersenang diri? Kalau Anda malah sudah terbebaskan dari kelahiran kembali yang berulang tanpa terkendali, raga Anda bahkan bukan lagi seperti jenis raga yang biasa ini. Anda tidak lagi lapar atau apa pun. Yang mendorong Anda untuk terus berupaya adalah pikiran mengenai keadaan orang lain. "Bagaimana bisa aku cuma duduk di sini merasakan sukacita dan takjub saat semua orang lain masih menderita?" Kita butuh sila untuk mengatasi kekhawatiran ini demi kesejahteraan diri kita sendiri dan untuk memikirkan dan berupaya bagi orang lain.

Perhatikan bahwa hal ini muncul sebagai langkah setelah kita berupaya demi manfaat bagi diri sendiri. Kalau kita mencoba menolong orang lain sementara kita sendiri masih menderita dan neurotik, hal itu akan menciptakan masalah. Kita akan marah dan jengkel dengan orang lain ketika mereka tidak mengikuti nasihat kita dan kemajuan mereka tidak cukup pesat. Atau kita jadi melekat pada mereka, dan kita cemburu kalau mereka beralih ke guru yang lain. Bahkan lebih buruk lagi, kita jadi tertarik secara seksual pada mereka, dan itu mencipta masalah besar kalau kita mencoba menolong orang tersebut. Kita betul-betul harus mengupayakan diri sendiri dulu. Akan tetapi, itu tidak berarti bahwa kita baru bisa mencoba menolong orang lain setelah kita bebas sepenuhnya – itu bakal butuh waktu yang lama sekali. Pokok pentingnya adalah jangan mengabaikan upaya atas diri sendiri di ketika berupaya menolong orang lain.

Dalam mengupayakan diri sendiri, kita masih harus memusatkan perhatian pada mengatasi perasaan dan sikap gelisah serta kegandrungan karma kita sendiri. Kita masih membutuhkan sila untuk mengatasi sikap memusat pada diri sendiri; tetapi pada tingkat ini kita juga membutuhkan sila untuk berupaya mengatasi keterbatasan cita kita, yang menghalangi kita dari tujuan menjadi yang serba-tahu. Karena kita tidak mahatahu, kita tidak melihat gambaran lengkapnya; kita tidak melihat betapa segala sesuatu itu saling terhubung. Segala hal yang terjadi merupakan akibat dari berbagai sebab dan keadaan, dan semua sebab dan keadaan itu masing-masing punya sebab dan keadaannya sendiri.

Pada tingkat kita yang sekarang ini, cita kita masih terbatas; kita tidak bisa melihat segala sesuatu yang terlibat dalam semua kejadian yang dialami orang lain. Bahkan parahnya lagi, kita mengira bahwa sebuah akibat itu timbul dari satu sebab saja, khususnya bila kita rasa kitalah sebabnya. Misalnya, kalau seseorang yang bersinggungan dengan kita menjadi tertekan, kita membayangkan bahwa itu salah kita cuma karena perkataan atau perbuatan kita. Kenyataannya tidak begitu. Segala kejadian yang dialami orang itu merupakan akibat dari begitu banyak sebab, bukan cuma karena perbuatan kita saja. Perbuatan kita mungkin punya peran – itu tidak kita sangkal – tetapi tidak berarti seluruh hal tersebut berasal dari satu sebab saja. Atau mungkin kita mencoba menolong seseorang dan kita bilang, "Sebab dari masalahmu adalah karena kamu tidak mendapat pendidikan yang baik." Kita mereduksi hal yang terjadi sebagai akibat dari satu sebab saja. Atau kita berkata, "Semua masalahmu terjadi karena orangtuamu dulu berbuat ini atau itu ketika kamu masih kecil." Kita tidak melihat gambaran lengkapnya. Sebetulnya, jauh lebih besar dari itu.

Pemikiran Kita Tidak Sesuai dengan Kenyataan

Kita butuh pemahaman yang jauh lebih luas dari yang kita punya sekarang. Masalahnya adalah bahwa cita kita membayangkan pengelompokan berbagai hal, seperti kotak-kotak, dan kita memilih-milah segala hal ke dalam kotak-kotak ini. Kita mengurung segala sesuatu seolah semua itu ada di dalam kotak-kotak, terlepas dari segala hal lain, dan kita yakin bahwa ini sesuai dengan kenyataannya. Kita tidak melihat kesalingkaitan dan kesalingbergantungan segala hal. "Inilah satu sebabnya. Ini buruk, ini baik." Kita mengelompokkannya.

Padahal, bukan seperti itu adanya. Segala hal tidak mengada secara terpisah dari segala hal lainnya. Kita butuh sila untuk memahami bahwa walau rasa-rasanya benar seperti itu, hal tersebut tidak sesuai dengan kenyataan. Ini satu contoh mudahnya: Anda di rumah seharian bersama anak-anak. Pasangan Anda pulang dari tempat kerja dan mendiamkan Anda. Dia langsung masuk kamar tidur, menutup pintu, dan berbaring. Di dalam cita Anda, Anda kemudian menempatkan pasangan Anda di dalam sebuah kotak yang bernama, "orang-orang yang tidak mencintaiku." Malah, Anda juga menaruh mereka ke dalam kotak-kotak "orang bertingkah buruk" dan "orang yang tidak baik". Yang mendasari ini adalah sikap kita yang sibuk sendiri dengan "aku" yang padu tadi. Dia kita tempatkan di kotak "orang bertingkah buruk" karena "aku" – aku, aku, aku – ingin bicara dengannya. Aku mau, aku mau, aku mau! Aku mau sesuatu darinya. Karena kita menaruhnya di dalam kotak, kita tidak melihat kesalingkaitan antara segala hal yang dialaminya sebelum pulang ke rumah dan caranya bertingkah laku ketika masuk ke rumah. Bisa saja dia baru mengalami hari yang berat di tempat kerja, dan mungkin hal ini atau itu telah terjadi padanya di jalan saat pulang, dan seterusnya, dan seterusnya.

Seberapa sering kita menanggapi berbagai keadaan dengan cara seperti itu? Ada yang pulang ke rumah dan seolah dia muncul dari antah-berantah – tak ada yang terjadi padanya sebelum sampai di rumah dan segalanya bermula dari saat dia melewati pintu rumah kita. Coba balik cara pandangnya. Kalau orang itu merupakan orang yang tinggal di rumah seharian bersama anak-anak dan Anda yang pulang dari tempat kerja, bagaimana menurut Anda keadaannya? Pasangan Anda ada di situ, masih segar, seolah tak ada yang terjadi selama sehari penuh sebelum Anda melangkah masuk ke ruang rumah.

Kalau Anda pikir-pikir, tentu tidak seperti itu! Yang sedang kita bicarakan ini adalah cara cita kita menghadirkan segala hal. Cita membuat segala hal tampak seolah persinggungan kita dengan pasangan kita bermula di sini, pada saat ini ketika kita melangkah melewati pintu, dan tak terjadi apa-apa sebelumnya. Segala sesuatu tampak di dalam kotak-kotak yang kita pakai untuk mengelompokkan berbagai hal. Kita butuh sila untuk mengatasi kebiasaan yang mengakar kuat ini: mengelompokkan orang, hal, dan keadaan ke dalam kotak-kotak. Kita perlu menyadari bahwa sikap memandang dunia secara bersekat-sekat ini tidak sesuai dengan kenyataan.

Supaya Anda betul-betul paham maksudnya, mari kita lihat satu contoh lain yang umum dipakai. Kita menaruh orang di dalam kotak "pasanganku" dan tidak mempertimbangkan fakta bahwa dia juga punya hubungan dan pertemanan dengan banyak orang lain di luar kita. Karena kita menempatkan mereka di dalam kotak batin ini, kita berpikir, "Dia milikku saja. Dia harus selalu tersedia untukku kapan pun aku mau, karena cuma itu lah arti dirinya: pasanganku. Tidak ada hal lain yang berlangsung dalam kehidupannya." Kita tidak berpikir bahwa dia punya kewajiban terhadap orangtuanya, bahwa dia punya teman, dan kegiatan lain. Tidak, mereka hanya ada di satu kotak ini saja. Yang mengerikan lagi adalah bahwa hal tersebut terasa benar, dan kita yakin itu sesuai dengan kenyataan. Tentu saja, dasar dari pikiran itu adalah kemelekatan kita padanya dan kita marah kalau dia harus bertemu orang lain.

Tingkat Ketiga Sila Sesuai dengan Dorongan Lam-rim Tingkat Lanjut

Pada dorongan lam-rim tingkat lanjut, kita berupaya memperoleh tataran mahatahu dari Buddha yang tercerahkan sepenuhnya agar mampu memberi pertolongan terbaik bagi setiap orang. Untuk bisa memberi pertolongan terbaik, kita perlu sepenuhnya memahami karma setiap orang. Kita perlu memahami semua perilaku gandrung mereka di masa lalu, ditambah lagi semua peubah berpengaruh lain dari sebab dan keadaan yang telah menggiring mereka ke tataran yang sekarang ini, dan kita harus pula mengetahui dampak dari segala hal yang kita ajarkan kepada mereka. Untuk melihat kesalingkaitan sepenuhnya dari sebab dan akibat, khususnya hubungan sebab-akibat yang melibatkan karma, kita harus berhenti memisah-misahkan segala sesuatu satu sama lain dan menempatkannya ke dalam kotak-kotak kelompok batin dan membayangkan bahwa seperti itulah segala sesuatu itu adanya.

Oleh karena itu, selain mengembangkan sila untuk mengatasi sikap peduli diri semata, kita harus juga mengembangkan kepedulian tulus bagi orang lain. Kita juga membutuhkan sila untuk menyadari bahwa cara cita kita menghadirkan segala hal di dalam kotak-kotak itu tidak sesuai dengan kenyataan. Kita perlu mencoba melihat gambaran yang lebih besar.

Refleksi tentang Tingkat Ketiga Sila

Sesuai dengan pranata jalan bertahap lam-rim, maka terdapat tiga tingkat sila yang berhubungan dengan karma:

  • Sila untuk menahan diri dari perilaku merusak yang gandrung
  • Sila untuk mengatasi perasaan dan sikap gelisah yang berada di balik perilaku gandrung, baik yang negatif maupun yang positif
  • Sila untuk mengatasi keterbatasan cara menipu yang dipakai cita kita dalam menghadirkan segala sesuatu – berhenti berpikir sempit, menaruh segala hal ke dalam kotak-kotak batin – dan sila untuk tidak bersikap masa bodoh dan berpuas diri dengan keadaan kita sendiri sehingga kita mampu memahami karma orang lain dan menolong mereka mengatasinya.

Dengan menggunakan meditasi pencermatan, mari kita coba untuk mengenali betapa cita kita menghadirkan segala sesuatu di dalam kotak-kotak, terpisah satu sama lain. Coba pikirkan orang-orang di ruangan ini, atau kalau Anda sedang membaca tulisan ini di rumah, pikirkan orang-orang yang Anda lihat di dalam bus atau kereta api bawah tanah. Anda melihat mereka dan seolah mereka muncul dari antah-berantah. Mereka tiba-tiba ada di sini, dan tidak tampak pada kita hal yang terjadi di rumah mereka pagi ini, atau apakah mereka punya anak atau tidak, atau apakah perjalanan mereka ke sini sulit atau tidak – semua itu tidak tampak pada kita. Karena itu, kita tidak betul-betul tahu seperti apa suasana hati mereka, dan kita tidak tahu apa dampak perkataan kita pada mereka. Mereka mungkin sangat lelah, atau jengkel, atau kesal atas kejadian pagi tadi, atau mungkin mereka tidak cukup tidur. Bagaimana kita mengetahuinya? Bila semua orang seolah tampak muncul dari antah-berantah tanpa latar belakang, bagaimana mungkin kita bisa mengetahui cara terbaik untuk menolong mereka?

Dengan suatu cara, kita harus tidak percaya pada kenampakan tersebut dan pada akhirnya menghentikan cara cita kita memperlihatkan mereka seperti itu. Kemudian, bahkan di tingkat ini pun, walau kita tidak tahu apa yang terjadi pada seseorang di pagi ini, setidaknya kita dapat memahami fakta bahwa ada hal yang terjadi pada orang tersebut sebelum kita melihat mereka. Kalau kita tertarik, kita bisa bertanya, dan maksud saya bukan tertarik seperti sedang melakukan survei ilmiah. Yang kita maksudkan di sini adalah kepedulian yang sungguh-sungguh, dengan kasih dan welas asih: "Aku ingin engkau bahagia dan tidak menjadi tak bahagia."

Kemudian, cobalah kenali betapa cita kita mencipta kenampakan yang menipu ini. Cobalah melihat betapa sempitnya bila kita yakin bahwa cara pandang itu sesuai dengan kenyataan, dan betapa hal itu menimbulkan masalah.

Top