Berlatih Sila Tinggi & Semadi Tinggi

Memasuki Perilaku Mencerahkan

Setelah kita mengambil sumpah-sumpah bodhisattwa, yang merupakan inti dari tingkat bodhicita terlibat, kita mesti menjalankan "perilaku mencerahkan", perilaku bodhisattwa. Dan perilaku inilah yang ditempa dengan sumpah-sumpah bodhisattwa itu. Sumpah-sumpah bodhisattwa menempa tindakan raga, wicara, dan cita kita sehingga kita tidak berbuat hal-hal yang menghalangi kita dalam menolong semua insan lainnya.

Ada beberapa cara untuk membahas perilaku bodhisattwa. Atisha membahasnya dalam kerangka "tiga latihan tinggi". Ketiganya adalah latihan sila tinggi, semadi tinggi, dan kesadaran pembeda atau kebijaksanaan tinggi.

Yang pertama dari tiga latihan ini adalah sila (disiplin) tinggi. Bukan sekadar disiplin untuk berdiri dengan satu kaki, tapi sila di sini berarti disiplin dalam berperilaku.

Dalam ajaran lam-rim baku yang hadir setelahnya, tiga latihan tinggi ini dibahas sebagai laku yang ada di lingkup madya dan lingkup lanjut, karena untuk memeroleh kebebasan atau pencerahan, yang mana pun dari kedua itu, kita wajib menjalankan ketiga latihan ini. Perbedaan di antara kedua tingkat laku dari tiga latihan ini terletak pada dorongan atau tujuannya: laku dengan tujuan mencapai pencerahan untuk diri sendiri saja atau untuk meraih pencerahan demi kebaikan semua insan lainnya.

Berlatih Sila Tinggi

Seloka tiga puluh dua mengawali pembahasan sila tinggi. Dan kita mesti memahami pernyataan Atisha mengenai tiga latihan tinggi ini dalam kerangka dorongan bodhicita. Jadi, kita bisa memahami seloka mengenai sila ini dalam konteks ini.

(32) Jika kau melatih dirimu dengan baik dalam tiga latihan sila dengan hidup sesuai sumpah-sumpah yang merupakan inti sari untuk memasuki bodhicita dan yang merupakan sebab untuk memurnikan raga, wicara, dan citamu, maka rasa hormatmu pada tiga sila itu akan bertumbuh.

Ada tiga segi sila – dan di sini yang kita maksud dengan sila adalah sila untuk diri kita sendiri, bukan sila untuk mencoba menertibkan (mendisiplinkan) orang lain – dan ketiga segi ini secara khusus dibahas dalam ajaran-ajaran untuk seorang bodhisattwa dalam kerangka sikap-sikap menjangkau-jauh atau kesempurnaan. Jadi, ada (1) sila untuk menahan diri dari perilaku merusak, yang berarti tidak mengingkari sumpah. Dan di sini yang ditekankan adalah menepati sumpah-sumpah bodhisattwa. Tapi seperti ditekankan oleh Atisha, dasarnya adalah menepati beberapa sumpah pratimoksha.

Salah satu alasan mengapa Atisha begitu menekankan pentingnya sumpah-sumpah pratimoksha, saya rasa, adalah karena keadaan yang terjadi di Tibet, yang memicu diundangnya Atisha ke sana. Ingat, di masa itu terjadi kesalahpahaman yang begitu besar mengenai ajaran Buddha, khususnya ajaran tantra. Banyak hal di dalam ajaran-ajaran tantra dimaknai secara sangat harafiah dan ini berakibat pada penyalahgunaan ajaran, khususnya terkait perbuatan membunuh dan perbuatan seksual yang tidak pantas.

Dalam tantra, ada pembahasan mengenai pembebasan kesadaran menuju mayapada yang lebih tinggi dan banyak orang salah kaprah mengenai hal ini: bahwa boleh membunuh orang dengan alasan keagamaan, demi membantu mereka. Anda membunuh untuk mengirim mereka ke kelahiran kembali yang lebih tinggi. Jelas-jelas ini penyalahgunaan ajaran yang parah. Demikian pula, orang-orang menceburkan diri ke dalam perilaku seksual yang bersifat ritual, dan berpikir bahwa inilah yang disyaratkan laku tantra. Padahal, ajaran tantra yang asli tidak pernah dimaknai seharafiah ini.

Dan karena raja Tibet barat secara khusus mengundang Atisha untuk menjernihkan hal-hal semacam ini, Atisha kemudian menekankan pentingnya upaya menepati sumpah-sumpah kebebasan pribadi, tidak membunuh, dan khususnya sumpah-sumpah pantangan: bahwa kita sebaiknya tidak melakukan sanggama sama sekali, dan itulah landasan yang benar bagi perilaku bodhisattwa. Jadi, saya rasa penegasan Atisha di dalam naskah ini perlu dipahami dalam konteks sejarah saat ia menuliskannya.

Tapi penekanan ini tidak berarti bahwa nasihat tersebut berlaku untuk kurun waktu sejarah itu saja. Nasihat tersebut sahih untuk semua keadaan dan kurun waktu. Dewasa ini juga terdapat kesalahpahaman mengenai tantra, khususnya mengenai segi-segi seksualnya, dan saya rasa nasihat Atisha tetap berlaku untuk masa sekarang. Tidak berarti setiap orang harus menjadi biksu atau biksuni untuk bisa menjalankan tantra; yang terpenting adalah tidak memaknai dan menjalankan ajaran tersebut secara sangat harafiah.

Tiga latihan sila tertinggi” adalah menahan diri dari perilaku negatif, yang berarti menepati sumpah. Kemudian, (2) sila memasuki perilaku membangun, yang secara khusus berarti bermeditasi dan menjalankan berbagai ajaran. Lalu (3) sila menolong insan-insan lainnya.

Atisha berkata bahwa dengan “berlatih ketiga sila ini,” yang berarti “hidup sesuai sumpah-sumpah bodhisattwa,” dan “yang merupakan sebab untuk memurnikan raga, wicara, dan cita,” yang berarti tidak bertindak secara negatif; dengan menjalani hidup seperti ini, rasa hormat kita terhadap nilai dari latihan sila akan lebih dan makin bertumbuh. “Rasa hormat” di sini menyiratkan bahwa kita sepenuhnya memahami manfaat dari sila, kita menghargainya, dan kita yakin bahwa ia ada manfaatnya, dan kita menghargai bahwa ia akan membantu kita untuk mampu menolong insan lainnya.

Dengan demikian, kita jadi bersungguh-sungguh dengan sila, dan sudah jelas orang-orang di masa itu tidak begitu.

(33) Melalui ini (akan datang) tataran pencerahan paripurna yang murni; karena, dengan mengerahkan segenap upayamu dalam sumpah-sumpah bodhisattwa, kau akan menyempurnakan himpunan yang diperlukan untuk pencerahan yang tuntas.

Dengan tertib menjalankan sumpah-sumpah bodhisattwa dan mengikuti sila lainnya, kita akan mampu memperkuat dan “menyempurnakan kedua himpunan yang membina pencerahan.” Inilah dua himpunan/jaringan yang kita bahas kemarin: himpunan daya positif yang terbina dari perbuatan menolong sesama, bermeditasi, dan seterusnya, dan himpunan kesadaran mendalam, kesadaran mendalam akan sunyata. Keduanya biasanya disebut “dua kumpulan, kumpulan pahala dan kebijaksanaan.”

Sumpah-sumpah bodhisattwa, khususnya di bagian sumpah-sumpah sampingan, berkenaan dengan berbagai perbuatan merusak yang dapat menghalangi langkah kita dalam menjalankan enam sikap menjangkau-jauh dan menolong insan lainnya. Jika kita menghindari hal-hal yang dapat merusak sila dan pemusatan kita, yang akan merusak perkembangan kesadaran mendalam kita akan sunyata, yang akan merintangi langkah kita dalam menolong insan lainnya di berbagai keadaan, tentu kita akan mampu membentuk dan mengukuhkan himpunan-himpunan yang membina pencerahan ini, menggenapinya, sehingga kita bisa mencapai pencerahan.

Maka, upaya keras dalam menjalankan sumpah-sumpah bodhisattwa ini penting sekali perannya dalam pencapaian pencerahan. Dan di sini Atisha secara tidak langsung berkata bahwa mematuhi sumpah-sumpah bodhisattwa mutlak diperlukan untuk mencapai pencerahan, baik itu kita mengikuti jalan sutra Mahayana, atau jalan tantra Mahayana. Lagi-lagi, ada orang yang berpikir bahwa kita dapat menjalankan tantra bukan hanya tanpa sumpah-sumpah pratimoksha (sumpah-sumpah kebebasan pribadi), tetapi bahkan tanpa sumpah-sumpah bodhisattwa; dan Atisha menegaskan bahwa tidak begitu kenyataannya.

Berlatih Semadi Tinggi

(34) Supaya dapat menyempurnakan himpunan yang memiliki sifat daya positif dan kesadaran mendalam, semua Buddha telah menegaskan bahwa yang diperlukan adalah pengembangan kesadaran unggul.

Di sini dikatakan bahwa agar mampu “menyempurnakan himpunan-himpunan ini,” yakni kedua himpunan daya positif dan kesadaran mendalam, kita mesti mengembangkan “kesadaran unggul,” yang berasal dari penyempurnaan semadi (pemusatan) tinggi. Jadi, sila saja tidak cukup. Kita juga membutuhkan semadi. Nah, hasil sampingan dari diperolehnya semadi yang sempurna adalah didapatnya lima jenis kesadaran unggul, kadang disebut sebagai pengindraan sakti, tapi itu salah satunya saja – ada lima sebenarnya.

Yang pertama adalah kemampuan raga yang sakti – mampu berlari sangat cepat, terbang, berjalan di atas air, dan semacamnya. Yang kedua adalah penglihatan yang sakti, mampu melihat jarak yang sangat jauh, yang tidak mampu dilakukan lazimnya manusia. (3) Pendengaran sakti, mampu mendengar suara-suara dari jauh sekali, yang lazimnya tidak mampu kita dengar. Lalu (4) mengetahui kehidupan lampau orang lain dan diri sendiri. Dan (5) mengetahui isi pikiran orang lain.

Ini tidak hanya ada dalam agama Buddha saja. Siapa pun yang mengikuti jalan tan-Buddha, kalau memeroleh semadi sempurna, akan mendapatkan kemampuan-kemampuan ini sebagai hasil sampingannya. Dengan kata lain, ada begitu banyak informasi dan kalau perhatian kita cukup terpusat, kita bisa cukup peka untuk mampu membaca informasi tersebut dan mengetahui berbagai hal. Karena itu ia disebut kesadaran unggul.

Di sini Atisha mengatakan bahwa para Buddha telah menegaskan bahwa kesadaran unggul ini penting sekali perannya dalam memampukan kita menyempurnakan dua himpunan ini. Bagaimana kita memahami pernyataan itu? Pokok yang dibahas di sini bukan tentang menguasai kelima kemampuan itu untuk tujuan apa pun; melainkan, mendapatkan kelimanya dalam lingkung dorongan bodhicita. Dengan kata lain, kita ingin menggunakan kelima kemampuan ini demi kebaikan insan lainnya. Membina dan memperkuat himpunan daya positif berarti membina daya positif dari perbuatan menolong sesama.

Jadi, kalau kita mampu melihat jauh sekali ketika orang lain ditimpa masalah dan membutuhkan pertolongan, atau kalau kita bisa mendengar suara dari sebuah kejadian di tempat jauh, itu memampukan kita untuk menolong jauh lebih banyak orang dibanding kalau kita hanya mengandalkan kemampuan indra yang terbatas pada ruangan ini saja. Dan saat hendak menolong orang lain, kalau kita bisa sampai ke sana dengan sangat cepat, menggunakan kekuatan sakti dan bahkan terbang dari puncak gunung yang satu ke puncak gunung lainnya tanpa harus menuruni lembahnya dan mendaki gunung berikutnya, dan kalau kita bisa berjalan menyeberangi sungai yang deras arusnya, yang sulit diseberangi dan seterusnya, kita bisa tiba di tempat dengan lebih cepat untuk menolong orang yang membutuhkan.

Demikian pula, kalau pandangan kita bisa menembus dinding dan sebagainya, kita bisa lebih membantu. Kalau orang bertingkah buruk, berulah, jika kita bisa memahami kehidupan lampau mereka, kita jadi bisa memahami mengapa polah mereka begitu, dan dari situ kita mendapat cukup petunjuk mengenai cara terbaik untuk menolong mereka. Dan khususnya, jika orang enggan bicara, kemampuan untuk membaca pikiran mereka dan tahu apa yang sedang terjadi bisa sangat membantu kita ketika mencoba mengajar dan membantu mereka.

Kendati gambaran dari kelima jenis kesadaran unggul ini mungkin membuat kita berpikir bahwa bodhisattwa itu seperti Superman atau Superwoman saja – melihat kejadian di tempat jauh, “Oh, ada masalah!” dan terbang ke sana untuk menolong – ini bukan fiksi. Saya sudah cukup lama tinggal bersama para mahaguru Tibet dan menyaksikan sendiri kesadaran unggul seperti ini – walau saya belum pernah melihat orang terbang.

Contohnya guru saya sendiri, Serkong Rinpoche. Saya hidup sangat dekat dengannya selama sembilan tahun. Pernah kami sedang menuju ke sebuah pusat agama Buddha di Dharamsala. Kami di mobil, di jalan menuju ke tempat itu. Dan saat kami mendekati tujuan, Rinpoche memberi tahu orang-orang di situ, “Cepat lari ke gonpa!” ke dalam wihara, “Ada lilin jatuh dan api mulai membesar.” Dan tentu saja ruang wihara itu tidak terlihat dari mobil kami. Orang-orang kemudian berlari ke sana dan benar saja, ada lilin yang jatuh dan tirainya terbakar.

Jadi, saya telah menyaksikan contoh-contoh seperti ini. Atau, soal kehidupan lampau, ia memang tidak langsung menyebut hal tertentu tentang kehidupan lampau seseorang. Tapi ia tahu, “Orang ini punya hubungan karma denganku dari kehidupannya di masa lalu. Aku bisa membantunya.” Dan kadang ia berkata kepada orang yang datang untuk meminta bantuan, “Aku tidak bisa membantumu, kita tidak punya hubungan karma. Tapi, lama di sana bisa membantumu,” dan orang ini kemudian ia rujuk ke lama yang ternyata memang bisa menolong mereka.

Walaupun saya tidak pernah melihat Rinpoche terbang atau semacamnya – ia orang yang bertubuh gempal, besar. Dan kalau duduk di atas bantal di lantai, untuk bangkit berdiri saja ia perlu dibantu. Tapi pernah waktu saya sedang bersamanya, kami duduk di samping Yang Mulia Dalai Lama, lalu angin berembus menerbangkan beberapa halaman dari naskah yang tengah dibaca oleh Yang Mulia ke lantai. Rinpoche bisa melompat jauh lebih cepat dari saya, memungut kertas-kertas itu, dan menyerahkannya kembali kepada Yang Mulia. Jadi jelas ia bisa melakukan banyak hal  yang tidak akan mampu dilakukan orang yang bertubuh seperti itu.

Dengan berbagai kesadaran mendalam dan kemampuan ini, kita mampu menolong orang lain lebih luar biasa lagi. Jadi ini membina sejumlah besar daya positif, membantu kita menyempurnakan himpunan, dan sebagai hasil dari daya positif yang kuat, ia memampukan kita untuk membina himpunan kesadaran mendalam akan sunyata, karena tanpa daya positif yang kuat, kita tidak bisa benar-benar memahaminya. Atisha lanjut menekankan hal ini dengan beberapa seloka lanjutan dan saya rasa di sini ia sedang mencoba menunjukkan kepada pembacanya bahwa kalau mereka benar-benar ingin membantu insan lainnya, mereka perlu menjalankan laku meditasi dengan sungguh-sungguh dan memeroleh semadi sempurna.

Saya rasa konteks tempat Atisha mengajar juga berperan dalam penekanannya di sini, karena ia menekankan kesadaran unggul dalam konteks perbuatan bodhisattwa dan membina kedua himpunan ini. Di masa itu di Tibet, ada banyak pelaku ilmu kanuragan, ilmu hitam, dan seterusnya. Jadi tentu orang-orang di Tibet waktu itu punya berbagai kesaktian, tetapi mereka tidak menggunakannya untuk kebaikan. Mereka menggunakannya untuk mencelakai orang lain. Dan karena orang sudah cukup akrab dengan kesaktian semacam ini, Atisha menekankan pentingnya kekuatan sakti seperti itu untuk dipakai demi kebaikan sesama dan mencapai pencerahan.

Jadi saya rasa itu sedikit menjelaskan mengapa Atisha begitu menekankan hal ini, yang tidak dijumpai di naskah-naskah lainnya. Kita ingat saja riwayat hidup Milarepa, yang hidup tidak lama setelah Atisha, untuk memahami sedikit tentang lingkungan kebudayaan di Tibet yang dihadapi Atisha dan cara mengajarnya yang sedemikian terampil, yang mampu mendekatkan ajaran dengan pengalaman mereka dan menunjukkan seperti apa pengalaman itu dapat digunakan di atas jalan kerohanian.

Di masa kiwari, keadaannya cukup mirip; bukan dalam hal kesadaran unggul dan ilmu kebatinan, tapi dalam hal teknologi. Alih-alih menggunakan teknologi untuk tujuan merusak, kita bisa memakainya untuk tujuan yang bermanfaat dengan dorongan bodhisattwa. Kita punya kesadaran unggul versi kita sendiri, karena teknologi memampukan kita melihat hal-hal yang biasanya tidak bisa kita lihat, atau mendengar hal-hal yang biasanya tidak bisa kita dengar. Jadi, ini tetap ada kaitannya, sekalipun kita tidak mengalami atau menyaksikan aneka kesadaran unggul yang timbul dari semadi ini.

Saya bacakan saja tiga seloka berikutnya, karena ketiganya berupa penekanan pada pentingnya kesadaran unggul untuk mampu menolong sesama.

(35) Seperti burung tanpa sayap yang tumbuh sempurna tak bisa terbang di angkasa, begitu pula tanpa daya kesadaran unggul, kau tidak akan mampu memenuhi tujuan makhluk-makhluk terbatas.

(36) Daya positif apa pun yang didapati dalam sehari-semalam oleh orang memiliki kesadaran unggul tidak bisa disamai bahkan dalam seratus kehidupan oleh orang yang tidak memiliki kesadaran unggul.

(37) Oleh karena itu, jika kau ingin dengan cepat menyempurnakan himpunan untuk pencerahan tuntas, berupayalah dan gapailah kesadaran unggul. Ini tidak bisa didapat dengan kemalasan.

Atisha melanjutkan:

(38) Orang yang belum mencapai cita yang tenang dan tenteram tidak akan meraih kesadaran unggul. Oleh karena itu, berusahalah terus-menerus untuk mewujudkan cita yang tenang dan tenteram.

Cita yang tenang dan tenteram” mengacu pada istilah dalam bahasa Sanskerta shamatha, atau dalam bahasa Tibet zhinay (zhi-gnas), yang kadang diterjemahkan menjadi “semayam tenteram” atau “ketenangan batin”. Tataran cita ini berada satu langkah di depan samadhi ekacita :

Cita tidak hanya tenang dari segala kelana batin atau ketumpulan dan tidak hanya tenteram pada satu sasaran – yang merupakan arti harafiah dari zhi dan nay (gnas) pada kata zhinay, bahasa Tibet untuk shamatha – tapi selain semadi yang sempurna, tenang, dan tenteram ini, ada rasa yang meriangkan, tataran cita yang riang dan bugar untuk mampu memusatkan perhatian pada apa saja. Jadi ada rasa riang, bugar, selain semadi sempurna – itulah zhinay atau shamatha. Itulah cita yang tenang dan tenteram.

Kesadaran unggul adalah hasil sampingan dari tercapainya cita yang tenang dan tenteram. Jadi, Anda tidak bisa memerolehnya dengan cara lain. Caranya adalah dengan memeroleh cita yang tenang dan tenteram ini; lalu, cita Anda dengan sendirinya begitu memusat, begitu bugar, begitu riang dan bugar sehingga mampu mencerap hal-hal seperti pandangan dan suara dari jarak jauh, hubungan karma, dan seterusnya, yang biasanya tidak bisa kita cerap.

(39) Namun, apabila unsur-unsur untuk cita yang tenang dan tenteram ini lemah, maka meskipun kau bermeditasi dengan upaya keras bahkan selama ribuan tahun, kau tidak akan mencapai samadhi ekacita.

Untuk memeroleh tataran cita yang tenang dan tenteram ini, Anda membutuhkan beberapa anasir, yang akan mendukung laku meditasi itu, untuk mencapai ini. Tanpa dukungan dari anasir-anasir tersebut, mustahil kita bisa mencapai samadhi ekacita. Apa saja anasir-anasir ini?

(40) Oleh karena itu, peliharalah dengan baik unsur-unsur yang disebutkan dalam bab mengenai Himpunan bagi Samadhi Ekacita. Kemudian tempatkan citamu pada sesuatu yang membangun; yakni pada sasaran pemusatan yang baik.

Secara umum, ada enam keadaan yang mendukung tercapainya cita yang tenang dan tenteram ini.

Yang pertama adalah tempat yang mendukung. Tempat yang mendukung berarti tempat yang dekat dengan sumber makanan dan air – tempat di sini maksudnya tempat Anda melakukan undur-diri untuk mencapai samadhi ekacita. Tempat tersebut mesti dalam keadaan rohani yang sempurna. Dengan kata lain, telah disetujui dan disucikan oleh guru rohani kita sendiri atau para guru lain yang pernah bermeditasi di sana.

Tempat tersebut mesti dalam keadaan geografis yang sempurna. Artinya, terpencil, tenang, jauh dari gangguan orang, dari situ kita bisa memandang jauh, dan tidak ada suara air mengalir atau tidak berada di dekat laut. Kalau ada air mengalir, ada orang yang berpikir, “Oh, senangnya ada sungai mengalir di dekat tempat kita bermeditasi,” tapi suaranya cenderung membuat Anda tercengang, tercenung, terkesima – sama sekali tidak mendukung tercapainya cita yang jernih dan semadi. Demikian pula halnya dengan suara laut. Jadi, tempatnya harus sangat tenang, tanpa gangguan semacam itu. Dan iklimnya pun mesti baik. Itu semua perincian keadaan geografisnya.

Tempatnya juga mesti dihuni teman-teman yang sempurna, yang juga ikut terlibat, baik dalam laku maupun yang tinggal di dekat situ. Juga dikatakan bahwa kita membutuhkan “benda-benda yang diperlukan untuk menjalin ikatan yang bahagia dengan laku kita.” Dengan kata lain, ada naskah-naskah dan sebagainya yang bisa menjadi sumber keterangan yang benar mengenai laku kita. Kita memang telah mempelajari dan memahaminya, tetapi naskah-naskah tersebut ada untuk kita jadikan acuan, kalau-kalau timbul pertanyaan. Walaupun begitu, sebaiknya segala pertanyaan yang ada di benak kita terjawab dahulu sebelum kita menjalankan laku.

Itulah keadaan yang pertama, tempat yang mendukung. Yang kedua, kita tidak melekat pada banyak hal. Gangguan terbesar adalah kemelekatan pada orang, teman, orang-orang tercinta, makanan, pakaian, kemelekatan untuk menerima kasih sayang, kemelekatan terhadap kenyamanan, kemelekatan terhadap tidur – dan semacamnya. Kita tidak boleh terlalu banyak melekat. Kalau tidak, sulit sekali mencapai semadi.

Kemudian, yang ketiga adalah kepuasan – puas dengan makanan, pakaian, keadaan cuaca, dst. yang kita miliki atau alami. Yang keempat, kita tidak sibuk dengan berbagai kegiatan yang mengganggu, seperti surel, urusan bisnis dan urusan-urusan duniawi lainnya, alat masak yang canggih, dan sebagainya. Begitu, ya. Selagi Anda undur-diri, jangan ada ponsel, jangan ada televisi.

Yang kelima adalah sila yang murni. Dan yang terakhir adalah lepas dari pikiran-pikiran yang obsesif dengan hal-hal yang biasanya kita anggap nikmat dilakukan. Pikiran-pikiran seperti, “Aku ini orangnya harus selalu dengar musik,” atau “Aku harus sering-sering memeriksa ramalan bintangku,” atau sejenisnya. “Aku harus baca novel sebelum tidur,” atau mendengarkan musik, “Harus ada musik, pokoknya harus ada.”

Jadi kita butuh semua anasir yang akan menjadi unsur-sebab pendukung dalam upaya kita mencapai cita yang tenang dan tenteram. Tanpanya, seperti kata Atisha, “sekalipun kita bermeditasi selama ribuan tahun, kita tidak akan memeroleh samadhi ekacita.”

Ketika kita bermeditasi, kata Atisha, “tempatkan cita pada sesuatu yang membangun, yakni pada sasaran pemusatan yang baik.” Dengan kata lain, kita pilih satu sasaran dan tidak mengganti-gantinya. Dan maksud dari “sesuatu yang membangun” di sini bukan hal yang hambar seperti napas. Walaupun kita bisa mencapai samadhi ekacita dengan napas, tetapi dalam laku bodhisattwa kita perlu memilih hal yang membangun, seperti pembayangan gambar Buddha.

Karena, sosok Buddha mewakili tingkat tercerahkan yang ingin kita capai dengan bodhicita. Jadi, sasaran pemusatan seperti itu sangat membantu – di samping untuk memperoleh semadi – juga untuk menguatkan haluan aman kita ke arah Buddha, Dharma, dan Sangha dan bodhicita kita. Karenanya, ia sasaran pemusatan yang sangat berguna. Dan kita mau mampu mengembangkan samadhi ekacita dan cita yang tenang dan tenteram dengan kesadaran batin, bukan dengan kesadaran indra, karena kita ingin menerapkan kesadaran batin dengan samadhi ekacita pada pemahaman akan sunyata.

(41a) Ketika seorang yogi mewujudkan cita yang tenang dan tenteram, ia juga mencapai kesadaran unggul.

Itu seloka kesimpulannya saja: saat kita mencapai tataran shamatha, kita memeroleh kesadaran unggul.

Arahan-Arahan Tambahan untuk Memeroleh Semadi pada Sosok Buddha Terbayang

Izinkan saya bahas sedikit tentang pemerolehan semadi dengan memusatkan perhatian pada pembayangan sosok Buddha. Saat kita melakukan ini, kita mesti tahu betul perawakan seorang Buddha dan ini bisa diketahui dengan melihat lukisan atau patung Buddha. Namun, ketika tengah membayangkannya, kita tidak melihat gambar ini dengan mata, tapi membayangkannya dengan imajinasi kita. Imajinasi di sini tidak berarti yang direka sendiri, yang dikhayalkan sendiri. Imajinasi kita berdasar pada gambar baku seorang Buddha, karena tubuh Buddha memiliki tiga puluh dua ciri ragawi besar dan delapan puluh ciri ragawi kecil yang masing-masing memiliki arti yang dalam. Jadi rupa seorang Buddha itu sangat baku. Tiap-tiap dari semua ciri ini melambangkan salah satu dari sebab-sebab untuk mencapai kebuddhaan.

Ketika kita membayangkan seorang Buddha, kita membayangkan sosok yang sangat kecil, ukurannya sekitar beberapa sentimeter, trimatra, hidup, tetapi terbuat dari cahaya yang jernih dan tembus pandang. Kita tidak membayangkan lukisan, dan tentu juga tidak membayangkan patung. Kita tidak membayangkan sesuatu yang padat. Dan bayangan kita berada sekitar satu depa jauhnya dari kita, mengawang di ketinggian yang setara dengan kening bagian tengah. Dan mata kita tidak tertutup, tidak pula melihat ke arah sasaran pembayangan. Pandangan mata kita pusatkan dengan santai ke arah lantai, sembari membayangkan sosok Buddha di titik yang sama tinggi dengan kening kita. Dan setelah memilih sasarannya, ukurannya, dan seterusnya, kita tidak mengubah-ubahnya. Kita jaga tetap seperti itu.

Itu sedikit keterangan tentang cara melakukannya. Siapa tahu Anda belum pernah mendengarnya. Tapi tentu, kalau kita ingin benar-benar menjalankan laku ini, kita membutuhkan lebih banyak arahan. Sebetulnya, ini cukup sulit bagi sebagian besar kita yang tinggal di Barat karena kita tidak begitu akrab dengan pembayangan ini. Tapi yang sangat penting adalah, di awal-awal, sesi meditasi kita cukup sebentar saja, beberapa menit saja. Jangan paksa diri untuk melakukannya terlalu lama karena itu berisiko mengacaukan tenaga-tenaga di dalam tubuh kita akibat terlalu memaksakan diri. Kita harus sangat berhati-hati.

Top