Tinjauan Ringkas
Kita punya hidup yang luar biasa berharga, sebagai dasar kita untuk bisa mencapai kebebasan dan pencerahan. Untuk mendapatkan kelahiran kembali seperti itu sangatlah langka. Hidup ini berlalu begitu cepat dan dapat berakhir kapan saja, maka kita perlu sebaik-baiknya memanfaatkan hidup kita. Untuk melakukannya, Togme Zangpo menyarankan kita untuk hidup dalam pengasingan, jauh dari kampung halaman untuk membuat dapat membuat kemajuan di atas sang jalan.
Saat kita membuat kemajuan, tiap-tiap dari dorongan lam-rim terbangun di atas yang sebelumnya. Semua dorongan itu harus kokoh dan tulus, jika tidak tingkat lanjutnya hanya sebatas permukaan saja.
Pertama, tujuan kita adalah untuk kelahiran kembali yang lebih baik, khususnya kelahiran kembali sebagai manusia yang berharga, supaya kita bisa melanjutkan jalan kerohanian kita. Dengan mengingat kematian dan ketaktetapan, saat tahu betapa sulitnya mencapai kebebasan atau pencerahan dalam satu masahidup, maka kita bertujuan untuk mencapai kehidupan manusia berikutnya yang berharga. Untuk bisa melakukannya, kita perlu memastikan bahwa kita memiliki pengaruh baik dalam hidup kita ini. Maka, kita menghindar dari teman-teman yang menyesatkan, dan berpegang sepenuhnya pada pembimbing rohani yang mumpuni.
Lalu, kita tempatkan haluan aman dalam hidup kita, dengan berlindung pada Buddha, Dharma, dan Sangha. Kita menuju penghentian sejati dan jalan cita sejati yang telah dicapai sepenuhnya oleh para Buddha, dan sebagian oleh Sangha. Untuk memastikan agar tidak mendapat kelahiran kembali yang lebih buruk, kita menahan diri dari perilaku merusak.
Meskipun kita tetap memiliki kelahiran kembai sebagai manusia yang berharga, atau kelahiran kembali di alam dewata, kehidupan itu masih menyimpan sejumlah besar duka. Ia masih merupakan samsara, dan kesenangan atau kebahagiaan apa pun yang kita alami, hanyalah sekejap saja. Semua itu tidak akan pernah langgeng, dan tidak akan pernah memuaskan kita.
Ini jadi pokok yang penting, karena dengan dorongan tingkat awal, mudah sekali kita melekat pada kehidupan manusia yang berharga. Kita bisa saja berdoa agar selalu mendapatkan kelahiran kembali yang paling menakjubkan supaya kita bisa bersama dengan teman-teman kita dan guru-guru rohani, atau agar bisa selalu belajar Dharma karena itu sangat indah dan menyenangkan. Ini masih merupakan kemelekatan pada samsara. Hal-hal menyenangkan tidak hanya berisi duka perubahan, duka serba-merembes pun juga ada setiap saat. Setiap saat kita akan kebingungan, dan itu akan secara tetap melanggengkan naik turunnya samsara.
Betapa sukarnya untuk dengan tulus, dari lubuk hati kita yang terdalam, menuju kelahiran kembali sebagai manusia yang berharga, lebih sukar lagi untuk berupaya dengan tulus mencapai kebebasan dari kelahiran kembali yang berulang tanpa terkendali, tanpa kemelekatan pada kehidupan manusia. Kita seharusnya tidak meremehkan penyerahan, yang berarti menyerahkan samsara itu sendiri. Tidak peduli seberapa hebatnya teman Dharma atau pembimbing rohani kita, itu semua tidak kekal. Kita tidak dapat tinggal selamanya dengan seseorang. Milarepa tidak bisa tinggal selamanya dengan Marpa. Dia harus pergi, dan itu adalah bagian sulit dari kemelekatan.
Kita bertujuan untuk kelahiran kembali sebagai manusia yang mulia sebagai batu loncatan demi kebebasan dan pencerahan, atau sebagai sebuah kapal yang berguna, seperti yang Togme Zangpo maksudkan, untuk membawa kita menyeberangi lautan samsara tanpa kemelekatan kita pada kapal itu sendiri. Ketika kita sampai di daratan di seberang, kita turun dari kapal dan tidak ada keraguan untuk meninggalkannya.
Dorongan tingkat lanjutan bahkan lebih sulit. Begitu kita mencapai kebebasan, mudah bagi kita untuk santai dan menikmati pengalaman kebahagiaan murni yang ada. Pada tingkatan lanjutan, kita memikirkan orang lain, semua ibu kita, dan kita bertujuan dengan bodhicita untuk berupaya lebih lagi. Dengan sunyata dan bodhicita, memasuki enam sikap menjangkau-jauh, kita bekerja untuk mencapai pencerahan demi manfaat bagi setiap orang.
Kita perlu mengatasi dua kutub samsara dan nirwana. Ini sebenarnya sangat sulit, kita perlu mengenali bahwa kelahiran kembali sebagai manusia mulia dan kebebasan hanya merupakan titik pemberhentian sementara di atas jalan pencerahan. Tidak ada cara lain untuk mendapatkan pencerahan tanpa batu loncatan itu.
Saat ini, kita dapat membaca, mendengar dan belajar tentang jalan tahapan bertingkat dengan mudah. Namun hanya karena kita akrab dengan tahapan-tahapannya, tidak berarti mudah untuk mendalaminya atau merasakan tingkat demi tingkat dorongan dengan tulus. Itu bisa berlangsung bertahun-tahun! Untuk bisa benar-benar merasakan sepenuhnya merupakan sebuah pencapaian yang besar, untuk di tingkat awal sekalipun.
Perlu pengulangan lagi dan lagi, satu-satunya cara untuk bergerak maju adalah mendengarkan ajaran terlebih dahulu, lalu mempelajari dan memikirkan tentang ajaran tersebut sampai kita memahaminya, kemudian memeditasikannya, memadukannya ke dalam hidup kita. Hanya melalui proses ini kita bisa secara tulus merasakan dorongan berbagai tingkat dorongan ini, dan tidak hanya tahu secara permukaan saja.
Togme Zangpo mengajak kita mengembangkan bodhicita lewat dua cara, lalu setelahnya, ia mulai menjelaskan perilaku bodhisattwa, yang pertama: tentang cara menghadapi gangguan. Lewat beragam seloka kita diberi tahu tentang pentingnya bersabar dan tidak menjadi pemarah, serta laku memberi dan menanggung. Dalam laku ini, kita menanggung duka orang lain, dan kita mempersembahkan kepada mereka daya positif dari tindakan membangun kita sendiri. Ketimbang menanggapi gangguan orang dengan kecaman dan pikiran negatif, kita memuji sifat baik mereka. Cara lainnya adalah dengan menganggap orang yang mencobai kita sebagai guru kita, yang membuat kita mengenali dan memperbaiki kekurangan kita.
Dua Keadaan Genting yang Membutuhkan Laku Dharma
Bagian berikutnya merujuk pada dua keadaan genting yang membutuhkan perhatian teliti dalam laku Dharma kita – ketika sesuatu berlangsung sangat buruk atau sangat baik. Ketika sesuatu berjalan buruk, kita bisa patah semangat, dan saat semua berjalan baik, kita bisa jadi girang dan sombong. Ini mengacu pada tindakan berlebihan dalam menanggapi delapan hal selintas dalam hidup, yang disebut "delapan dharma keduniawian." Umumnya, kita memang kesal dengan hal-hal negatif atau girang dengan yang positif.
(18) Laku bodhisattwa ialah, sekalipun kita melarat dan selalu dihina orang, atau menderita sakit parah, atau diganggu hantu, menerima untuk diri kita sendiri, sebagai balasannya, semua daya negatif dan duka semua makhluk kelana dan tidak lesu semangat karenanya.
Ada satu rujukan lain di sini, yaitu laku tonglen, yang berarti menanggung duka orang lain dan memberi mereka kebahagiaan. Jika kita sangat miskin, atau dihina dan direndahkan orang lain, sakit atau diganggu roh atau hantu, maka, jika kita hanya memikirkan diri sendiri, lingkup kita akan menjadi sangat terbatas. Kita akan diliputi pikiran "malangnya diriku," dan karenanya, selain semua keadaan sulit ini, kita juga mengalami segala sesuatu dengan ketakbahagiaan yang berlipat ganda. Namun, jika kita memikirkan orang lain yang memiliki masalah sejenis dan meluaskan lingkup kita melampaui "malangnya aku" ke setiap orang lain, maka cara kita mengalami kesulitan ini akan sangat berbeda.
Sebagian dari kita mungkin pernah mengalami hal seperti ini, khususnya sebagai remaja yang bermasalah di rumah. Contohnya, mungkin orangtua kita pemabuk dan kita cenderung berpikir bahwa hanya kita saja di dunia ini yang memiliki masalah itu. Kita merasa sangat tersingkir, sendirian, dan sangat-sangat tidak bahagia. Namun ketika kita tahu bahwa banyak orang yang memiliki masalah yang sama, maka lingkup kita menjadi lebih luas. Kita mungkin mengunjungi sebuah komunitas pendamping yang membantu banyak orang dengan masalah serupa dan kita mulai berpikir dalam kerangka masalah yang dihadapi setiap orang.. Kita merasa bahwa "aku tidak sendirian," dan kita memikirkan jalan keluar untuk setiap orang. Cara kita mengalami masalah pribadi kita benar-benar banyak berubah!
Kita memperluas lingkup kita, berpikir dalam kerangka menukar diri dengan orang lain. Untuk melakukan ini, kita punya rasa peduli untuk menghapus duka dan kita berpikir untuk meluaskan dasar yang menjadi pijakan kita saat mencap "aku" yang lazim. Jika kita memperluasnya melampaui satu orang "aku" ini saja, ke setiap orang dan menerima sendiri daya negatif dan duka semua makhluk kelana, maka kita tidak akan berkecil hati. Alih-alih berkecil hati karena berpikir tentang semua makhluk, kita malah berkecil hati ketika hanya memikirkan si "aku" yang malang ini saja.
Ketika kita memikirkan setiap orang sebagai dasar yang semestinya bagi "aku", dengan kepedulian untuk menghapus duka, sangatlah penting bagi kita untuk juga memahami kesunyataan "aku". Jadi, bukan berarti ketimbang memiliki "aku" yang padu yang kecil kita malah kini memiliki "aku" yang padu yang besar yang meliputi setiap orang. Sama sekali bukan itu tujuan kita dan itu juga merupakan suatu kesalahan besar dalam latihan ini. Jadi bukanlah, "Karena aku adalah setiap orang maka aku akan mengambil alih dunia." Jika kita berpikir seperti itu, kita mungkin malah tambah berkecil hati.
Kendati demikian, kita bisa memperluas lingkup untuk dasar kita mencap "aku" yang lazim. Misalnya, kita dapat mengecap "aku" yang lazim pada diri kita sendiri sebagai seorang insan. Seumpama saya Patricio, bisa saya katakan, dan ini benar, bahwa "aku Patricio, maka aku sedang berupaya mengatasi duka Patricio." Sama benarnya juga dengan mengatakan, "Aku penduduk Xalapa" dan lebih lanjut lagi, "Aku penduduk Mexico." Masing-masing benar sebagai dasar bagi pengecapan "aku". Akan patut sekali jika kita berupaya menghapus duka semua orang di kota ini, di negara ini. Kita bisa memperluasnya menjadi "aku seorang manusia" atau "aku makhluk berindra" dan dengan dasar ini kita bertujuan untuk menghapus masalah yang tiap orang punya.
Contohnya ketika kita berupaya memperbaiki lingkungan dan menghilangkan pencemaran, itu bukan masalah pribadi kita saja. Ini masalah setiap orang di planet ini, termasuk hewan-hewannya. Demikian pula, kita bisa berupaya menukar diri kita dengan orang lain dalam hal mereka yang kita kenal dan untuk mereka yang menjadi sasaran upaya kita menghapus duka dan membawa kebahagiaan. Inilah cara Yang Mulia Dalai Lama menjelaskan tentang keabsahan untuk meluaskan perhatian kita terhadap orang lain, tidak hanya diri kita saja. "Aku seorang makhluk terbatas yang terperangkap dalam samsara" – itu benar, kan? Itu menjadi lingkup yang pantas untuk tujuan kita membantu semua makhluk terbatas untuk keluar dari samsara karena kita juga salah satu dari mereka. Ini merupakan cara berguna untuk tonglen, menanggung duka orang lain dan memberikan mereka kebahagiaan.
Pastinya, membebaskan setiap orang makhluk terbatas di dunia ini dan membawa mereka kepada pencerahan merupakan tugas besar, tetapi dengan tugas besar yang sedikit lebih terbatas sekalipun, jika kita memikirkannya dalam istilah "keakuan", maka kita akan menjadi sangat berkecil hati. "Bagaimana mungkin aku bisa melakukannya?" Namun, tanpa kesalahkaprahan tentang "keakuan" yang terpisah dari segala sesuatunya, tugas dan seterusnya, maka kita akan mengerjakannya saja. Saya rasa, itulah kunci untuk menanggung tugas-tugas yang besar. Orang cukup mengerjakannya saja.
Saya tinggal di Jerman, dan bayangan yang ada di benak saya adalah gambar kota-kota yang luluh-lantak selama Perang Dunia Kedua. Orang mungkin heran bagaimana caranya mereka membangun kembali kota-kota ini? Jika kita tinggal di Dresden, yang dibinasakan oleh hujan peluru, apa kita masih berpikir untuk mengurus rumah kecil kita sendiri saja? Tidak, karena akan sia-sia tanpa adanya prasarana kota. Kita tidak bisa hidup dengan cara itu, karena kita sepenuhnya terhubung dengan orang lain. Orang-orang hanya mengerjakannya, mereka bekerja bersama-sama tanpa dihantui oleh pikiran "Oh, bagaimana mungkin kita bisa membangun kembali kota ini?" Mereka hanya melakukannya dan pekerjaan itu berangsur-angsur selesai.
Keadaan genting lainnya yang kemungkinan muncul adalah saat kita menjadi kepala-besar dan pongah ketika hal-hal yang luar biasa terjadi pada kita. Ini dibahas di dalam seloka berikut:
(19) Laku bodhisattwa adalah, sekalipun kita dipuja-puji, dan disapa dengan anggukan hormat oleh banyak makhluk kelana, atau telah mencapai (kekayaan) yang sepadan dengan harta Vaisharavana (Pelindung Kekayaan), tidak sombong, sebab kekayaan duniawi itu tiada berhakikat.
Kita bisa jadi sangat kaya, atau orang mungkin memuji kita dan berkata betapa luar biasanya kita, dan betapa hebatnya karya kita, sampai-sampai mereka menundukkan kepala. Togme Zangpo menekankan, cara menghindari sikap sombong adalah dengan menyadari bahwa itu semua tiada berhakikat. Faktanya, banyak dipuji dan ketenaran justru bisa jadi hambatan. Lihatlah para bintang film dan penyanyi terkenal; mereka bahkan tidak bisa pergi keluar tanpa diusik oleh segerombolan paparazzi yang gemas ingin mengambil gambar mereka. Dan para penggemar yang melihat mereka berteriak dan mengejar-ngejar, bahkan ingin mencabik pakaian mereka! Mengerikan.
Sekalipun kita terkenal di bidang yang lain, semakin kita terkenal, semakin waktu kita dituntut. Ada lebih banyak pekerjaan, surel, kewajiban dan undangan, akhirnya kita menjadi kewalahan. Kita tidak bisa melakukan apa pun yang kita inginkan karena orang lain menginginkan waktu kita, dan kita tidak punya waktu untuk diri kita sendiri. Jika kita kaya-raya, akan selalu ada orang yang mengganggu, ingin mendapatkan uang kita. Kita merasa bahwa tidak seorang pun benar-benar menyukai diri kita, melainkan mereka ingin berteman hanya karena uang.
Untuk menghindari sikap sombong, kita perlu mengenali semua kerugian yang muncul akibat pujian, ketenaran dan uang, selain karena semua tidak ada hakikatnya. Bukan hanya tidak mampu memberi kita kebahagiaan sejati, semua itu tidak langgeng sama sekali. Sebagaimana kita mudah mendapatkannya, mudah juga kita kehilangannya. Seperti contoh dalam ajaran Buddha tentang makhluk ilahi yang lahir di alam surgawi yang indah, tapi lalu harus terjatuh.
Untuk menghindari keputusasaan ketika sesuatu berjalan buruk, kita menanggung duka orang lain dan mengembangkan welas asih untuk mereka yang memiliki masalah yang sama. Ketika sesuatu berjalan mulus, sangat penting untuk tidak sombong, dengan melihat bahwa semua itu tidak memiliki keuntungan dan tidak ada hakikatnya. Ketika kita memiliki uang, ketenaran, atau banyak hal idaman lainnya, kendati kita menyadari bahwa itu semua punya kekurangan, tapi ada keuntungannya juga. Kita bisa dan seharusnya menggunakan keuntungan itu untuk menyejahterakan orang lain, ketimbang menjadi sombong. Contohnya, dengan uang kita bisa mendukung beragam upaya kerohanian.
Mengatasi Sikap Bermusuhan dan Kemelekatan
Keadaan sulit lainnya yang perlu kita atasi saat mengikuti ajaran bodhisattwa adalah sikap bermusuhan dan kemelekatan, dan Togme Zangpo mencurahkan selokanya untuk masing-masing dari kedua hal ini.
(20) Laku bodhisattwa adalah menjinakkan kesinambungan batin kita dengan pasukan bersenjata kasih dan welas asih, karena jika kita belum menaklukkan musuh, yakni sikap bermusuhan kita sendiri, maka sekalipun kita telah menaklukkan musuh dari luar, tetap akan semakin banyak yang datang.
Shantidewa juga menggunakan citra bahwa lawan yang sebenarnya adalah musuh dari dalam diri, perasaan gelisah kita, bukan musuh dari luar, serta menjelaskan kaitannya dengan kesabaran sebagai cara untuk mengatasi kemarahan dan sikap bermusuhan. Togme Zangpo menjelaskannya dalam kerangka kasih dan welas asih. Kasih, welas asih, dan kesabaran merupakan daya lawan dari kemarahan. Shantidewa mengatakan bahwa kita tidak bisa menutupi permukaan bumi ini dengan kulit supaya kaki kita tidak menginjak duri. Sebenarnya, yang perlu kita lakukan adalah menutupi kaki kita sendiri dengan kulit, agar kita bisa pergi ke mana pun tanpa celaka. Demikian pula, kita tidak akan pernah bisa menyingkirkan semua musuh dari luar, tapi jika kita menyingkirkan musuh dari dalam, yaitu kemarahan, maka kita akan mampu pergi ke mana pun tanpa celaka.
Musuh sebenarnya adalah hambatan-hambatan dari dalam – perasaan gelisah kita sendiri – dan daya lawannya ibarat pasukan bersenjata dalam suatu pertempuran. Buddha berasal dari kasta kesatria, maka kita menemukan sejumlah besar kiasan tempur dalam agama Buddha, yang sering membuat orang terkejut. Banyak para guru India setelahnya, seperti Shantidewa, melanjutkan penggunaan kiasan medan pertempuran ini. Para guru Tibet seperti Togme Zangpo juga mengikuti contoh ini, dengan menggunakan citra seperti pasukan bersenjata cinta dan welas asih.
Saya pikir kiasan tempur ini secara khusus dapat membantu kita saat berhubungan dengan perasaan gelisah, karena sebenarnya memang seperti sebuah pertempuran. Ia merupakan pertempuran batin dan kita harus bertarung dengan hebat. Ia berbahaya dan kadang kita akan terluka. Contohnya, jika kita terlibat dalam laku pemurnian, segala bentuk hal yang tidak menyenangkan bisa muncul, tapi kita harus menghadap semua ini agar bisa mengatasi perasaan gelisah yang sudah begitu mengakar.
Jika kita terjun ke medan pertempuran, kita harus gagah berani. Dan ini benar tidak hanya dalam kerangka terjun ke medan pertempuran luar, tapi juga pertempuran dalam. Jika kita lihat terjemahan bahasa Tibet kata bodhisattwa, mereka menambahkan satu suku kata di akhir kata tersebut, yang mengubah maknanya dalam bahasa Tibet menjadi keberanian, atau yang berani. Dalam bahasa Sansekerta sebenarnya tidak ada. Kata Tibet untuk bodhisattva adalah jang-chub sem-pa. Kata di bagian pertama, jang-chub adalah bahasa Tibet untuk bodhi yang berarti pencerahan. Kata bagian berikutnya, sem-pa menjadi sattva, jika itu suku kata terakhir dieja sebagai pa. Bila seperti itu, maknanya adalah sesosok makhluk atau seseorang yang memiliki cita. Namun bahasa Tibet mengeja pa di akhir kata sem-pa, dengan cara yang berbeda. Mereka mengejanya dpa', dan ini suatu kata lain yang pengucapannya sama persis dengan pa, tapi artinya 'seorang yang berani', 'pemberani'.
Saya rasa kita tahu semua ini dari pengalaman kita sendiri. Kita bisa saja mengatasi kemarahan terhadap seseorang atau suatu keadaan dalam hidup kita, tapi kita masih saja marah dengan hal-hal lain ke depannya. Persoalannya sama sekali tidak selesai. Jadi kita harus terjun ke sebuah pertempuran panjang.
(21) Laku bodhisattwa adalah segera meninggalkan semua hal yang meningkatkan kadar ketergantungan dan kemelekatan kita, karena sasaran hasrat itu seperti air garam: semakin banyak (kita minum) semakin haus (kita jadinya).
Kita melihat hal ini dengan duka perubahan. Kesenangan duniawi, hal-hal yang sangat melekat pada kita dan yang sangat kita dambakan, tidak akan pernah memuaskan kita. Kita tidak akan pernah merasa cukup. Kita mungkin sementara cukup puas dengan makanan dan seks, tapi setelah beberapa lama kita menginginkannya lagi. Ini mengacu secara khusus pada semua hal yang meningkatkan kadar ketergantungan dan kemelekatan kita. Ada perbedaan antara hasrat merindu dengan ketergantungan dan kemelekatan. Hasrat merindu adalah untuk sesuatu yang tidak kita miliki. Ketergantungan dan kemelekatan adalah untuk sesuatu yang kita miliki dan tidak ingin kita lepaskan.
Kita semua punya barang yang melekat pada kita. Ada seorang teman saya yang benar-benar melekat pada buku Dharma dan secara gandrung membeli lagi dan lagi, sekalipun dia tidak ada waktu untuk membacanya. Togme Zangpo mengatakan bahwa obat untuk itu semua adalah meninggalkannya. Saya menyarankan ke teman saya itu bahwa dia dapat memberikan buku-buku itu ke sarana yang lebih besar seperti pusat Dharma, agar orang-orang dapat merasakan manfaatnya. Semakin sering dia ada di sekitar buku-buku itu, semakin melekat dia jadinya dan semakin banyak buku yang dibelinya! Apa pun bendanya, pakaian, rumah atau apa pun itu, obat paling mujarab untuk mengatasi ketergantungan kita adalah dengan membagikannya. Kita bisa menyumbangkan beberapa baju lama yang tidak pernah kita pakai lagi, dan kita bisa menggunakan rumah kita untuk kegiatan Dharma dan seterusnya.
Togme Zangpo juga mengatakan bahwa sasaran hasrat yang sangat melekat itu seperti air garam. Semakin kita minum, semakin kita haus. Semakin banyak sasaran kemelekatan ini kita tumpuk, semakin kita melekat padanya. Kita ingin lagi dan lagi dan kita tidak akan pernah merasa cukup. Contohnya, siapa yang berpikir uangnya di bank sudah cukup? Kita selalu ingin lebih dan lebih dan lebih lagi.
Tentu saja, meninggalkan semua sasaran kemelekatan ini bukan penyelesaian terdalam, karena kita mungkin masih sangat berhasrat untuk mendapatkannya kembali. Namun itu berguna sebagai langkah awal untuk mengatasi kemelekatan kita. Dalam seloka sebelumnya, Togme Zangpo mengatakan bahwa jika kita sangat melekat pada tanah kelahiran, di mana kemelekatan akan teman-teman mengombang-ambingkan kita seperti air, maka paling baik jika kita untuk sementara waktu meninggalkan tanah kelahiran kita. Pokok ini mengingatkan akan seloka itu juga.
Baru saja melintas sebuah contoh di kepala saya sebagai penerapannya. Katakanlah kita sangat melekat pada anak-anak kita. Ada banyak orangtua yang tidak ingin anak-anaknya pergi, dan semakin mereka bersama dengan anak-anaknya, semakin melekat mereka jadinya. Padahal tentu penting sekali bagi kita untuk membiarkan anak kita pergi, mula-mula membiarkan mereka pergi ke sekolah, membiarkan mereka menginap di rumah teman-temannya, dan membiarkan mereka pergi kuliah di kota lain. Kita tidak bisa memaksa mereka untuk terus tinggal di rumah saja. Kita juga harus melepas mereka untuk menikah dan pindah ke tempat lain. Ada banyak orangtua yang tidak menyetujui pasangan anak mereka, tidak peduli siapa pasangannya itu nanti. Ini karena pada dasarnya mereka melekat pada si anak dan tidak ingin ditinggalkan.
Tentu saja kita bisa bertanya, apakah Togme Zangpo benar-benar bermaksud bahwa kita harus meninggalkan komputer dan ponsel kita? Ini patut kita renungkan karena persoalan ini semakin menjadi-jadi. Ada orang yang sangat kecanduan dengan ponselnya dan terus-menerus memainkannya, atau yang menekuni komputernya seharian, tersambung dengan internet, agar mereka tidak melewatkan setiap surel yang masuk. Mereka mungkin seperti saya sendiri, sedikit maniak berita, dan setiap saat mereka melihat berita apakah itu di internet atau di televisi. Contohnya, banyak orang kecanduan siaran CNN, dan menonton berita yang sama terus-terusan. Lagi-lagi, saran untuk meninggalkannya sangatlah membantu. Meskipun kita tidak sepenuhnya meninggalkannya, yang saya rasa sangat sulit adalah untuk memeriksa surel sekali sehari, melihat berita hanya sekali sehari, dan tidak melakukannya setiap saat. Gunakan ponsel ketika Anda butuhkan.
Contoh terakhir yang berhubungan dengan menyerahkan sasaran kemelekatan adalah pantangan makan (diet). Ketika kita sedang diet, padahal kita amat melekat pada cokelat, kue kering dan seterusnya, ketika itu semua ada di rumah akan sangat, sangat sulit untuk tidak memakannya. Cara terbaik, dan mungkin satu-satunya cara untuk setia pada diet, adalah cukup dengan tidak membeli cokelat, kue kering atau kue-kue lainnya. Jangan sampai itu semua ada di rumah. Ketika itu semua tidak ada, kita tidak akan memakannya. Benar, kan? Saya yakin kita semua tahu itu lewat pengalaman, jika kita pernah berdiet.
Mengembangkan Bodhicita Terdalam, Penyadaran akan Sunyata
Bagian berikutnya meliputi pengembangan bodhicita terdalam. Ada bodhicita lazim atau nisbi, yang diarahkan menuju pencerahan demi manfaat bagi semua makhuk. Lalu ada bodhicita terdalam, yang diarahkan menuju sunyata (kekosongan), khususnya sunyata cita. Ini hakiki sifatnya untuk laku bodhisattwa kita.
(22) Laku bodhisattwa adalah mengesampingkan segala fitur swabawa dari segala hal yang dicerap oleh cita dan mengesampingkan cita pencerap itu sendiri, dengan menyadari seperti apa sejatinya segala sesuatu itu. Tidak peduli seperti apa pun segala sesuatu itu tampaknya, semua itu berasal dari cita kita; dan cita itu sendiri, dari awalnya, terpisah dari semua titik lajat rekayasa batin.
Saat berbicara mengenai sunyata dalam ajaran Buddha, yang diacu adalah ketiadaan sesuatu, sesuatu yang tidak pernah ada di situ dari awalnya. Sesuatu ini merupakan cara mustahil untuk menetapkan atau menjelaskan keberadaan lazim semua hal yang dapat diketahui secara sahih sebagaimana tampaknya. Cara mengada yang mustahil memang tidak pernah ada, bukan begitu? Contoh paling sederhana adalah dengan berpikir, "aku adalah orang terpenting di dunia ini dan yang membuatku seperti ini adalah karena aku pusat dari semesta. Karena menjadi orang terpenting, segalanya harus sesuai kehendakku. Setiap orang harus selalu memperhatikan dan mencintai aku." Itu mustahil. Meskipun kita mungkin nampak seperti itu karena kita merasa diri kita penting, tidak seorang pun dapat ditetapkan sebagai pusat semesta; semua orang tidak mengada dengan cara yang mustahil seperti itu. Tidak pernah ada yang seperti itu.
Untuk memperoleh pemahaman tingkat terdalam ini, kita perlu menyadari bahwa terdapat cara mustahil yang lebih dan lebih halus dalam menjelaskan keberadaan lazim dari semua hal yang dapat diketahui dengan sahih sebagaimana tampaknya. Tidak mudah mengenali tingkat yang paling halus ini. Maka, pertama-tama kita perlu menyanggah dan menjernihkan tingkat-tingkat yang lebih kasar, dalam artian menyadari bahwa semua itu tidak sesuai dengan cara sesuatu itu sebenarnya mengada. Kemudian kita upayakan untuk memahami tingkat-tingkat yang lebih halus tadi.
Kita bisa melihat seloka ini dari sudut pandang Sakya, di mana segala sesuatu dapat tampak di hadapan kita seolah suatu sasaran luar itu datang dari sumbernya sendiri dan cita kita yang melihatnya berasal dari sumbernya sendiri, yang sama sekali terpisah dari sumber sasaran luar tadi. Contohnya, kita mungkin berpikir seseorang yang menyebalkan itu datang dari suatu tempat di luar sana, kita melihat seperti ada suatu fitur swabawa yang membuatnya menjadi menyebalkan, sebagaimana tampaknya, dan seperti inilah dia tampak bagi setiap orang, bukan cuma bagi anggapan kita saja. Naskah mengatakan jangan menaruh perhatian pada hal itu. Kita seharusnya mengesampingkannya, dan menyadari seperti apa sejatinya segala sesuatu itu. Dengan kata lain, tidak peduli bahwa hal tersebut tampak secara mendua, semua kenampakan itu berasal dari cita kita sendiri. Kenampakan orang tersebut sebagai orang menyebalkan dan cita yang melihatnya sebagai orang menyebalkan sama-sama berasal dari benih karma yang sama di cita kita sendiri dan bukannya secara mendua berasal dari dua sumber yang berbeda.
Namun, dan ini penting, bukan berarti cita merupakan pembayang yang sungguh ada dari semua kenampakan ini. Cita itu sendiri juga tidak mengada sebagai suatu ihwal yang sungguh dapat ditemukan. Sifat murni dari cita adalah bahwa ia, pada dasarnya, tidak membayangkan rekayasa batin ini, semua kenampakan keberadaan mendua yang konyol ini. Itulah cara Sakya dalam memahami baris ini, persis dengan yang dimaksud oleh Togme Zangpo ketika dia menuliskannya, karena ia memang pengikut aliran Sakya di ajaran Buddha Tibet. Kita juga menjumpai cara membahas sunyata yang serupa di dalam Latihan Cita Tujuh-Titik, yang ulasan atasnya juga ditulis oleh Togme Zangpo. Naskah itu juga menjelaskan sunyata dari sudut pandang Sakya.
Jika kita melihat seloka itu dengan tafsir Gelugpa kemudian, kita dapat memahminya di tingkat yang berbeda. Untuk menggunakan contoh di atas, tampak seolah ada semacam fitur swabawa yang dapat ditemukan di dalam diri orang itu, atas kuasanya sendiri, seolah menjelaskan fakta bahwa ia tampak bagi kita sebagai orang menjengkelkan. Kita seharusnya mengesampingkannya, karena bukan seperti itu sejatinya segala sesuatu. Kenampakan menipu ini berasal dari cita kita sendiri saja – baik dari daya karma yang terbina atasnya atau dari kebiasaan cita yang terus-menerus menanggap segala sesuatu mengada secara mustahil. Yang sesungguhnya adalah bahwa orang ini tampak menjengkelkan baik karena suatu fitur swabawa dari sifat menjengkelkan ditambah cap batin dari citra kita terhadap "sifat menjengkelkan" atau, pada tingkat yang lebih halus, cuma karena cap batin dari citra kita saja.
Terlebih lagi, cita itu sendiri terpisah dari titik-titik lajat rekayasa batin, yang berarti bahwa cita itu tanpa cara mengada yang mustahil yang terekayasa secara batin. Ini mengacu pada sunyata sifat lazim cita (kegiatan batin memunculkan kenampakan dan mengetahuinya) atau sifat cita yang terdalam (sunyatanya).
Perlu upaya pembelajaran besar dan kedalaman terhadap seloka ini. Sekalipun kita tidak begitu memahami penjelasan ini, kita masih bisa memahami bahwa ajaran tentang sunyata sangatlah dalam dan memiliki banyak tingkatan yang menjadi jenjang pemahaman kita. Baru kemudian kita mengembangkan rasa hormat dan minat dalam mencoba menyelaminya lebih dan lebih dalam lagi, dan memahaminya.
Semua ini sangatlah penting dalam hal mencoba menolong orang lain. Jika berpikir bahwa ada makhluk malang yang berduka di luar sana, dengan sesuatu yang dapat ditemukan di dalam diri mereka dari sisinya sendiri yang membuat mereka menjadi makhluk malang yang berduka, maka tidak peduli apa pun yang kita lakukan untuk menolong, mereka tidak akan pernah berubah. Jadi pokok-pokok semacam ini betul-betul penting, bukan?
Ketika kita sedang berupaya mendalami sunyata dan mencoba memahaminya, ada dua tahap pemahaman. Tahap pertama adalah ketika daya pemusatan kita sepenuhnya terserap pada pemahaman itu, "Tidak ada yang seperti itu" sebagai cara mengada yang mustahil. Agar sepenuhnya terserap pada "Tidak ada yang seperti itu", pemahaman kita harus didasarkan pada keyakinan kuat yang muncul dari penyelidikan dan penalaran mantik bahwa cara mengada yang mustahil itu betul-betul mustahil.
Contohnya, jika kita hanya mengatakan, "Tidak ada cokelat di rumah kita," kita mungkin tidak terlalu yakin akan hal itu. Tapi, jika kita menggeledah seisi rumah dan kita tidak menemukan cokelat, maka kita menjadi lebih yakin bahwa di sana tidak ada cokelat. Atau, kita mungkin berpikir, "Tidak ada siaran yang menarik di TV". Kita bisa menyimpulkan itu hanya dengan tidak melihatnya, atau kita bisa memeriksa satu per satu semua saluran yang ada. Ketika kita mencari di semua saluran dan kita tidak menemukan siaran yang menarik, maka kita menjadi lebih yakin bahwa "Tidak ada siaran yang menarik di TV."
Itulah tahap pertama, penyerapan sepenuhnya pada "tidak ada hal semacam itu," atau pada sunyata. Ketika kita memusatkan perhatian padanya, itu seperti yang tampak di dalam cita Anda ketika Anda memusatkan perhatian pada, "Tidak ada cokelat di rumah." Apa yang tampak? Tidak ada yang tampak dan kita paham bahwa tidak ada cokelat di rumah. Jadi, dalam penyerapan sepenuhnya pada sunyata, tidak ada yang tampak.
Lalu ada tahap pemerolehan berikutnya. Kadang ini disebut "pasca-meditasi," tapi itu bukan terjemahan yang jitu karena sebenarnya Anda masih meditasi. Nah, setelah penyerapan sepenuhnya, kita menyadari bahwa segala sesuatu itu seperti sebuah maya. Walaupun tampak seolah pasti ada sesuatu yang menarik di TV, walaupun rasa-rasanya seperti itu, itu seperti maya saja dan sesungguhnya tidak begitu. Oleh karena itu, walaupun sesuatu itu tampak mengada secara padu dari sisinya sendiri dan ia tampak seperti itu, itu cuma seperti maya. Maya tampak, tapi tidak mengada sebagaimana tampaknya. Itu tampak padu tapi sebetulnya tidak.
Kemudian, Togme Zangpo menuliskan dua seloka ini, yang memandang setiap hal seperti sebuah maya. Yang pertama berhubungan dengan hal-hal yang menyenangkan dan yang berikutnya berhubungan dengan hal-hal yang sama sekali tidak menyenangkan. Keduanya sama-sama seperti maya.
(23) Laku bodhisattwa adalah, ketika berjumpa dengan hal-hal yang menyenangkan, tidak menganggapnya betul-betul ada, kendati itu semua tampak indah seperti pelangi di musim panas, dan (dengan demikian) melepaskan diri kita dari ketergantungan dan kemelekatan.
Ketika kita berjumpa dengan hal-hal indah, entah itu orang yang rupawan atau hal-hal indah yang kita suka, di sini kita dinasihati untuk melihat bahwa semua itu tidak mengada bersama suatu fitur swabawa yang dapat ditemukan di sisinya yang membuatnya indah. Semua hal ini tidak menakjubkan secara swabawa, yang membuat kita merasa harus memilikinya. Tidak ada apa pun yang membuatnya indah dan begitu menarik oleh kuasanya sendiri, terpisah dari segalanya. Walaupun semua hal itu mungkin tampak indah, menarik, dan menakjubkan secara swabawa dari sisinya sendiri, kita perlu menyadari bahwa itu semua sesungguhnya tidak mengada seperti itu. Itu mustahil; itu semua cuma tampaknya saja, mirip dengan maya. Perumpamaannya di sini adalah pelangi di musim panas. Pelangi itu indah dan tampak ada secara padu dan indah dari sisinya sendiri, tapi sebetulnya tidak ada yang padu di situ. Kalau kita periksa lebih dekat, kita tidak menemukan apa pun dari sisinya sendiri.
Di sini kata pentingnya adalah seperti. Segala sesuatu itu seperti maya. Jadi bukan segala sesuatu itu adalah maya. Ada perbedaan besar antara maya dan sesuatu yang seperti maya. Shantidewa menggunakan contoh seorang penyihir yang menyulap seekor kuda khayalan/maya; membunuh kuda maya dan membunuh kuda betulan itu beda sekali ganjaran karmanya. Ganjarannya berbeda berdasarkan terpengaruhi tidaknya sesuatu/seseorang oleh tindakan membunuh itu, seperti si kuda tadi. Oleh karena itu, segala sesuatu itu seperti maya, seperti pelangi musim panas.
Dengan cara ini kita mencoba untuk melepaskan diri kita sendiri dari ketergantungan dan kemelekatan. Ini mengacu pada ketergantungan dan kemelekatan yang muncul dengan sendirinya, yang kita rasakan dengan sendirinya, sekalipun kita pernah mengalami pengetahuan nircitra atas sunyata. Pengalaman itu akan melepaskan kita dari kemelekatan yang boleh jadi berdasar pada suatu ajaran dari aliran tan-Buddha; akan tetapi, tetap saja kemelekatan ini muncul dengan sendirinya. Jadi, kita perlu tetap berupaya memahami sunyata.
Karenanya, kita kemudian memahami bahwa laku yang disebutkan Togme Zangpo dua seloka sebelumnya, tentang melepaskan diri dari semua hal yang meningkatkan kadar ketergantungan dan kemelekatan kita, itu adalah jalan keluar sementara saja. Jalan keluar terbaik adalah betul-betul memahami sunyata dari hal-hal yang tampaknya indah ini, menyadari bahwa semua itu tidak secara swabawa mengada sebagai indah dan menyenangkan dari sisinya sendiri.
(24) Laku bodhisattwa adalah, ketika berjumpa dengan keadaan merugikan, melihat keadaan tersebut sebagai tipuan, karena aneka duka itu seperti kematian anak kita di dalam mimpi dan menganggap kenampakan yang menipu (semacam itu) sebagai kebenaran sama dengan buang-buang tenaga.
Ini mengacu pada keadaan sebaliknya, ketika kita berjumpa dengan hal-hal yang tidak menyenangkan atau keadaan merugikan. Kita perlu melihatnya seperti maya juga. Kenampakan hal-hal yang tidak menyenangkan dan keadaan yang merugikan sebagai merugikan dan mengerikan dari sisi mereka sendiri itu bersifat menipu. Menipu berarti bahwa cara mereka tampak itu tidak sesuai dengan cara mereka mengada yang sebetulnya. Itu menipu kita, karena kita berpikir bahwa mereka mengada sebagaimana tampaknya.
Memandang aneka duka yang kita jumpai sebagai mengerikan dan keji secara swabawa dari sisinya sendiri, dan kemudian merasa bahwa kita tidak sanggup menghadapinya, itu seperti kenampakan kematian anak kita di dalam mimpi. Ketika kita mengalami kematian anak kita di dalam mimpi, tentu saja tampaknya nyata dan mengerikan, tapi kemudian kita terbangun dan melihat bahwa itu cuma mimpi. Kenampakan dalam mimpi itu menipu, karena tampak nyata dan kita percaya, padahal sebenarnya tidak seperti itu. Demikian pula, ketika kita terjaga sekalipun, walau tidak sama dengan mimpi, akan tetapi segala sesuatu tampak secara menipu. Seloka ini secara khusus mengacu pada keadaan merugikan dan betapa segala hal sulit yang terjadi pada kita tampak ada dan asli dan seterusnya, padahal tidak. Itu mustahil.
Keadaan merugikan yang kita jumpai itu tampak begitu mengerikan dan keji, hanya oleh kuasa cap-cap batin "mengerikan" atau "keji". Apa sebenarnya keadaan buruk itu? Keadaan buruk adalah hal yang kita lihat dengan cap "buruk". Namun tidak ada satu hal pun dari sisinya sendiri yang membuatnya buruk. Kita dan sekelompok orang di masyarakat kita telah memunculkan citra "buruk". Kita telah merumuskannya dan dapat menemukannya di kamus, jadi kita menggunakannya untuk mengecap berbagai hal. Tapi citra untuk "buruk" itu merupakan hal yang, seperti ditunjukkan dua seloka sebelumnya, dibuat oleh cita. Memang sah-sah saja menyebutnya keadaat sulit, keadaan mengerikan, dalam arti bahwa setiap orang akan sepakat atas hal itu, dan kita semua menggunakan istilah itu. Lazimnya, ia sah. Tapi tampak seolah ada sesuatu dari sisinya sendiri yang membuatnya mengerikan. Nah, itu yang menipu, karena ia merupakan kenampakan yang seperti maya. Jadi ketika kita menganggap benar semua kenampakan menipu ini, itu lah yang sebetulnya dikatakan Togme Zangpo sebagai buang-buang tenaga. Cuma menyia-nyiakan waktu kita dan membuat kita lelah dan memperparah duka kita saja.
Contohnya, ketika kaki kita menabrak perabot di kegelapan, rasanya sakit. Tentu saja sakit, tapi buang-buang tenaga namanya kalau kita menanggapinya berlebihan "Aduh, sial sekali!" lalu meloncat-loncat dan membesar-besarkannya. Yang pasti itu tidak akan membuat rasa sakitnya sirna dan tidak ada gunanya. Cuma memperpanjang duka kita saja. Kakiku terbentur lalu sakit, sebab dan akibat. Memangnya kenapa? Memangnya itu baru? Namanya juga samsara.
Pertanyaan
Seloka 21 berbicara tentang meninggalkan semua hal yang meningkatkan kadar ketergantungan dan kemelekatan kita. Apa perbedaan antara keduanya dan idaman serta hasrat?
Ada banyak istilah teknis dalam ajaran Buddha yang tampaknya serupa, tapi mereka punya cakup-makna dan penggunaan lumayan khusus. Ketergantungan artinya tetap bergantung pada sesuatu yang kita sukai. Aliran Sakya menunjukkan empat hal utama yang perlu kita tanggalkan: segala hal dari masahidup yang sekarang ini, segala hal dari masahidup selanjutnya, tujuan-tujuan kita yang sifatnya mementingkan diri sendiri, dan cara mengada yang mustahil. Istilah "ketergantungan" juga digunakan dalam lingkung pengetahuan bercitra. Ketika kita memikirkan sesuatu sebagai anggota dari suatu kelompok bercitra, seperti hewan peliharaan kita sebagai seekor anjing, kita katakan bahwa sasaran yang menjadi tempat "bergantungnya" pengetahuan ini adalah hewan peliharaan kita.
Kemelekatan adalah ketika kita sudah mendapat sesuatu yang kita anggap sebagai dambaan, kita melebih-lebihkan sifat baiknya dan tidak ingin melepaskannya. Hasrat adalah ketika kita tidak memiliki sesuatu yang kita mau, kita kemudian melebih-lebihkan sifat baiknya dan rindu untuk mendapatkannya. Idaman secara harfiah berarti "haus" dan digunakan secara khususnya sehubungan dengan rasa kebahagiaan dan ketakbahagiaan. Ketika kita mengalami sesesap kebahagiaan, kita merasa haus, kita tidak mau terpisah darinya. Dan ketika kita mengalami ketakbahagiaan, kita merasa haus untuk terpisah darinya.
Kita dapat melihat bahwa telaah di dalam ilmu kejiwaan Buddha mengenai berbagai tataran cita itu sangat canggih. Ada banyak sekali perbedaan halus dan sayangnya, kita tidak selalu memiliki istilah yang khusus untuk itu dalam bahasa kita. Ketika kita mengetahui asal-usul istilah kata dan cakup-maknanya, kita dapat benar-benar memahami apa yang naskah itu bicarakan.
Saya mendapati bahwa susah sekali untuk memahami sunyata, tapi ketika saya mendengarkan penjelasan Anda yang jernih, itu seperti, "Oh ya, segala sesuatu itu seperti mimpi." Tapi ketika saya menghadapi keadaan sehari-hari yang sebenarnya, sulit untuk menyatukan pemahaman ini. Bagaimana kita bisa melakukan ini?
Satu-satunya cara menyatukannya adalah meditasi, yang berarti melatihnya terus menerus, dan memikirkannya sebanyak mungkin. Begitu kita memahami sesuatu lewat meditasi, maka kita dapat mengenali bahwa keadaan yang kita hadapi itu seperti maya. Semakin sering kita menerapkannya, semakin alami jadinya, dan semakin sedikit kita diganggu oleh naik turunnya samsara.
Contoh saja, baru-baru ini saya diundang ke Bogota, Kolumbia, untuk berkunjung dan mengajar sebelum perjalanan ke Meksiko ini. Yang Mulia Dalai Lama akan ke sana dalam beberapa minggu ini dan mereka bilang kedatangan saya akan sangat membantu dalam mempersiapkan diri dan memunculkan suasana hati yang tepat. Tanggalnya bersamaan dengan hari Paskah dan saya sudah tanya apakah orang bakal punya waktu untuk mengatur dan menghadiri kursusnya, dan saya diyakinkan bahwa itu tidak akan jadi masalah. Saya memikirkannya sedikit seperti mimpi dan tidak menganggapnya nyata sekali. Saya beli tiket pesawat dan menyusun agenda dan begitu saja.
Beberapa minggu sebelum saya harusnya berangkat, saya menerima sebuah surel yang mengatakan bahwa sangat sulit untuk mengatur dua perjalanan, satu untuk Yang Mulia dan satu untuk diri saya sendiri. Mereka membatalkannya, tapi saya tidak menyalahkan mereka dan membalas "Kan sudah saya bilang." Saya cuma memeriksa jumlah uang yang akan hilang karena pembatalan tiket dan ketidaknyamanan orang-orang di Meksiko sini. Lagi-lagi, bukan masalah besar. Saya tidak bahagia, tidak juga tidak bahagia akan hal itu.
Ketika saya beritahu mereka tentang biaya yang harus mereka bayar untuk perjalanan yang batal itu dan biaya yang membengkak untuk para siswa Meksiko, mereka membalas dengan meminta saya untuk datang saja. Lagi-lagi, saya tidak betul-betul bahagia, tidak juga tidak bahagia. Baiklah, saya akan datang, dan tidak terlalu banyak berpikir lagi.
Lalu, dua belas hari sebelum saya pergi, saya menerima sebuah surel dari Kolumbia yang mengatakan bahwa mereka sudah tanya siapa saja yang mau hadir, dan tak seorang pun, bahkan penerjemahnya, yang tersedia. Mereka sadar bahwa mereka benar-benar harus membatalkannya. Itu seperti sebuah maya, dan saya tidak bahagia maupun sedih. Saya membatalkan tiketnya dan membeli tiket yang berbeda untuk pergi ke Meksiko. Saya tidak berduka dan tidak pula terlalu bersemangat. Bukan masalah besar, seperti mimpi saja, tidak perlu terlalu dipikirkan. Jika kita dapat menerapkan ajaran mengenai sunyata dan ajaran bahwa segala sesuatu itu seperti maya seperti ini, sungguh ampuh sekali, tapi tentu saja perlu terbiasa.