Enam Paramita dan Laku Harian

Seloka 25 sampai 37 dan Seloka-Seloka Simpulan

Enam Paramita

Togme Zangpo kemudian membahas enam sikap menjangkau-jauh, atau yang disebut dengan "kesempurnaan" atau "paramita", yang merupakan dasar teramat penting bagi perilaku bodhisattwa kita. Sumpah bodhisattwa, khususnya sumpah kedua, merupakan jalan untuk menjalankan keenam sikap ini.

(25) Laku bodhisattwa itu memberi dengan murah hati, tanpa mengharapkan balasan apa pun atau suatu karma menjadi matang, karena, bila mereka yang menginginkan pencerahan harus bahkan menyerahkan raganya, buat apa menyebut-nyebut harta duniawi milik kita?

Sikap menjangkau-jauh yang pertama adalah murah hati. "Sikap menjangkau-jauh" ini agaknya terjemahan harfiah dari istilah bahasa Sanskertanya, dalam arti bahwa ketika kita mengembangkan tataran cita ini, ia jauh jangkauannya. Sikap ini membawa kita jauh sekali; malah, sampai menuju pencerahan.

Lebih tepatnya, sikap ini dapat membawa kita sampai ke kebebasan, atau kebebasan dan pencerahan. Di dalam aliran Buddha Hinayana, ada juga sikap menjangkau-jauh, tetapi tujuan dari menjalankannya adalah guna mencapai kebebasan, dan untuk menolong orang lain di sepanjang jalan menuju pencapaian itu juga tentunya. Yang membuat sikap-sikap ini jadi khas Mahayana adalah ketika dorongannya adalah bodhicita. Oleh karena itu, kalau kita hendak menjalankan sikap menjangkau-jauh ini dalam lingkung Mahayana, sangat penting bahwa sikap tersebut berpijak kuat pada tujuan utama dalam hidup kita ini, yaitu bodhicita, untuk mencapai pencerahan dan mampu menolong orang lain di sepanjang jalan menuju pencapaian itu, serta juga sepenuh mungkin ketika kita pada akhirnya mencapai pencerahan.

Shantidewa menunjukkan satu pokok teramat penting ketika ia berkata bahwa keenam sikap menjangkau-jauh ini hanya itu lah – sikap dan tataran cita. Keenamnya bukan merupakan tindakan yang dilandaskan padanya. Seperti ia utarakan dalam Memasuki Perilaku Bodhisattwa:

(V.9) (Lagipula,) jika paramita memberi itu adalah bahwa kemiskinan semua makhluk kelana jadi sirna; maka bagaimana bisa para Penjaga di masa lampau telah menyempurnakannya, kalau sampai sekarang masih ada kelaparan dalam hidup makhluk kelana?

(V.10) Paramita memberi konon menjadi melalui cita yang bersedia memberikan kepada setiap insan segala milikku, beserta hasil-hasilnya; maka itu, cita itu sendirilah ia.

Karena sikap ingin dan bersedia memberi segalanya kepada setiap insan lah yang penting, maka sekali pun kita tak punya apa-apa, kita masih dapat mengembangkan sikap menjangkau-jauh ini. Contohnya, kita dapat bayangkan, "Semoga setiap insan bisa menikmati mentari tenggelam yang indah ini," atau apa saja hal yang sedang kita nikmati. Kita juga dapat membayangkan memberi orang lain apa pun yang mereka butuhkan. Tetapi kalau kita punya benda atau barang yang dapat kita berikan kepada orang lain untuk membantu mereka, maka tidaklah cukup kalau kita hanya mengejawantahkan dan membayangkan memberi benda atau barang tersebut kepada mereka. Kita mesti betul-betul memberikannya!

Ketika kita memberi barang atau benda kepada orang lain atas dasar kemurah-hatian, penting bagi kita untuk melakukannya, seperti dikatakan Togme Zangpo, tanpa mengharapkan balasan apa pun. Jadi itu bukan seperti dagang atau jualan. Kita tidak sedang memperdagangkan sesuatu, atau memberikan sesuatu supaya menerima sesuatu sebagai balasannya. Dan ini tidak hanya terbatas pada mengharapkan balasan bendawi, tapi juga mengharapkan orang lain itu menyukai kita, mengasihi kita, atau bahkan berterima kasih kepada kita. Tidak boleh ada harapan untuk itu sama sekali. Bukan itu alasan kita memberi kepada seseorang. Ketika tangan menyuapkan makanan ke mulut, apakah tangan mengharap ucapan terima kasih, atau selamat, atau apa pun sebagai balasannya? Kita memberi hanya karena orang lain membutuhkannya saja. Kalau kita mampu memberikan yang mereka butuhkan dan tidak akan ada hal celaka terjadi karenanya, ya kita berikan. Sama seperti melihat ada piring kotor di tempat cucian; tidak peduli itu piring kita atau piring orang lain, piring itu perlu dicuci, dan kita melakukannya.

Demikian pula, saat kita memberi, jangan pula kita harapkan suatu karma menjadi matang. Faktanya, akibat dari kemurah-hatian adalah bahwa, di kehidupan-kehidupan selanjutnya, kita akan jadi kaya. Kalau kita dekati sikap murah hati ini, misalnya, dengan memberi sumbangan pada sanggar-sanggar Dharma dan semacamnya sebagai suatu upaya tanam modal, sembari berpikir bahwa di masa depan kita akan memetik laba darinya dan kita akan kaya di kehidupan-kehidupan selanjutnya, itu juga tidak patut. Selain itu, penting bagi kita untuk tidak melekat pada benda-benda yang kita berikan, atau mendesak agar orang yang menerimanya menggunakannya sesuai cara yang kita inginkan. Begitu kado itu kita berikan, kado itu jadi milik siapa, milik orang yang menerima atau milik kita?

Oleh karena itu, seperti dikatakan Togme Zangpo, bila mereka yang menginginkan pencerahan harus bahkan menyerahkan raganya, seperti contoh Buddha Shakyamuni yang menjadi bodhisattwa tingkat amat lanjut di suatu kehidupannya sebelumnya, memberikan potongan-potongan tubuhnya ke macan betina yang lapar, maka buat apa menyebut-nyebut harta duniawi milik kita? Kita tidak hanya perlu melepaskan kemelekatan kita pada harta duniawi milik kita, tapi juga raga kita ini sekali pun kita serahkan, sebagai isi dari pelayanan kita bagi sesama.

Kalau kita bukan seorang bodhisattwa tingkat lanjut, maka, seperti dikatakan di dalam ajaran, "Rubah tidak melompat ke tempat singa melompat." Saat kita tidak siap untuk memberikan raga atau nyawa kita kepada orang lain, maka jangan lakukan. Mencoba melakukannya ketika kita tidak siap sudah barang tentu justru mengembangkan tataran cita yang amat negatif, dan itu sama sekali tidak ada manfaatnya. Sebetulnya, akan menarik jika kita menguji untuk melihat seberapa lanjut kita ini dalam hal kemurah-hatian: seberapa bersedia kita memberi makan nyamuk ketika ia mendarat di lengan kita dan menggigitnya? Kebanyakan orang tidak bersedia membiarkan nyamuk itu untuk mengambil apa pun dari kita. Seperti dikatakan Yang Mulia, "Nyamuk itu cuma ambil setetes darah. Tidak banyak."

Kalau kita bersedia memberikan sesuatu yang tidak kita butuhkan, atau yang tidak kita sukai, atau sisa-sisa, "Aku sudah bosan dengan baju-baju ini jadi kusumbangkan saja baju bekas ini ke orang miskin," pencapaiannya tidak luar biasa. Pokok pentingnya adalah bersedia memberikan kepada orang lain hal-hal yang sungguh kita inginkan, seperti waktu kita yang "berharga".

(26) Laku bodhisattwa itu menjaga sila tanpa keinginan duniawi, karena, kalau kita tidak mampu memenuhi tujuan-tujuan kita tanpa sila, keinginan memenuhi tujuan-tujuan orang lain adalah lelucon saja.

Sila adalah sikap menjangkau-jauh berikutnya. Sila merupakan tataran cita yang menjauhi tindakan merusak dan juga merupakan kekuatan cita untuk memasuki hal-hal membangun guna menolong orang lain. Untuk sila, kita perlu berpikir luas; sama dengan kemurah-hatian, di mana kita tidak cuma memberikan hal-hal bendawi saja, tetapi juga pertolongan, waktu, perhatian, kasih, ajaran, dan seterusnya.

Togme Zangpo menunjukkan bahwa menjaga sila, dengan kata lain menjaga guna memastikan bahwa kita berlaku pantas dan bukan secara tidak sepatutnya, merupakan hal yang perlu kita jalankan tanpa niat-niat duniawi. Apa maksudnya niat-niat duniawi? Mengapa kita mengembangkan disiplin? Seorang olahragawan mengembangkan disiplin, seorang pemusik punya mengembangkan disiplin. Ada banyak jenis disiplin yang dapat kita kembangkan. Namun apa niat kita dalam mengembangkan disiplin ini? Apakah sekadar untuk tujuan duniawi, menjadi olahragawan yang baik dan memenangkan medali, atau menjadi pemusik ahli? Yang perlu kita lakukan di sini adalah mengembangkan sila agar mampu meraih kebebasan dan pencerahan, dan menolong orang lain, baik itu di sepanjang jalan menuju pencapaian tersebut dan secara lebih lagi ketika kita telah mencapai pencerahan itu.

Ada banyak cara yang dapat kita jalani dalam mengembangkan disiplin yang amat duniawi sifatnya, misalnya membina raga kita sebagai seorang binaragawan. Kita berlatih terus-menerus hanya untuk tampak kuat. Atau kita berpantang makan makanan yang menggemukkan, atau makanan yang kita suka, karena kita mau langsing dan memikat lawan jenis. Ada unsur pamer yang luar biasa di sini. Bukan ini jenis disiplin yang sedang kita bicarakan. Itu kenapa di sini saya bedakan istilahnya, disiplin dan sila. Akan tetapi, sila sekali pun bisa dilakukan dengan niat duniawi. Contohnya, kita ingin jadi pelaku rohani yang baik, dan tidak ingin menjadi umat Buddha yang buruk, karena kita ingin guru kita menyukai kita. Itu niat yang sifatnya duniawi, bukan? Ingat, kita perlu menjalankan sikap-sikap menjangkau-jauh ini dengan bodhicita, dan bukan bodhicita lazim semata, tetapi bodhicita terdalam, pemahaman akan sunyata. Oleh karena itu, kita tidak melaksanakan sila untuk tujuan-tujuan yang sifatnya mementingkan diri sendiri.

Togme Zangpo menyatakan kalau kita tidak dapat memenuhi tujuan-tujuan kita sendiri tanpa sila; maksud dari ungkapan itu mengacu pada pemenuhan tujuan-tujuan rohani pada lingkup awal dan menengah. Untuk tujuan-tujuan kita, kita ingin memiliki kelahiran kembali yang lebih baik, kehidupan manusia yang berharga, dan kita ingin memperoleh kebebasan. Kalau kita tidak dapat mencapai ini tanpa sila, bagaimana mungkin kita bisa berpikir untuk memenuhi tujuan-tujuan orang lain untuk mencapai pencerahan, tanpa sila ini?

(27) Laku bodhisattwa itu membina kebiasaan bersabar, tanpa sikap bermusuhan atau jijik terhadap siapa pun, karena, bagi seorang bodhisattwa yang menginginkan limpahan daya baik, semua yang menyebabkan celaka setara dengan harta karun intan permata.

Kesabaran adalah tataran cita yang melandasi sikap tidak marah pada pihak-pihak yang mencelakai kita; kita tidak kesal dengan segala kesukaran yang bakal harus kita tanggung untuk meraih pencerahan; dan kita tidak muak dengan semua kesukaran yang kita jalani dalam menolong orang lain. Menolong orang lain itu tidak mudah, dan karena itu kita perlu membina kesabaran sebagai sebuah kebiasaan. Itulah yang dimaksud dengan kata "bermeditasi"; kita perlu paham bahwa makna sesungguhnya dari kata itu adalah membina kebiasaan yang bermanfaat. Jadi, dengan berlatih lagi dan lagi, kita perlu menjadikan kesabaran kebiasaan kita. Cara kita mengembangkan kebiasaan kesabaran adalah dengan tidak bersikap memusuhi atau menolak/jijik terhadap siapa pun. Tidak peduli seberapa sulit mereka untuk dibantu, tidak peduli seberapa merusak sikap mereka terhadap kita, kita tidak marah.

Seperti dijelaskan Yang Mulia Dalai Lama, kesabaran dan tepa selira bukanlah pertanda kelemahan; sesungguhnya, keduanya merupakan pertanda kekuatan yang dahsyat. Bersabar bukan berarti kita membiarkan saja orang lain berlaku merusak atau menginjak-injak kita dan kita diam saja. Maksud dari bersabar adalah kita membedakan si pelaku dari kelakuannya. Kita tidak marah pada insan pelakunya. Seperti dikatakan Shantidewa, kalau ada masalah yang bisa kita ubah, buat apa marah? Ubah saja. Lakukan saja. Namun, bila ada masalah yang tidak bisa kita apa-apakan, buat apa marah? Tidak ada gunanya juga.

Bersabar itu, seperti dikatakan Togme Zangpo, merupakan unsur sebab luar biasa untuk membina sejumlah besar daya positif. Ia berkata bagi seorang bodhisattwa yang menginginkan limpahan daya baik, biasanya ini diterjemahkan sebagai "pahala", semua yang menyebabkan celaka setara dengan harta karun intan permata. Mengapa? Ya bagaimana kita mengembangkan kesabaran kalau tidak ada orang yang menjengkelkan dan bikin susah? Kita jumpai pemikiran yang sama di naskah-naskah latihan cita yang lain. Sasaran kesabaran kita merupakan harta karun, karena melalui itu kita dapat membina limpahan daya baik, yang dengannya pencerahan dapat kita raih.

(28) Laku bodhisattwa itu mengerahkan kegigihan, sumber sifat-sifat baik demi semua makhluk kelana, karena kita dapat melihat bahwa para shravaka dan pratyekabuddha sekali pun, yang akan mencapai hanya tujuan-tujuannya sendiri, memiliki kegigihan seperti itu, sehingga mereka akan berpaling dari api yang menyala di atas kepala mereka.

Kegigihan merupakan sikap menjangkau-jauh keempat. Kata dalam bahasa Sanskerta untuk sikap ini, virya, berkaitan dengan kata Sanskerta vira, yang berarti 'pahlawan'; kata Latin vir berarti 'lelaki' dan dalam bahasa Inggris virile. Karena itu, istilah ini berarti semangat gagah berani untuk cergas melibatkan diri dan meraih tujuan positif yang sukar diperoleh. Dengan sikap ini, kita bertahan dan melanjutkan karya rohani kita, tidak peduli seberapa sulit, tanpa pernah lesu semangat, tanpa rasa malas, tanpa merasa tidak pantas, tanpa "Aku tak bisa," dan tanpa menunda-nunda. Kita bersuka cita atas hal yang kita kerjakan, khususnya gigih dalam kegiatan yang membangun. Inilah sumber sifat-sifat baik; dengan kata lain, mencapai pencerahan demi manfaat setiap insan.

Kalau para pelaku rohani Hinayana, para shravaka dan pratyekabuddha, yang berupaya hanya agar mereka menggapai kebebasan mereka sendiri saja begitu gagah berani, gigih, dan bekerja keras demi mencapai tujuannya, maka kita, yang berupaya sebagai bodhisattwa demi manfaat bagi setiap insan, perlu lebih dari mereka. Shravaka adalah mereka yang punya kesempatan untuk mendengarkan ajaran sang Buddha; sementara pratyekabuddha menjalankan laku mereka atas dasar naluri di masa-masa kegelapan ketika ajaran Buddha tidak tersedia. Contoh yang diberikan di sini, yang berasal dari naskah-naskah terdahulu juga, mengenai memeragakan jenis kegigihan dan semangat yang dimiliki para shravaka dan pratyekabuddha ini, merupakan kegigihan dan semangat untuk meneruskan meditasi mereka atau apapun laku rohani yang sedang mereka kerjakan, sekali pun api menyala di atas kepala mereka. Sekali pun kepala mereka terbakar, mereka akan mengabaikannya, dan tidak lantas belingsatan dan mencoba memadamkannya. Alih-alih, mereka akan berpaling darinya, mengabaikannya, dan meneruskan laku meditasi mereka. Kalau mereka saja memiliki kegigihan yang gagah berani seperti itu sampai-sampai mereka tidak terusik dengan kebutuhan duniawi mereka pribadi, maka kita, sebagai bodhisattwa, butuh lebih dari sekadar itu.

Berpaling dari api yang menyala di kepala mereka itu pada dasarnya berarti penyerahan. Mereka menyerahkan kekhawatiran duniawi tentang api di kepala mereka. Istilahnya memang secara harfiah bermakna berpaling darinya. Tentu saja, sebagian orang mungkin menafsirkannya sebagai "memadamkan apinya", tapi bukan itu maknanya. Maknanya di sini adalah penyerahan.

(29) Laku bodhisattwa itu membina kemantapan batin sebagai kebiasaan yang secara murni melampaui empat (penyerapan/samadhi) arupa, dengan menyadari bahwa tataran cita yang tajam luar biasa, sepenuhnya dikaruniai tataran yang tenang dan tenteram, dapat menundukkan perasaan dan sikap gelisah.

Seloka ini sarat akan jargon dan istilah teknis. Ini mengacu pada sikap menjangkau-jauh, yaitu kemantapan batin, yang kadang diacu juga sebagai 'pemusatan', tetapi tidak sesederhana itu maknanya. Tataran cita yang mantap ini tidak dapat digeser atau digoyahkan oleh melanturnya cita, kelana batin, gangguan, atau ketumpulan pikir. Tidak pula ia dapat digoyahkan atau digeser oleh perasaan gelisah, jadi ia mantap. Itulah makna sebetulnya dari istilah ini.

Dengan kemantapan batin, tentu kita bisa melakukan hampir segalanya, bukan? bukan? Jenis kemantapan batin yang ingin kita capai adalah yang murni melampaui empat samadhi arupa. Empat samadhi arupa merupakan keterserapan meditatif yang amat sangat mendalam yang, kalau sampai kita melekat padanya, kita akan terlahir kembali di empat alam mayapada makhluk-makhluk arupa, alam arupa. Kemantapan batin secara murni melampaui hal itu. Istilah secara murni digunakan dalam arti bahwa empat samadhi arupa ini dinodai ketaksadaran, kebodohan, dan karenanya tidak murni. Yang kita inginkan adalah jenis kemantapan batin yang murni, yang melampaui hal itu, yang tidak bercampur dengan ketaksadaran atau kebingungan.

Apa yang kita butuhkan agar mampu memusat pada kemantapan batin itu? Apa tataran cita yang perlu kita capai sehingga kita memperoleh kemantapan batin ini? Kalau kita gunakan istilah bahasa Sanskertanya, yang ingin kita capai adalah gabungan dari vipashyana dan shamatha. Tataran yang tenang dan tenteram adalah shamatha dan tataran cita yang tajam luar biasa adalah vipashyana. Apa itu tataran yang tenang dan tenteram? Tataran cita ini tiada terusik kelana batin, melanturnya cita dan ketumpulan, dan ia tetap terpusat pada satu sasaran membangun. Ia memiliki kebugaran, suatu tataran kebugaran jasmani yang amat menyenangkan dan tataran kebugaran rohani sehingga cita dapat memusat pada apapun dan bermukim begitu selama yang Anda mau.

Seperti yang pernah dikatakan guru saya, Tsenshap Serkong Rinpoche, rasanya seperti pesawat jet jumbo. Kalau Anda letakkan dia di tanah, dia tetap di situ, tapi ketika sedang terbang di udara, dia melaju saja. Rasa kebugaran ini berarti bahwa cita dapat memusat dan melakukan apapun yang ingin kita perbuat, dan tetap di tataran tersebut secara teguh. Sedikit mirip dengan rasa kebugaran seorang olahragawan terlatih. Contohnya, jasmaninya begitu bugar sampai mereka merasa bisa melakukan apapun; mereka bisa lari selamanya.

Dari situ, kita bisa melaju lebih jauh dan menggabungkannya dengan vipashyana, tataran cita yang tajam luar biasa. Ini merupakan tataran cita, yang sudah memiliki shamatha. Ia tenang dan tenteram, mampu memusat pada apapun, dan selain itu juga memiliki rasa kebugaran yang pertama, dan yang kedua, sehingga ia bisa mencerap atau memahami apapun. Bukan cuma sunyata, ia mampu memahami apapun. Ia bugar sepenuh-penuhnya, dan mampu memahami serta mencerap segala macam perincian, kedalaman, apapun juga. Kita perlu menyadari bahwa hanya jika kita memiliki vipashyana, atau tataran tajam luar biasa, yang tentu kemudian sepenuhnya dipadu dengan shamatha, sajalah baru kita mampu sepenuhnya menundukkan, seperti dikatakan Togme Zangpo, perasaan dan sikap gelisah. Ketika kita menyadari hal itu, kita akan berjuang mengembangkan kemantapan batin dengan gabungan tataran vipashyana dan shamatha. Tentunya ini akan melampaui empat samadhi arupa, yang hanya membuat kita terpaku pada samsara.

(30) Laku bodhisattwa itu membina kesadaran pembeda sebagai kebiasaan yang disertai cara-cara dan yang tiada bercitra mengenai tiga lingkaran, karena tanpa kesadaran pembeda, kelima sikap menjangkau-jauh tidak dapat mendatangkan pemerolehan pencerahan yang paripurna.

Kesadaran pembeda biasanya diterjemahkan menjadi "kebijaksanaan", tetapi saya mendapati kata itu terlalu samar dan tidak pasti. Yang kita maksud di sini adalah kemampuan untuk membedakan seperti apa segala sesuatu itu sesungguhnya mengada dan seperti apa segala sesuatu itu tidak ada.

Kita membutuhkan kesadaran pembeda yang disertai cara-cara. Kata "cara-cara" di sini mengacu pada bodhicita, dan bodhicita itu dilandasi kasih dan welas asih. Kesadaran pembeda akansunyata dapat membawa kita pada kebebasan. Ia dapat menyingkirkan kekaburan perasaan yang menghalangi kebebasan – yaitu ketaksadaran (kebodohan), perasaan gelisah, dan kecenderungan dari keduanya. Namun, hanya ketika ia disertai bodhicita sajalah ia jadi punya cukup daya untuk mampu menembus himpunan kekaburan yang kedua, yaitu kekaburan pengetahuan yang menghalangi kemahatahuan dan pencerahan – yaitu kebiasaan untuk terus-menerus berpegang pada keberadaan yang tentu sejati yang menyebabkan cita membuat kenampakan-kenampakan keberadaan yang tentu sejati. Oleh karena itu, bodhicita dengan kasih dan welas asih merupakan cara-cara yang disebutkan di sini.

Jenis kesadaran pembeda ini harus yang tiada bercitra mengenai tiga lingkaran. Tiga lingkaran mengacu pada orang yang bermeditasi, apa yang dimeditasikan orang, dan meditasi itu sendiri, dan bercitra di situ maksudnya keberadaan yang tentu sejati. Kita ingin menyingkirkan citra keberadaan yang tentu sejati dari tiga lingkaran tersebut, dan lebih lagi, kita ingin keseluruhan pemahaman kita ini bersifat nircitra. Ketika kita memiliki pengetahuan bercitra atas apa pun, ia kemudian membayangkan suatu kenampakan keberadaan yang tentu sejati dan kita baru berhenti percaya bahwa hal tersebut berkaitan dengan cara mengada segala hal ketika kita terbebaskan. Dengan kata lain, kita berpegang pada keberadaan yang tentu sejati, dan karenanya dari banyak sudut pandang kita betul-betul harus memperoleh pengetahuan nircitra atas sunyata.

Mengapa kita perlu mengembangkan kesadaran pembeda yang menjangkau-jauh ini? Togme Zangpo berkata karena tanpa kesadaran pembeda, kelima sikap menjangkau-jauh tidak dapat mendatangkan pemerolehan pencerahan yang paripurna. Dengan bodhicita lazim sekali pun, keinginan untuk meraih pencerahan demi manfaat bagi setiap insan, semata-mata menjalankan lima sikap menjangkau-jauh yang pertama saja tidaklah cukup. Kelima sikap itu perlu disertai kesadaran pembeda yang menjangkau-jauh atas sunyata.

Juga, yang cukup menonjol di sini adalah bahwa kita perlu memiliki kesadaran pembeda mengenai tiga lingkaran, bukan hanya mengenai orangnya saja, "aku" saja. Menurut Hinayana, kita hanya perlu memahami bahwa si insan, "aku", tidak mengada secara mustahil dengan jiwa yang mustahil. Menurut Mahayana, kesadaran pembeda atas sunyata atas "aku" tidak cukup untuk memperoleh pencerahan. Kita perlu memperoleh kesadaran pembeda atas sunyata atas segala gejala, sebagaimana ditandakan oleh bukan hanya "aku", orang yang bermeditasi, tetapi juga oleh apa yang dimeditasikan, dan tindakan meditasi itu sendiri. Menurut pandangan Prasangika, sebagaimana ditegaskan di dalam aliran Gelug, bahkan untuk memperoleh kebebasan pun kita membutuhkan kesadaran pembeda atas sunyata atas tiga lingkaran ini.

Top