Mempertegas Kembali Dorongan
Kita perlu memiliki dorongan yang tepat untuk mendengarkan ajaran; jika tidak, kita akan kehilangan kesempatan untuk membangun sejumlah besar kekuatan positif dan meleburkan ajaran ini ke dalam kesinambungan mental kita. Kita berusaha untuk tidak termotivasi oleh keinginan akan meningkatnya hal-hal dalam kehidupan ini, atau untuk meningkatkan kehidupan masa depan kita, termasuk bahkan oleh keinginan untuk memperoleh pembebasan hanya untuk diri kita sendiri. Sebaliknya, kita mencoba untuk memiliki dorongan penuh dari tujuan bodhicita, berharap untuk mencapai pencerahan demi manfaat semua makhluk. Pikirkan, “Saya tidak mendengarkan ini hanya untuk kepentingan saya sendiri atau untuk pembebasan saya sendiri. Saya membuka hati saya untuk semua makhluk karena keinginan untuk memberi manfaat bagi mereka dan untuk mencapai pencerahan demi mereka.” Dan, “Saya pasti akan mencoba untuk memadukan semua ajaran ini dengan kesinambungan mental saya dan untuk mengenali semua tataran cita tak terkendali yang saya miliki. Secara bertahap, saya akan memperbaiki semua hal ini sebanyak mungkin.”
Jika kita menganggap ajaran ini hanya sebagai teori, tidak akan banyak manfaatnya. Sebaliknya, jika kita membandingkannya dengan tataran cita dan sikap kita, dan berpikir, “Saya pasti akan memperbaiki diri; Saya sungguh akan mencoba mengenali di mana letak kekurangan saya dan menerapkan diri saya untuk memperbaikinya,” ini pasti akan memberikan manfaat yang jauh lebih besar dan pengalaman yang jauh lebih dalam.
Struktur Dasar Teks
Pelatihan sikap kita ada dalam tujuh pokok, yang pertama berkaitan dengan laku persiapan. Di Tibet, kita memiliki istilah "struktur pendukung" dan "hal-hal yang didukung olehnya." Ini ibarat rumah dan perabotan dan orang-orang di dalamnya. Demikian pula dalam mandala, istana mandala adalah struktur pendukungnya dan sosok-sosok di dalamnya adalah yang ditopang olehnya. Di sini, persiapan adalah laksana istana mandala dan ajaran utama adalah layaknya tokoh-tokoh dewa yang ditopang olehnya. Jadi jangan berpikir bahwa persiapan hanyalah sesuatu di awal, yang kelak dapat kita lupakan. Mereka adalah fondasi yang menyokong semua sisa ajaran yang sebenarnya dan selalu ada di sana. Di sini, ajaran utama yang sebenarnya adalah pengembangan bodhicita. Ini adalah pokok kedua dari tujuh pokok.
Ada bodhicita lazim (bodhicita nisbi) dan bodhicita terdalam (bodhicita hakiki). Bodhicita lazim adalah cita atau hati yang ditujukan pada kebenaran lazim (nisbi, dangkal, permukaan, tampak) dari semua makhluk dan pencerahan; sementara bodhicita hakiki adalah cita yang ditujukan pada kebenaran terdalam mereka, kehampaan mereka atau ketiadaan sama sekali dari cara keberadaan yang mustahil. Ini adalah dua tataran batin dan sikap terhadap kehidupan yang pasti akan kita kembangkan pada kesinambungan batin kita.
Saat kita akan mempraktikkan dua bodhicita ini sepanjang hidup kita, kita akan bertemu dengan keadaan yang berbeda, terkadang kondusif, terkadang tidak. Jika kita tidak memiliki keberanian, maka ketika kita bertemu dengan keadaan yang tidak kondusif, kita mungkin akan putus asa dan berpikir untuk menyerah saja. Pada saat itu, diperlukan cita dan hati yang sangat teguh dan mantap, sehingga kita dapat mengatasi situasi tersebut. Kita perlu berpikir dan merasa, “Yah, keadaan buruk seperti ini terjadi dalam hidup. Apa yang diharapkan dari samsara? Tapi saya bisa menangani mereka. Mereka bukan masalah besar, tidak ada bahaya besar.” Jika cita kita mantap seperti itu, kita dapat menangani keadaan sulit apa pun yang mungkin muncul. Kita tidak pernah gentar. Jika kita dapat mengambil semua keadaan negatif dan tidak kondusif ini dan mengubahnya menjadi jalan, mereka menjadi bagian dari jalan spiritual kita. Kemudian, tentu saja, mereka tidak menimbulkan bahaya; mereka tidak dapat menyakiti kita dan kita menjadi sangat mantap dalam laku kita. Ini adalah metode yang sangat bermanfaat dan luas.
Lima lainnya dari tujuh pokok adalah:
- Mengubah keadaan buruk menjadi jalan menuju pencerahan
- Pemadatan laku dalam satu hidup
- Patokan bahwa kita telah melatih sikap
- Laku ikatan-erat untuk latihan cita
- Pokok untuk dilatih dalam latihan cita.
Dengan ini, kita sampai pada teks dasar dari Latihan Cita Tujuh Pokok. Sebagai struktur dasar untuk ajaran latihan sikap ini, dan sebagai bagian dari persiapan, pertama-tama kita akan membahas kelahiran kembali manusia yang berharga, kemudian kematian dan ketidakkekalan, sebab dan akibat perilaku, dan kemudian masalah dan duka samsara. Ini adalah empat pokok persiapan yang membentuk dasar pendukung untuk melatih sikap kita. Mereka umumnya dikenal sebagai “empat pikiran yang mengarahkan cita menuju Dharma.”
Satu teks pelatihan sikap oleh Panchen Yeshe Gyaltsen menyajikan persiapan dalam gaya Kadam, membahas duka dari tataran kelahiran kembali yang lebih buruk dan kemudian, setelah memikirkannya, mengambil haluan hidup yang aman. Dalam gaya ini, haluan aman diambil sebagai bagian dari pembahasan tentang berbagai tataran kelahiran kembali. Dengan berbagai metode seperti ini, kita dapat memasukkan seluruh ajaran lam-rim pada tingkat-tingkat bertahap jalan yang hendak ditempuh dalam garis besar empat persiapan ini.
Ada beberapa penyajian dan cara berbeda untuk mengurutkan pokok-pokok lam-rim. Saya pikir itu semua bergantung pada beragam watak para murid. Misalnya, dalam Tiga Unsur Utama Sang Jalan (Lam-gtso rnam-gsum), Tsongkhapa menyajikan dua tingkat penyerahan: secara pasti berpaling dari keterlibatan penuh dengan kehidupan ini dan kemudian secara pasti berpaling dari keterlibatan penuh dengan keinginan menguntungkan kehidupan masa depan. Namun, dalam teks-teks lam-rimnya yang lebih besar, Tsongkhapa menyajikan tiga tingkat dorongan, salah satunya adalah peneyrahan, dan tidak membahas dua tingkat penyerahan.
Jadi, walaupun dalam beberapa lam-rim, memikirkan duka akibat tataran kelahiran kembali yang lebih buruk segera membawa kita ke haluan yang aman, di sini ketika kita memikirkan pokok-pokok yang berbeda, kita langsung dibawa ke bodhicita. Kita memikirkan kelahiran kembali manusia yang berharga dan itu membawa kita langsung ke bodhicita. Kemudian kita memikirkan kematian dan ketidakkekalan dan itu juga membawa kita langsung ke pengembangan bodhicita. Penyajian berbagai duka secara umum dan duka khusus dari berbagai mayapada juga dapat membawa kita pada penyadaran akan bodhicita. Ini adalah cara khusus untuk menyajikan berbagai pokok lam-rim dalam teks-teks pelatihan sikap.
Garis besarnya mengacu pada latihan selama sesi meditasi dan di antara sesi. Ini berarti bahwa kita tidak melakukan laku Dharma hanya ketika kita sedang duduk bersila dan membaca berbagai doa dan kemudian di saat lain melupakannya dan membuangnya. Kita melakukan latihan berkelanjutan baik selama kita duduk formal maupun di antaranya.
Ini seperti mengisi baterai. Ketika sungguh sedang duduk di sesi kita, kita membuat cita, hati, dan sikap kita lebih jernih dan kuat sehingga kita dapat menggunakannya nanti, sama seperti kita mengisi baterai sehingga kita dapat menggunakannya nanti. Dan seperti adanya saat ketika kita mengisi baterai dan saat setelahnya ketika kita menggunakan energi listriknya, ada saat ketika kita melakukan sesi meditasi kita yang sebenarnya, membangun energi kita, dan kemudian saat kita menggunakannya selama kehidupan kita sehari-hari. Ini tidak bermakna kita religius selama sesi meditasi kita dan kemudian sama sekali tidak bertindak religius di antaranya; kita harus konsisten. Kita perlu mencoba membawa cita kita, pada semua tingkatan yang berbeda, untuk berperilaku sesuai dengan ajaran.
Semua orang, tentu saja, ingin bahagia dan semua orang mencoba mengikuti metode yang berbeda untuk mewujudkan kebahagiaan itu. Dan tentu saja, setiap orang membutuhkan berbagai kebutuhan hidup. Namun, ketika kita mencoba mewujudkan kebahagiaan ini melalui cara-cara yang kacau dan yang akan menyakiti orang lain, atau kita mencoba memanfaatkan orang lain, inilah sesungguhnya hal-hal yang sedang kita coba hentikan dan singkirkan. Kita perlu memikirkan berbagai hal yang sedang kita lakukan. Jika kita bertindak sangat arogan dan mengeksploitasi orang, dan menipu orang untuk memperoleh keuntungan bagi diri kita sendiri, kita perlu berpikir, “Nah, apa sebenarnya manfaat ini dalam jangka panjang? Apakah ini akan memberi saya kebahagiaan yang saya inginkan? Jika saya mendapatkan keuntungan ini dengan curang dan menipu orang lain, apakah ini akan sungguh bermanfaat bagi saya dalam jangka panjang?” Dengan cara ini menjadi yakin: “Jika saya menggunakan metode tidak jujur seperti ini, ini akan merugikan saya. Ini karena jika orang bertindak sangat arogan, mencoba memanfaatkan orang lain, semua orang akan menganggap mereka tipe orang yang sangat kasar. Tidak ada yang ingin berada di pihak mereka maupun yang akan setuju dengan apa yang mereka lakukan.” Ini cukup jelas, bukan? Jadi, kita bisa melihat kerugian menjadi orang yang curang dan menipu.
Setelah kita menyelesaikan sesi kita dan kita pergi keluar dan bertemu orang-orang, mungkin pada kita muncul dorongan untuk bertindak arogan atau menipu. Kemudian kita perlu memperhatikan apa yang telah kita pikirkan selama sesi kita, dan berpikir “Oh, tidak! Jika saya bertindak curang terhadap orang ini dan mencoba menipunya, saya telah melihat dalam sesi meditasi saya bahwa ini tidak baik. Ini tidak menguntungkan siapa pun, "dan jadi kita menahan diri. Pada saat itu, kita menahan diri dari bertindak dalam cara yang negatif atau merusak: itulah praktik di antara sesi yang sesungguhnya. Saat itulah kita benar-benar menggunakan kebiasaan baik yang telah kita bangun selama sesi meditasi kita. Jika kita bertindak dengan sangat hati-hati dan memadukan meditasi dan sesi-sesi di antaranya dengan baik satu sama lain, maka kita akan mendapati bahwa meditasi akan berfungsi untuk meningkatkan perilaku kita di antara sesi-sesi, dan aktivitas di antara sesi-sesi kita akan berkontribusi untuk meningkatkan meditasi kita. Hari demi hari, kita akan menemukan sejumlah peningkatan.
Kita perlu memeriksa perilaku kita. Jika kita minum alkohol atau merokok, kita perlu berusaha memperbaiki diri dan menyingkirkan kegiatan negatif yang begitu merusak diri sendiri. Setiap kali kita melihat rokok, jika kita memikirkan kerugiannya, kita akan mengesampingkannya. Kita akan memutuskan untuk mengurangi menjadi hanya satu atau dua batang rokok sehari dan akhirnya mencapai titik ketika, akibat semakin sedikit merokok, kita menjadi jijik bahkan oleh bau asap rokok. Jika kita memikirkannya, merokok sangat buang-buang waktu dan uang. Semua uang yang kita habiskan untuknya dan waktu yang terbuang untuk membahasnya atau, ketika kita bertemu seseorang yang merokok, menyalakan rokok dengan orang itu dan bergosip – pikirkan betapa sia-sianya. Di semua tingkatan, kebiasaan merokok tidak ada gunanya.
Hal yang sama berlaku untuk minum alkohol, serta untuk segala macam sifat kepribadian menjengkelkan yang mungkin kita miliki, seperti menguasai, arogan, atau menipu. Cobalah untuk menguranginya sebanyak mungkin dan akhirnya singkirkan dengan memandangnya sebagai kebiasaan negatif.
Tahapan Menjelang Mengawali Sesi Meditasi
Pada awal sesi meditasi yang sesungguhnya, sangat penting untuk memeriksa dorongan kita mengapa kita bermeditasi. Kita perlu menegaskan kembali haluan aman yang kita ambil dalam hidup kita, seperti yang ditunjukkan oleh para Buddha, Dharma, dan Sangha, dan kita perlu menegaskan kembali tujuan bodhicita kita. Kita melakukan ini sambil memvisualisasikan objek haluan aman dan sebagainya, sesuai dengan silsilah Lama Serlingpa. Jadi pertama-tama kita memeriksa dan mempertegas kembali dorongan kita, dan kemudian, di tempat yang tepat untuk meditasi, kita mempersiapkan tempat duduk meditasi kita.
Membersihkan Tempat untuk Meditasi
Pertama, kita perlu membersihkan tempat kita akan bermeditasi. Hal ini membuat perbedaan besar dalam kejernihan cita kita, tingkat rasa hormat yang kita rasakan dan tunjukkan pada sasaran meditasi kita, dan juga memengaruhi kesehatan kita. Sangat penting untuk menjaga rumah dan kamar kita tetap bersih, dan untuk mengatur semacam altar persembahan. Seraya kita menyapu dan membersihkan, berbagai pikiran dapat membantu, seperti, "Sementara saya membersihkan lantai ini, saya sedang membersihkan cita saya." Kita tidak terbatas pada pikiran bahwa kita hanya membuatnya menyenangkan untuk diri kita sendiri, namun kita melakukannya untuk menunjukkan rasa hormat terhadap sasaran perlindungan dan laku.
Menyiapkan Altar dan Menyusun Persembahan
Ketika kita menyiapkan altar dan persembahan kita, kita tidak melakukannya untuk membuat orang lain terkesan, melainkan untuk membantu dalam proses meningkatkan diri kita sendiri untuk memberi manfaat bagi semua makhluk, dalam artian semua makhluk terbatas. Kita perlu memiliki altar yang sederhana, dengan representasi raga, wicara, dan cita para Buddha. Jika kita memiliki mangkuk persembahan emas dan perak, maka separuh cita kita akan tertuju pada nilai benda-benda berharga ini dan hanya separuhnya pada laku.
Ada kisah terkenal Geshe Ben Kungyal, yang tinggal di sebuah gua melakukan meditasi. Suatu ketika saat gurunya datang berkunjung, ia memberikan persembahan yang sangat istimewa. Kemudian ia memeriksa dorongannya dan menyadari bahwa ia hanya melakukan ini sehingga semua orang akan mengatakan betapa hebatnya ia sebagai praktisi. Menyadari hal ini, ia melemparkan abu ke seluruh persembahannya. Ketika gurunya datang, ia berkata bahwa Geshe Ben Kungyal telah melemparkan abu ke muka delapan hal selintas dalam hidup dan telah memberikan persembahan yang sangat murni.
Sebelum menjadi seorang praktisi Dharma yang hebat, Geshe Ben Kungyal adalah seorang pencuri yang terkenal jahat. Setelah ia menjadi seorang praktisi, suatu hari ia pergi ke rumah seorang penderma yang telah menyiapkan beberapa persembahan dan kemudian pergi ke luar. Karena nalurinya sebagai pencuri, Geshe Ben Kungyal mendapati tangannya terulur untuk mencuri benda-benda tersebut. Dia segera meraih tangannya dan berteriak, "Ayo cepat, aku sudah menangkap pencuri."
Inilah tepatnya bagaimana kita perlu mempraktikkan Dharma. Ketika kita mendapati diri kita menyerah pada kecenderungan negatif, kita perlu menangkap diri kita sendiri dan berhenti bertindak seperti itu. Pokok utama Dharma adalah mengambil tindakan pencegahan dan segera setelah kita melihat diri kita mulai melakukan sesuatu yang kita tahu tidak pantas, kita menghentikan diri kita dari melakukannya. Jadi jika Anda dapat mengingat, “Yang Mulia telah mengatakan selama khotbah ini untuk tidak melakukan sesuatu seperti ini,” maka ketika Anda mendapati diri Anda melakukannya, Anda dapat menghentikan diri Anda sendiri.
Ini seperti contohnya jika mabuk-mabukan, yang merupakan akar dan penyebab dari begitu banyak masalah, meskipun tentu saja sangat enak. Jika kita berpikir, "Saya tidak peduli," kita akan menjadi kebal dan membangun kebiasaan melakukan hal-hal negatif dan menjadi tidak peka. Ini karena ketika kita mabuk, kita bertindak sedemikian rupa sehingga kita bahkan tidak menyadari apa yang kita lakukan. Kemudian, ketika orang-orang berkata, “Oh, ketika kamu mabuk, kamu berbicara dengan sangat buruk, mengatakan kebohongan yang keterlaluan, dan bertindak dengan cara yang keterlaluan, dan sekarang kamu bahkan tidak mengingat semua itu,” itu sangat memalukan. Kita benar-benar membodohi diri sendiri ketika kita mabuk.
Pokok utama Dharma adalah mengambil tindakan pencegahan dan segera setelah kita melihat diri kita mulai melakukan sesuatu yang salah atau tidak pantas, kita perlu menghentikan atau mencegah diri kita melakukannya. Kita perlu menerapkan semua yang kita ketahui, seperti contoh yang sangat relevan dari Geshe Ben Kungyal. Latihan Dharmanya sangat jelas dan nyata: ia akan segera dan secara dramatis menghentikan dirinya dari bertindak negatif apa pun.
Pokok utama dalam Dharma adalah selalu berupaya meningkatkan sifat baik internal, bukan peningkatan eksternal. Jadi, sehubungan dengan persembahan yang kita buat, mereka tidak perlu begitu mengesankan secara eksternal hingga muncul kebanggaan kita atas mereka. Milarepa memberikan persembahan terbaik: ia tidak memiliki apapun untuk diberikan di luar, namun ia memberikan hatinya sepenuhnya pada laku Dharma.
Kita tidak perlu berusaha keras untuk membuat altar kita mewah dengan membeli gambar yang sangat mahal; itu benar-benar melenceng. Dharma adalah untuk meningkatkan cita kita, bukan untuk menampilkan tampilan eksternal yang besar. Jika kita memperoleh berbagai gambaran secara alami melalui pemberian dan sebagainya, tentu kita dapat menampilkannya. Semakin bagus persembahannya, semakin bermanfaat. Namun kita tidak berusaha keras untuk membuat tampilan besar yang megah hanya untuk membuat orang terkesan – terutama dengan lukisan thangka Tibet, hanya membelinya sebagai suvenir untuk membuat orang terkesan. Namun, jika kita membeli thangka, cobalah untuk hanya membeli yang memiliki proporsi dan fitur standar yang tepat. Jika kita membeli sesuatu yang tidak sesuai dengan tradisi, maka jika seseorang melihatnya dan berkata, “Citra Buddha ini sangat buruk,” maka kita sedang membangun kekuatan dan potensi negatif karena menjadi penyebab kata-kata seperti itu. Jadi kita harus sangat jeli untuk memiliki thangka dan gambar yang benar dan tradisional. Namun kita tidak mendapatkannya semata untuk membuat orang terkesan. Jika tatanan dan susunan altar kita sangat sederhana, kita bisa memasang gambar mentor spiritual kita. Itu akan membuat cita kita merasa sangat bahagia dan kita akan menunjukkan rasa hormat.
Duduk dengan sikap badan yang Tepat
Kita kemudian perlu duduk di kursi yang tepat, dalam sikap badan yang tepat. Jika kita bisa duduk dalam posisi lotus atau vajra penuh, ini yang terbaik. Tapi jika ini tidak nyaman, kita bisa duduk bersila, cara yang biasa dilakukan kebanyakan dari kita. Jika itu tidak nyaman juga, kita bisa duduk di kursi. Intinya adalah mengembangkan cita kita, tidak harus tubuh kita. Tapi jika kita bisa duduk bersila, itu jauh lebih baik.
Jangan bergoyang ke depan dan ke belakang atau bersandar ke kanan dan kiri; melainkan duduk tegak dan kokoh. Tentu saja, jika kita sedang tidak enak badan, ada pengecualian; tapi pada dasarnya kita harus duduk tegak dan tidak banyak bergerak. Terutama ketika kita melakukan laku kita, kita harus duduk dengan sangat tegak dan tidak bergerak. Jika kita bergerak, bergoyang ke depan dan ke belakang sambil mencoba berkonsentrasi, gerakan goyangan tersebut akan menyebabkan gerakan goyang dalam cita kita dan kita akan lebih banyak melamun. Seringkali kita mendapati bahwa ketika kita membaca teks dari ingatan, kita bergoyang-goyang. Sebagian besar dari kita orang Tibet melakukan ini, namun tidak eksklusif pada kita. Kita mendapati bahwa banyak Muslim melakukan ini juga ketika mereka membaca Al-Qur'an. Ketika orang asing datang dan melihat orang Tibet melafalkan sesuatu, mereka merasa sangat aneh, karena ada yang bergoyang ke depan dan ke belakang, sementara ada yang bergerak ke kiri dan ke kanan.
Sekitar lima belas tahun yang lalu ada seorang geshe yang adalah seorang yogi yang hebat dan pernah tinggal di pegunungan Tibet. Ketika ia keluar ke India, ia meminta saya untuk memberikan beberapa pembayatan. Saya sangat terkesan: ia tidak bergerak sedikit pun selama seluruh pemberdayaan . Jika kita mampu, kita perlu memiliki sikap badan seperti ini. Ini berasal dari kekuatan konsentrasi yang diserap.
Jika kita memakai kacamata, kita dapat memeriksa sendiri apakah ada bedanya memakainya atau tidak selama meditasi. Jika saya memakai kacamata saya, saya memiliki kejelasan yang lebih besar; tetapi ketika kacamata saya lepas, saya memiliki stabilitas dan penempatan cita yang lebih baik. Lihatlah ini dan perhatikan perbedaan yang terjadi.
Mengambil Haluan Aman dan Mempertegas Kembali Dorongan Kita
Selanjutnya, kita memeriksa tataran cita kita dan, dari tataran cita yang sangat positif, mengambil haluan aman yang kuat dan mempertegas kembali tujuan bodhicita kita. Pikirkan, “Saya memberikan arahan yang kuat dan aman untuk hidup saya, dengan perlindungan. Saya mendedikasikan hati saya untuk tujuan bodhicita, untuk pencerahan, untuk membantu semua makhluk, dan saya akan melakukan laku ini untuk membangun kekuatan positif yang kuat untuk mencapai tujuan tersebut.”
Karena akan sangat membantu jika memiliki semacam alat bantu visual, kita memvisualisasikan objek mengenai arah yang aman, yang dapat berupa ladang yang sangat lengkap dan melimpah, atau sesederhana sesosok Buddha, dan membayangkan bahwa kita memperoleh gelombang inspirasi dari mereka. Sebuah bantuan visual dalam menerima gambaran inspirasi membantu untuk menciptakan perasaan yang lebih kuat.
Haluan aman sejati ditandai oleh penghentian sejati (pengakhiran sejati) dan jalan cita sejati (jalan sejati) pada kesinambungan batin arya, makhluk dengan kesadaran tinggi. Baik bisa maupun tidaknya kita memvisualisasikan dengan jelas bumi yang melimpah, kita perlu mengingat hal-hal utama yang memberikan haluan yang aman dalam hidup: pemberhentian sejati dan jalan cita sejati. Kita dapat memvisualisasikan berbagai jenis bumi untuk membangun kekuatan positif (bumi kebajikan), namun hal utamanya adalah memiliki perasaan yang sangat kuat akan adanya haluan yang aman yang kita tuju; tidak hanya untuk mengucapkan kata-kata, namun memiliki keyakinan yang kuat pada apa yang merupakan fakta. Faktanya adalah bahwa Triratna menunjukkan haluan teraman untuk diambil dalam hidup dan kita sepenuhnya berniat untuk terus menuju ke arah tersebut.
Di Tibet, kita mengikuti kombinasi Hinayana, Sutra Mahayana, dan Tantrayana. Dalam hal tantra, ketika kita mengambil haluan yang aman, kita perlu berpikir bahwa kita juga menerima semua pemberdayaan dari sasaran haluan yang aman. Itulah mengapa kita memulai formula perlindungan dengan: “Saya mengambil haluan yang aman dari para Lama, dari para Guru.” Ini karena kita membayangkan kita menerima pemberdayaan dari mereka. Guru spiritual kita adalah orang-orang yang benar-benar menggandeng kita, menopang kita, dan membawa kita sepanjang jalan ke arah yang aman yang ditunjukkan oleh Triratna. Sehingga, kita mulai dengan guru spiritual yang bersamanya kita benar-benar memiliki keterlibatan pribadi dan yang menunjukkan kepada kita arah perlindungan yang aman, dan kemudian mengambil haluan aman dari Buddha, Dharma, dan Sangha. Kemudian untuk membedakan laku kita sebagai Mahayana, kita mempertegas kembali tujuan bodhicita kita.
Mempersembahkan Doa Tujuh-Dahan
Jadi kita mulai dengan haluan yang aman, selanjutnya tujuan bodhicita, dan kemudian memvisualisasikan bumi yang melimpah dan mengucapkan doa tujuh-dahan: sujud sembah, persembahan, dan sebagainya. Ada banyak cara berbeda untuk melakukan doa ini sehubungan dengan laku sutra dan dalam kaitannya dengan laku tantra. Kita juga dapat melakukan doa tujuh-dahan sehubungan dengan berbagai jenis guru-yoga dan berbagai sosok Buddha (dewa, yidam). Tradisi Gelug, misalnya, mempersembahkannya dalam konteks Ratusan Dewa Tushita (dGa’-ldan lha rgya-ma), di mana tokoh utama yang divisualisasikan adalah Tsongkhapa.
Di samping itu, kita dapat memvisualisasikan mentor spiritual kita sendiri atau Buddha, atau kita dapat melakukan laku dalam konteks salah satu dari yoga enam sesi: ada banyak cara untuk melakukannya. Beberapa seloka yang digunakan dalam persembahan tujuh-dahan berasal dari sutra-sutra yang berhubungan dengan perilaku bodhisattva, terutama dari Sutra Karangan Bunga (mDo Phal-cher, Skt. Avatamsaka Sutra). Manapun doa tujuh-dahan yang kita gunakan, kita perlu menetapkan cita kita dengan jelas pada pokok-pokok yang berbeda dan apa artinya, dan kemudian mengakhirinya dengan doa persembahan. Ini adalah tahapan yang Lama Serlingpa, guru Atisha, ajarkan.
Kita kemudian menyampaikan berbagai permintaan untuk dapat mengarahkan cita kita ke Dharma, untuk dapat mengarahkan segalanya ke jalan Dharma, dan bahwa kita sungguh akan dapat mempraktikkan semua ini.
Mempersembahkan sebuah Mandala
Mengenai penyajian dunia yang kita persembahkan sebagai mandala, secara tradisional terdiri dari Gunung Meru, empat benua dan sebagainya, seperti dalam kitab suci Hindu. Saya ingat suatu kali saat berziarah di India saya menemukan sebuah kuil Hindu. Saya tidak ingat persis di mana, tetapi ada mural Gunung Meru dan empat benua, sangat mirip dengan yang kita miliki. Jadi kita mempersembahkan benda-benda yang ditata di depan kita, dan membayangkan hal-hal seperti Gunung Meru, benua-benua dan sebagainya, dan mempersembahkannya juga: tidak perlu memiliki piring mandala yang sangat rumit. Namun, visualisasi tidak harus sepenuhnya seperti dalam teks-teks abhidharma. Bisa jadi seperti dunia nyata.
Kita tidak bisa memungkiri bahwa dunia itu bulat. Ini adalah sesuatu yang dapat kita lihat sendiri: kita benar-benar dapat melihat kelengkungan bumi. Cara dunia digambarkan di zaman modern dikonfirmasi oleh persepsi kita; itu benar-benar kasat mata. Jika kita menyangkal hal itu dan bersikeras bahwa dunia persis seperti yang dikatakan dalam Lumbung Harta Pokok-Pokok Khusus Pengetahuan (mDzod, Skt. Abhidharmakosha), itu akan sangat konyol, bukan? Jadi apa yang kita perhatikan di sini bukanlah sanggahan dari penyajian ilmiah atau sanggahan dari penyajian dunia dalam Lumbung Harta Pokok-Pokok Khusus Pengetahuan. Intinya adalah mempersembahkan dunia dalam aspek yang paling menawan dan indah, mempersembahkan sesuatu yang sangat menyenangkan, untuk membangun sejumlah kekuatan positif dan tataran cita yang konstruktif. Kita perlu mengingat sikap tersebut ketika mempersembahkan sistem dunia sebagai mandala. Karena mentor spiritual kita dan ribuan dan jutaan Buddha dikenal sebagai bumi limpah yang terbesar atau paling istimewa untuk membangun kekuatan positif, kita mempersembahkan mandala kepada mereka.
Hubungan Sehat dengan Guru Spiritual
Ini membawa kita pada hubungan yang sehat dan komitmen sepenuh hati kepada guru spiritual kita (pengabdian pada guru), manfaat dari komitmen semacam itu, dan kerugian dari menentangnya.
Dalam kehidupan ini, jika kita ingin belajar menjahit atau melukis patung Buddha, kita perlu belajar dari seseorang yang dapat kita amati saat ia melakukannya, sehingga kita dapat mengikuti contoh itu dan mencoba melakukannya sendiri. Kita membutuhkan seorang guru. Hal ini juga berlaku untuk pelatihan spiritual. Sangat penting untuk mengandalkan seorang guru, seorang guru spiritual, dengan cara yang sehat, dengan komitmen sepenuh hati kepadanya. Untuk melakukan ini, kita perlu bermeditasi secara mendalam untuk mengembangkan keyakinan dan kepercayaan yang sangat kuat kepada guru spiritual kita. Mengembangkan keyakinan akan kepercayaan tersebut dapat berkaitan dengan sisi metode maupun kebijaksanaan dari laku kita. Jika kita mengembangkannya terkait sisi kebijaksanaan, sisi kesadaran pembeda, maka kita perlu mengkaji berbagai alasan diperlukannya pengembangan kepercayaan dan keyakinan yang mantap kepadanya.
Jika kita memiliki kepercayaan dan keyakinan yang mantap pada seorang guru spiritual, kita akan bisa mendapatkan inspirasi darinya. Jika tidak, tidak peduli seberapa besar penekanan yang kita berikan pada kesadaran pembeda, kita tidak akan tergugah untuk mengembangkannya. Apapun keterampilan dan kemampuan baik yang dimiliki seorang guru spiritual, jika kita tidak memiliki keyakinan yang mantap bahwa ia memang memilikinya, kita tidak akan mendapatkan inspirasi apapun dari orang tersebut. Tidak peduli berapa banyak persembahan yang kita buat atau doa yang kita panjatkan kepadanya, hati kita tidak akan terangkat maupun tergerak.
Jadi pertama-tama kita perlu mengetahui pokok yang terlibat dalam menjalin komitmen yang sehat dan sepenuh hati kepada seorang guru spiritual. Apa saja persyaratannya? Dalam teks lam-rimnya, Tsongkhapa menguraikan keterampilan dan kemampuan seorang pembimbing spiritual, keterampilan dan kemampuan siswa, ukuran dan manfaat mengandalkan guru semacam itu dengan cara yang sehat, dan kerugian jika tidak melakukannya.
Pertama adalah kecakapan seorang guru spiritual. Kita perlu sungguh mengetahui ini untuk memeriksanya. Apakah sifat baik raga, wicara dan citanya, pencapaiannya, yang ia pelajari? Apa yang ia praktikkan? Guru spiritual tidak hanya muncul dengan sendirinya. Berpikir bahwa guru spiritual lahir dengan sendirinya adalah salah. Tak satu pun dari yang dipelajari sejak lahir.
Penjelma (tulku) belum tentu seorang lama, dan seorang lama belum tentu merupakan penjelma. Tidak ada hal merembes logis di antara keduanya. “La (bla),” suku kata pertama dari “lama,” terjemahan Tibet dari kata Sanskerta guru, seorang guru spiritual, berarti “tinggi,” “superior,” atau “agung,” seperti dalam ungkapan “lana-mepa (bla-na med-pa),” yang berarti “tidak ada yang lebih tinggi” atau “tidak ada yang lebih agung.” Ini berkonotasi dengan seseorang yang memiliki kesadaran yang sangat tinggi dan agung, seorang guru yang unggul, seseorang dengan kesadaran yang hebat, bukan hanya seseorang yang gemuk yang berbobot hebat! Seorang lama adalah seseorang dengan keterampilan dan sifat baik yang hebat, bukan hanya seseorang dengan nama besar atau gelar.
Kecakapan guru spiritual harus lengkap, baik dalam hal pengetahuan kepustakaan maupun pengejawantahannya. Seorang guru yang terampil harus memiliki keduanya, dan tidak boleh menjadi seseorang yang rentan marah, bahkan jika ia mengetahui teksnya dengan sangat baik. Kita membutuhkan seseorang yang memiliki semua sifat baik dan pengetahuan yang baik, yang hidup sesuai dengan ajaran, dan yang dapat menerangkannya dengan jelas kepada orang lain.
Lam-rim mengatakan, “Seorang guru spiritual adalah seseorang yang disiplin, dengan cita yang tenang dan mantap dan wawasan yang mendalam, memiliki sifat baik unggul, bersemangat, mengetahui banyak ajaran, memahami sunyata secara sepenuhnya, terampil dalam menjelaskannya, penuh kasih, dan bertekad kuat.” Demikian pula, para murid perlu memiliki minat yang tulus untuk belajar dan minat yang tulus untuk meningkatkan diri. Dalam berbagai teks disampaikan untuk tidak mengajarkan Dharma kepada mereka yang tidak tertarik dengan tulus atau yang hanya memiliki rasa ingin tahu intelektual.
Kita mencoba untuk mencapai guru-yoga. “Yoga” di sini berarti berintegrasi dengan hal yang sejati. Dengan kata lain, kita ingin mengintegrasikan raga, wicara, dan cita kita dengan sifat baik raga, wicara, dan cita dari guru spiritual kita dan silsilah guru spiritualnya, yang merupakan “hal yang sejati.” Kita mengajukan permohonan untuk dapat mengembangkan penyadaran, wawasan, dan aktualisasi yang sama seperti guru spiritual kita. Itulah guru-yoga, mengintegrasikan diri kita dengan hal yang sejati seperti yang tergambarkan oleh guru.
Untuk masuk sepenuhnya ke dalam latihan ini, kita perlu merenungkan manfaat dari mengandalkan seorang guru spiritual yang mumpuni dengan cara yang sehat, dengan kepercayaan dan komitmen, dan kerugian dari tidak memilikinya atau kehilangan atau menjatuhkannya.
Kemudian kita perlu memikirkan bagaimana sebenarnya cara berhubungan dan mengandalkan guru spiritual secara sehat, dengan komitmen sepenuh hati? Ini artinya dalam hal cita atau sikap kita terhadapnya, dan cara kita berperilaku, tindakan kita. Dalam hal cita atau sikap, kita perlu memiliki keyakinan yang mantap bahwa guru spiritual adalah seorang Buddha, sambil mengetahui apa makna sesungguhnya, dan kemudian tetap memperhatikan kebaikannya, dengan penghargaan dan rasa terima kasih yang mendalam. Dalam hal tindakan kita, yang paling mendasar adalah mempraktikkan persis apa yang disarankan oleh guru spiritual kita; dan kemudian menunjukkan rasa hormat dan membantunya. Seperti yang dikatakan Milarepa, “Saya tidak memiliki objek material untuk dipersembahkan kepada mentor spiritual saya, tetapi saya dapat menunjukkan penghargaan saya atas kebaikannya dengan berkomitmen untuk mempraktikkan persis apa yang ia katakan.” Seorang guru Mahayana adalah seseorang yang tidak tertarik untuk dipersembahkan sesuatu materi, melainkan dipersembahkan praktik yang tulus oleh muridnya.
Ketika kita berbicara tentang berlatih persis seperti yang disarankan oleh guru spiritual kita, kita berbicara tentang seorang guru yang memiliki keterampilan mutlak, total, dan penuh. Tetapi akan sulit untuk menemukan seseorang yang memiliki keterampilan mutlak, total, penuh; jadi, seperti yang dikatakan dalam ajaran, jangan melihat orangnya; lihat apa yang dia katakan. Guru spiritual mungkin seseorang yang belum berkesadaran begitu tinggi maupun mulia; namun kita perlu mencermati apa yang ia katakan, dan menilai apakah itu bermakna.
Kita perlu memeriksa ajaran guru dan menguji kemampuan dan keterampilannya. Tidak baik menerima seorang guru spiritual sebagai pembimbing kita, dan kemudian mendapati bahwa ia memiliki kekurangan dan membuat kesalahan, sehingga kita kemudian berpaling dari orang tersebut karena kesalahan tersebut. Itu adalah situasi yang sangat menyakitkan dan disayangkan. Kita perlu memeriksa dengan sangat cermat sejak awal, seperti yang dikatakan dalam ajaran sebelum berkomitmen kepada seseorang.
Cita Tanpa Awal
Setelah persiapan ini, maka selama sesi meditasi kita, teks mengatakan bahwa kita perlu merenungkan bahwa, sejak masa tanpa awal, kita telah berada di bawah kekuatan dan pengaruh cita kita, dan cita kita telah berada di bawah kekuatan dan pengaruh perasaan dan sikap gelisah.
Ketika berbagai ajaran mengatakan “sejak masa tanpa awal”, apa yang mereka maksud dengan itu? Sistem lain yang berbicara tentang penciptaan dunia menghadirkan sebuah permulaan, penciptaan. Di sini, segala sesuatu tidak disajikan seolah memiliki awal yang mutlak. Jadi “sejak masa tanpa awal” bermakna dari kelahiran kembali sebelumnya yang tak terbatas.
Ada seorang gadis kecil berusia tiga tahun di Punjab yang mengingat dengan sangat tepat banyak detail kehidupan sebelumnya: keluarganya, apa yang terjadi, dan seterusnya. Ada banyak kasus lain seperti anak-anak yang memiliki ingatan atau pengenalan yang jelas tentang hal-hal dan orang-orang dari kehidupan lampau mereka. Jadi ada beberapa bukti keberadaan kehidupan lampau.
Ketika kita berbicara tentang kehidupan tanpa awal, kita berbicara tentang cita tanpa awal, kesinambungan batin. Cita didefinisikan sebagai kejernihan dan kesadaran belaka. Namun, mengetahui definisinya saja tidak cukup. Sesungguhnya penting untuk dapat mengenali dan mengidentifikasi kemampuan membuat sesuatu menjadi jelas, dalam arti memunculkan sosok atau gambaran mental dari sesuatu, dan menyadari sesuatu, dalam arti terlibat secara kognitif dengannya. Cita juga merupakan sesuatu yang tidak memiliki awal. Adalah penting untuk menetapkan keberadaannya dan hubungannya dengan tubuh fisik. Ini bukan sesuatu yang bersifat fisik, tetapi berhubungan dengan tubuh fisik; ini bukan zat, maupun produk fisik. Juga, ada tingkat cita yang berbeda, dari yang kasar hingga yang sangat halus. Adalah kesinambungan dari tingkat paling halus yang menjangkau mundur sejauh masa hidup yang tak terhitung jumlahnya, tanpa awal.
Buddha berkata bahwa jika cita adalah sesuatu yang dapat diciptakan baru, atau merupakan fenomena sekilas yang datang dan pergi begitu saja, atau diciptakan oleh dewa, akan sangat sulit untuk menjinakkan dan mengendalikannya. Di sisi lain, jika kita memikirkan cita yang berasal dari masa tanpa awal, dan pengalaman yang berasal dari impuls karma, berdasarkan tindakan lampau, maka kita dapat menerapkan berbagai metode untuk mengendalikan cita.
Kita perlu mencermati proses sebenarnya tentang bagaimana kita memperoleh informasi, bagaimana kita mengetahui sesuatu. Seakan informasi adalah sesuatu yang datang dari luar, dari sesuatu yang kita lihat, telinga kita dengar, atau semacamnya. Seperti sekarang, saya duduk di sini dan melihat biksu tua berambut putih di depan saya. Seolah ada semacam kesadaran yang melihat, membangun hubungan dengan informasi visual, dan memastikan sasaran tertentu yang dilihat. Itu karena seraya saya melihat sasaran itu, saya dapat melihat hal-hal tentangnya dalam penglihatan saya yang penuh dan jelas. Tapi cita saya tidak akan melihat sasaran dengan pasti jika ia memikirkan sesuatu yang telah terjadi pada saya di pagi hari. Meskipun segala sesuatu muncul di sekitar saya, cita saya tidak akan terarah padanya. Jadi informasi tampaknya datang dari berbagai indera dan tampaknya juga ada faktor tertentu yakni perhatian, yang jelas melibatkan proses mental.
Namun, kita tidak boleh lantas meninggalkannya, seperti yang dijelaskan oleh teks. Kita perlu mencermati hal-hal dari pengalaman kita sendiri dan juga mempertimbangkan penjelasan ilmiah modern akan berbagai hal, dalam hal penggambaran oleh otak, cara kerjanya melalui indera, bagaimana bagian-bagian otak yang berbeda terlibat dengan fungsi mental yang berbeda, dan seterusnya. Kita perlu mencoba memahami bagaimana cita bekerja dalam pengertian pengalaman kita sendiri maupun penjelasan ilmiah. Ini pasti akan membutuhkan banyak penyelidikan.
Adalah sangat mungkin untuk mendapatkan kepastian tentang bagaimana seluruh proses ini bekerja yang akan sejalan dengan penjelasan Buddha dan juga dengan penyajian ilmiah dari otak dan yang lainnya. Hal yang sama berlaku mengenai cara kerja ingatan dan hubungan antara cita dan benda. Dengan kita orang Tibet, misalnya, jika kita mendengar dua kata Cina dan India, walau suku kata pertama dalam kedua kata ini sama ("Gyanag" dan "Gyagar"), suku kata kedua berbeda. Sesungguhnya tidak ada hal fisik apa pun di dalamnya yang akan memengaruhi respons kita; namun segera, hanya dengan mendengar kata Cina, kita menjadi tegang, dan mendengar kata India, cita kita terasa sedikit lebih rileks. Demikian pula, jika Anda mendengar kata-kata Tenzin Gyatso, segera cita Anda merasa senang dan Anda berpikir, “Hebat.” Jika Anda mendengar kata-kata Mao Zedong, Anda berpikir, "Bajingan itu." Dalam setiap kasus, tidak ada sesuatu yang fisik di sana kecuali hanya suara konsonan dan vokal, namun ada semacam hubungan dengan cara kerja perasaan kita dan perbedaan sebelumnya yang telah kita buat dan konsep yang kita pegang.
Sangat penting untuk menyelidiki hal-hal seperti itu, termasuk gambar visual dan bagaimana mereka tampak bagi kita. Mirip dengan apa yang terjadi ketika mendengar nama “Tenzin Gyatso” dan perasaan yang menyertainya. Selidiki secara ilmiah dan perhatikan bagaimana semuanya terjadi. Bahkan jika tidak disajikan seperti ini dalam ajaran Buddha, perhatikan proses apa yang terjadi di otak, karena tampaknya otak sangat terlibat dalam semua ini. Bagian yang berbeda terlibat dengan persepsi visual dan pendengaran. Perhatikan apa yang terjadi dengan bermimpi. Aspek-aspek yang menyangkut fungsi otak ini adalah hal yang tidak bisa kita pungkiri, karena semuanya terbukti melalui sains. Seperti ketika seseorang sedang tidur, jika Anda membuat suara kecil mereka tidak mendengarnya: tetapi jika Anda membuat suara yang keras maka ada beberapa reaksi fisik bahkan jika orang tersebut sedang tidur. Di sini sekali lagi, kita tidak dapat menyangkal hal ini. Kita perlu menyelidiki dan melihat dengan jelas bagaimana segala sesuatu sesungguhnya bekerja sejalan dengan penemuan-penemuan sains dan kemudian bagaimana mereka sesuai dengan ajaran.
Otak juga pasti terlibat dengan ingatan. Dan hal yang sama tentu terjadi dengan persepsi ekstrasensorik, misalnya memahami apa yang mungkin terjadi di masa depan, yang berasal dari memiliki konsentrasi yang terserap (samadhi). Hal-hal seperti ini dijelaskan dalam kitab suci dan sesungguhnya ada orang-orang yang mengembangkannya. Sebuah kesinambungan batin yang telah mengalami sesuatu yang pernah terjadi sebelumnya dapat memiliki sejumlah peringatan tentang apa yang akan terjadi kemudian, namun hanya jika kesinambungan tersebut memiliki hubungan yang saling bergantung dengan kedua peristiwa tersebut. Dimungkinkan untuk mengembangkan kewaskitaan dan memberikan ramalan tertentu akan masa depan; namun jika tidak ada hubungan antara peristiwa masa depan dengan sinambungnya kesadaran, maka seseorang tidak dapat menebak sedikit pun tentang masa depan. Kewaskitaan tidak muncul begitu saja; itu didasarkan pada berbagai penyebab dan keadaan dalam kesinambungan batin nyata dari individu yang memilikinya.
Evolusi
Saat kita menyelidiki tingkat kesadaran yang berbeda, adalah baik untuk tidak meninggalkannya hanya pada tingkat sutra, namun juga menyelidiki tingkat tantra. Tantra menggambarkan tingkat cita yang paling halus dan tingkat inilah yang berasal dari kehidupan sebelumnya dan berlanjut ke kehidupan lainnya. Terhubung dengannya adalah tingkat tubuh yang paling halus, yang merupakan angin energi paling halus yang selalu menyertai tingkat cita tersebut. "Saya" adalah label yang dapat disematkan pada keduanya sebagai dasar untuk pelabelan, dan kombinasi inilah yang melintas dari kehidupan lampau ke masa sekarang dan terus ke kehidupan masa depan.
Dalam setiap kehidupan, cita dan tubuh yang paling halus, melalui proses evolusi, menjadi semakin kasar seiring mereka mulai terhubung dengan unsur-unsur materi kasar. Dalam hal evolusi umum dalam konteks zaman dunia ini, kepustakaan menjelaskan bagaimana, pada awalnya, makhluk asli hidup hanya dengan konsentrasi yang terserap dan tidak perlu makan. Namun, akhirnya, mereka makan makanan yang lebih kasar dan lebih kasar dan memperoleh tubuh yang semakin kasar. Sekarang kita perlu menyelidiki apakah ini sungguh mengacu pada semua orang ketika kehidupan mulai muncul di zaman dunia atau hanya untuk makhluk tertentu pada waktu itu.
Perhatikan Tibet. Kami menganggap diri kami sebagai keturunan dari berbagai dewa yang dikawinkan dengan monyet dan orang-orang berevolusi dari itu. Sains berbicara tentang bentuk kehidupan yang lebih sederhana yang berevolusi menjadi yang lebih rumit dan begitulah cara manusia berevolusi. Saya sendiri yakin dengan kedua teori evolusi ini. Adapun terkait masa orang-orang pertama di Tibet, terdapat bukti ilmiah bahwa orang-orang telah ada di sana sebelum zaman Buddha Shakyamuni. Penggalian arkeologis telah menemukan tulang manusia dan sisa-sisa lainnya di Chamdo dan Kongbo, berusia tiga ribu tahun yang lalu. Sebaliknya, Buddha meramalkan bahwa dua ratus tahun setelah kematiannya, generasi baru makhluk akan hidup di Negeri Salju. Bagaimana menyatukan keduanya?
Sangat jelas pula bahwa pernah ada sebuah danau di wilayah Lhasa, karena pada tahun 1956 sebuah tim survei geologi menemukan fosil kehidupan tumbuhan di sana. Mereka menunjukkan daun pohon yang jatuh ke danau, dan yang terawetkan dalam lumpur di dasarnya. Jadi jelas pernah ada sebuah danau di sana, dengan hutan di tepinya. Danau tersebut secara bertahap menyusut dan akhirnya mengering, dan Kuil Tsuglangkang dibangun di atas sisa-sisa terakhir danau itu. Ramalan Buddha tidak mengatakan bahwa tidak akan ada orang yang berada di luar batas danau. Ramalan itu hanya menunjukkan bahwa generasi baru orang akan datang ke wilayah itu dan tinggal di tanah kering yang akan muncul dari tengah danau. Ini tidak bertentangan dengan bukti ilmiah manusia prasejarah di Chamdo dan berbagai tempat lain di Tibet sebelum waktu itu. Seperti ini, kita perlu menyelidiki arti dari hal-hal ini dalam kepustakaan dan dalam sains.
Adapun terkait teori evolusi, yang mengajarkan perkembangan progresif akan bentuk kehidupan yang kompleks dari yang lebih sederhana, Buddha Sakyamuni datang untuk mengajarkan bagaimana mencapai tataran cita bahagia yang langgeng. Ia tidak datang untuk mengajarkan apakah dunia itu bulat, persegi, atau segitiga. Di dalam tubuh ajaran Buddha, ada komentar tertentu tentang asal usul orang dan tempat tertentu, namun ini bukan bahasan utamanya. Pokok-pokok utama berhubungan dengan karma dan kesadaran manusia dan bagaimana memunculkan kebahagiaan abadi di dalam arus cita tersebut. Seorang Buddha selalu mengajarkan dalam cara yang akan sesuai dengan watak orang dan cara berpikir mereka. Jika itu cocok dengan cara berpikir mereka, ia mungkin mengajarkan bahwa segala sesuatu memang memiliki keberadaan yang permanen, sedangkan kepada orang lain ia akan mengajarkan bahwa hal itu tidak demikian.
Sebelumnya di Barat, orang saling membunuh atas dasar konsep yang tepat tentang dunia yang mereka pegang. Tidak ada yang akan percaya bahwa dunia itu bulat. Mereka percaya bumi itu datar dan mereka saling membunuh karena hal-hal seperti itu. Inti dari ajaran Buddha bukanlah tentang menciptakan cita yang percaya bahwa dunia ini datar atau bulat. Itu melenceng. Inti dari ajarannya tentang masa tanpa awal adalah bahwa cita itu tanpa awal. Jika ia tidak berbicara tentang tiadanya awal cita, tidak akan ada gunanya membahas ketiadaan awal secara umum. Atas dasar cita tanpa awal itulah kita memperoleh bahasan tentang hubungan cita dengan tubuh dalam kaitannya dengan karma. Dalam keseluruhan kesinambungan cita tanpa awal, berbagai jenis tubuh datang dan pergi, baik pada tingkat individu maupun dunia. Bahasan tentang kehidupan tanpa awal dan cita tanpa awal harus didasarkan pada logika dan penalaran, dan itu adalah sesuatu yang pasti dapat ditetapkan dengannya. Jadi, penting untuk berusaha keras menyelidiki pokok-pokok ini dengan logika.
Menyerap Cita dalam Tataran Positif
Karena kita masing-masing memiliki kesinambungan batin yang individu dan tanpa awal, ke manakah arahnya? Apa anasir-anasir yang mempengaruhi isi pengalamannya? Kita menemukan bahwa, sejak masa tanpa awal, kita telah berada di bawah pengaruh kemelekatan, permusuhan, dan keluguan. Inilah yang dimaksud ungkapan ”dikuasai oleh yang lain” atau ”berada di bawah pengaruh anasir lain”. Dengan kata lain, cita tidak berada di bawah kendali kita, ia dikendalikan oleh anasir-anasir lain ini: berbagai perasaan gelisah, kekeliuran, ketidaksadaran (kebodohan), dan sebagainya. Karena cita kita tidak dikendalikan, kita melakukan segala macam tindakan merusak dan mereka membangun berbagai jenis akibat karma, yang melanggengkan pola perilaku ini dan membawakan kita lebih banyak masalah. Kita mengalami ketidakbahagiaan dan duka sebagai hasil matang dari kekuatan karma negatif yang datang sebagai akibat dari tindakan merusak kita. Kita bertindak seperti itu karena impuls karma merusak yang muncul dalam cita kita. Dan dari mana asalnya? Mereka datang dari cita kita yang tidak berada di bawah kendali kita. Jadi perlu untuk mengendalikan cita kita, dan tidak membiarkannya berada di bawah pengaruh perasaan dan sikap yang gelisah. Kita perlu menjaganya di bawah kendali perasaan dan sikap yang membangun dan positif.
Untuk dapat menerapkan cita kita pada tujuan yang membangun, kita perlu membuatnya fleksibel dan berguna, sehingga kita dapat menerapkannya sesuka hati pada apa pun yang kita inginkan. Untuk membuatnya berguna, kita perlu menggunakan beragam tahapan untuk melatih cita melalui meditasi. Melalui pengulangan dan pembiasaan, meditasi terbangun sebagai kebiasaan keadaan cita positif tertentu. Keadaan ini membuat cita kita fleksibel sehingga kita dapat menerapkannya pada keadaan membangun lebih lanjut. Namun, jika kita ingin melakukan ini, cita kita harus mantap. Tidak peduli sasaran atau keadaan batin apa yang kita ambil sebagai sasaran fokus kita, jika cita kita tidak dapat tetap fokus padanya dengan pemantapan, kita tidak akan dapat membiasakannya dengan keadaan ini dan mengintegrasikannya sebagai bagian dari cita kita.
Misalnya, jika kita berusaha mengembangkan kebiasaan welas asih, cita kita harus sungguh tetap fokus, dengan pemantapan, dalam keadaan tersebut. Jika cita sepenuhnya tenggelam ke dalam perasaan, sikap, atau keadaan cita secara umum, hal itu membangun kekuatan besar untuk bertahan di arah itu. Ketika kita mencoba, melalui meditasi, untuk membuat welas asih menjadi kebiasaan yang sangat kuat, jika cita tentang ketidakkekalan atau duka dan masalah muncul, meskipun pemikiran seperti itu secara teoritis dapat membantu, pada saat tertentu ketika mencoba berfokus pada welas asih, mereka adalah hambatan. Kita perlu membenamkan cita kita dan menyerap konsentrasi kita secara total, secara tunggal, pada sasaran meditasi.
Sebelum kita dapat membenamkan dan menyerap cita kita dalam keadaan yang ingin kita bangun sebagai kebiasaan positif, kita perlu terlebih dahulu memastikan sifat sebenarnya dari keadaan cita itu. Kita perlu tahu apa itu, dengan benar dan pasti. Hanya atas dasar pengakuan dan kepastian yang kuat dari keadaan ini, kita dapat merasa yakin untuk membenamkan cita kita di dalamnya. Demikian pula, kita perlu memiliki keyakinan yang kuat akan perlunya mengembangkan tataran cita tersebut. Perhatikan contoh welas asih. Dengan meditasi pencermatan (analitis), kita perlu terlebih dahulu berpikir, “Welas asih adalah sesuatu yang pasti perlu saya kembangkan untuk alasan ini dan itu.” Ketika kita mencermati semua alasan untuk mengembangkannya, kita mengembangkan keyakinan yang sangat kuat dan mantap dalam welas asih. Hanya dengan demikian kita dapat menyerap cita kita sepenuhnya di dalamnya selama meditasi terpusat dan mengetahui bahwa itu sangat membantu.
Teks ini membahas manfaat melakukan tiga sesi meditasi di siang hari dan tiga kali di malam hari. Anda juga perlu berada di tempat yang terpencil dan tenang selama sesi meditasi dan periode di antaranya. Jika kita mendengar suara keras dan mengganggu serta memiliki jenis cita yang mengganggu, cita kita akan terganggu dan kita tidak akan bisa berkonsentrasi dengan baik. Demikian pula, layaknya yang saya sampaikan kepada para biksu dan biksuni, kita perlu menjaga tataran cita kita secara umum. Mengenai hal ini, teks tersebut juga mengatakan bahwa keadaan lain yang kondusif untuk bermeditasi adalah dengan tidak makan di malam hari. Tentu saja, jika kita merasa tubuh kita tidak mendapatkan nutrisi yang cukup dan merasa sangat lemah karena tidak makan setelah makan siang, maka itu adalah situasi yang berbeda. Kita harus mempertimbangkan realitas fisik tubuh kita. Namun, jika kita mampu, maka meditasi lebih kondusif jika kita tidak makan di malam hari. Penjelasan lebih rinci tentang ini dapat ditemukan dalam dua teks lam-rim Tsongkhapa.
Persiapan: Kelahiran Kembali Manusia yang Berharga
Yang pertama dari tujuh pokok untuk melatih cita adalah persiapan, yang merupakan landasan pendukung. Ini melibatkan pemikiran tentang:
- kelahiran kembali manusia yang berharga,
- kematian dan ketidakkekalan,
- sebab dan akibat perilaku, atau karma,
- duka atau masalah akan keberadaan yang berulang tanpa terkendali, samsara.
Teks ini kini berbicara tentang persiapan pertama, kelahiran kembali manusia yang berharga. Pertama kita perlu mengenali delapan kelonggaran dan sepuluh pengayaan. Kelonggaran, atau waktu luang, adalah keadaan luang sementara dari delapan situasi tanpa waktu luang.
[Catatan: Dari antara delapan situasi tanpa waktu luang yang menghalangi laku Dharma, empat situasi bukan manusia adalah kelahiran kembali sebagai
- makhluk yang terperangkap dalam alam tanpa kegembiraan (makhluk neraka),
- hantu yang mencengkeram penuh keputusasaan (hantu lapar),
- makhluk merayap (hewan),
- makhluk ilahi berumur panjang (dewa).
Empat situasi manusia tanpa waktu luang adalah kelahiran kembali sebagai
- Seorang barbar di wilayah perbatasan yang biadab,
- tanah di mana Dharma tidak tersedia,
- adanya ketidakmampuan belajar yang parah,
- secara naluriah memegang pandangan yang menyimpang akan kehidupan, menyangkal kebenaran.
Dari antara sepuluh situasi yang memperkaya yang memungkinkan laku Dharma (sepuluh anugerah), lima situasi pribadi adalah kelahiran kembali sebagai
- Seorang manusia,
- di wilayah pusat Buddhis,
- dengan pancaindera lengkap,
- tidak masih mengalami dampak akibat melakukan tindakan merusak paling ekstrim,
- dengan keyakinan naluriah akan apa yang benar.
Lima situasi sosial yang memungkinkan terlahirnya kembali laku Dharma
- Di mana dan kapan Buddha datang,
- Membabarkan Dharma,
- Dharma masih terjaga,
- bersama komunitas biara mengikuti contoh sang Buddha,
- bersama yang lain dengan penuh welas asih mendukung komunitas biara.]
Yang pertama dari situasi tanpa waktu luang ini adalah memiliki pemikiran antagonis yang menyimpang. Mereka yang mengatakan secara antagonis bahwa kewaskitaan tidak memungkinkan – atau bahkan tidak melihat kemungkinan terlahir kembali dalam situasi di mana ajaran Buddha tersedia – sangat tidak mampu mengejar laku Dharma, dan kadang menjadi putus asa hingga bunuh diri.
Untungnya kita tidak seperti itu. Kita sehat, dengan tubuh yang sehat dan kecerdasan yang sehat untuk memahami. Misalnya, ada beberapa orang Barat di sini bersama kami; dalam bahasa Tibet kami menyebut mereka “orang berambut kuning”, tetapi ada yang berambut gelap, ada yang berambut merah, dan ada yang bahkan botak! Dan orang yang lahir di Cina mungkin tidak memiliki kesempatan untuk mempraktikkan Dharma. Namun orang asing di sini, meskipun lahir di negara di mana Dharma belum ada, telah mendengar tentang Dharma dan manfaatnya, dan mereka datang ke sini untuk belajar.
Ada titik perdebatan di sini, apakah mereka yang datang dari Amerika berasal dari Benua Utara. Jika ya, rintangan karma sangat berat, namun hal itu masih dipertanyakan. Menurut sutra, orang-orang dari Benua Utara tidak memiliki kepemilikan – dan di Amerika, orang-orang sangat posesif tentang kekayaan dan status materi mereka! Tampaknya juga ada banyak minat terhadap agama Buddha di Amerika Serikat, karena mereka memiliki banyak imigran dari tempat-tempat seperti Cina, Jepang dan Vietnam yang orang tuanya adalah Buddhis. Ada pula banyak orang Amerika yang telah berhubungan dengan Buddhisme Tibet dan minat telah muncul di sana.
Ini semua adalah bagian dari bahasan tentang salah satu situasi tanpa waktu luang yang tidak mengekang tubuh manusia yang berharga. Kelahiran kembali dengan tubuh seperti ini sulit dicapai dan, bahkan jika terlahir kembali sebagai manusia, kemungkinan untuk menjumpai Dharma sangat kecil. Bahkan jika kita telah menjumpai Dharma, jika kita kekurangan dalam hal cacat berat dan ketidakmampuan belajar, kesempatan itu hilang. Dan bahkan jika kita tidak cacat berat, masih ada kemungkinan bahwa kita dilahirkan dengan sikap antagonis yang sangat menyimpang, dan itu sungguh akan menghambat kemungkinan kita untuk berkembang.
Akan sangat membantu jika kita melihat masing-masing situasi tanpa waktu luang yang berbeda ini, dan berpikir: “Betapa mudahnya saya hampir dilahirkan dalam keadaan seperti itu, dan betapa beruntungnya saya terbebas darinya.” Ketika kita berpikir sangat kuat tentang situasi ini, bahwa kita memiliki kebebasan dari kondisi tanpa waktu luang, maka kita mengembangkan rasa kebahagiaan dan kelegaan yang besar yang merupakan bagian dari meditasi ini.
Di antara sepuluh pengayaan, lahir sebagai manusia, di area pusat dan seterusnya, adalah pengayaan dari sisi pribadi kita sendiri. Ada pula pengayaan dari sisi masyarakat, seperti lahir pada saat Buddha telah datang, saat ajaran berkembang, dan saat ada penderma yang mendukung dan orang yang mengamalkannya.
Kini, kita semua memiliki delapan situasi waktu luang ini. Walau mungkin sulit untuk memenuhi semua kualifikasi dari sepuluh pengayaan, yang paling penting adalah delapan situasi waktu luang, atau kelonggaran, yang kita miliki. Inilah mengapa, dalam berbagai teks, mereka sering berbicara tentang tubuh kesenangan yang luar biasa ini, tubuh kelonggaran ini, karena ini adalah tubuh yang kita semua miliki. Maksud dari semua ini adalah, jika kita memiliki kesempatan besar ini, kehidupan manusia yang berharga ini, kita tidak bisa membiarkannya lewat sia-sia; kita harus memanfaatkannya dengan baik.
Bagaimana sesungguhnya kita memanfaatkan tubuh manusia yang berharga ini? Orang-orang dari Benua Utara dikecualikan dari waktu luang dan kebebasan ini – hanya mereka yang berasal dari tiga benua lainnya. Memikirkan pentingnya landasan kerja berharga yang kita miliki ini, kita dapat mencapai dengannya semua keadaan bodhi yang dimurnikan: yaitu keadaan yang dimurnikan dari seorang arhat atau makhluk yang terbebaskan baik dari golongan shravaka atau pratyekabuddha, atau keadaan suci seorang Buddha. Tubuh manusia yang berharga ini adalah dasar yang sungguh dapat mencapai tujuan spiritual yang besar ini. Di luar tubuh manusia yang berharga, tidak ada dasar lain yang darinya kita dapat mengembangkan tujuan bodhicita yang kuat. Tubuh manusia yang berharga ini adalah sesuatu yang mutlak penting untuk mempraktikkan jalan tantra, seperti yang dijelaskan oleh guru agung Nagabodhi, siswa Nagarjuna dalam penyampaiannya tentang tahapan-tahapan.
Kehidupan manusia yang berharga yang kita miliki di benua ini adalah kumpulan tindakan. Kita hidup di tanah tindakan ini, yang berarti bahwa berdasarkan berbagai tindakan, kita dapat memiliki hidup yang lebih pendek atau lebih panjang, dan kita dapat mencapai berbagai hal dalam hidup ini. Karena kita lahir di tanah tindakan – Benua Selatan ini – adalah mungkin dengan tindakan kita untuk mencapai sesuatu dalam hidup ini. Jadi, kehidupan manusia yang berharga ini adalah sesuatu yang sangat kuat. Selain itu, jika kehidupan manusia kita yang berharga memiliki delapan sifat baik yang matang, maka ketika kita memikirkan penyebab individu dan sifat dari delapan sifat ini, kita akan meningkatkan kapasitas kita untuk mencapai semua tujuan kita. Memiliki potensi seperti itu dan membuangnya begitu saja adalah kesia-siaan yang nyata bukan? Seolah kita memiliki pusaka berharga yang terbuat dari emas untuk digunakan sebagai dasar keuangan untuk mendukung kehidupan kita; namun, sebaliknya, kita hanya menyia-nyiakannya. Itu akan menjadi situasi yang menyedihkan.
[Catatan: Delapan sifat baik yang matang (rnam-smin-gyi yon-tan brgyad) untuk kelahiran kembali manusia yang berharga adalah:
- panjang umur,
- penampilan fisik yang menyenangkan,
- latar belakang keluarga atau kasta yang sangat baik,
- kekayaan,
- kemampuan berbicara yang handal,
- kekuasaan dan pengaruh,
- tubuh fisik yang kuat, stamina yang hebat, dan cita atau kemauan kuat,
- menjadi jantan, yang dalam masyarakat tradisional bermakna memiliki lebih banyak kesempatan.]
Ketika kita memiliki kesadaran bahwa menyia-nyiakan tubuh manusia yang berharga ini, bahkan untuk sesaat, akan menjadi kerugian yang luar biasa, ini adalah pengakuan atas kelahiran kembali manusia kita yang berharga. Kitab suci mengacu pada manfaat besar dari kelahiran kembali manusia yang berharga sebagai benih untuk menumbuhkan semua jenis sifat dan kemampuan, dan permata besar yang membawakan kita segala pencapaian. Dalam Memasuki Perilaku Bodhisattva, Shantidewa berkata, “Jadi, jika, setelah menemukan kelonggaran seperti ini, saya tidak menjadikan sifat membangun sebagai kebiasaan, tidak ada yang lebih menipu diri daripada ini; tidak ada yang lebih bodoh dari ini… Setelah menemukan bahwa, entah bagaimana caranya, kelahiran kembali yang bermanfaat, sangat sulit ditemukan, jika (sekarang), selagi dapat membedakan, saya menyeret diri saya sekali lagi ke alam tanpa kegembiraan, itu sama saja dengan tidak memiliki cita saat di sini, seperti tertegun oleh mantra. Jika saya tidak tahu apa yang menyebabkan saya begitu bodoh, nah, apa yang ada di dalam (kepala) saya?”
Kutipan dari Shantidewa ini mirip dengan apa yang Aryashura katakan: “Begitu kita memiliki kesempatan berharga ini, kita tidak boleh membuangnya karena, jika kita jatuh ke keadaan yang tak tertahankan, seperti makhluk yang terperangkap di alam neraka tanpa suka cita, kita tidak akan memiliki kesempatan untuk memperbaiki kondisi kita.” Sehingga kita perlu berpikir betapa beruntungnya kita, bahwa kita berada dalam situasi di mana kita sungguh dapat mempengaruhi apa yang terjadi pada kita.
Jika tubuh manusia yang berharga ini, dengan delapan kelonggaran dan sepuluh pengayaan, adalah sesuatu yang mudah diperoleh lagi dan lagi, ini tidak akan terlalu menyedihkan. Seperti anak kecil, kita mungkin berpikir, “Walau saya tidak mendapatkannya hari ini atau besok, saya tetap akan segera mendapatkannya.” Jika keadaannya demikian, ini akan menjadi cerita yang berbeda. Namun kenyataannya adalah bahwa kehidupan manusia yang berharga sangat langka dan sulit untuk dicapai. Untuk memahami hal ini, pertama-tama kita perlu melihat sebab dan akibat – jika penyebabnya tidak jarang, demikian halnya hasilnya. Namun penyebabnya sendiri sangat jarang.
Filosofi dasar dan pandangan Buddhisme adalah bahwa segala sesuatu muncul bergantung pada sesuatu yang lain: segala sesuatu berasal dari sebab-sebab. Kelahiran kembali manusia yang berharga bukanlah sesuatu yang muncul begitu saja, tetapi sebagai akibat dari sebab-sebab. Manusia hidup berasal dari sperma dan sel telur orang tuanya, yang berasal dari sperma dan sel telur sebelumnya, dan begitu seterusnya, ditarik mundur hingga saat terjadinya proses evolusi. Makhluk-makhluk berkembang dalam lingkungan yang baru mulai di alam semesta yang muncul, yang, pada gilirannya, bermula dari masa sebelumnya ketika alam semesta seperti itu belum ada. Dengan demikian melalui siklus yang bergerak maju dari siklus sebelumnya, semua hasil ini dipicu berbagai penyebab, sejalan dengan beragam karma dari berbagai makhluk tersebut. Sama seperti bentuk kehidupan yang beragam di alam semesta berasal dari berbagai sebab, hal yang sama berlaku untuk kesinambungan batin individu kita sendiri dan bentuk kehidupan yang dijalaninya. Tindakan yang kita lakukan di masa lalu membawa, sebagai akibat dari tindakan tersebut, kelahiran kita. Dan apa yang kita lakukan di kehidupan ini akan menentukan kelahiran kembali kita di masa depan.
Kesinambungan batin kita tidak selalu tetap sama. Ini berbeda pada orang awam dan pada biksu dan biksuni yang telah bersumpah. Para biksu dan biksuni memiliki minat istimewa dalam mengabdikan seluruh hidup mereka untuk Dharma. Dan apa yang membuat seorang menjadi biksu atau biskuni? Ini adalah akibat dari sumpah pada kesinambungan batin mereka, berbagai pelatihan, pengendalian diri dan sebagainya, yang berasal dari para Buddha. Ini terjadi melalui serangkaian sebab-sebab. Misalnya, seorang biksu mungkin berpikir, “Meskipun sebagai seorang biksu saya mengikuti sila tertentu, jika cita saya ditipu oleh sikap-sikap yang gelisah, saya akan menyia-nyiakan kesempatan yang saya miliki ini.” Jadi kita perlu memanfaatkan waktu dan kesempatan yang kita miliki dengan baik. Begitu kita bangun di pagi hari, kita melakukan berbagai doa dan bacaan kita. Jika cita kita mulai mengembara, kita mencoba membawanya kembali. Kita tidak bisa kehilangan kesempatan – bahkan jika kita perlu menampar wajah kita untuk kembali ke titik meditasi!
Sesuatu yang secara khusus ingin kita hindari adalah menjadi marah. Jika kita menjadi marah dengan orang lain, seperti yang Shantidewa katakan dalam Memasuki Perilaku Bodhisattva, itu menghancurkan semua kekuatan positif yang telah kita bangun di kesinambungan batin kita. Shantidewa juga memberitahu kita bahwa penyebab kemarahan itu banyak, karena kita tidak hanya marah pada orang yang membuat kita kesal, kita bahkan menjadi tidak sabar dengan kicauan burung yang keras! Kita menjadi sangat mudah marah yang tidak perlu sehingga kita harus berhati-hati untuk menyadari kecenderungan kemarahan ini. Kita melihat sesuatu yang tidak menyenangkan dan kita marah! Anjing-anjing membuat kita tetap terjaga di malam hari dan kita marah kepada mereka karena membuat kita tidak bisa tidur! Namun dibandingkan dengan komunis Cina, yang mencoba membenarkan pembunuhan, penyiksaan, dan duka pada orang, kita tidak terlalu buruk. Setidaknya kita berusaha untuk menjadi religius, melakukan hal-hal yang baik, dan berada di jalan yang benar.
Kita mungkin telah belajar dan kemudian merasa sangat bangga, berpikir, “Saya tahu teksnya dengan sangat baik, saya seorang guru yang hebat, dan semuanya bisa jatuh di pundak saya – saya akan mengajar semua orang.” Jika kita memiliki cita sombong seperti itu, dan terutama jika dorongan kita untuk mengajar adalah untuk menghasilkan banyak uang dan menjadi sangat terkenal, ini adalah pemborosan pembelajaran kita. Semua itu akan menjadi sia-sia. Orang yang tidak mengikuti jalan spiritual dengan benar adalah seperti keledai yang kelelahan yang berhenti di sepanjang jalan dan tidak lagi mampu bergerak maupun maju.
Orang Cina, yang tidak menganut agama apa pun dan saling mengkritik, tidak seburuk beberapa dari kita di sini dalam jubah yang seharusnya melakukan berbagai praktik keagamaan, namun malah menghabiskan waktu untuk mengkritik biksu di sebelah kiri yang melakukan ini atau itu, dan biksu di sebelah kanan yang melakukan yang lain. Bertindak seperti ini menciptakan potensi negatif yang jauh lebih besar daripada orang Cin, yang melakukan hal yang sama tanpa mengacu pada agama apa pun.
Jika kita tidak membangun penyebab dalam kehidupan ini untuk mendapatkan kelahiran kembali manusia yang berharga di masa depan, kelahiran kembali seperti itu akan sangat sulit dicapai. Kita dapat memeriksa kelangkaannya baik dari segi sifat maupun jumlahnya, seperti fakta bahwa ada lebih banyak serangga daripada manusia, misalnya. Bahkan jika kita tidak memperhitungkan makhluk yang terperangkap di alam tanpa kegembiraan (makhluk neraka) dan hantu yang mencengkeram penuh keputusasaan (hantu lapar), karena kita tidak dapat benar-benar melihatnya, tetap saja kita tidak dapat secara akurat menghitung jumlah hewan dan serangga di dunia ini. Jadi, dari sudut pandang jumlah sebenarnya individu dalam setiap bentuk kehidupan, kita dapat melihat bahwa jumlah mereka yang memiliki bentuk kehidupan manusia yang berharga sangat kecil.
Diperkirakan populasi manusia global adalah 4,8 miliar. Berapa banyak dari jumlah ini yang memiliki kelahiran kembali sebagai manusia berharga yang memenuhi syarat, baik dari segi statistik maupun sebab-sebabnya? Kita perlu bertanya pada diri sendiri apakah kita sungguh memiliki kondisi dan penyebab yang lengkap di dalam diri kita untuk mencapai kelahiran manusia yang berharga. Ketika kita berpikir dengan cara ini, kita dapat menghargai tantangan terkait betapa sedikitnya kelahiran manusia yang berharga, dan betapa sulitnya mengumpulkan penyebab untuk mencapainya.
Adapun penegakan Dharma, itu diciptakan bukan untuk kepentingan para Buddha itu sendiri, tetapi untuk kepentingan mereka yang menginginkan kebahagiaan dan tidak menginginkan duka – makhluk seperti kita. Dan itu diajarkan untuk memungkinkan kita mengendalikan dan menjinakkan cita kita. Apa situasi yang mendukung untuk ini? Jika kita memiliki keadaan eksternal yakni memiliki guru spiritual yang sepenuhnya memenuhi syarat dan keadaan internal kelahiran kembali manusia yang berharga, kita memiliki kemampuan untuk membuat kemajuan dan mencapai cita-cita ini. Jika kita berpikir lebih jauh, dari tingkat yang lebih dalam, dalam hal sifat-Buddha, kita memang memiliki semua faktor penting yang akan memungkinkan kita untuk berkembang sepenuhnya menjadi Buddha. Dengan semua dasar, penyebab dan keadaan di tempatnya, tidak ada alasan mengapa kita tidak dapat mencapai cita-cita kita. Nasihat untuk tidak menyia-nyiakan waktu adalah sesuatu yang harus kita perhatikan sekarang, bukan “tahun depan”, atau di masa depan yang tidak jelas. Kita tidak bisa menyia-nyiakan kesempatan ini! Ini karena hidup bisa sangat singkat, dan cara terbaik untuk memanfaatkan kelahiran kembali kita yang berharga sebagai manusia adalah dengan mengembangkan tujuan bodhicitta.
Jadi, mari kita renungkan, secara mendalam, betapa langka dan pendeknya kehidupan manusia yang berharga. Mari kita memutuskan, dengan tegas, untuk menggunakannya dengan cara terbaik, melakukan doa dan permohonan untuk melakukan ini dengan mengembangkan tujuan bodhicita. Ini melengkapi persiapan pertama.