Membongkar Kecemburuan: Aku dan Kamu Tidak Istimewa

Pada akhirnya, rasa iri tidak bersumber dari orang lain, tetapi dari sikap berpikir tentang diri kita sendiri yang berlebihan. Karena kita terlalu melekat pada satu segi tertentu dari kehidupan kita, siapa pun yang sedikit saja lebih baik di bidang tersebut akan menjadi sasaran rasa iri. Di balik semua ini adalah "aku". Di sini, akan dibahas bahwa kita dan setiap insan lainnya tidak istimewa. Juga, akan kita lihat seperti apa cara pikir ini dapat digunakan untuk mengatasi perasaan gelisah.

Tadi malam kita berbicara tentang kecemburuan dan saya pikir ini akan menjadi pokok yang bagus untuk membawa kita ke dalam pembahasan tentang "diri" – bagaimana kita ada, bagaimana orang lain ada – k arena ini sangat berkaitan erat dengan persoalan-persoalan kecemburuan. Kita melihat bahwa kecemburuan adalah bagian dari permusuhan, menurut cara ajaran Buddha membahasnya. Ini adalah tataran cita, sikap perasaan yang memusat pada pencapaian orang lain: kecantikan atau ketampanan mereka dan kecerdasan mereka. Ini bisa memusat pada harta mereka, jumlah uang yang mereka miliki; memusat pada keberhasilan mereka, kedudukan yang mereka miliki dalam pekerjaan; bahkan bisa saja memusat pada hubungan mereka – mereka punya pasangan, kita tidak; mereka punya anak laki-laki, kita tidak.

Dan ini adalah ketakmampuan untuk menanggung pencapaian ini: "Aku tak tahan mereka mencapai itu." Ada kedengkian di situ. Dan ini didasarkan pada kemelekatan pada pencapaian kita sendiri. Dan jika kita lihat dan pahami, apa arti kemelekatan di sini – menggunakan kata "kemelekatan" ini – k emelekatan adalah kita memusat pada bidang tertentu dalam hidup. Misalnya saja jumlah uang yang kita miliki di bank. Bidang di mana orang lain mencapai lebih daripada yang kita capai, dan kita membesar-besarkan mutu-mutu positif dan arti pentingnya. Dalam pikiran kita, kita menjadikannya salah satu unsur terpenting dalam hidup, dan kita mendasarkan rasa harga diri kita di atasnya. Ini adalah hal terpenting dalam hidup, berapa banyak uang yang Anda miliki di bank; ini adalah hal terpenting dalam hidup, seberapa menarik penampilan Anda. Dan kita tidak tahan ketika seseorang lebih baik dibanding kita dalam bidang itu. Itulah kecemburuan. Dan ajaran Buddha mengatakan bahwa lawan dari itu adalah bersukacita atas apa yang mereka capai.

Jadi, kita dapat melihat, itulah tingkat pertama dalam menghadapi masalah ini. Tapi yang mendasari itu – bahwa kita benar-benar harus berusaha untuk memastikan kita tidak menjadi cemburu terhadap orang lain dalam bidang-bidang lainnya – adalah seluruh persoalan tentang "aku." Karena sebenarnya, yang merupakan cara berpikir yang keliru atau bingung adalah terlalu membesar-besarkan salah satu unsur dalam kehidupan dan mendasarkan seluruh rasa harga diri dan nilai diri pada satu bidang ini. Itulah yang benar-benar membingungkan tentang seluruh persoalan ini. Ini hanya berdasarkan itu, bahwa Anda cemburu karena orang lain lebih baik di bidang itu. Dan itu membawa kita ke persoalan jati diri. "Siapa aku?" Apakah kita mengartikan diri kita dari uang kita, atau penampilan kita, atau kedudukan kita dalam hidup. Banyak orang melakukan itu, bukan? Anda tahu, "Aku seorang dokter;" “Aku ibu rumah tangga;" "Aku adalah sesuatu."

Dan terlalu menekankan "aku" ke dalam suatu hal padu yang dapat memiliki satu jati diri yang padu, itulah “aku” yang sebenarnya, "aku" yang sejati, itu adalah satu-satunya hal yang penting dalam hidup. Dan kemudian, melupakan segala hal lain dalam hidup – itu tak begitu penting. Hanya satu hal ini, berapa banyak uang yang saya miliki di bank – itulah yang benar-benar penting. Itulah yang orang tua saya katakan. Dan penting untuk mengakui bahwa ini tak hanya berurusan dengan hal-hal kebendaan, dalam kerangka uang atau kedudukan dan sebagainya, tapi dapat juga memusat pada kasih sayang. Menerima welas kasih sayang, menerima kasih, inilah hal terpenting dalam hidup. Dan orang lain memilikinya, dan kita tidak. Dan kita mendasarkan seluruh rasa harga diri kita pada itu. Itu jauh lebih halus, bukan? Dan tentu saja kita cemburu buta jika orang lain memiliki kekasih yang mengagumkan ini dan kita di rumah seorang diri. Jadi, ini adalah hal penting untuk dihadapi pada tingkat lebih dalam untuk memastikan bahwa kita membasmi masalah kecemburuan ini sampai ke akarnya.

Jadi, mari kita luangkan waktu sejenak untuk merenungkan hal ini. Dan saya yakin kita semua memiliki saat-saat kecemburuan, mungkin lebih lama dari hanya sesaat. Kita memiliki masa-masa dalam hidup kita di mana kita yang benar-benar sedih, karena cemburu, dan mari kita coba menggali dalam pengalaman kita apa yang melandasi hal itu? Apa yang kita jadikan hal terpenting dalam hidup, dan kemudian kita cemburu jika orang lain memiliki lebih dan kita tidak memilikinya? Dan merenungkan inikah satu-satunya hal yang penting dalam hidup, dan inikah satu-satunya hal yang benar-benar menggambarkan diri saya, tentang siapa saya? "Aku orang yang tidak punya pasangan" – dan itukah satu-satunya hal, hanya itu, tentang kita? Jika kita mati dan seseorang meringkas kehidupan kita dalam satu kalimat, itukah yang kita inginkan untuk dituliskan pada batu nisan kita? Satu-satunya hal tentang kita yang kita ingin untuk dikenang orang lain? Ini adalah cara yang baik untuk melihat kekonyolan semua hal. "Ia tidak punya uang sebanyak itu di bank;" "Ia tidak begitu menawan."

Jadi, dengan menjadikannya konyol, maka kita melihat kekonyolan tentang segala hal, tentang memusat pada satu hal: "Inilah aku, inilah yang paling penting dan aku tak tahan ketika orang lain lebih baik daripada aku dalam hal ini." Itulah cara kita mulai mengatasinya, yaitu melihat bagaimana konyolnya hal itu. Kecuali Anda dapat melihat betapa konyolnya hal itu, maka Anda tak akan melepaskannya. Mari pikirkan dari pengalaman pribadi kita, dari pengalaman kita sendiri tentang kecemburuan.

[meditasi]

Jadi, kita telah melihat, mungkin dari pengalaman kita sendiri, apa yang kita bahas – setidaknya dalam ajaran Buddha – ketika kita berbicara tentang kecemburuan. Dalam cara Barat memandang perasaan, kita juga berbicara tentang "iri." Dalam bahasa Sanskerta atau Tibet tak ada kata yang terpisah untuk ini. Tapi jika kita melihat arti iri, ini menambahkan pada kecemburuan apa yang disebut dalam istilah Buddha "ketamakan." Dan ketamakan ini adalah, tidak hanya menekankan satu bidang dalam hidup sebagai hal terpenting dan kemudian kita tak tahan ketika seseorang lebih baik daripada kita di bidang itu, tapi yang ditambahkannya adalah, "Aku juga ingin mendapatkan itu." Itulah iri, kita iri.

Dan ada dua keadaan untuk itu: kita tidak memilikinya dan kita ingin mendapatkan apa yang orang lain miliki; atau kita sudah memiliki sebagian dari itu, yang sebenarnya cukup, dan sekarang ini menjadi "keserakahan." Kami menginginkan lebih karena orang lain memiliki lebih. Dan dalam keadaan kedua ini, di mana kita sudah memilikinya dalam jumlah tertentu, tapi kita menginginkan lebih karena keserakahan – ini mengarah ke "persaingan." Kita ingin mengalahkan orang lain.

Jadi ada banyak tataran perasaan gelisah terkait yang muncul dari unsur yang sangat mendasar ini, yang diartikan sebagai "kecemburuan." Dan yang mendasari itu lagi-lagi adalah masalah dengan wawasan kita tentang "aku," karena kita berpikir bahwa "aku istimewa." “Aku” ini begitu penting. "Aku istimewa dan aku harus menjadi yang terbaik, aku harus memiliki paling banyak." Kita tidak menganggap setiap orang setara atau, Anda tahu, bukankah menyenangkan jika semua orang memiliki yang sama. Kita harus menjadi lebih baik karena rasa “aku” yang kuat – berbeda dari orang lain, istimewa.

Dan kita telah bahas kemarin – tidak perlu untuk mengulang pembahasan itu, karena itu tidak sesuai di sini – tentang bagaimana kecemburuan dan persaingan ini diperkuat oleh banyak unsur budaya Barat kita. Kita hanya mengemukakan seluruh gagasan kapitalisme ini sebagai rupa terbaik dari demokrasi. Ini semua berdasarkan pada berbuat lebih baik daripada orang lain, dan seluruh uraian Barat tentang perkembangan masyarakat berdasar pada seleksi alam: hanya saja mereka yang pantas dan terkuat akan bertahan, sehingga Anda harus bersaing dengan semua orang.

Dan kemudian itu melebar ke kegandrungan berlebih pada olahraga persaingan, seperti sepak bola, dan pemujaan – mengingat masa-masa Olimpiade di Yunani kuno – tentang pemenang olahraga sebagai pahlawan terhebat. Atau majalah-majalah yang membuat daftar orang-orang terkaya di dunia. Merekalah orang-orang yang mendapatkan pemberitaan terbanyak. Dan kemudian ada segala macam hal tentang pemungutan suara, dan calon-calon – "Aku lebih baik daripada orang lain" – dan ada begitu banyak hal dalam masyarakat kita yang memperkuat kecemburuan dan persaingan ini. Dan tentu saja ini, seperti penyakit, menjangkiti sikap kita terhadap bagaimana kita menjalani hidup kita dan bagaimana kita menyikapi pekerjaan, bagaimana kita menyikapi hubungan, dan seterusnya. Kita cemburu jika seseorang berhasil lebih baik. Kita harus bersaing, mengalahkan mereka.

Tapi kecemburuan tidak selalu dikaitkan dengan persaingan. Karena ada persoalan lain yang berkutat di seputar pokok tentang "aku" dan bagaimana aku ada, yang terlibat di sini. Dan ini adalah persoalan tentang harga diri. Jika kita punya harga diri yang amat sangat rendah, yang merupakan masalah besar dalam budaya Barat karena berbagai alasan, maka kita dapat menjadi sangat cemburu pada pencapaian orang lain, tapi kita merasa bahwa, "Aku mungkin tidak bisa mencapai itu, aku tak cukup baik" dan kita bahkan tidak mencoba. Jadi kecemburuan itu tidak selalu mengakibatkan kita menjadi bersaing. Anda menyerah dan merasa buruk tentang diri Anda sendiri; merasa "malangnya aku," bahwa orang lain sangat berhasil dan "Aku seorang pecundang." Itulah unsur lain di mana penekanan berlebihan, kegandrungan pada “aku” ini, dalam berbagai cara mendasari masalah-masalah perasaan seperti kecemburuan.

Nah, menarik bahwa dari sudut pandang ajaran Buddha kita menguraikan kecemburuan dalam kerangka keberpusatan pada pencapaian-pencapaian orang lain. Dalam hal ini, yang kita pusatkan adalah orang lain – "Mereka mendapatkannya dan aku tidak." Jadi kita bermusuhan terhadap orang yang mencapai hal itu dan kita tidak. Sedangkan di Barat, kita cenderung mengalami rupa lain dari kecemburuan, yang memiliki sasaran pemusatan yang sedikit berbeda. Dan di sini ini memusat pada seseorang yang memberi sesuatu kepada orang lain dan bukan kepada saya. Berbeda, bukan? Berkaitan, tetapi agak sedikit berbeda dalah hal sasaran pemusatannya. "Kamu memberi kasih dan sayangmu kepada seseorang dan bukan kepadaku." Kita tidak marah dan buncah kepada orang yang mendapatkan kasih itu; kita marah dan buncah kepada orang yang tidak memberikannya kepada kita. Mereka memberikannya kepada orang lain. Ini adalah rupa kecemburuan yang biasa kita pikirkan, bukan? Menarik ketika Anda menguraikannya dan melihat apa perbedaannya di sini.

Nah, ini benar-benar sangat bertentangan. Jika Anda berpikir tentang ini, bagaimana bisa kita mengharapkan orang yang menjadi sasaran kemarahan dan kecemburuan kita – karena mereka memberikan kasih mereka untuk orang lain dan tidak untuk kita – bahwa mereka akan mengubah pikiran mereka dan kemudian mencintai kita? Itu sangat bertentangan; itu sangat merusak diri sendiri dalam cara yang amat lugu, bukan? Itu lucu, jika Anda benar-benar menguraikannya. Tapi itulah siasat kita. Itu pasti akan gagal. Tak seorangpun akan, "Oh, ya, aku minta maaf, sekarang aku akan mengasihimu," ketika kita marah pada mereka. Dan kita membentak mereka, "Oh, kenapa kamu pergi dengan orang lain, tinggallah di rumah denganku." Dan jika mereka tinggal di rumah, itu hanya karena rasa bersalah. Sehingga mereka tidak benar-benar bersama kita; cita mereka pergi dengan orang lain, hati mereka pergi dengan orang lain. Dan kita tetap tak bahagia; itu sama sekali tidak memecahkan masalah kita. Mereka merasa kasihan pada kita dan mereka akan tinggal dengan kita dan memegang tangan kita. Seberapa memuaskan hal itu?

Itu sedikit berat, bukan? Mari kita luangkan waktu sejenak untuk mencoba mengenali itu, mengakui itu, jika itu memang menjadi siasat yang telah kita ikuti, dan seberapa berhasil siasat itu. Ini hanya ketika Anda bisa menertawakan itu karena Anda melihat itu sangat konyol bahwa Anda benar-benar memahami gagasannya: ini bukanlah cara untuk memecahkan masalah itu. Intinya bahwa pemecahannya adalah jika kita merasa cemburu dan marah, jangan mengungkapkannya. Cobalah untuk menyingkirkan kecemburuan dan kemarahan itu melalui cara-cara lain. Tapi menurutinya hanya akan menghancurkan keberhasilan yang ingin Anda raih.

Sekarang menggarisbawahi jenis kecemburuan ini – dan ini adalah arti kecemburuan yang didapat dari kamus bahasa Inggris – ini adalah kecemburuan yang diartikan sebagai ketidakterimaan pada persaingan atau pada ketaksetiaan. Mereka memberi sesuatu kepada saingan kita dan bukan kepada kita, dan dalam arti ini tidak setia kepada kita. Dalam hal ini, baik mereka memberikannya kepada kita sebelumnya dan kini tidak lagi memberikannya kepada kita, atau mereka tak pernah memberikannya kepada kita – ada dua jenis. Tentu saja ini jauh lebih menyakitkan jika mereka pernah memberikannya kepada kita sebelumnya dan sekarang tak lagi memberikannya kepada kita. Dan inilah yang kita maksudkan di sini dalam pengartian Barat, ketaksetiaan ini. Tapi kita berharap orang ini bisa mengasihi kita, bahkan jika mereka tak pernah mengasihi kita. Jadi kedua rupa itu terjadi.

Sekarang, sekali lagi, ini melebih-lebihkan satu unsur dalam hidup – menerima kasih sayang dari seseorang, menjadikan ini hal paling penting. Dan ini lagi-lagi didasarkan pada rasa "aku" dan "kamu" yang sangat kuat. Ada rasa “aku” yang besar – “Aku ingin mendapatkan itu; aku ingin mendapatkan kasih sayang itu, bukan orang lain." Dan sebenarnya yang lebih kuat daripada pemaduan pada “aku" ini adalah pemaduan pada "kamu." "Saya menginginkan itu dari kamu. Tidak peduli jika ada sepuluh orang lain yang mengasihiku atau seratus orang lain yang mengasihiku. Itu tidak penting; Aku ingin kamu mengasihiku." Bukankah begitu?

Jika kita berpikir tentang itu, begitulah yang terjadi, yang biasanya salah; Maksud saya, ada kemungkinan itu benar, tapi di hampir setiap kejadian itu keliru bahwa tak seorangpun mengasihi saya. Kami berpikir begitu, bukan? "Tak seorangpun mengasihiku, malangnya diriku." Pikirkan ini, ada banyak orang yang mengasihi kita. Ibu kita mengasihi kita, teman-teman kita mengasihi kita, anjing kita mengasihi kita; ada banyak makhluk yang mengasihi kita dengan kadarnya masing-masing. Itu tidak dihitung – inilah intinya – itu tidak masuk hitungan. Kita mengabaikan itu, meremehkan nilai dari hal itu dan melebih-lebihkannya – melampaui semua akal sehat – mendapatkan kasih ini dari kamu. "Aku ingin kamu mengasihiku" – itulah satu-satunya hal yang penting.

Itu benar, bukan? Dan itu sedikit berlebihan, bukankah begitu? Terutama jika kita mengalami itu beberapa kali dalam hidup kita dengan orang yang berbeda; "Inilah orang yang harus mengasihku." Apa yang begitu istimewa tentang orang ini? Terlepas dari pertanyaan apa yang begitu istimewa tentang diriku sehingga mereka harus mengasihi aku seorang, dan bukan orang lain. Ada dua pertanyaan: apa yang begitu istimewa tentang aku, dan apa begitu istimewa tentang kamu?

Mari resapi itu sejenak.

Dan adakah dasar mengapa orang ini semestinya mengasihi aku seorang? Dan adakah alasan mengapa sangat penting bahwa orang ini mengasihiku dan orang lain yang mengasihiku tidak penting? Apa yang begitu istimewa? Ini pertanyaan yang sangat dalam, bukan? Sebenarnya, kita harus meninjau kembali cara kita memandang dunia, cara kita memandang diri kita sendiri dan cara kita memandang orang lain. Apakah ada sesuatu yang benar-benar membingungkan di sana, yang mendasari masalah-masalah perasaan kita?

Ini sangat penting untuk dikenali karena kemudian kita tahu apa yang sesungguhnya harus kita upayakan, pada tingkat terdalam, untuk membebaskan diri kita dari masalah-masalah perasaan ini sehingga mereka tidak muncul lagi. Kita tidak hanya menyingkirkan mereka ketika mereka muncul; kita ingin mencegah mereka tidak muncul lagi. Selamanya. Dan satu-satunya cara untuk mencegah mereka muncul lagi adalah memahami bagaimana kita ada, bagaimana orang lain ada, bagaimana dunia ada. Dan agar dapat menghentikan pencitraan-pencitraan bawah sadar kita tentang mitos dan khayalan. Apa yang dimaksud dengan kenyataaan tentang hubungan dengan seseorang? Apa yang secara makul bisa kita harapkan dan apa yang disebut pengharapan tak makul dengan seseorang dalam hubungan kita?

Sekarang, kita dapat melihat bahwa dalam persoalan kecemburuan ini, dalam rupa khusus yang kaum Barat pusatkan, hal yang juga berkaitan erat dengan ini adalah kegandrungan. "Aku ingin kamu menjadi milik ku, dan hanya aku." Dan ada perumpamaan sangat bagus yang dapat membantu dalam hal ini, yang saya pikir sangat sesuai – tak hanya untuk persoalan kegandrungan, tapi juga untuk kecemburuan. Ini adalah perumpamaan seekor burung liar. Katakanlah kita punya sebuah pengumpan burung, rumah kecil untuk kita meletakkan potongan-potongan roti, atau biji-bijian, atau semacamnya, di taman kita; atau mungkin kita meletakkannya di dekat jendela, untuk memberi makan burung liar. Dan seekor burung liar yang indah mendatangi pengumpan kita, katakanlah ke jendela kita. Nah, apa sikap kita terhadap burung liar yang indah ini?

Ini adalah burung yang bebas. Jika ia datang ke jendela kita – betapa indah, betapa cantik. Dan kita dapat menikmati keindahannya ketika burung liar itu menghabiskan waktu dengan kita. Dan mungkin, jika kita benar-benar beruntung, burung liar itu akan merasa begitu nyaman di dekat jendela kita sehingga ia akan membuat sarang di taman kita dan tinggal selama satu musim. Sehingga kita dapat menikmati kehadiran burung liar itu di kebun kita sepanjang musim itu – betapa cantik, betapa indah. Tapi akhirnya, setelah beberapa menit atau setelah musim itu berakhir, burung liar itu akan pergi. Lagipula ia adalah burung liar yang bebas. Dan jika burung itu kembali lagi, ya, itu sungguh menyenangkan, bukan? Tapi ini bukan satu-satunya burung liar yang ada, dan kita akan bersikap bodoh jika hanya ingin burung liar yang dulu datang kembali. Jika burung liar lain datang, kita juga bisa menikmati keindahan burung liar itu beberapa saat ketika ia bersama kita.

Rupa kecemburuan ini: "Aku ingin hanya burung itu datang kepadaku dan tidak pergi ke orang lain, dan aku tak ingin burung lain datang" – jadi kita cemburu jika burung liar itu pergi ke orang lain – i tu sangat bodoh, bukan? Ini tidak pas untuk seekor burung liar. Sebenarnya jika kita benar-benar menyukai burung itu, kita akan bersukacita – inilah sifat Buddha – kita akan bersukacita bahwa, dalam perjalanan burung ini selama setahun, orang lain cukup berbaik hati memberinya makan. Dan seperti saya katakan, jika burung itu datang lagi, itu adalah bonus. Kita tidak mengharapkan atau meminta itu, "kamu harus kembali tahun depan." Kita tidak mengatakan itu. Namun, andaikata burung itu muncul ke jendela kita, kita berusah menangkapnya; burung itu akan sangat ketakutan, bukan? Dan pergi, terbang, tak akan kembali. Dan jika kita berhasil menangkapnya dan memasukkannya ke dalam sangkar, yang pada dasarnya adalah penjara, seberapa bahagia burung liar itu? Karena kita menginginkan burung itu, akankah burung itu merasa nyaman dan membuat sarang dan menetaskan telur di sangkar itu? Tidak, tidak sama sekali, tidak sama sekali.

Jadi ini adalah perumpamaan yang amat sangat berguna mengenai orang-orang terkasih yang datang ke dalam hidup kita, bahkan anak-anak kita. Mereka bagai burung liar yang datang ke dalam hidup kita untuk waktu yang singkat. Dan mereka bebas. Mereka pergi ke sana dan ke sini; mereka punya teman-teman lain. Dan jika mereka kembali kepada kita di kemudian hari dan terus mengunjungi kita, itu benar-benar indah, bukan? Kita benar-benar dapat menikmati waktu yang kita miliki dengannya, dan jika mereka kembali kita juga dapat menikmati itu. Tapi jika kita cemburu ketika mereka pergi ke orang lain, cemburu ketika mereka tidak memberikan semua waktu mereka kepada kita, bagaimana itu mempengaruhi hubungan kita? Terutama jika kita menuntut mereka untuk tinggal di rumah. Selalu bersama kita, tidak punya teman-teman lain. Tidak hanya anak-anak kita, kita berbicara tentang orang-orang terkasih kita, teman-teman kita, juga dalam pernikahan. Jika kita berusaha mengurung mereka di dalam sangkar, seberapa bahagianya mereka? Dan jika kita berusaha menangkap mereka dan memasukkan mereka ke dalam sangkar, bukankah kita menakuti mereka? Dan andaikata kita berhasil mengurung mereka di dalam sangkar, dan mereka tinggal di sana karena rasa bersalah, seberapa bahagia mereka dan seberapa bahagia kita dengan itu?

Jadi, sangatlah berguna memandang orang-orang terkasih kita, siapapun mereka, sebagai burung liar cantik yang datang ke dalam hidup kita. Dan menikmati keindahan waktu yang kita lalui bersama. Dan tentu saja, orang ini akan memiliki teman-teman lain, ketertarikan-ketertarikan lain, bersama dengan orang lain. Mereka mungkin hidup bersama kita, tinggal bersama kita, seperti membuat sarang, tetapi mereka mungkin juga pergi. Dan, jika kita benar-benar mengasihi orang ini, kita akan benar-benar berharap dan bersukacita bahwa teman-teman mereka bersikap baik kepada orang yang kita kasihi sebagaimana perlakuan kita terhadapnya, bukan? "Kuharap kamu punya teman-teman baik dan orang-orang yang benar-benar mengasihimu dalam hidupmu. "

Itu adalah cara yang jauh lebih sehat dalam menyikapi hubungan kita agar membantu kita menghindari semua persoalan kecemburuan dan kegandrungan ini – jauh lebih berhasil dalam kerangka benar-benar menikmati waktu. Jika Anda pernah pergi mengunjungi seseorang yang cukup lama tidak Anda jumpai, dan yang mereka lakukan hanyalah mengeluh karena Anda tak bisa tinggal lebih lama, bukannya menikmati waktu yang Anda miliki bersama. Mari pikirkan hal itu dan coba menerapkan perumpamaan tentang burung liar ini kepada orang-orang terkasih kita. Terutama mereka yang menjadi sasaran kecemburuan kita, jika kita cemburu karena mereka menghabiskan waktu dengan orang lain atau karena mereka mengasihi orang lain.

Bagus. Jadi, dalam pembahasan kita sejauh ini, kita telah membicarakan bagian terakhir tentang kecemburuan yang merupakan ketidakmampuan atas persaingan atau ketaksetiaan. Dan yang merupakan perasaan ketika kita benar-benar buncah jika seseorang yang kita sukai memberikan kasih sayangnya atau memberikan sebagian waktunya kepada orang lain selain kita. Dan yang mendasari itu adalah masalah tentang "aku," wawasan tentang "aku" dan tentang "kamu," bahwa "kamu istimewa, aku harus mendapatkan ini darimu; dan aku istimewa, aku harus menjadi satu-satunya orang yang mendapatkan ini. "

Dan unsur lebih lanjut tentang masalah dengan "aku" yang mendasari hal itu adalah unsur ketidakamanan. Kita tidak aman dengan harga diri kita, dan kita tidak aman dengan kasih orang itu kepada "aku" – "aku" yang kuat – dan kita merasa bahwa "aku" yang besar ini akan diabaikan atau telah diabaikan, jika Anda bersama orang lain. Anda menghabiskan waktu Anda dengan orang lain. Bahkan jika mereka meninggalkan kita, kita telah diabaikan.

Sehingga persoalan harga diri ini tentu sangat berkaitan erat dengan pemahaman kita tentang siapa aku dan apa itu "aku." Tetapi saya ingin, demi kelengkapan, sebelum kita masuk ke pokok ini, menyelesaikan – meskipun secara singkat – apa yang mungkin tersisa dari perumpamaan burung liar. Persoalannya adalah kita telah melihat hal ini dari sudut pandang orang yang mencoba memasukkan orang lain ke dalam sangkar, dan seringkali kita mendapati diri kita di sisi lain, menjadi burung liar; bahwa seseorang berusaha memasukkan kita ke dalam sangkar dan bagaimana kita menghadapi hal itu.

Dan saya pikir di sini ada beberapa pokok yang terlibat. Yang pertama adalah – dan selalu amat sangat penting – menjernihkan kenyataan dari keadaan itu. Sangat sering dalam sebuah hubungan, bahkan dalam pernikahan, tapi juga di luar pernikahan, tiap-tiap orang memiliki gagasan yang berbeda tentang apa yang diperlukan dalam hubungan itu, apa saja batas-batasnya. Dan saya pikir ini sangat penting untuk diperjelas. Jika tidak, seseorang membayangkan sesuatu yang tidak akan terjadi, atau yang tidak sesuai dengan bagaimana kita memandang sesuatu, baik kita berada dalam hubungan pasangan perkelaminan, pernikahan, maupun pertemanan.

Dan ini penting bagi kedua pihak dalam hubungan itu; keduanya perlu membuatnya jelas dan lebih baik sebelum masalah-masalah muncul. Bagaimanapun, Anda harus menghindari keesktreman dengan terus menerus merundingkan persetujuan dan merundingkannya kembali, dan selalu membicarakan tentang “ hubungan kita” dan bagaimana Anda menyikapi “hubungan kita,” bukannya menjalani hubungan. Dan bagi kedua pihak untuk jujur dan tidak memendamnya, tetapi menjadikannya diketahui orang lain ketika mereka merasa sakit hati. Baik karena “Kamu tidak berada di dalam kandang” atau “Kamu berusaha memasukkanku ke dalam kandang. ” Tapi cobalah untuk cukup trampil dalam melakukannya tanpa bermaksud membuat orang itu merasa bersalah dan memaksanya melakukan apa yang kita inginkan.

Karena dalam hidup ini penting untuk mengetahui apa akibat dari perilaku kita. Maksud saya, seringkali kita sangat lugu mengenai itu, dan kita berpikir bahwa kita dapat bertindak dengan cara apapun yang kita mau dan tidak memengaruhi orang itu atau siapapun. “Tak seorangpun punya perasaan selain kita; tak seorangpun akan terluka atau merasa tersakiti kecuali kita. Jadi, ada tanggung jawab-tanggung jawab tertentu dalam kerangka kesetiaan perkelaminan, hal-hal semacam ini; ini adalah batasan yang mungkin ingin kita simpan. Tetapi ada batasan-batasan lain yang tentu lebih luwes.

Dan saya pikir bahwa ini juga penting, jika satu wilayah tidak berhasil, untuk tidak membuang orang lain ke tempat sampah. “Kamu tidak setia, dan sekarang aku tak ingin melihatmu lagi. ” Anda mungkin bisa bercerai, itu hal lain, tetapi tak ada alasan untuk berhenti mengasihi orang itu, berhenti memedulikan mereka; maksud saya, dan Anda tidak harus bertemu mereka setiap hari. Tetapi hubungan tidak harus serba berhasil atau tidak sama sekali; ini dapat dimaknai ulang. Dari sudut pandang Buddha, ada karma di sana. Ada suatu hubungan karma, dan Anda tidak dapat begitu saja membuang mereka ke tempat sampah, ia tetap di sana.

Sekarang, dalam keadaan itu kita mungkin ingin berkata, “Aku sangat terluka, oleh perilaku Anda dan seterusnya, dan mungkin kita harus berpisah, tetapi aku tidak ingin kehilangan kamu sebagai teman, tapi beri aku waktu. Beri aku beberapa bulan tidak berhubungan agar aku menenangkan diri dan menghadapi perubahan dalam keadaan ini dan kemudian, aku akan meneruskan berteman denganmu. Aku peduli denganmu; jika tidak, aku takkan pernah memulai hubungan-hubungan ini. ” Itu adalah cara yang jauh lebih dewasa untuk menghadapinya. Tanpa mempedulikan di sisi mana kita berada, di sisi burung atau sisi orang yang berusaha memasukkannya ke dalam kandang. Ini akan menjadi cara yang dewasa untuk menghadapi keadaan-keadaan ini. Karena tak seorangpun akan berada di dunia dongeng tempat kita hidup bahagia selamanya, maksud saya, itu tidak akan terjadi.

Dan jika di sini kita tidak berurusan dengan persoalan perkelaminan, melainkan hanya berurusan dengan persoalan waktu, tentang berapa banyak waktu kita habiskan dengan orang itu, seperti yang saya sampaikan tadi malam, jika seseorang meminta semua waktu kita dan alasannya tak masuk akal, maka kita memberikan waktu tertentu untuk kita bersama mereka atau hal tertentu yang akan kita lakukan dengan mereka, maka kita benar-benar dapat diandalkan. Mereka selalu dapat menghargai ini. Maka mereka tidak merasa diabaikan. Dan kemudian ketika kita bersama mereka pada pertemuan mingguan atau sehari-hari atau kapanpun, kita seratus persen bersama orang itu, dengan sepenuh hati dan perhatian penuh tanpa melihat jam.

Baik, mari kita luangkan satu atau dua menit untuk mencerna pokok ini dan kemudian kita akan melanjutkan… Satu pokok terakhir tentang ini. Kita juga perlu luwes dalam kerangka mata uang – b agaimana orang lain membayar kita – yang merupakan gambaran tentang bagaimana mereka mengungkapkan atau memberikan kasih pada kita. Kita perlu luwes dalam hal itu, dan kita dapat memahami itu dengan perumpamaan uang. Ini membantu kita untuk merasa lebih aman akan kasih seseorang. Karena ini seringkali menjadi masalah, kita merasa tidak aman; “Mungkin mereka mengasihiku, tidak mengasihiku, aku akan ditinggalkan,” dan seterusnya.

Kita mungkin ingin dibayar dengan euro, tetapi orang ini hanya memiliki dollar atau mereka hanya memiliki franc Swiss. Sehingga mereka tidak bisa benar-benar membayar kita, mereka tidak bisa benar-benar mengasihi kita seperti yang kita inginkan. Tetapi kita harus bersedia menerima mata uang mereka, apa yang mereka bisa berikan kepada kita, dan menyadari bahwa ini adalah ungkapan kasih mereka. Inilah yang dapat mereka lakukan. Dan sama halnya jika kita berada di pihak yg lain – i ni adalah mata uang yang saya miliki, saya tidak punya euro, saya hanya punya franc Swiss, atau saya hanya punya dolar. Dan juga untuk cukup luwes ketika orang itu mengatakan, “Maaf, aku tidak punya uang sekarang; aku tidak punya waktu sekarang, aku terlalu sibuk. Aku tidak dapat menemuimu minggu ini, ada hal yang harus kukerjakan, tapi kita akan bertemu minggu depan. Jika aku mendapat uang lebih, tentuaku akan senang membayarmu, atau bersamamu. ” Itu berarti kita luwes, untuk dapat memahami dalam kerangka orang lain – berapa banyak uang yang mereka miliki, berapa banyak waktu yang mereka berikan untuk kita. Dan sama halnya dalam kerangka kita, “Maaf; saat ini saya tidak punya uang. ”

Ini adalah gambaran yang membantu. Meskipun kasih dan perhatian bukanlah barang dagangan yang dapat kita bayar; namun, gambaran ini dapat sangat membantu kita dengan permasalahan ketidakamanan. Dan kita tidak akan menggali lebih dalam di sini, dalam kerangka cara kita berpikir bagaimana aku ada dan kamu ada, tetapi ini adalah cara yang amat sangat membantu menghadapi masalah ini secara sementara – sangat berguna, benar-benar berguna.

Baik? Anda ingin waktu sejenak untuk merenungkan itu? Tidak apa-apa, anda mengerti gagasannya. Persoalan sebenarnya adalah menghargai mata uang lain; apa mata uang yang dimiliki orang itu? Seringkali kita tidak menghargainya, hei, mereka memberi kita sesuatu, inilah mata uang yang mereka miliki; kita bahkan tidak menghargai bahwa itu adalah mata uang. “Aku tidak mengenalnya dalam zloty Polandia; aku ingin mata uang yang sesungguhnya. ”

Sangat sering pada pasangan, suami bekerja untuk istrinya tetapi istrinya tidak bahagia karena suaminya tidak terlalu peduli…

Benar. Ini berlaku dua arah, suaminya menghabiskan seluruh waktunya berusaha mendukung seluruh kebutuhan rumah dan pendidikan anak dan sebagainya, dan jika suaminya tidak peduli dan tidak mengasihi istrinya, mengapa ia bekerja keras untuk melakukan ini? Tetapi kemudian istrinya mengeluh, orang di rumah mengeluh, “Kamu tidak meluangkan cukup waktu bersama kami; kamu tidak benar-benar peduli. ” Dan sebaliknya juga – istrinya menghabiskan banyak waktu untuk membesarkan anak-anak, merawat dan menjadikan rumah nyaman untuk pulang, dan semua hal ini, dan bahkan mungkin mengorbankan karirnya. Dan suaminya berpikir, “Kamu hanya di rumah tidak melakukan apapun. Kamu tidak harus bekerja, kamu tidak harus melakukan apapun, kamu tahu, kamu hanya bersenang-senang saja. ” Suaminya menuntut, “Ketika aku pulang, kamu harus memberikan seluruh perhatian dan segalanya untukku,” dan tidak menghargai bahwa mungkin istrinya lelah; mungkin istrinya mengalami hari yang berat dengan anak-anak. Kedua hal ini merupakan pokok penting.

Dan seperti yang saya katakan, ketika kita memahami sunyata, memahami cara-cara untuk menerapkannya, kemudian, hal pertama yang telah kita tekankan di sini adalah melihat bahwa ini sangat penting, tetapi hal lainnya adalah menyadari bahwa ini adalah obat yang kuat. Dan di banyak keadaan obat yang tidak terlalu kuat mungkin menjadi cara yang lebih baik untuk menghadapi keadaan itu, dan kemudian secara perlahan-lahan masuk lebih dalam.

Sekarang, salah satu masalah besar yang terlibat di sini dengan persoalan sunyata adalah citra. Terdapat dua unsur di sini. Unsur pertama adalah cita kita secara sendirinya membuat hal-hal muncul dengan cara yang tidak sesuai dengan kenyataan. Dan ini secara langsung melakukan itu, kita tidak sadar melakukan itu. Dan kemudian, di atas itu semua, kita percaya bahwa ini benar; bahwa ini sesuai dengan kenyataan. Dan alasan mengapa kita mempercayainya adalah karena – ini benar-benar sangat licik, sangat buruk – terasa seperti itu. Terasa seolah-olah ini adalah kenyataannya. Itu adalah hal berat untuk dikatakan dalam bahasa Tibet, tetapi begitulah bagaimana kita mengalaminya; terasa seperti itu. Itulah mengapa kita mempercayainya, sangat dalam, sangat mendasar, kita percaya bahwa itu benar. Itulah mengapa ini menjadi masalah yang sangat dalam, karena seringkali kita berpikir bahwa rasa-rasa kita pasti benar; apa yang kita rasa – itu pasti benar. Kita bahkan tidak mempertanyakannya.

Jadi mari kita tengok teman lama kita di sini, kecemburuan, misalnya. Cita kita mencitrakan kenampakan berganda ini, tentang “aku” dan “kamu,” dalam golongan-golongan yang padu. Dan yang terjadi adalah di sini “aku” yang tampak nyata, yang secara asli pantas untuk mencapai atau menerima sesuatu, tetapi tidak. Benar bukan? Secara asli. “Aku pantas mendapatkan ini. Dan aku tidak mendapatkannya. Dan kamu, di sana, kamu tidak pantas mendapatkannya, tetapi mendapatkannya. ” Dan terasa seperti itu, bukan? Dan itu menyakitkan. Itulah mengapa kita memercayai itu benar. Jadi ini sangat membingungkan, karena secara tidak sadar kita merasa dunia berutang sesuatu pada kita, dan tidak adil ketika orang lain yang mendapatkannya, bukan kita. Dan itu masuk ke pembahasan panjang lainnya mengenai mengapa dunia harus adil. Dan itu adalah pertanyaan buruk untuk ditanyakan, kita tidak benar-benar ingin menanyakan itu. Tetapi mengapa dunia harus adil? Apakah terdapat hal asli di sisi alam semesta yang disebut “keadilan? ” Ini sangat Barat. Ini berhubungan dengan gagasan Barat tentang “Tuhan adil. ” Dan ada keadilan di alam semesta. Tak semua orang di planet ini mempercayai itu atau memikirkannya.

Jadi, rasa tidak adil ini secara budaya dikuatkan. Tetapi, maksud saya, ada juga rupa yang muncul secara sendirinya dari itu. Tetapi yang berada di balik ini, pada tingkat kemunculan secara sendirinya ini, adalah bahwa kita membagi dunia menjadi dua kelompok yang padu: pemenang dan pecundang – dua kotak penggolongan yang tampak padu dan benar. Inilah kotak pemenang; inilah kotak pecundang. Ini seperti kotak pendosa dan budiman. Ini adalah hal yang sama, pemikiran Injil, pandangan berganda ini. Jadi di sini adalah pemenang dan di sini adalah pecundang, secara padu terjebak di dalam kotak ini. Dan malangnya diriku, aku berada di kotak pecundang. Dan terasa seperti itu, itulah yang mengerikan. Dua kotak, pandangan berganda, mereka bisa berada di kotak itu atau di kotak lainnya.

Dan kita menempatkan diri kita pada kelompok padu yang tetap, dan ini adalah segala hal tentang ketetapan, selamanya. Kita menempatkan diri kita dalam sebuah kelompok padu yang tetap pada “ pecundang”; kita menempatkan orang lain dalam kelompok padu yang tetap pada “pemenang. ” Dan kita tak hanya merasa sakit hati, kita merasa kiamat; seolah-olah kita dihukum, “Seseorang menghukum saya. Ini tidak adil. ” Dan seringkali citra kita jauh dengan kenyataan yang membuat kita mulai berpikir “Aku satu-satunya orang di dalam kotak pecundang ini. ” Kita sangat mementingkan diri sendiri. “Aku satu-satunya orang di dalam kotak pecundang dan semua orang di dalam kotak pemenang. ” Kemudian kita benar-benar merasa kasihan pada diri sendiri dan menderita. Ada sesuatu tentang saya yang menjadikan saya seorang pecundang, bahwa saya pecundang. “Aku dikutuk. ” Bahkan jika kita tidak memasukkan rasa dikutuk oleh Tuhan yang seharusnya adil tetapi tidak, meskipun tanpa hal itu, kita terjebak dalam kotak ini, kotak pecundang, selamanya.

Dan yang menyulitkan ini bukan semata-mata kita lugu tentang bagaimana kita ada dan bagaimana kelompok-kelompok ini ada; kita juga lugu tentang sebab dan akibat. Ini sangat sering ada di balik kecemburuan dan iri. Kita berpikir bahwa orang yang mendapatkan kenaikan jabatan di tempat bekerja atau yang dikasihi oleh orang ini tidak benar-benar pantas mendapatkannya. Mereka tidak pantas menerimanya; tak ada hal baik tentang orang ini yang akan menyebabkan mereka menerima hal yang tidak kita terima. Jadi kita menyangkal segala sebab dan akibat. Dan dari sisi kita, kita merasa bahwa kita harus mendapatkannya tanpa melakukan apapun. Atau, “Aku melakukan banyak hal tetapi tetap tidak mendapatkannya. Aku tidak mendapatkan penghargaan. Ini tidak adil. ” Jadi kita tidak melihat bahwa ada banyak sekali kekuatan lain, unsur-unsur sebab-akibat yang terlibat, selain hal-hal yang kita lakukan. Sedikit hal yang kita telah lakukan.

Dan saya harus berkata bahwa terkadang rasa yang kita miliki ini dikuatkan secara budaya dalam suatu negara sosialis, yang hanya karena kita lahir di sana, kita merasa pantas mendapatkan beberapa hal dari negara itu tanpa melakukan apapun untuk memperolehnya. Dan itu menjangkiti rasa kita, “Aku harus mendapatkan ini. Aku harus dikasihi. ” Sangat menarik, jika kita melihatnya sedikit lebih dalam, keseluruhan gagasan dari apa yang pantas kita terima? Seseorang pantas mendapatkan sesuatu dan apakah hal-hal terjadi tanpa sebab? Ini masuk ke dalam persoalan yang sangat-sangat dalam. Dan sering Anda melihat ini dalam perilaku, misalnya seorang remaja – “Seberapa buruk yang bisa kulakukan dan kamu tetap mengasihiku? ”

Terdapat banyak persoalan di sini. Maaf, saya melempar banyak persoalan sekaligus. Jadi mungkin kita perlu sedikit waktu untuk merenungkan beberapa dari itu. Persoalan-persoalan membayangkan dunia terbagi ke dalam pemenang dan pecundang ini dan semua persoalan mengenai “Ini tidak adil aku berada di kotak pecundang, aku tidak pantas menerimanya” – segala persoalan tentang kepantasan menerima sesuatu ini. Dan “Aku sudah berusaha keras, mengapa kamu tidak menghargaiku? Mengapa aku tetap pecundang? ” Dan tentu, yang sering menyertai hal itu adalah, “Kamu tidak pantas berada di kotak pemenang. ”

Mari kita pikirkan itu sejenak. Sekarang kita sampai pada pokok-pokok yang sangat sensitif mengenai “aku,” pencitraan-pencitraan kita, dan keluguan kita. Ketika kita berbicara tentang sunyata – dan supaya Anda memahami apa kesesuaiannya – sunyata mengacu pada citra-citra yang tidak mengacu pada hal-hal yang nyata, dan Anda meletuskan balon khayalan itu . Citra bagai sebuah balon – t idak ada apapun di dalamnya, ia kosong. Ia tidakberisi apapun, ia tidak mengacu pada kenyataan. Bagai kekosongan di dalam balon, meskipun itu tidak sepenuhnya tepat, tetapi itu sebuah gambaran yang bagus. Jadi itu adalah kesesuaian dengan arah pembahasan kita, seandainya Anda mulai khawatir bahwa, “Ya Tuhan, ia akan beralih ke pokok pembahasan lain. ”

Tetapi pertama-tama mari kita kenali citra-citra ini. Kotak pemenang dan kotak pecundang. Disana terdapat tiga persoalan yang kita lihat. Apakah saya membagi dunia, dan apakah benar dunia terbagi menjadi pemenang dan pecundang? Itu persoalan nomor satu. Dan apakah saya percaya bahwa alam semesta harus adil dan setimpal? Dan apakah saya memercayai itu bahwa dari sisi saya sendiri, saya secara asli pantas mendapatkan sesuatu, seperti untuk dikasihi? Tanpa alasan sama sekali; tak peduli betapa egoisnya saya, tak peduli seberapa buruk tindakan saya. Secara asli saya pantas mendapatkannya.

Ketika kita mulai menantang keyakinan-keyakinan kita, seperti misalnya, kita menanyakan pada diri sendiri mengapa alam semesta harus adil, mengapa saya pantas mendapatkan sesuatu tanpa sebab apapun? Mengapa segala sesuatu terjadi seperti itu? Sangat sulit untuk mendapatkan jawabannya. Dan seringkali kita hanya berakhir dengan alasan “sudah semestinya. ” Sudah semestinya. Yang sebenarnya, “Saya berharap seperti itu. ” Ini seperti kita pada waktu Natal melihat orang-orang di jalan berpakaian Sinterklas. Kita berpikir bahwa mereka benar-benar Sinterklas dan bahwa benar-benar ada seorang Sinterklas. Benarkah ada Sinterklas? “Oh ya, pasti ada Sinterklas. ” Mengapa tidak? “Memang semestinya ada Sinterklas. ”

Tetapi sayangnya, meskipun seolah-olah Sinterklas itu ada, karena, hei, itu ada satu di jalan; tetapi tidak. Kenampakan itu tidak sesuai dengan kenyataan, meskipun kita berpikir bahwa semestinya ada Sinterklas. Hanya karena kita berpikir bahwa semestinya ada Sinterklas, dan seolah-olah di sana ada Sinterklas, tak ada alasan mengapa semestinya ada Sinterklas. “Semestinya seperti itu. ” Itu khayalan. Tetapi – ini sangat penting dalam pemahaman tentang sunyata – sunyata dari, tak ada hal semacam Sinterklas, tetapi apa itu di sana? Ada orang yang berpakaian seperti Sinterklas. Orang yang mirip Sinterklas itu ada di sana. Hanya saja kenampakan itu tidak sesuai dengan kenyataan. Kenyataannya adalah itu orang yang berpakaian seperti Sinterklas dan mirip Sinterklas. Sunyata tidak meniadakan segalanya; sunyata meniadakan keyakinan kita pada kenampakan yang dicitrakan. Untuk lebih tepatnya, hanya karena orang itu kelihatan seperti Sinterklas, membuktikan bahwa itu Sinterklas itulah yang ditiadakan. Itu tidak membuktikan bahwa ia adalah Sinterklas hanya karena ia tampak seperti Sinterklas.

Hanya karena saya merasa seperti seorang pecundang, tidak membuktikan bahwa saya seorang pecundang. Bahkan jika Anda mengatakan bahwa saya seorang pecundang, itu tidak membuktikan bahwa saya seorang pecundang. Saya insan biasa, yang berusaha, itu saja, tak ada yang menyangkal itu. Saya tidak berhasil, hanya itu. Mari kita cerna itu sejenak.

[meditasi]

Contoh lain. Hanya karena Anda datang terlambat atau Anda tidak menelepon saya, itu tidak membuktikan bahwa Anda tidak mengasihi saya. Terasa seperti itu, tetapi itu tidak membuktikan bahwa Anda tidak mengasihi saya. Ini sampah. Anda punya kata yang sempurna untuk itu dalam bahasa Jerman: Quatsch. Dan itu menjadi kata kunci yang berguna untuk mengingatkan diri kita sendiri ketika kita menemui sandungan-sandungan ini. Ini sampah, Quatsch! Ini tidak mengacu pada kenyataan, tidak sesuai dengan kenyataan. Pikirkan itu.

Itu adalah mantra sunyata, Quatsch.

Ya, mantra yang sangat bagus. Mustahil orang Tibet melafalkannya, tetapi itu bagus. Pikirkan itu… Rasa takut berlebih yang muncul ini sungguh menggelikan, bahwa orang itu datang terlambat, atau mereka tidak datang – “Aku diabaikan. ” Itu benar-benar sampah, benar-benar Quatsch. Satu-satunya kenyataannya adalah bahwa mereka terlambat, atau mereka tidak datang. Itulah kenyataannya. Dan kemudian, kita berusaha mencari tahu alasannya. Bukan “Oh, aku diabaikan; malangnya diriku, tak ada yang mengasihiku. Ini terjadi lagi. Aku pecundang. Semua orang mengecewakanku. ” Quatsch, sampah.

Dan karena terasa seperti itu, bahwa saya diabaikan dan saya selalu menjadi pecundang, itu tidak membuktikan bahwa saya telah diabaikan, bahwa saya selalu menjadi pecundang. Satu-satunya yang ditunjukkannya adalah bahwa keadaannya terasa seperti itu. Dan karena saya berpikir bahwa itu benar dan sesuai dengan kenyataan, itu menyakitkan. Maka, jika saya berhenti memercayainya, itu tidak akan begitu menyakitkan, dan akhirnya keadaannya tidak akan terasa seperti itu. Saya hanya akan melihat bahwa orang itu terlambat atau orang itu telah bertemu orang lain, atau apapun. Inilah keadannya dan kita menghadapinya.

Dan jika kita punya teman yang selalu terlambat, maka hadapilah kenyataan itu. Kita beritahu mereka untuk menemui kita lebih awal atau kita tetapkan batasan. Aku akan menunggu sampai jam dua dan jika kamu tidak datang, jika kamu tidak menghubungi, maka aku akan makan atau pergi. Anda harus menghadapi itu, tanpa berharap. Semuanya jelas, dan Anda melanjutkan hidup anda, dan tidak membuat hidup Anda menyedihkan. “Malangnya aku, si pecundang, terabaikan. ” Ini sampah, Quatsch.

Mari kita cerna untuk terakhir kalinya.

[meditasi]

Jadi kita berhadapan dengan kenyataan orang itu; kita tidak menjadikan persoalan besar bahwa mereka selalu terlambat, tentang keterlambatan mereka. “Aku tahu kamu selalu terlambat. ” Saya punya teman seperti itu, selalu terlambat untuk semua janjian, dan bahkan, semua janji yang saya buat dengannya tak pernah saya anggap pasti. Karena saya tahu orang itu sangat sibuk dan selalu ada urusan lain, dan saya tidak mempermasalahkannya. Bagaimanapun saya menyukai teman saya. Itu bukan sebuah masalah, saya menerima kenyataan itu. Sangat penting dalam sebuah hubungan untuk mengetahui kenyataan orang ini dan tidak mencitrakan sama sekali semua harapan-harapan bahwa mereka menjadi orang yang kita inginkan.

Dan, jika saya boleh menyampaikan sesuatu, apa yang seringkali ada di balik itu adalah kesalahpahaman yang seringkali merupakan hal yang sangat diperkuat secara budaya, yaitu ingin selalu memegang kendali. Ini saya temui terutama pada orang Jerman. Semuanya terkendali. Semuanya teratur, semuanya jelas – maka Anda merasa aman. Anda ingin memegang kendali. Ini Quatsch; ini tidak masuk akal. Tak seorangpun dapat mengendalikan hidup. Hidup terlalu berseluk-beluk; terlalu banyak hal yang terjadi dan mempengaruhi apa yang terjadi. Orang harus mengenali berbagai tingkat dari apa itu Quatsch, apa itu sampah, apa itu harapan yang tidak makul.

Mari kita akhiri di sini dan memikirkan hal-hal ini, membahasnya pada waktu makan siang Anda dan setelah itu, pada pukul tiga, kita akan mengadakan tanya-jawab dan pembahasan. Dan jika Anda tidak berada di sini tepat waktu, saya akan menangis. Saya akan mulai menangis karena Anda tidak mengasihi saya. Itu membuktikan bahwa Anda tidak mengasihi saya. Atau bahkan lebih licik, itu menbuktikan bahwa Anda tidak menghormati saya, oh. Banyak orang merasa tersinggung, merasa bahwa Anda tidak menghormati mereka. Ini juga Quatsch, ini sampah.

Top